Laman

Sabtu, 13 Oktober 2018

Sejarah Menjadi Indonesia (9): Sejarah TNI, Tentara Nasional Indonesia; Militer Belanda Tidak Mau Orang Batak Menjadi Tentara


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada dasarnya baru dimulai pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia yang mana sebagai cikalnya adalah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selama perang kemerdekaan, BKR bertransformasi menjadi TNI (seperti yang ada sekarang). Perang kemerdekaan melahirkan TNI.

Bandoeng, 1951
Pada era kolonial Belanda, militer Belanda yang jumlahnya hanya segelintir merekrut pribumi untuk menjadi tentara. Tentara pribumi ini menjadi faktor penting kekuatan militer Belanda. Pribumi yang menjadi langganan memperkuat militer Belanda terutama Ambon, Jawa dan Madura. Diantara pribumi, hanya pribumi Batak yang tidak disertakan dalam militer Belanda. Tidak hanya itu, pemerintah Belanda juga tidak pernah menyertakan pemimpin Batak dalam struktur pemerintahan. Pemerintahan di Residentie Tapanoeli (sejak 1840) adalah satu-satunya pemerintahan di wilayah di Hindia yang tidak menyertakan pemimpin lokal. Itu semua karena rekomendasi Dr. FW Jung Huhn yang mengatakan orang Batak sangat cinta tanah air dan jiwa mereka ada di kepala. Penduduk Batak yang demokratis (tidak ada radja/sultan) diasumsikan bertentangan dengan prinsip koloni. Karena itu, pemerintahan di Tapanoeli langsung berada dibawah pusat (Gubernur Jenderal).

TNI adalah pengawal NKRI. Lantas bagaimana sejarah tentara nasional Indonesia berlangsung. Itu sudah banyak ditulis. Akan tetapi penulisan sejarah tentara nasionak Indonesia sudah sedemikian rupa dibuat tetapi hanya terkesan ringkas. Artikel ini hanya sekadar memperkaya sejarah militer agar bisa melihat detail-detail yang memang masih diperlukan. Lantas seperti apa peran penting tentara asal Batak dalam menjaga NKRI? Mereka telah bertransformasi ke seluruh wilayah Indonesia dengan spirit cinta tanah air. Sperti kita lihat nanti, orang Jawa dan orang Batak umumnya tetap menyukai profesi militer. Mari kita telusuri.

Badan Keamanan Rakyat Menjadi Tentara Keamanan Rakyat

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, bukan suatu yang direncanakan tetapi terjadi secara tiba-tiba. Setelah Jepang takluk kepada sekutu, para pemuda revolusioner menculik dan memaksa Soekarno dan Mohamad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Berita kemerdekaan Indonesia cepat beredar di Djakarta dan sekitarnya dan di wilayah Priangan. Indonesia telah merdeka di Priangan baru malam hari diketahui setelah teks proklamasi dibacakan pukul tujuh malam hari oleh sang penyiar Radio Bandoeng (cikal bakal RRI Bandung), Sakti Alamsyah. Siaran Radio Bandoeng ini bahkan dapat ditangkap di Djogjakarta dan Australia. Sakti Alamsyah dalam pengantarnya, memulai intro sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran Radio Republik Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik Indonesia alias RRI. Salinan teks proklamasi yang dibaca Sakti Alamsyah diperoleh dari Adam Malik (pemimpin Kantor Berita Antara). Teks yang dibacakan Sakti Alamsyah—yang pada waktu itu Sakti Alamsyah masih berumur 23 tahun—ada perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan Sakti dengan teks sebagaimana dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sakti Alamsyah justru menutupnya dengan kalimat "Wakil-wakil Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Padahal, Bung Karno membacakannya dengan kalimat yang jelas terdengar "Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana asal muasal perbedaan teks dan yang dibacakan Soekarno dengan apa yang disuarakan Sakti Alamsyah. Selain itu, penyebutan ‘Radio Republik Indonesia’ untuk menamai diri dalam pengantar siaran, Sakti Alamsyah justru mengabaikan nama yang selama ini diucapkan dengan ‘Radio Bandung Hoshokyoku’. Sekalipun hari itu proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi kenyataannya bentuk negara belum disepakati. Para pemerhati, menganggap teks ‘ala’ Sakti Alamsyah itu sebagai pernyataan futuristik dari lubuk hati dirinya. Padahal negara baru Indonesia justru setelahnya diputuskan berbentuk republik yang notabene juga nama radio nasional baru ditetapkan kemudian persis seperti yang diucapkan pertama kali oleh Sakti Alamsyah: “Di sini Radio Bandung, siaran ‘Radio Republik Indonesia’. Kita harus akui bahwa inisiatif para pekerja khususnya penyiar Radio Bandung Hoshokyoku, Sakti Alamsyah, untuk menyuarakan teks proklamasi di udara yang dapat didengar semua publik jelas-jelas sesuatu keputusan yang berani. Tidak hanya sampai di situ para penyiar Radio Bandung Hoshokyoku tanpa rasa takut terus berulang-ulang menyiarkan naskah proklamasi itu setiap kali ada kesempatan untuk dibacakan kembali. Pertanyaannya: Mengapa justru Radio Bandung yang berani menyiarkannya? Untuk sekadar diketahui, yang membawa salinan teks proklamasi itu dari Djakarta ke Bandoeng dengan kereta api adalah Mochtar Lubis (wartawan Kantor Berita Antara). Adam Malik (Batubara), Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah (Siregar) berperan penting dalam tersiarnya berita kemerdekaan di Bandoeng dan sekitarnya. Ketiga orang anak muda sebaya (lahir di tahun yang sama) ini sama-sama pernah bekerja di Radio Militer Jepang di Djakarta. Adam Malik diketahui sebagai pendiri kantor berita Antara; Mochtar Lubis kelak dikenal sebagai pendiri surat kabar Indonesia Raja dan Sakti Alamsyah (Siregar) kelak dikenal sebagai pendiri surat kabar Pikiran Rakjat Bandung. Motto surat kabar Indonesia Raja dan Pikiran Rakjat sama persis: ‘Dari Rakjat, Oleh Rakjat dan Oentoek Rakjat’.

Pada tanggal 19 Agustus 1945 PPKI melakukan sidang dan memutuskan kedudukan Presiden dan Wakil Presiden dan susunan pemerintahan (kabinet dan kepala daerah). Kabinet bersifat presidentil yang mana sebagai Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Dua nama penting sebagai kandidat menteri dalam susunan kabinet Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan dan Soepriadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Padahal mereka berdua belum bisa dihubungi.

Mr. Amir Sjarifoeddin dan Soepriadi adalah pemilik portofolio tertinggi dalam daftar nama susunan kabinet RI pertama. Mr. Amir Sjarifoeddin menentang pemerintahan militer Jepang, lalu ditangkap dan didakwa hukuman mati. Namun Soekarno melobi militer Jepang dan akhirnya hukuman seumur hidup dan masih di dalam penjara di Malang saat susunan kabinet dibuat. Soeperiadi adalah pemimpin pemberontakan pasukan PETA melawan militer Jepang di Blitar pada bulan Februari 1945.

Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dijemput ke penjara Malang dan dengan kereta api dari Soerabaja ke Djakarta. Akan tetapi Soepriadi tidak pernah ditemukan dan namanya tetap dicantumkan sebagai Menteri Keamanan Rakyat merangkap Panglima. Soepriadi diberi slot Panglima dan sebagai Kepala Staf Umum Oerip Soemohardjo. Oleh karena (Jenderal) Soepriadi tidak pernah muncul, secara defacto, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai puncuk pimpinan militer.

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sudah terbentuk tanggal 7 Agustus 1945, setelah terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 22 Agustus 1945 melakukan sidang. Hasil keputusan sidang antara lain membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Sejak saat inilah dirasakan kebutuhan badan yang mengkoordinasikan keamanan rakyat dan lalu dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). BKR ini dibentuk di berbagai tempat secara swakelola. Di Djakarta, ibukota RI dibentuk BKR oleh para pemuda. Selain BKR juga muncul badan-badan perjuangan yang lain.

BKR Djakarta menjadi representasi BKR Pusat karena secara langsung telah mengamankan pusat pemerintahan di ibukota RI. Para pemuda yang membentuk BKR di Djakarta ini antara lain Zoelkifli Lubis dan Moefreni Moe’min. Pada tanggal 29 Agustus 1945 terbentuk KNIP yang selanjutnya KNIP mengesahkan BKR Djakarta sebagai BKR Pusat.

Pada tanggal 8 September 1945 utusan sekutu yang dipimpin Inggris datang ke Djakarta. Utusan ini datang setelah sebelumnya Soekarno menemui pimpinan sekutu di Singapoera (De patriot, 18-10-1945). Kemudian tanggal 29 September 1945 pasukan sekutu Inggris telah merapat di pelabuhan Tandjong Priok.

Awalnya pasukan sekutu untuk mengamankan tawanan perang yang selama ini dikurung oleh militer Jepang. Namun di tengah jalan Belanda (NICA) ikut di belakang memunculkan reaksi keras dari Indonesia. Kehadiran sekutu (Inggris) menjadi hambar apalagi NICA telah mengkonsolidasikan eks KNIL.

Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo pada tanggal 1 Oktober 1945 mulai membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TRI). Langkah pertama yang dilakukan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo adalah merekrut 17 pemuda cemerlang di Djogjakarta dengan kualifikasi tertentu, antara lain Dr. Ibnoe Soetowo, Ir. MO Parlindungan dan Dr. Irsan Radjamin.

Ir. MO Parlindungan adalah insinyur kimia lulusan Teknik Delft tahun 1942. Ir. MO Parlindungan adalah pribumi kedua yang lulus di sekolah elit dan super sulit tersebut. Lulusan pertama adalah Ir. Soerachman tahun 1922. Mahasiswa pertama di Teknik Delft adalah Raden Sosro Kartono (abang RA Kartini) tahun 1896, namun gagal di tahun pertama. Dalam kabinet RI pertama ini Ir. Soerachman menjabat sebagai Menteri Kemakmuran. Dr. Ibnoe Soetowo lulusan sekolah kedokteran Soerabaja, 1940 dan Dr. Irsan Radjamin, lulusan sekolah kedokteran di Djakarta 1943. Dr. Irsan Radjamin adalah anak Wali Kota Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution. Kelak, pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1950) Letkol Ibnoe Soetowo diangkat sebagai kepala permniyakan nasional (cikal bakal Pertamina); Letkol AFP Siregar gelar MO Parlindungan sebagai kepala Peroesahaan Sendjata dan Mesiu di Bandoeng (cikal bakal PT Pindad); Letkol Irsan Radjamin sebagai kepala Departemen Kesehatan Divisi-Brawijaya di Soerbaja.

Pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara nasional yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat (TRI).
  
Tidak seperti di Djakarta dan sekitarnya serta di Priangan, di kota Medan bahkan berita  kemerdekaaan Indonesia baru diumumkan ke publik pada tanggal 6 Oktober 1945. Pengumuman itu dilaksanakan oleh Mohamad Hasan dan M. Amir. Setelah lima hari berita kemerdekaan Indonesia diumumkan ke publik di Medan, di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945 terjadi peristiwa berdarah yang tidak diinginkan. Peristiwa ini baru diberitakan ke publik tanggal 16 Oktober 1945. Sementara itu di surat kabar dilaporkan bahwa pada tanggal 15 Oktober 1945 di Buitenzorg, 45 km di selatan Batavia tanpa insiden diduduki oleh pasukan Inggris.

Oleh karena begitu ngototnya Inggris untuk memasuki Indonesia, berbagai hal energi terkuras untuk merespon Inggris. Akibatnya Presiden Soekarno tidak ada kesempatan untuk menyempurnakan susunan menteri dalam kabinet. Kabinet (pertama) sendiri baru terbentuk pada tanggal 13 Oktober 1945 dengan daftar sebagai berikut (lihat Keesings historisch archief: 14-10-1945):

Raden Adipati Aria Wiranata Koesoema (Binnenlandsche Zaken); Mr. Achmad Soebardjo (Buitenlandsche Zaken); Prof. Mr. Raden Soepomo (Justitie);  Ir. Soerachman (Maatschappelijk werk); Ki Hadjar Dewantoro (Onderwijs); Dr. Samsi (Financien); Dr. Boentaran Martoatmodjo (Volksgezondheid); Mr. Iwa Koessoema Soemantri (Sociale Zaken); Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap (Voorlichting); Abikoesno Tjokrosoejoso (Verbindingen); Selain itu nama menteri negara adalah sebagai berikut: Dr. Amir, Wachid Hasjim, Mr. Raden Mas Sartono, Mr. Maramis en Otto Iskandar Dinata (zonder portefeuille).

Dengan terbentuknya kabinet RI pertama ini, paling tidak Soekarno dan Hatta tidak sendiri lagi, sudah ada pembantu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kata lain sudah ada tim (kabinet) yang membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam merumuskan dan menjalankan berbagai kebijakan dan program. Namun dari daftar kabinet ini sungguh sangat tidak ideal karena belum ada Menteri Keamanan. Apalagi pada saat yang bersamaan harus menghadapi sekutu yang dipimpin Inggris (yang mana dibelakangnya menguntit Belanda/NICA/KNIL yang ingin menguasai kembali Indonesia).

Peristiwa di Depok tanggal 11 Oktober 1945 tidaklah berdiri sendiri. Itu bukanlah kerusuhan biasa. Adanya kerusuhan di Depok yang menewaskan sedikitnya 15 orang Eropa/Indo boleh jadi telah memicu emosi pasukan Belanda yang sudah mulai melakukan aksinya di lapangan terbang Tjililitan. Berita kerusuhan di Depok secepat angin menyebar di Belanda dan Suriname. Namun kerusuhan di Depok tidak terlalu menyebar di kalangan nasionalis, karena media pribumi yang terbit kembali mungkin masih terbatas dan radio yang mulai diambil alih belum memiliki wartawan ke berbagai pelosok. Kerusuhan di Depok di kalangan nasionalis di berbagai tempat luput dari perhatian (dan mungkin dianggap berita kecil dan tidak menganggap penting), sementara kerusuhan di Depok di kalangan Belanda adalah berita besar.

Tanda-tanda perang kemerdekaaan ini sudah mulai terlihat. Ini dimulai pada tanggal 16 Oktober 1945 yang mana pasukan Belanda telah mengambil kendali lapangan terbang Tjililitan dan pasukan tambahan telah dikirim untuk memperkuatnya. Pada tangga 17 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan nasionalis. Dua pasukan Belanda ditembak nasionalis dari atas pohon dengan senapan mesin (De patriot, 18-10-1945). Inilah kontak pertama nasionalis dengan (pasukan) Belanda/NICA.

Pasukan sekutu Inggris pada tanggal 20 Oktober 1945 mendarat di Semarang dan pada tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya. Lalu pada tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya. Ketika terdesak, tentara Sekutu mengusulkan perdamaian. Pemimpin Sekutu di Soerabaya meminta pemimpin Indonesia (Soekarno) untuk mengadakan gencatan senjata di Surabaya. Soekarno dan Amir Sjarifoeddin ke Soerabaja. Sementara itu, berita kerusuhan di Depok telah begitu menghebohkan. Karena kerusuhan Depok ini merupakan kerusuhan pertama yang terjadi saat mana pasukan Inggris sudah berada di Indonesia (Djakarta, Medan dan Buitenzorg) sedangkan pasukan Belanda/NICA telah bersiap-siap. Sejumlah surat kabar telah melansir laporan korespondensi ANP/Aneta tersebut pada tanggal 16 Oktober 1945, seperti: Telex, Helmondsche courant, Algemeen Handelsblad, Friesch dagblad, De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad dan De waarheid. Selain koran-koran ini melengkapi beritanya pada keesokan harinya (17 Oktober) juga dilansir surat kabar Provinciale Drentsche en Asser courant, Het parool, De nieuwe Nederlander, Helmondsch dagblad, Leeuwarder koerier,  Bredasche courant, Amigoe di Curacao dan Limburgsch dagblad. Pemberitaan kerusuhan Depok ini begitu luas, mulai dari Batavia, Nederlands hingga Suriname.

Dari hari ke hari, tanda-tanda suhu perang semakin menguat. Presiden Soekarno dalam dilema. Sebagian menginginkan dengan jalan tertib dan damai dan sebagian yang lain (terutama dari kalangan pemuda) menginginkan perang. Radio Bandoeng yang dilansir surat kabar berbahasa Belanda melaporkan bahwa Markas Barisan Rakjat tidak bisa menerimanya dan Soekarno harus disalahkan (Provinciale Drentsche en Asser courant, 17-10-1945). Perang akan membawa banyak korban.

Barisan pemuda yang terus mendesak untuk perang dengan Belanda/Inggris. Pemerintah masih berpikir keras dan lebih memilih untuk berdialog (berunding dengan jalan damai). Dalam konteks desakan pemuda di berbagai tempat, gerakan pemuda dalam peristiwa kerusuhan di Depok boleh jadi sudah ‘mencuri start’ dalam perang (mempertahankan kemerdekaan) itu sendiri. Hal ini karena para nasionalis dari golongan muda telah menyandera para pria Depok dan membawanya ke Buitenzorg. Dengan demikian, kerusuhan di Depok bersisi dua: revolusi sosial di satu sisi (internal) dan perang (mempertahankan) kemerdekaan di sisi lain. Sekali lagi, dengan kata lain, kerusuhan di Depok tidak berdiri sendiri. Selain terungkap dalam kerusuhan itu perang suci juga ada indikasi keterlibatan anggota keamanan (yang menjaga tahanan di penjara Paledang) dalam kerusuhan di Depok seperti yang disampaikan dua tahanan yang berhasil melarikan diri sebagaimana dilaporkan surat kabar Telex edisi 22-10-1945

Pasukan Belanda (NICA) terus melakukan konsolidasi dan pasukan dari waktu ke waktu terus mengalir. Belanda semakin bernafsu untuk kembali ke Indonesia (negara yang pernah menjadi jajahannya beberapa abad lamanya). Pasukan sekutu Inggris yang tujuan utama untuk membebaskan tawanan Eropa/Belanda dan melucuti tentara Jepang namun dinamika  politik yang terus berlangsung (antara negara Inggris dan negara Belanda) menjadi dalam posisi dilematis. Oleh karena itu muncul tuntutan dari (pemerintah) Indonesia yang disampaikan kepada komandan sekutu Inggris. Tuntutan itu adalah sebagai berikut (Leeuwarder koerier, 20-10-1945):

1. Tidak ada pasukan Belanda di Indonesia dapat dimasukkan ke darat
2. Semua pasukan Belanda meninggalkan Indonesia.
3. NICA harus tetap keluar dari layanan.
4. Pemerintah sekarang harus diakui sampai masalah ditinjau oleh ‘otoritas dunia’ yang kompeten.
5. Pendudukan tentara sekutu tentara harus dibatasi untuk urusan yang terkait dengan semua tawanan perang dan melucuti tentara Jepang. 

Semua tuntutan itu dalam kenyataannya tidak digubris baik oleh Inggris maupun Belanda. Tampaknya Belanda merasa percaya diri untuk mengambil peran yang lebih luas dari Inggris dan merasa mampu untuk menguasai Indonesia kembali. Di lain pihak, pemerintah yang baru terbentuk di bawah Presiden Soekarno belum mampu sepenuhnya mengkonsolidasikan kelompok-kelompok perlawanan (terutama pemuda) di seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas. Para Gubernur dan Residen yang sudah ditunjuk belum bekerja secara efektif.

Para nasionalis (terutama pemuda) boleh jadi terbagi dua di satu pihak memang misinya untuk mempertahankan kemerdekaan dan pihak yang lain bermotif untuk (balas dendam) yang lalu diikuti dengan menjarah di dalam situasi yang memang belum sepenuhnya terkendali. Di lihat dari sudut prakteknya, kerusuhan di Depok misi mulia (bagi sekolompok) ternodai karena ulah sekolompok yang lain yang melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab.  

Proklamasi Perang di Batavia

Dalam perkembangan selanjutnya setelah kejadian kerusuhan di Depok, dilaporkan telah ditangkap enam nasionalis terkemuka di Buitenzorg untuk diinterogasi yang juga dikaitkan dengan kerusuhan di Depok (Telex, 24-10-1945). Sementara itu seorang yang sudah berada dipenjara 10 hari malarikan diri dari penjara Paledang (sehari sebelum pasukan sekutu Inggris tiba) menceritakan apa yang terjadi di dalam penjara dan bagaimana kondisi para tawanan yang baru datang dibawa dari Depok dengan kereta api dan nasib mereka selama di penjara. Orang tersebut mengatakan mereka dipenjara karena alasan keamanan (Friesch dagblad, 24-10-1945).

Saat Jepang takluk dan pasukan sekutu Inggris mendapat mandat untuk membebaskan tahanan Eropa/Belanda dan melucuti tentara Jepang, polisi-polisi pribumi telah memainkan peran pengganti Jepang. Di penjara Paledang sudah terdapat tahanan tawanan perang. Para polisi penjaga ini juga memainkan peran ganda yakni menambah para tahanan baru dengan merazia orang-orang Eropa/Belanda dan menjebloskannya ke penjara yang sama dengan dalih untuk keamanan. Para sandera dari Depok menambah para tahanan di penjara Paledang. Para polisi ini telah melakukan kekerasan terhadap tahanan tawanan perang. Para polisi ini juga telah melakukan pembiaran terhadap amuk massa ketika polisi dan kelompok pemuda membawa sandera dari Depok tidak melakukan perlindungan yang maksimal ketiga para sandera mendapat tengah digiring. Diduga karena tindakan ini, enam polisi dibawa ke Djakarta untuk diinterogasi pasukan Inggris atas tuduhan penganiayaan tawanan perang di penjara, pembiaran ketika melakukan evakuasi sandera dari Depok dan tidak adanya perawatan yang dilakukan bagi yang terluka selama di penjara (Amigoe di Curacao, 25-10-1945).  

Kerusuhan di Depok begitu menarik perhatian Belanda. Mengapa kerusuhan di Depok muncul timbul spekulasi sebagaimana dilaporkan Provinciale Drentsche en Asser courant, 27-10-1945 dikaitkan dengan seratus lima puluh tahun lalu tentang awalnya Land Depok oleh Cornelis Chastelein yang kemudian mewariskan lahan Depok kepada para budaknya setelah beralih ke agama Kristen. Dalam perkembangan lebih lanjut, kehidupan para warga Depok (Depokker), lebih-lebih dengan masuknya zending memunculkan perbedaan standar hidup yang membedakan dengan penduduk sekitar. Kontras standar hidup dan perbedaan agama inilah yang diduga menjadi faktor penting yang menyebabkan munculnya kerusuhan.

Komunitas Kristen lainnya terdapat di Toegoe dekat Tjilintjing. Dalam perkembangan lebih lanjut dalam menanggapi kasus kerusuhan di Depok, warga Toegoe meminta perlindungan ke pasukan Inggris agar mereka secepatnya dievakuasi dari tempat tinggal mereka. Seorang wanita melaporkan penduduk yang beragama Islam di sekitar terkesan semakin mengganggu. Disepakati bahwa Belanda akan memberikan truk yang diperlukan. Warga Toegoe ini kemudian dievakuasi ke Batavia di Pedjambon  (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-01-1946).

Namun argumen ini belum tentu sepenuhnya benar. Sebab sebelum terjadinya kerusuhan di Depok, ekskalasi politik antara Pemerintah Indonesia dan nasionalis Indonesia di satu pihak dengan pasukan sekutu Inggris dan NICA di pihak lain sudah meningkat tajam.

Dalam permulaan perang ini terindikasi hanya satu saluran pemberitaan di kalangan nasionalis Indonesia yakni Radio Indonesia Bandoeng.-satuDe patriot, 18-10-1945

Sebagai respon terhadap pasukan sekutu Inggris dan NICA yang tidak peduli terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, lalu Tentara Rakjat Indonesia mengumumkan Proklamasi Perang pada tanggal 13 Oktober 1945 dan yang juga hal yang sama dilakukan Oemat Islam sebagaimana dilaporkan Keesings historisch archief: 14-10-1945.

Keesings historisch archief: 14-10-1945: ‘Pada tanggal 13 Oktober diundangkan yang disebut Tentara Rakyat Indonesia mengeluarkan proklamasi yang menyatakan perang terhadap Belanda, Indo, dan yang berafiliasi. Proklamasi merekomendasikan Indonesia untuk memulai perang gerilya, mengatakan: ‘Ketika matahari terbenam kita, masyarakat Indonesia, berperang dengan Belanda. Dalam pernyataan ini kami sarankan semua orang Indonesia untuk mencari musuh - Belanda, Indo-Eropa atau yang berafiliasi. Senjata militer adalah semua jenis senjata api, juga racun, panah beracun, pembakaran, dan semua spesies hewan liar - seperti ular. Perang gerilya akan disandingkan dengan perang ekonomi: tidak akan diizinkan untuk menjual makanan kepada musuh. Pasar harus dimonitor dan yang menjual makanan kepada musuh-musuh kita, akan dihukum berat. Juga dilaporkan bahwa Oemat Islam, yang berarti semua pengikut Muhammad, juga telah membuat deklarasi perang. Semua ulama Islamn di Batavia untuk mengadakan pertemuan doa bagi semua Muslim di Batavia dan sekitarnya telah diadakan, sebagai awal dari sebuah perang suci melawan ‘orang kafir’ Belanda. Selanjutnya, semua ulama dari Islam diminta untuk menyampaikan kepada umatnya untuk menaikkan bendera merah-putih setengah tiang dan juga semua lalu lintas, termasuk trem, sepeda, taksi dan kereta kuda dihentikan sepenuhnya’. Soekarno dalam menanggapi proklamasi perang (dari pemuda dan Islam) ini tidak setuju (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 17-10-1945).

Kerusuhan di Depok yang dilakukan pada tanggal 11 Oktober 1945 seakan telah dimulai lebih awal dan mendahului Proklamasi Perang yang diundangkan pada tanggal 13 Oktober 1945 di Batavia. Perbedaan waktu antara kerusuhan di Depok (11 Oktober) dan maklumat perang di Batavia (13 Oktober) hanya dua hari, sementara dari sisi jarak antara Depok dan Batavia hanya 20 Km. Secara relatif, waktu dan tempat sangat berdekatan. Ini suatu indikasi bahwa kerusuhan di Depok tidak dipandang sebagai kerusuhan yang bersifat lokal, melainkan lebih mencerminkan perang nasional (memiliki keterkaitan dengan Batavia) itu sendiri yang kebetulan TKP-nya dimulai di Depok.

Permulaan perang juga telah direspon pasukan sekutu Inggris. Ini terkesan dari  proklamasi yang dimaklumatkan Mayor Jenderal DC Hawthorne, komandan pasukan darat sekutu di Jawa (yang juga membawahi di Medan dan Padang) pada tanggal 14 Oktober 1945 menyatakan: ‘bahwa ia mengendalikan hukum dan ketertiban, perusahaan publik, mengambilalih pelayanan kesehatan dan makanan. Proklamasi mengutip fakta-fakta berikut yang akan dihukum oleh pemerintahan militer: sabotase, penjarahan, pemogokan di perusahaan publik, menolak untuk menjual kebutuhan untuk alasan apapun dan membawa senjata oleh orang yang bukan bagian dari pasukan sekutu atau polisi berseragam. Semua pertemuan publik, yang menghasut kerusuhan atau kerumunan, dilarang. Sebagian besar pelayanan publik yang dilakukan oleh Indonesia pada saat ini, bekerja secara independen atau di bawah kepemimpinan Jepang. Proklamasi juga menyatakan bahwa semua layanan harus dilaksanakan sekarang memiliki orang-orang untuk bekerja sampai mereka diambilalih oleh pemerintahan militer. Sampai saat itu akan mengontrol layanan yang dilakukan oleh pemerintahan sipil Jepang (lihat juga Keesings historisch archief: 14-10-1945).

Pernyataan sekutu/Inggris pada tanggal 14 Oktober 1945 haruslah diartikan sekutu/Inggris telah memerintah di Indonesia. Padahal sebelumnya, sekutu/Inggris meminta Soekarno hanya sebatas membebaskan tawanan Eropa/Belanda dan melucuti militer Jepang. Perubahan sikap sekutu/Inggris besar dugaan disebabkan dua hal, yakni adanya negosiasi Belanda/NICA di belakang sekutu/Inggris dan eskalasi politik di dalam negeri yang sudah menimbulkan perlawanan terhadap pasukan asing (sekutu/Inggris) yang telah memasuki wilayah Indonesia. Dalam hal inilah kelompok perlawanan di Bandoeng menyebut Soekarno harus bertanggungjawab karena telah memberi jalan bagi sekutu/Inggris memasuki wilayah Indonesia.

Dengan demikian kerusuhan di Depok meski tampak sebagai yang bersifat lokal, tetapi dengan melihat horizon kejadian di berbagai tempat pada waktu yang berdekatan, kerusuhan di Depok adalah bagian dari perang kemerdekaan itu sendiri di area antara Batavia dan Buitenzorg. Berikut adalah tanggal-tanggal kejadian yang berdekatan (sejak pasukan sekutu Inggris merapat di pelabuhan Tandjong Priok tanggal 29 September 1945):

11 Oktober 1945: Kerusuhan di Depok yang didahului informasi pembicaraan di Singapoera tidak menguntungkan karena pasukan sekutu Inggris di Indonesia ternyata ingin masuk lebih jauh (ke pedalaman) untuk mendukung Kerajaan Belanda.
13 Oktober 1945: Kabinet Indonesia pertama terbentuk dengan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin. Proklamasi perang dari (pemerintah) Indonesia (yang juga diikuti oemat Islam). Pasukan sekutu Inggris mendarat di Medan dan di Padang.
14 Oktober 1945: Komandan pasukan sekutu di Jawa mengumumkan proklamsi perang.
15 Oktober 1945: Pasukan sekutu Inggris menduduki Buitenzorg.
16 Oktober 1945: Pasukan Belanda/NICA mengambil kendali lapangan terbang Tjililitan.
17 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan nasionalis di sekitar lapangan terbang Tjililitan.
18 Oktober 1945: Pasukan sekutu Inggris memasuki Bandoeng.
20 Oktober 1945: Pasukan sekutu Inggris mendarat di Semarang.
25 Oktober 1945: Pasukan sekutu Inggris mendarat di Soerabaja.
28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya. Ketika terdesak, tentara sekutu/Inggris mengusulkan perdamaian. Pemimpin militer sekutu/Inggris di Soerabaya meminta pemimpin Indonesia (Soekarno) untuk mengadakan gencatan senjata di Surabaya. Soekarno dan Amir Sjarifoeddin berangkat ke Soerabaja.

Menteri Keamanan Rakyat: Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap

Secara defacto, ketika Soekarno dan Amir Sjarifoeddin ke Soerabaja pasca kerusuhan/gencatan senjata, Amir Sjarifoeddin adalah Menteri Pertahanan/Panglima. Soepriadi kenyataannya tidak pernah muncul.

Namun dalam penulisan sejarah (militer) Indonesia, nama Soepriadi tercatat sebagai Menteri Keamanan Rakyat (yang pertama). Padahal secara defacto, Soepriadi tidak pernah muncul. Heroisme Soepriadi dalam pemberontakan Blitars adalah satu hal, tetapi jabatannya sebagai Menteri Keamanan Rakyat adalah hal lain. Di dalam catatan sejarah, disebutkan pengganti Soepriadi adalah Soeliyoadikusoemo sejak 20 Oktober 1945. Bagaimana mungkin nama seseorang dicatat tetapi kenyataannya yang bersangkutan tidak pernah melakukannya.

Secara defacto untuk urusan pertahanan negara (keamanan rakyat dan reaksi terhadap kehadiran sekutu/Inggris) Oerip Soemohardjo adalah orang yang berperan penting. Namun karena dirinya hanya diposisikan sebagai Kepala Staf Umum tentu tidak maksimal dan di di dalam struktur pemerinahan dalam menghadapi situasi dan kondisi genting menjadi tidak terkoordinasi dengan baik. Sejarusnya Panglimalah yang mendampingi Soekarno ke Soerabaya, tidak hanya Amir Sjarifoeddin. Lantas mengapa Soeliyoadikusoemo tidak ikut ke Soerabaja.

Soekarno dan Mohamad Hatta mulai kewalahan menghadapi permasalahan yang super kompleks. Soekarno mulai mendelegasikan pemerintahan ke sistem parlementer. Soekarno membubarkan kabinet yang dibentuknya dan menunjuk Soetan Sjahrir untuk menjadi perdana menteri dan membentuk kabinet baru. Kabinet baru (Kabinet Sjahrir) diumumkan pada tanggal 14 November 1945. Itu terlaksana setelah terjadi perang besar di Soerabaja pada tanggal 10 November 1945.

Dalam susunan kabinet baru ini yang menjadi Menteri Keamanan Rakyat adalah Mr. Amir Sjarifoeddin. Dalam kabinet ini Mr. Amir Sjarifoeddin juga merangkap sebagai Panglima dan Menteri Penerangan. Posisi Mr. Amir Sjarifoeddin menjadi ‘double gardan’. Ke dalam (domestik), sebagai Menteri Keamanan Rakyat untuk fungsi perencanaan dan koordinasi keamanan strategi pertahanan sehubungan dengan masuknya asing (sekutu/Inggris dan Belanda/NICA), ke luar sebagai Menteri Penerangan untuk fungsi sosialisasi kemerdekaan dan fungsi pencitraan di mata asing/PBB sehubungan dengan evakuasi meiliter Jepang dari Indonesia. Mr. Amir Sjarifoeddin, yang anti Jepang, fortofolio dan kapasitasnya mampu mengemban tugas ini. Mr. Amir Sjarifoeddin, seorang pemberani, secara terbuka melawan pemerintahan militer Jepang dan seorang cerdas yang aktif berpolitik sejak muda dan orator yang mampu memberi semangat yang setara dengan Soekarno.

Dalam situasi dan kondisi negeri yang kompleks saat itu, figur Mr. Amir Sjarifoeddin tidak tergantikan. Dengan posisi Mr. Amir Sjarifoeddin sebagai fungsi ‘double gardan’ akan sendirinya memuat Soekarno, Mohamad Hatta dan Soetan Sjahrir akan bekerja dengan efektif. Mereka berempatlah the founding father Indonesia yang sebenarnya.  

Sebagai Menteri Keamanan Rakyat yang merangkap Panglima, Mr. Amir Sjarifoeddin mulai melakukan pengaturan terhadap organisasi keamanan dan pertahanan yang selama ini belum maksimal dilakukan oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.

Mr. Amir Sjarifoeddin meminta Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk mengadakan konferensi diantara para pimpin militer untuk menentukan pimpinannya sebagai Panglima untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin akan fokus pada fungsi manajemen keamanan dan pertahanan, dan Panglima yang memimpin pertempuran di lapangan. Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer tertinggi sebagai panglima. Yang terpilih adalah Soedirman salah satu pimpinan TKR/TRI dengan pangkat Jenderal. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteria Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin mengangkat Kolonel Soedirman menjadi Panglima pada tanggal 18 Desember 1945. Dengan demikian fungsi perencanan dan pengaturan (anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin dan pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima Soedirman. Sebagai panglima yang baru, Mr. Amir Sjarifoeddin memberi layanan tersendiri bagi Jenderal Soedirman dengan menunjuk dokter berbakat Dr. Willer Hutagalung sebagai dokter pribadi Jenderal Soedirman.

Sementara Menteri Amir Sjarifoeddin dan Panglima Soedirman mulai bekerja dalam kabinet baru (yang secara resmi dimulai tanggal 14 November 1945), benturan antara pasukan sekutu/Inggris dengan kelompok-kelompok perlawanan (TKR/Lanskar) semakin memuncak. Juga tekanan pimpinan militer sekutu/Inggris yang membonceng NICA semakin terus menekan di bidang politik. Perdana Menteri Sjahrir terus berjuang dan berhadapan langsung dengan asing di tingkat politik. Praktis dua matahari di kabinet ini mendapat beban pekerjaan yang tiada bandingnya.

Tekanan sekutu/Inggris yang dibelakangnya berada pasukan-pasukan Belanda/NICA yang terus mengalir ke Batavia/Djakarta membuat suasana pemerintahan tidak kondusif. Lalu muncul kebijakan baru untuk memindahkan ibukota dari Djakarta ke Djogjakarta. Sikap pasukan sekutu/Inggris sebagai korps Eropa yang membonceng Belanda/NICA berubah dari pembebasan interniran dan pelucutan militer Jepang menjadi wujud aneksasi. Sejak inilah pasukan sekutu/Inggris plus pasukan Belanda/NICA berperang dengan kelompok-kelompok perlawanan Indonesia. Sementara secara berangsur-angsur pejabat dan politisi Indonesia meninggal Djakarta/Batavia menuju Djogjakarta. Pada saat perpindahan ini Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima terus melakukan penataan dan pembentukan struktur organisasi tentara Indonesia agar menjadi lebih kuat melawan para imperialis (Inggris/Belanda).  

Sekutu sudah nekad. Di Bandoeng, pimpinan pasukan sekutu/Inggris memberi ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya. Menteri Pertahanan (sebelumnya bernama Menteri Keamanan Rakyat), Amir Sjarifuddin Harahap lantas bergegas ke Bandung dan mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution.

Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima). Sejak ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Dengan struktur baru ini, Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi Panglima Divisi-3/Siliwangi.   

Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi-3/Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota. Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946). Terjadinya kobaran api yang besar ini dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’.

Ultimatim tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada tanggal 21 November 1945 yang mana tentara sekutu meminta Bandung Utara dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah insiden. Pasukan sekutu sendiri mendarat di Bandung sejak 17 Oktober 1945.

Pemerintah RI di Djakarta/Batavia pada akhirnya evakuasi semuanya ke Djogjakarta. Rombongan terakhir dalam perpindahan pemerintahan Republik ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Penerangan dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap (adik Mr. Amir Sjarifoeddin). Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Djogjakarta yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946).

Sementara pasukan sekutu/Inggris masih bekerja yang dibantu dari belakang oleh pasukan Belanda/NICA, pemerintahan darurat Belanda/NICA secara perlahan dibentuk yang dimulai di Batavia/Djakarta. Kedatangan Belanda/NICA bagi Republiken sejati adalah perang, tetapi tidak sedikit orang Indonesia yang justru senang dengan kehadiran Belanda. Mereka yang senang inilah faktor penting mengapa Belanda/NICA cepat membentuk pemerintahan, sementara pemerintah RI yang terus di desak sekutu/Inggris masih belum terkonsolidasi dengan baik. Penduduk Idnoesia menjadi terbelah: Republiken (pejuang sejati) dan para kolaborator (penghianat bangsa).

Tentara Republik Indonesia: Formasi Awal Tentara Nasional Indonesia

Tentara Republik Indonesia (TRI) berarti ada Tentara Non Republik Indonesia. Mereka ini adalah militer sekutu/Inggris, militer Belanda/NICA dan orang Indonesia yang mengharapkan kedatangan Belanda dan orang Indonesia yang menyeberang ke kubu lawan. Pada saat era TRI ini, Republik Indonesia tengah berhadapan dengan Belanda yang kembali ke Indonesia yang disebut NICA. Untuk menyempurnakan struktur organisasi tentara Republik Indonesia dengan semakin menguatnya pasukan Belanda yang telah mengambil alih fungsi dan peran tentara sekutu/Inggris, pemerintah RI membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan) dan struktur kemiliteran (yang dipimpin Panglima). Dalam pengumuman ini juga Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Nama-nama para pimpinan BKR/TKR ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.

Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soeyo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibyo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). 'Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.

Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut jenderal (Soedirman, sebagai Panglima). Pangkat di bawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo, sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel. Dalam fase reorganisasi ketenataran ini, pemerintah melakukan proses politik yang berujung pada stuatu perundingan dan perjanjian.

Pertempuran yang tidak berkesudahan lalu kemudian terjadi proses diplomatik yang ditindaklanjuti dengan suatu perundingan antara pemerintah Indonesia (PM Soetan Sjahrir) dengan pajabat NICA di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Batavia.Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara resmi oleh kedua belah pihak pada 25 Maret 1947. Hasil perjanjian Linggarjati ini mendapat rekasi pro dan kontra di kalangan Indonesia,

Keamanan dan pertahanan bukanya semakin membaik. Implementasi perjanjian dari hasil perundingan tidak berjalan dengan baik. Serangan dilawan dengan serangan. Penafsiran terhadap butur-butir perjanjian berbeda antara Belanda dan Indonesia. Belanda/NICA yang semakin menguat mulai bertingkah dan arogan. Gubernur Jendral HJ van Mook pada tanggal 20 Juli 1947 menyatakan sepihak bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian Liggarjati sehari kemudian pada tanggal 21 Juli 1947 mulai melancarkan aneksasi yang disebut dengan Agresi Militer Belanda I.

Reorganisasi Militer Ala Mohamad Hatta

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar