Laman

Minggu, 27 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (12): Diponegoro 1825, Pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat; Luit.Col. HG Nahuijs, Residen di Soeracarta


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Dua tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) adalah Pangeran Diponegoro dan Residen Nahuijs. Dalam hal ini, Diponegoro adalah pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat, sementara Luitenant Colonel HG Nahuijs adalah mantan Residen Soeracarta. Keduanya adalah sama-sama pahlawan. Pangeran Diponegoro menjadi pahlawan (nasional) Indonesia dan Residen Nahuijs menjadi pahlawan (lokal) Belanda.

Dalam penulisan sejarah di berbagai tempat di Indonesia, setiap tokoh lokal digambarkan melawan (keseluruhan orang) Belanda dan sebaliknya orang Belanda hanya menyebut pejabat tertentu menghadapi perlawanan pemimpin lokal tertentu. Karena itu terkesan pemimpin lokal tertentu muncul sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi Belanda, sementara nama pejabat tertentu tenggelam sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi pemimpin lokal. Faktanya Hindia (baca: Indonesia) itu sangat luas dan orang-orang Belanda menyebar di berbagai tempat sebagai pejabat. Oleh karena itu dalam sejarah Indonesia hanya muncul nama-nama sebelum dan sesudah Pangeran Diponegoro seperti Sultan Hasanoedin dan Radja Sisingamangaradja. Sementara siapa itu Admiral Spelman dan siapa itu para Gubernur Sumatra’s Weskust kurang dikenal. Setali tiga uang, bagaimana pemimpin lokal (pahlawan nasional) menghadapi musuh lokal (penghianat bangsa) juga kurang terinformasikan. Akibatnya pahala para pahlawan nasional dicatat dengan rinci (bahkan ada yang ditambahkan) sementara seberapa besar dosa para penghianat bangsa dilupakan begitu saja, seakan tidak memiliki kesalahan apa-apa.  

Bagaimana Pangeran Diponegoro berhadapan (head to head) dengan Residen Nahuijs jarang atau nyaris tidak terinformasikan. Padahal kedua tokoh ini berada di waktu dan tempat yang sama. Residen Nahuijs adalah satu-satunya pejabat tertinggi di wilayah Djocjocarta sementara Pangeran Diponegoro adalah satu-satunya pemimpin lokal terkenal yang terang-terangan melakukan perlawanan terhadap kehadiran orang asing. Dalam penulisan sejarah, detail peristiwa kurang tergambarkan dengan jelas akibatnya kita kurang mendapatkan landasan (domain) sejarah. Untuk itu mari kita telusuri ke TKP berdasarkan sumber-sumber yang ada pada masa lampau.

Salah satu contoh kurangnya landasan (domain) sejarah adalah dalam penggambaran sang tokoh pahlawan Pangeran Diponegoro dihubungkan dengan hal yang tak bertalian. Penulis Belanda menyebutkan awal peristiwa Perang Jawa terkait dengan pembangunan kereta api, padahal pembangunan kereta api di wilayah Djocjocarta baru dimulai tahun 1880an padahal peristiwa yang dilukiskan terjadi pada tahun 1820an. Semua itu muncul karena dalam penulisan sejarah, detail peristiwa cenderung dilupakan, padahal inti peristiwa ada disitu. Inti yang menyebabkan eskalasi politik menjadi eksplosif. Mengapa kesalahan paralaksis muncul disebabkan dua hal, pertama kurangnya penggalian data. Suatu peristiwa yang jauh di masa lampau data menjadi terpencar-pencar dan banyak yang hilang atau belum ditemukan. Upaya menemukan itu tidak dilakukan secara maksimal. Celakanya minimalis data diperkaya dengan data rekaan. Kedua, dalam analisis kurang memperhatikan konteks peristiwa (luasnya dampak yang timbul). Penulisan sejarah menjadi hanya fokus pada satu titik dan abai menguji korelasi dengan kejadian di tempat lain pada waktu yang sama. Mengabaikan konteks ini membuat sejarah itu menjadi sempit dan bersifat lokal dan adakalanya hanya disimpulkan dalam satu kalimat (yang memungkinkan upaya penggelembungan dan pengkerdilan). Padahal suatu peristiwa lokal jika dianalisis secara kontekstual maka akan diketahui apakah skala peristiwa sebagai ukuran lokal atau ukuran nasional. Dalam hal ini, seorang pahlawan apakah dikategorikan sebagai pahlawan lokal atau pahlawan nasional. Suatu kesalahan atau kebohongan penulisan sejarah di masa laly pada waktunya akan memunculkan kontroversi. Sebab data baru yang lebih otentik bermunculan, cara menganalisis juga semakin komprehensif. Dalam sejarah gotong royong masa kini yang juga memperhitungkan kuota, setiap wilayah atau daerah harus terwakili dalam sejarah nasional. Pemahaman semacam ini akan membawa konsekuensi. Boleh jadi seorang tokoh yang seharusnya bergelar pahlawan lokal ditempatkan sebagai pahlawan nasional, sebaliknya seorang tokoh yang seharusnya bergelar pahlawan nasional ditempatkan sebagai pahlawan lokal. Tentu saja yang paling runyam jika dan hanya jika seorang tokoh penghianat bangsa Indonesia dimasukkan sebagai pahlawan nasional Indonesia.     

Residen HG Nahuijs di Soeracarta dan Djocjocarta

Pada tahun 1822 HG Nahuijs harus meninggalkan posisinya sebagai Residen Soeracarta dan ditempatkan di Djocjocarta sebagai Residen yang baru. Residen di Soeracarta ditempati oleh seorang sipil. HG Nahuijs yang berpangkat Luitenant Colonel sangat diperlukan untuk memimpin wilayah baru, suatu wilayah baru yang kaya sumberdaya alam, jumlah penduduk yang besar dan terdapatnya kraton besar, Kraton Djocjocarta. HG Nahuijs langsung mendapat masalah, gunung Merapi meletus pada akhir tahun 1822. HG Nahuijs harus bekerja keras memulihkan situasi dan kondisi penduduk.

HG Nahuijs adalah orang pertama Eropa yang berhasil mencapai puncak dan kawah gunung Merapi. HG Nahuijs dan kawan-kawan yang ditemani sebanyak 70 orang Solo pada tahun 1820 mendaki gunung Merapi.

HG Nahuijs dalam posisinya sebagai Residen Djocjocarta awalnya berjalan normal. Namun secara perlahan-lahan mulai terasa ada gejolak politik terutama di lingkungan kraton Djogjocarta. Salah satu pangeran yakni Pangeran Diponegoro mulai melakukan perlawanan sehubungan dengan semakin intensnya kehadiran orang-orang Eropa/Belanda di wilayah Djocjocarta.

Perlawanan Pangeran Diponegoro segera disambut sejumlah pangeran dan para bupati di berbagai tempat. Untuk mengatasi situasi dan meredam gejolak yang muncul, HG Nahuijs melakukan sejumlah ekspedisi ke berbagai tempat. Para pengikut Pangeran Diponegoro juga muncul di berbagai tempat melakukan pemberotantakn. HG Nahuijs mulai kewalahan (Bataviasche courant, 22-12-1827). Luitenan Generaal de Kock mengirim Majoot General Holsman untuk mengatasi pemberontakan di Rembang.  

Peta 1829a
Djogjocarta sebagai pusat perlawanan, Gubernur Jenderal mulai menyusun pengadaan prajurit di wilayah Djocjocarta. Kolonel Cochuis diputuskan untuk memimpin pasukan gabungan di selatan dan barat Djocjocarta (Bataviasche courant, 22-12-1827). Kolonel Cochuis dibantu oleh Letnan Kolonel Vexela di barat Djocjocarta dan Letnan Kolonel Sollewijn di selatan Djogjacarta. Pasukan Belanda di selatan dan barat Djocjocarta diperkuat dengan prajurit-prajurit Ambon dan Makassar. Salah satu perwira dari Sollewijn yang cukup terkenal adalah Letnan satu Boelhouwer. Letnan Kolonel Sollewijn di selatan Djogjacarta juga dibanti oleh Majoor Spengler (lihat Javasche courant, 06-05-1828).

Boelhouwer diangkat sebagai Letnan Dua di Regiment Infantrie No.18 (Leydse courant, 14-05-1921). Pada tahun 1924 Letnan Dua Boelhouwer dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Satu (Bataviasche courant, 03-12-1824). Ketika pemberontakan di Djocjocarta semakin memanas, Letnan Satu Boelhouwer tetampatkan di bawah komando Letnan Kolonel.

Djogjocarta: Daerah Operasi Militer (DOM)

Pada fase puncak perlawanan Pengeran Diponegoro dengan otoritas Belanda di Djocjocarta dan sekitarnya diberlakukan di Djocjocarta sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Komando teritorial di bawah pimpinan Kolonel Cochius yang mana sebagai atasanya adalah Luitenan Generaal de Kock. Markas Kolonel Cochius berada di garnisun militer yang dibangun di belakang kantor Residen (sebelah barat benteng Vredeburg).

Peta 1829b
Satuan komando di wilayah Djocjakarta, Kolonel Cochius dibantu oleh sejumlah perwira yang menempati benteng-benteng dan garnisun-garnisun yang mengapit lingkungan kraton. Luitenan Colonel Sollewijn menempati garnisun di barat daya kraton di Kaliwatang; Luitenan Colonel Ledel di Sentolo; Luit. Colonel Le Bron de Vexela di barat kraton di Tegalwaroe; Majoor Spengler di selatan kraton di Tankielan; Majoor Errembault de Dudzeeley di Gamplong/Kemoeso; Captaine Prager di Mangieran/Jedak.

Dalam pertempuran terakhir, pasukan Luitenan Colonel Sollewijn yang mematahkan kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro. Panglima Pangeran Diponegoro, Sentot berhasil dilumpuhkan, setelah luka-luka yang dialaminya kemudian meninggal dunia. Pangeran Diponegoro dengan kekuatan yang tersisa sebanyak 1.000 orang terus bergerak menjauh dari kejaran militer Belanda.

Anak tertua Pangeran Diponegoro, Adipati Anom dan Raden Hassan Mahmeid, yang juga disebut Soekoor, mantan Bupati Semarang telah menyerah dan dikirim ke Luitenan Colonel Sollewijn. Untuk membawa mereka ini ke Djogjocarta diperintahkan untuk dikawal oleh Letnan Satu Boelhouwer. Di Djogjocarta mereka ini akan dimasukkan dalam penjara,

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar