Laman

Jumat, 19 Oktober 2018

Sejarah Kota Medan (76): Mushaf Al Quran Tertua Dilaporkan di Medan; Sejak Kapan Pendidikan Agama Islam Dimulai di Deli?


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Belum lama ini diberitakan bahwa di Medan telah dipamerkan mushaf Al Quran kuno yang bertarih 1070 H atau tahun 1659. Mushaf Al Quran ini diklaim sebagai mushaf tertua di Indonesia. Bahkan disebutkan lebih tua 113 tahun dari mushaf Al Quran yang ditemukan di Ternate.

Medan, 1929
Selama ini Bayt Alquran dan Museum Istiqlal memposisikan wilayah Sumatra Utara tidak pernah memiliki mushaf Al Quran kuno. Di Indonesia bahkan hanya lima wilayah yang tidak memiliki mushaf kuno. Selain Sumatra Utara adalah Bengkulu, Gorontalo, Papua, Papua Barat dan Sulawesi Utara.

Klaim mushaf Al Quran tertua di Medan sungguh menyenangkan mendengarnya. Namun originalitas mushaf atau otentias angka tahun pembuatan mushaf tersebut ada yang mempertanyakannya. Lantas seperti apa bukti sebenarnya dari mushaf tersebut? Apakah benar-benar ditulis pada tahun 1659? Kita tunggu saja biar para ahli yang membuktikannya. Lalu bagaimana awal mula perihal pengajaran pendidikan agama Islam di Medan. Mari kita telusuri.  

Komunitas Islam Tertua di Indonesia

Baros, suatu tempat di wilayah Sumatra Utara sejatinya terbilang sebagai tempat komunitas pertama Islam di Nusantara. Dalam perkembangannya, pertumbuhan dan pengembangan (pendidikan) agama Islam terdapat di wilayah Atjeh. Dari sinilah diduga agama Islam menyebar ke sejumlah tempat di Nusantara.

Namun soal pembuatan mushaf, Aceh sejauh ini tidak menyimpan mushaf kuno. Mushaf paling tua di Aceh yang diketahui berumur tahun 1800an. Mushaf tertua justru masih ditemukan di luar Aceh, seperti di Ternate. Semua mushaf yang dimaksud adalah mushaf yang ditulis di atas kertas buatan

Satu mushaf yang terbilang kuno masih ditemukan di Alor. Mushaf Alor ini diriwayatkan dibawa ke Alor dari Ternate sekitar tahun 1518. Secara fisik mushaf Alor ini terbuat dari kulit kayu ditulis dengan tinta berwarna hitam dan merah.

Ada yang menduga bahwa mushaf Alor ini berasal dari Timur Tengah yang ditulis pada zaman Nabi Muhamad SAW. Ada juga yang menyebut mushaf kuno Alor ini mirip dengan Al Quran yang tersimpan di Mesir. Secar fisik bahan mushaf Alor in terbuat dari bahan papirus yang mana bentuk kaligrafi dan warna tinta juga sama dengan yang digunakan di Mesir. Papirus ditemukan di rawa-rawa sungai Nil di Mesir.

Soal bahan dasar untuk menulis dan tinta apa yang digunakan, praktek kuno ini pernah dilaporkan oleh Willem Marsden (1775). Marsden mencatat bahwa penduduk Batak memiliki sastra dan aksara sendiri.

Yang tidak diduga oleh Marsden adalah lebih dari separuh penduduk Tanah Batak (tahun 1700-an) mampu membaca dan menulis dengan aksara Batak yang melampaui kemampuan baca tulis latin semua bangsa-bangsa di Eropa. Untuk keperluan menulis ini menurut Marsden penduduk Batak menggunakan kulit pohon khusus dan menuliskannya di bagian yang halus. Tinta yang digunakan adalah jelaga dengan bahan dasar damar yang dicampur dengan air tebu.

Damar bukan saja komoditi ekspor dunia dari Tanah Batak, damar sendiri pada zaman kuno sumbernya hanya ditemukan di Tanah Batak. Getah damar yang disebut resin antara lain digunakan untuk penerangan. Komoditi kuno dari Tanah Batak tidak hanya damar, tetapi juga kamper dan kemenyan. Kamper atau disebut kapur Baros digunakan untuk pengawet (balsem) dan bahan obat, sedangkan kemenyan juga untuk bahan obat keperluan ritual.

Tiga komoditi kuno inilah yang kemudian membentuk pelabuhan Barus di Tanah Batak sebagai pelabuhan penting sejak jaman Mesir kuno. Kamper adalah bahan dasar pembalseman di kuburan raja-raja Mesir kuno. Nama kamper (kapur Barus) bahkan ditemukan dalam teks Ramayana versi Jawa (karpura) dan dalam kitab suci Al Quran sebagai kafura melalui bahasa Persia (lihat The Travels of Marco Polo, a Venetian, in the Thirteenth Century, 1818 ). Nama kemenyan juga muncul dalam Alkitab. Sedangkan damar berguna untuk bahan penerangan dan bahan cat. Sebagaimana disebut Marsden, bahan damar juga telah digunakan penduduk Batak sebagai bahan tinta untuk menulis.

Lantas apakah mushaf yang ditemukan di Alor yang diduga berasal dari Mesir yang ditulis di atas bahan kertas papirus tintanya seperti yang digunakan oleh penduduk Batak dari bahan damar. Papirus di Mesir, damar di Tanah Batak. Sejak zaman Mesir kuno, orang Mesir sudah berniaga ke Tanah Batak di Barus untuk mendapatkan tiga komodiri kuno yang terpenting: kamper, kemenyan dan damar.

Sejauh ini bahan kertas terbuat dari bahan asal tumbuhan. Bahan kertas dari tanaman papirus terbilang bahan yang mampu bertahan dalam jangka panjang di berbagai iklim yang berbeda. Bahan tinta yang berasal dari damar juga terbilang bahan yang tahan lama sebagaimana di jaman kuno bahan damar selain untuk bahan penerangan (dibakar) juga damar digunakan untuk bahan cat untuk melukis.    

Dari mushaf-mushaf kuno yang ditemukan, mushaf Al Quran tersebut ditulis dengan dua warna dasar yakni warna hitam dan warna merah. Dua warna dasar hitam danmerah kerap diasosiakan dengan warna tradisional penduduk Batak zaman kuno.

Kontroversi Mushaf Al Quran Tertua di Indonesia

Satu-satunya bukti bahwa mushaf Al Quran di Medan diklaim sebagai mushaf tertua di Indonesia hanya berdasarkan kolofon atau catatan kaki oleh si penulis. Disebutkan pada kolofon, penulis memberi tanda mushaf selesai pada tanggal 20 Dzulqaidah 1070 H. Tahun 1070 H jika dikonversi sama dengan tahun 1659. Selain itu juga terdapat angka tahun 1074 atau sama dengan tahun 1663.

Seorang ahli mushaf dari Bayt Al Quran dan Museum Istiqlal, Ali Akbar menyoroti angka tahun 1074. Ahli dari Bayt Al Quran dan Museum Istiqlal menduga bahwa pada angka tahun dalam penulisan 1074 terdapat keraguan pada originilitas angka 0 (nol). Ada perbedaan cara penggoresan (ketebalan) tinta yang berbeda antara angka 0 dengan angka yang mendampinginya (angka 7 dan angka 4). Angka 0 seakan tercermin dari angka 2, sehingga angka tahun 1074 lebih tepat angka tahun 1274 atau jika dikonversi sama dengan tahun 1863. Beberapa tahun yang lampau, Ali Akbar telah menyimpulkan tiga mushaf Al Quran tertua di Indonesia yakni yang terdapat di Perpustakaan Nasional (bertarih 1731), mushaf yang terdapat di masjid Riau (bertarih 1753) dan mushaf yang terdapat di Ternate (bertarih 1772).

Mushaf Al Quran tertua yang diklaim di Medan, selain dianggap kontroversi pada penulisan angka tahun, juga yang memunculkan kontroversi adalah mengenai sumber. Tidak diketahui dimana sumber tersebut diperoleh. Hanya disebut bersumber dari pedagang antik.

Sebagaimana kita ketahui selama ini para pedagang antik tidak lazim memiliki sistem penyimpanan khusus untuk benda-benda antik (kuno), apalagi untuk penyimpanan benda yang berbahan kertas. Kita tidak bisa membayangkan suatu benda yang berbahan kertas aman di tangan para kolektor (pedagang antik). Suatu benda yang berumur ratusan tahun (sejak 1659). Benda yang berbahan kertas seumur itu, jika tidak memiliki sistem pengaman dan sistem pemeliharaan yang tepat, tentu sudah sangat rapuh dan tidak mudah berpindah tangan. Kertas berbahan kayu dari Eropa sangat rapuh dimakan zaman, tetapi tidak mudah lapuk dengan kertas berbahan papirus.

Dalam tradisi penulisan sejarah, sebuah benda atau suatu kejadian yang diperhatikan lebih tua akan lebih menimbulkan minat yang lebih tinggi. Demikian halnya soal mushaf Al Quran di Indonesia. Kita terus mencari apakah ada mushaf yang lebih tua dari mushaf Ternate. Ternyata kemudian, ditemukan mushaf yang lebih tua dari mushaf Ternate.

Yang menjadi permasalahan adalah apakah mushaf yang dipamerkan di Medan baru-baru ini merupakan mushaf tertua di Indonesia. Belum dilakukan penelitian yang cermat, tetapi sudah muncul keraguan apakah mushaf yang dipamerkan di Deli benar-benar original buatan tahun 1659 atau buatan tahun 1859 (ada perbedaan waktu 200 tahun).

Sumber sejarah sangat tergantung dari sumbernya. Akan tetapi para analis sejarah (sejarawan) haruslah tetap sebagai orang yang bertanggungjawab untuk memastikan sumber itu sebelum disimpulkan. Sumber juga bisa menjadi palsu karena di masa lampau telah terjadi ketidaksengajaan atau sengaja memutarbalikkan fakta dengan mengubah angka tahun 1274 menjadi angka 1074. Namun untuk memastikan apakah sesuatu itu palsu, ahli sejarahlah yang harus cermat dan berpikiran jernih.

Ibarat kata, pelaku sejarah boleh berbohong tetapi tidak boleh salah. Sebaliknya, ahli sejarah boleh salah tetapi tidak boleh berbohong. Boleh jadi dalam berbagai kasus, para ahli sejarah sudah mengetahui atau menyadari bahwa sumber adalah palsu, tetapi tutup mata untuk itu. Perilaku semacam ini juga dapat dikategorikan membohongi sejarah dan membohongi publik. Para ahli sejarah tidak boleh bersembunyi dibalik (para) sumber yang bersahaja.  

Analisis Ali Akbar terhadap angka tahun pada mushaf yang dipamerkan di Medan boleh jadi salah. Namun dugaan Ali Akbar adanya pemalsuan angka tahun 1274 menjadi 1074 juga tidak bisa dianggap angin lalu. Seharusnya ahli sejarah memiliki kepekaan dan ketelitian terhadap sumber. Sebuah sumber seharusnya dikonfirmasi dengan sumber lain. Namun ahli sejarah tidak cukup bahan untuk membandingkan dengan sumber di tempat lain, karena mereka cenderung hanya terbatas pada kajian tertentu di tempat tertentu. Saya beberapa kali menemukan sumber palsu di berbagai dokumen, peta, lukisan dan foto yang digunakan oleh para ahli sejarah. Saya tidak tahu apakah ahli sejarah tersebut menyadari atau tidak.

Introduksi Penggunaan Kertas di Deli
.
Mushaf yang dipamerkan di Medan hanya mempersoalkan angka tahun pembuatan. Tidak disebutkan siapa yang membuat dan dimana dibuat. Meski mushaf yang dipamerkan di Medan diperoleh dari pedagang antik di Medan tentu saja tidak dengan sendirinya bahwa mushaf itu dibuat di Medan atau di Deli. Seperti halnya mushaf kuno yang ditemukan di Alor meski disebut dibawa dari Ternate, tentu saja belum tentu dibuat di Ternate.

Penggunaan kertas secara masif berkenaan dengan kehadiran orang asing di Nusantara. Kertas produksi Eropa besar kemungkinan dibawa oleh orang Eropa, seperti Portugis, Belanda dan Inggris. Akses untuk mendapat kertas dari orang Eropa tentu tidaklah mudah, karena kertas hanya digunakan terbatas untuk keperluan ekspedisi dan administrasi perdagangan dan pemerintahan.  

Pada era VOC tidak ada alasan yang urgen bagi Belanda untuk berbagi kertas dengan pribumi kecuali dalam situasi dan kondisi yang khusus. Ketika VOC berdagang ke wilayah Maluku, Gowa yang menjadi pintu akses ke Ternate, kesultanan Gowa masih menulis aksara Lontara di dalam kulit kayu.

Pada tahun 1659 (1074 H) Belanda/VOC hanya memiliki kebijakan perdagangan di pantai (pelabuhan). Interaksi dengan penduduk lokal masih longgar. Kebijakan VOC/Belanda yang menjadikan penduduk lokal sebagai subjek baru dimulai pada tahun 1666 (yang menjadi titik awal penaklukan Gowa). Setelah itu baru secara bertahap kerjasama pejabat VOC dengan para pemimpin lokal di berbagai tempat di nusantara dimulai (Bongaisch Contract). Perjanjian-perjanjian dengan pemimpin lokal dibuat dalam tulisan di atas kertas. Kontak VOC/Belanda di Sumatra dimulai di Padang (1666) kemudian di Baros (1668) dan pulau Gontong di muara sungai Siak. Ekspedisi ke pedalaman Jawa sendiri baru dimulai pada tahun-tahun jelang 1700.

Wilayah Atjeh dan pantai timur Sumatra (Sumatra’s Oostkust) tidak terdapat hubungan yang intens dengan VOC/Belanda. Ekspedisi VOC/Belanda dari Malaka baru dilakukan pada tahun 1687dari Siak menuju Pagaroejoeng. Penyelidikan terhadap Riaow sendiri oleh Belanda baru dimulai tahun 1849 oleh ahli bahasa Elisa Netscher. Perjanjian Belanda dengan pemimpin lokal di Riau baru terlaksana tahun 1858. Ketika Elisa Netscher menjadi Residen Riau yang berkedudukan di pulau Bintan, ekspedisi ke Deli baru dimulai tahun 1863. Tahun inilah awal kontak para pemimpib Deli dengan pejabat Belanda.

Ekspedisi ke Deli tahun 1863 menyebabkan (kekuasaan) Atjeh terusir dari Deli. Pengusiran (kekuasaan) Atjeh dari Padang (Sumatra’s Westkust) terjadi tahun 1666. Ada perbedaan waktu 200 tahun pembebasan Atjeh di Padang dan Deli.

Lalu pemerintahan di Deli dimulai secara bertahap. Investor pertama Nienhuys datang ke Deli tahun 1865. Pemerintahan di Padang baru dimulai tahun 1821 dan baru efektif pada tahun 1837. Di Tapanoeli sendiri pemerintahan Belanda baru dimulai di Natal dan Mandailing.Angkola tahun 1840 dan di Baros tahun 1845.

Sulit membayangkan apa yang terjadi pada tahun 1659 di Deli. Pemimpin Deli baru melakukan kontak dengan luar (Belanda) secara intens pada tahun 1865. Sementara di Angkola/Mandaiing pada tahun 1865 sudah terdapat sekolah guru.   

Deli terbilang wilayah yang telat dalam hal pendidikan. Pada tahun 1900 bahkan di Medan sendiri belum terdapat sekolah. Meski demikian, di Medan sudah terdapat sekolah agama. Namun perlu dicatat bahwa penyelenggaraan sekolah agama di Medan tersebut hanya dilakukan secara lisan. Juga di Bindjai bahkan hingga tahun 1902 belum ada sekolah untuk penduduk.

De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 15-10-1897: ‘Dari Dcli. Dilaporkan. Sangat mengejutkan bahwa kesultanan yang berkembang seperti Dcli masih tidak memiliki sekolah untuk anak-anak penduduk pribumi, ada sekolah-sekolah agama, tetapi disana anak-anak hanya mempelajari bagian-bagian Al-Quran dengan lisan’. De Sumatra post, 08-08-1902: ‘Fakta bahwa Bindjey, yang tentu saja merupakan tempat paling penting di pantai timur, belum memiliki sekolah pribumi, sementara Tandjong Poera yang lebih muda sudah memiliki perangkat semacam itu. Kami dapat sepenuhnya setuju dengan keinginan Pertja Timor bahwa Sultan Langkat dapat melanjutkan untuk menyediakan gedung sekolah dan bahwa Pemerintah dapat menunjuk seorang guru untuk mengajar anak-anak di Bindjey’.

Dari gambaran ini, sangat naif mengatakan di Deli pada tahun 1659 sudah tumbuh dan berkembang tradisi menulis dengan menggunakan kertas. Selain itu, sangat naif bahwa pada tahun 1659 di Deli sudah diperkenalkan kertas produksi Eropa. Sementara di Deli sendiri kontak dengan luar (Belanda) baru dimulai pada tahun 1863. Ekspedisi Belanda ke Deli pada bulan Februari 1863 dipimpin oleh Residen Riouw Elisa Netscher. Sebagaimana diketahui Elisa Netscher adalah seorang sarjana linguistik.

Analisis Ali Akbar terhadap mushaf yang dipamerkan di Medan menduga umur mushaf tersebut bertarih 1274 H atau tahun 1863. Pada tahun inilah dimulai kontak Deli dengan luar secara intens. Dengan kata lain, tahun ini kemungkinan penulis-penulis mushaf di Deli mendapat akses untuk menerima kertas Eropa.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar