Laman

Selasa, 12 Februari 2019

Sejarah Kota Ambon (7): Sejarah Tual Beragama Islam, Melawan Belanda di Pulau Kei; Kampong Tual 1824 Kini Jadi Kota


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Ambon dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Tual adalah sejarah yang sangat jarang diungkapkan. Padahal catatan (data) sejarah Tual (di Pulau Kei) bahkan terbilang cukup lengkap. Boleh jadi itu karena posisi wilayah Tual jauh berada di lingkar orbit perjalanan sejarah lokal (yang berpusat di Ambon) dan sejarah nasional (yang berpusat di Jakarta). Wilayah Tual dalam hal ini berada di tengah lautan, terpencil, di arah tenggara Kota Ambon. Meski demikian, ternyata Kota Tual memiliki sejarah tersendiri.

Pelabuhan Tual (1862-1888)
Kampong Tual adalah kampong paling strategis di wilayah bupati (Regent) Dullah di pulau Kei (Kecil). Kampong ini kali pertama didatangi oleh asing (Belanda) pada tahun 1824. Kampung Tual yang awalnya dihuni oleh pedagang-pedagang Bugis yang berniaga dengan penduduk Dullah yang sudah beragama Islam, lambat-laun dijadikan Belanda sebagai pusat perdagangan di seputar pulau Kei (Kecil dan Besar). Tual yang dulu kampong kecil kini menjadi kota besar. Kota Tual sejak 2007 telah menjadi kota otonom, yang mana sebelumnya Kota Tual sebagai ibukota Kabupaten Maluku Tenggara.

Lantas bagaimana sejarah Tual? Artikel ini mendeskripsikan sejarah Tual sejak 1824. Suatu sejarah yang dapat dikatakan sejarah yang jauh di masa lampau, suatu kurun waktu yang dapat dikelompokkan ke dalam sejumlah kota-kota di Indonesia. Untuk menambah perspektif wilayah, keberadaan Tual dapat disandingkan dengan tetangga terdekatnya Merauke. Mari kita telusuri berdasarkan data dan informasi masa lampau.

Dalam sejarah navigasi pelayaran, pelaut-pelaut Portugis yang menemukan pulau Kei. Pelaut-pelaut Pottugis menandai pulau tersebut dengan nama Cayos (Portugis: cayos=terumbu). Namun dalam perjalanan waktu pelaut-pelaut Inggris dan Belanda merusaknya sesuai lafal yang mudah bagi mereka dengan Keij atau Key dan kemudian menjadi Kei. Nama pulau Kei Besar dan pulai Kei Kecil cukup lama eksis hingga para pelancong Jerman dan pelancong Italia menemukan fakta bahwa pulau Kei Kecil terbagi dua yakni pulau Kei Kecil dan pulau Doellah yang dipisahkan oleh selat sempit (disebut selat Rosenberg sesuai penemunya). Di selat ini mereka temukan sebuah kampong bernama Toeallah yang berada di sisi barat pulau Doellah yang sering dikunjungi oleh pedagang-pedagang Makassar dan Bugis. Para pelancong tersebut menulis di dalam laporan mereka bahwa kampong Toeallah sebagai pelabuhan strategis, luas dan tertutup dari semua arah angin. Keutamaan pulau Doellah sebagai pusat perdagangan di sekitar munculnya penyebutan nama pulau dekat pulau Doellah sebagai pulau Doellah Laoet. Dalam perkembangannya nama kampong Doellah tetap eksis, tetapi nama kampong Toeallah dikorting pemerintah Belanda hanya ditulis dengan Toeal saja.
.
Pembentukan Awal Pemerintahan di Toeal, 1890

Pemerintahan di pulau-pulau selatan paling tidak sudah ada pada tahun 1890 (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 13-11-1890). Disebutkan Pemerintah telah menempatkan Controleur yang berkedudukan di Toeal. Beberapa tahun sebelumnya sudah mulai ada aktivitas misionaris Katolik di Toeal dan membangun rumah (peribadatan) pertama di Linggoer (dekat Toeal) pada tahun 1888. Dari pos misionaris ini disebutkan akan diperluas ke beberapa tempat. Disebutkan di pasar Toeal sendiri Islam telah mengakar sejak lama.

Rumah Imam (pemimpin) di Toeal, 1824
Kampong Toeal kali pertama didatangi oleh orang Eropa/Belanda pada tahun 1824 (lihat Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1863). Komisaris yang dikirim ingin menjalin komunikasi terutama dengan Bupate (Regent) Dullah. Pada tahun 1836 kembali datang komisi pemerintah. Namun Bupati enggan bertemu karena beberapa waktu sebelumnya anak berselisih dengan orang Eropa/Belanda. Komisaris mengajukan tuntutan yang ditulis dalam bahasa Arab. Lalu setelah itu dilakukan perjanjian damai dan bendera tri color mulai berkibar. Gubernur Jenderal Pahud pernah berkunjung pada tahun 1860.

Namun permasalahan tidak pernah selesai. Pada tahun 1883 salah satu penjaga pos di (pulau) Kei Mr. A Langen di Toeal melaporkan orang Eropa/Belanda diusir (lihat Bataviaasch handelsblad, 03-10-1883). Orang Eropa/Belanda tersebut sebelumnya sebanyak tujuh orang telah diberikan izin untuk menetap untuk membeli dan mengumpulkan kopra dan kayu. Petugas pos tersebut menerima pemberitahuan dari orang-orang Eropa/Belanda tersebut bahwa keamanan orang-orang Eropa yang hadir diToeal diancam oleh penduduk Muslim. Sebuah ekspedisi dengan menggunakan kapal perang pada tanggal 23 bulan sebelumnya telah dikirim dari Samarang untuk menyelidiki masalah ini dan untuk mengambil tindakan. Perselisihan ini kemudian dapat diselesaikan pada bulan Oktober 1883 (lihat De locomotief, 30-10-1884). Sejak perselisihan yang terakhir inilah diduga perjanjian diperbarui dan dimulainya pembentukan pemerintahan dengan menempatkan Controleur di Toeal.

Sebelum misionaris Katolik masuk, penduduk di Kepulauan Kei belum semuanya beragama Islam. Di Toeal terdapat komunitas Bugis yang memiliki hubungan perdagangan dengan pedagang yang datang dari Singapoera. Pedagang Singapoera ini adakalanya membayar barang dagangan dengan menukar senjata, Orang-orang Bugis memiliki kerjasama yang baik dengan penduduk asli baik yang beragama Islam maupun yang belum beragama. Di sejumlah tempat penduduk masih pagan (menganut kepercayaan tradisi). Deskripsi Kepulauan Kei pada tahun 1840 sebagai berikut:

Pulau Kei Kecil terdiri dari empat distrik, yaitu: Distrik Doelah, yang diperintah oleh Regent atau biasa disebut Raja, kepadanya ditambahkan seorang jabatan OrangKaja dan seorang Kapten . Di sdistrik Doelah terdapat sebelas kampung yakni Lepta, Timdalam, Nengeriet Doeroa, Letman, Ringiar, Taniel, Hoetahijd, Hoetiel dan Wattivan. Pulau-pulau, yang terletak di sebelah barat Doelah adalah Romadan, Ranan, Mewa Oeimaas, Bayer, Soewa, Tiaar, Jerowa, Toehoemeo, Liek, Urbal, Waha dan Dablilien, sebagian besar tidak berpenghuni dan hanya dikunjungi oleh penduduk lokal untuk mengumpulkan tripang. Penduduknya hampir seluruhnya Islam dimana terdapat sebuah masjid di kampung bernama Raja.

Distrik kedua, yang disebut Toeal, adalah, seperti Doelan, di bawah seorang Rgent/Bupati, kepada siapa seorang Kapten dan seorang Orang Kaija telah ditambahkan. Distrik ini berisi sepuluh kampung, yaitu: Toeal, Linggoer Kilsur, Taar, Yuan, Heilok, Romdian, Geelgofo, Hadier dan Hilwiek dengan populasi 1000 jiwa. Pulau-pulau yang termasuk dalam regent ini adalah: Erij, Godang, Naaf, Oeter, Oeboer, Krain, Kaijgen dan Watteloos, yang semuanya tidak berpenghuni. Terdapat sebuah masjid di Negorij Toeal dimana ditemukan komunitas Boegis. Imam Mohammaden sebelumnya pernah di Toela tetapi sudah menetap di Papua dengan keluarganya.

Distrik ketiga disebut Waijen. Distrik ini tidak belum memiliki Bupati setelah meningggalnya bupati mereka. Distrik ini terdiri dari delapan kampung, yakni Wasso, Abbeen Lakielo, Laar, Dannaar, Oedier, Waijraa, dan Somlaijen. Hampir semua penduduk asli adalah pagan. Distrik keempat adalah Toetoaat juga belum memiliki kepala pemerintahan, karena Regent telah meninggal baru-baru ini. Distrik ini terdiri dari dua belas kampung yakni Dabaet, Dian, Le toe, Warwoet, Waal, Sethian, Mabo, Aijwu, Abraa, Eomaat, Aijtum dan Eawaab. Distrik ini termasuk pulau-pulau: Naij, Amoet, Varkilkon, Tangoran, Waihoe, Jarriese, Heuvaa Watokmaas, Hawat, Goetetier, Vanbes dan Odioen. Populasi distrik ini juga umumnya pagan.

Pulau Kei Besar juga terbagi ke dalam beberapa distrik. Pulau Kei Besar terbilang padat penduduknya. Penduduk Distrik Ellat sebagian besar adalah Muslim yang berada di bawah Bupati Mohammedan. Distrik di selatan pulau Nierong masih pagan. Distrik Feer dibawah Bupati Mohammedan yang ditambahkan Orang-kaija dan Iman Hassan. Imam ini memiliki pengaruh besar. Distrik di utara yang dipimpin bupati sebagian Muslim dan sebagian masih pagan. Distrik Ettie berpenduduk Muslim.

Para pemimpin Islam di kedua pulau mengerti bahasa Melayu dengan sangat baik dan berbicara bahasa itu dengan cakap. Oleh karena itu tidak sulit bagi para pedagang yang datang. Para pedagang, yang datang berasal dari Banda dan Makasser dan umumnya berlabuh di Toeal. Selain komoditi perdagangan, Groot dan Klein Kei terbilang subur dan memasok beras, jagung, oebie, tembakau, dan sagu, cukup untuk semua populasi.

Peta Kepulauan Kei (1600-1640)
Kampong Toeal pada dasarnya kampong baru, namun tidak diketahui sejak kapan kampong ini ada. Komunitas penduduk yang ada di Kampong Toeal adalah penduduk yang berasal dari Makassar. Mereka ada pedagang yang sudah lama menetap di kampong Toeal. Berdasarkan peta-peta kuno, pulau Kei Besar lebih dikenal daripada pulau Kei Kecil. Pada Peta 1600-1640 nama-nama kampong di pulau Kei Besar sudah diidentifikasi seperti Ellat, Elli, Haar, Laer dan lainnya, sementara di pulai Kei Kecil belum ada nama kampong yang diidentifikasi. Dalam peta yang lebih muda Peta 1695 nama Kampong Elat saja yang teridentifikasi.
.
Peta Kepulauan Kei 1836
Dalam peta dua abad kemudian, Peta 1836 di pulau-pulai Kei Kecil hanya kampong Doellah yang diidentifikasi, sementara di pulau Kei Besar ada tiga kampong yang diidentifikasi yakni Haer, Elli dan Feer. Ini mengindikasikan bahwa setiap kampung yang ada di pulau Kei Besar dan pulai Kei Kecil pada era yang berbeda terjadi pasang surut. Kampong Toeal mulai dikenal sebelum tahun 1840 karena di kampong tersebut terjadi perlawanan terhadap orang asing (pedagang orang-orang Eropa/Belanda). Posisi kampong Toeal sendiri terbilang strategis, selain barada di tengah kepulaian Kei, posisinya juga berada di selat yang sempit dengan permukaan laut yang lebih tenang dari gangguan ombak besar. Tampaknya orang-orang Eropa/Belanda juga melihat posisi strategis kampong ini untuk dijadikan sebagai pangkalan (pos) perdagangan. Namun, komunitas Makassar yang sudah terkait erat dengan kampong-kampong lainnya seperti kampong Doellah merasa terganggu dengan kehadiran orang-orang Eropa/Belanda di kawasan selat tersebut. Perselisihan timbul yang akhirnya terjadi perang.

Bagaimana orang-orang Makassar dan Boegis sampai di kepulauan Kei sudah barang tentu karena kemampuan mereka dalam bidang navigasi pelayaran. Orang Makassar dan Boegis sudah sejak lama bergama Islam. Selain orang-orang Ternate, Tidore dan Hitoe yang sudah diketahui beragama Islam sejak era Portugis, secara bersama-sama dengan orang-orang Makassar dan Boegis yang diduga kuat membawa agama Islam di Kepulauan Kei. Migrasi orang-orang Makassar sendiri ke Kepulauan Kei diduga semakin masif pasca perang Gowa di Somba Opoe (1667). Para pengeran Makassar yang tidak menerima kehadiran VOC/Belanda di Somba Opoe melarikan diri ke selatan yang diduga kuat menuju Bima (Sombawa) dan (kepulauan) Kei di pulau Doellah. Para pengeran-pangeran Makassar inilah yang diduga membentuk kerajaan-kerajaan kecil di wilayah kepulauan Kei.

Setelah tahun 1840 sejumlah laporan dari Kepulauan Kei dipublikasikan. Pada tahun 1855 deskripsi Kepulauan Kei diterbitkan oleh Bataviasche Genootshap yang didalmnya termasuk deskripsi tahun 1840. Lalu kemudian muncul tulisan yang diterbitkan pada tahun 1862. Semua laporan-laporan tersebut diakumulasi yang ringkasannya dimuat pada Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1863. Selain itu, peta-peta Kepulauan Kei mulai dipublikasikan. Peta tertua tentang Kepulauan Kei dibuat pada tahun 1872. Peta ini diduga peta tertua tentang peta Kepulauan Kei. Peta kedua dipublikasikan pada tahun 1875 dan kemudian muncul peta yang lebih baru yang dipublikasikan pada tahun 1877.

Toeal (Peta 1877)
Peta publikasi 1877 lebih detail dan tampak lebih sempurna jika dibandingkan dengan dua peta sebelumnya. Nama-nama kampong yang diidentifikasi di pulau Kei Kecil adalah Doellah, Lebeton, Tantandan, Difoet, Toeal dan Langoer. Sementara nama-nama kampong yang didentifikasi di pulau Kei Besar adalah Ellat, Nirong, Larra, Fehr, Endralan, Weer, Wattemar, Moena, Adlar, Geratoe, Haar, Klein Haar, Eli dan Orang. Jika dibandingkan dengan deskripsi tahun 1840 dengan peta 1877 terdapat nama-nama tempat yang tidak bersesuaian, Boleh jadi suatu kampung terkenal pada tahun 1840 namun pada tahun 1870an tidak lagi atau sebaliknya nama yang tidak teridentifikasi tahun 1840 kemudian lebih dikenal pada tahun 1870an, Nama-nama seperti Doelah, Toeal, Nirong, Feer, Eti dan Ellat besar kemungkinan nama-nama kampong yang terbilang terkanal dan tetap eksis.

Data dan informasi dari waktu ke waktu semakin banyak, antara data pemerintah dan data perorangan saling melengkapi yang terus terakumulasi baik dalam wujud laporan meupun peta. Pemerintah memanfaatkan data dan informasi (keterangan dan peta) dalam menyusun laporan untuk melihat perkembangan apakah untuk tujuan pemantauan wilayah atau dalam perencanaan pembentukan pemerintahan baru. Rencana-rencana pemerintah dan laporan-laporan tersebut juga dimanfaakan oleh zending apakah di suatu wilayah perlu mengirim misionaris. Di kepulauan Kei, misionaris yang pertama kali membuka pos adalah misionaris Katolik. Sebagaimana disebutkan di atas rumah peribadatan misionaris di kepulauan Kei kali pertama dibangun tahun 1888.

Kedatangan misionaris ini diduga sebelum pemerintahan dibentuk di Kepulauaan Kei yang berkedudukan di Toeal. Pemerintahan tertinggi adalah Residen Amboina yang berkedudukan di Ambon. Untuk pejabat setingkat Asisten Residen berada di Bandaneira di Afdeeling Banda (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 20-08-1885). Misionaris pertama di Kepulauan Kei (Kecil) diduga adalah Ds. Offerhans, seorang Jerman (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 16-06-1887). Disebutkan pendeta ini telah membaptis beberapa anak di Toeal diantaranya anak seorang wanita Papoea, anak seorang Jerman dengan istrinya wanita Makassar dan anak seorang Jerman/Austria Adolf von Langen.

Perkembangan Kepulauan Kei Ibukota di Toeal

Setelah terbentuk pemerintahan di pulau-pulau selatan dan menempatkan seorang Controeleur yang berkendudukan di Toeal, secara perlahan-lahan wilayah Kepulauan Kei berkembang. Perkembangan ini dapat diperhatikan dengan adanya pelayaran langsung dari kota-kota utama terdekat ke Toeal. Pelayaran menjadi salah satu bentuk layanan pemerintah lokal maupun pemerintah pusat. Layanan pelayaran ini juga kerap dirintis oleh swasta. Layanan pelayaran ke Toeal dimulai pada tahun 1885 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-12-1885). Disebutkan dalam iklan bahwa G van Langen direktur kapal uap Toeal dari Langen en Co di Makassar memulai cabang di Toeal. Tidak dijelaskan trayek atau rute pengoperasian kapal uap Toeal ini dari mana ke mana.

Layanan pelayaran ke Toeal dimulai pada tahun 1885 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-12-1885). Disebutkan dalam iklan bahwa G van Langen direktur kapal uap Toeal dari Langen en Co di Makassar memulai cabang di Toeal. Trayek pelayaran Langen en Co ini diduga antara Makassar dan Toeal, Akan tetapi tidak dijelaskan trayek atau rute pengoperasian kapal uap Toeal ini melalui pelabuhan apa saja. Dalam perkembangan, persuahaan Langen en Co telah berpindah kantor utama yang sebelumnya di Makassar menjadi di Toeal. G van Langen diketahui kehilangan putrinya yang masih kecil berumur seminggu meninggal dunia di Toeal (Bataviaasch nieuwsblad, 05-02-1887).

Kota Toeal yang secara alamiah telah menjadi pelabuhan strategis di kepulauan Kei (pulau Kei Kecil), selain menjadi pusat pemerintahan, lambat laun telah menjadi kota paling penting di pulau-pulau selatan. Kota Toeal menjadi pusat pertumbuhan dan perkembangan wilayah. Orang Eropa/Belanda mulai berdatangan. Paling tidak selain para pejabat pemerintah (Controleur dan staf) juga pengusaha van Langen dan misionaris. G van Langen selain membuka usaha pelayaran juga telah memulai usaha baru di bidang industri kayu.

Bataviaasch handelsblad, 09-10-1886
Perusahaan van Langen di Toeal tidak hanya telah merintis pelayaran antar pulau dengan cabang di Toeal. Perusahaan van Langen juga telah mengajukan ke pemerintah, Resident Ambon untuk menetapkan wilayah konsensi penebangan kayu di pulau Kei Kecil (Bataviaasch nieuwsblad, 26-08-1886). Konsesi ini tampaknya berhasil dimiliki oleh perusahaan van Langen. Ini terindikasi bahwa persusahan van Langen telah menjual kayu jati di Batavia (lihat Bataviaasch handelsblad, 09-10-1886). Disebutkan perusahaan van Langen menjual kayu jati di Pintoe Besar. Kayu jati Toeal jauh lebih baik, lebih mahal, dan lebih kuat dari semua jenis kayu jati 14 lainnya dan sangat cocok untuk bahan bangunan rumah dan jembatan. Kayu ini tidak terpengaruh oleh semut putih dan menawarkan resistensi paling kuat terhadap pengaruh dari udara dan air. Pemasangan iklan kayu jati ini masih ada hingga bulan Oktober 1887 (Bataviaasch handelsblad, 22-10-1887). Tampaknya jati Toeal menjadi terkenal di Batavia.

Sebagaimana di tempat-tempat lain di Hindia, kehadiran orang-orang Eropa/Belanda dapat dikatakan sebagai prakondisi perubahan suatu wilayah dari suatu situasi dan kondisi yang statis (lambat) menjadi lebih dinamis (cepat).Kehadiran swasta dalam hal ini di Toeal membuka peluang baru di dalam bidang usaha dan membuka jalan bagi pemerintah untuk membentuk pemerintahan.

Tentu saja diantara swasta dan pemerintah di Kepulauan Kei khususnya di Toeal, pihak misionaris memanfaatkan peluang untuk penyebaran agama: membuat penduduk pagan beragama, dan mengkoversi yang sudah beragama menjadi beralih agama. Tinjauan penyebaran agama di Toeal dan sekitar dapat dibaca pada buku Karel A. Steenbrink (2003) berjudul Catholics in Indonesia, 1808-1942: A modest recovery 1808-1903. Dalam beberapa hal ada perbedaan temuan dalam buku tersebut dengan apa yang disarikan dalam artikel ini. Karel A. Steenbrink di titik tertentu sangat mendramatisir, sementara di tiik lain mengerdilkan kejadian, sedangkan di titik yang lainnya sengaja atau tidak sengaja kurang meperhatikannya. Boleh jadi itu karena perbedaan sudut pandang: dari dalam atau dari luar; dari kacamata sosiologi atau kacamata ekonomi.

Ekspedisi Geologi dan Botani di Kepulauan Kei, 1888

Wilayah Kepulauan Kei yang beribukota di Toeal secara perlahan mulai terbuka bagi dunia luar. Kekayaan apa yang terkandung di bumi Kepulauan Kei telah menarik minat berbagai pihak. Untuk membuka kotak pandora Kepulauan Kei, Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap di Amsterdam telah mengirim sebuah ekspedisi ilmiah pada tahun 1888. Dalam tim ekspedisi ini termasuk ahli geologi, ahli botani, ahli kelautan yang juga melakukan tugas-tugas di bidang topografi dan hidrologi. Kegiatan lapangan berlangsung selama tiga bulan. Sejak kedatangan ekspedisi ini sudah dibuat instrumen meteorologi di Toeal untuk memantau cuaca dan curah hujan (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1888).

Sebagai wilayah pengembangan baru, selain pemerintah juga berbagai individu juga turut aktif dalam pengumpulan data dan informasi. Disebutkan bahwa  pastoor Küaters (dari misi Katolik) telah melakukan studi-studi tentang bahasa-bahasa kelompok etnik di Kepulauan Kei. Juga diketahui G van Langen, seorang pengusaha di Toeal telah melakukan studi etnologis dan antropologis. Apa yang dilakukan oleh para pengusaha swasta G van Langen di Kepulauan Kei bukanlah hal yang baru tetapi suatu situasi yang juga ditemukan di wilayah lain. Seperti misalnya KF Holle di Priangan dan Dr. Groneman di Djogjocarta.

Laporan-laporan ekspedisi pemetaan geologi dan bitani Kepulauan Kei ini sudah diterima publik di Belanda sebagaimana diberitakan surat kabar De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 24-12-1888 dan Algemeen Handelsblad, 04-07-1889. Laporan-laporan ini kemudian lansir oleg surat kabar yang terbit di Batavia dan Soerabaja. Satu hal yang penting dalam ekspedisi ini adalah peran yang signifikan dari A van Langen seperti penyediakan rumah, makanan serta sejumlah uang, dan bahkan kapal-kapal yang diperlukan dalam mengitari pulau. Ekspedisi ke Kepulauan Kei menjadi pangkal perkara ekspedisi lebih lanjut dilakukan kemudian diperluas ke Timor dan Tanimbar.

Perahu di Toeal, 1900
Hal lainnya yang menarik dalam berita-berita terakhir dalam ekspedisi ilmiah ke Kepulauan Kei adalah satu anggota tim yang tersisa harus melakukan pelayaran sendiri sementara para koleganya sudah ada yang kembali dan tiba di Amsterdam Belanda. Peneliti yang pulang belakangan ini adalah Luitenan Laut HOW Planten. Dalam kepulangannya, Letnan Planten sendiri melakukan perjalanan pulang dari pulau Kei (Kecil) ke Soerabaja. Perjalanan jarak jauh ini tidak lazim karena hanya mengandalkan perahu yang panjangnya hanya 13,5 meter. Dalam pelayaran ini Palnten ditemani oleh pasangan pedagang (yang diduga van Langen dan Istri) dan beberapa tukang kayu terbaik di Kepulauan Kei yang berangkat dari Toeal pada bulan September dan tiba di Soerabaja pada tanggal 1 November (1890) via Banda, Ambon, Boeton, Boeloe Koempa dan Soemenap. Ketika Planten akan pulang ratusan orang warga mengantarnya di pelabuhan (lihat De standaard, 14-01-1891). Letnan Planten tampaknya sangat diterima di Toeal dan boleh jadi ini adalah pelayaran terlama pertama dari orang-orang di Toeal hingga jauh ke Soerabaja (di pulau Jawa).

Perkembangan Kepulauan Kei, pada tahun 1890 sudah terdeteksi adanya kantor pemerintah di Toeal, tempat dimana Controelur ditempatkan (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 13-11-1890). Sebelum penempatan Controleur di Toeal, besar kemungkinan kedudukan pejabat pemerintah terdekat berada di Bandaneira. Dengan penempatan Controleur di Toeal maka status Controleur di Banda ditingkatkan menjadi Asisten Residen (sebagai bagian dari wilayah Resdientie Amboina).

Soerabaijasch handelsblad, 06-01-1891
Dalam perkembangannya, jalur pelayaran kapal uap Belanda (KPM) dari Soerabaja via Makassar  menuju Maluku terbagi tiga: Makassar-Ternate/Tidore; Makassar-Ambon; Makassar-Dobo. Makassar-Tifoe (Boeroe). Sedangkan dari dan ke Toeal adalah Ambon-Toeal via Banda; Giser-Toela; Dobo-Toeal; Lalu dari Dobo ke Saumlaki dan Merauke. Rute pelayaran baru ini dimulai sejak tanggal 10 Januari 1891 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-11-1890).

Pemerintah berdasarkan Beslit 1 Juli 1883 No. 13 (Staatsbald No. 203), di Residentie Ambon, Controelur di Toeal ditetapkan untuk membentuk dan bertanggungjawab untuk posthouder yang juga dengan tugas-tugasnya sebagai kepala pelabuhan di tempat-tempat sebagai berikut: Kajeli, Nasarete, Amahei, Waroe, Gisser, Elat, Dobo, Lelingloewan, Oeratan, Tepa, Serwaroe, Woenter, dan Ilwaki (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-03-1891). Ini dengan sendirinya, pejabat pemerintah tidak hanya di Toeal tetapi juga di tempat pelabuhan-pelabuhan tersebut.

Iklan pelayaran ke Toeal ini cukup lama dimuat di berbagai surat kabar di Batavia. Semarang, Soerabaja dan Padang. Iklan pelayaran ini seakan undangan investor datang ke Kepulauan Kei. Paralel dengan iklan pelayaran ini pemerintah terus memperkuat administrasi pemerintahan di Toeal dan Kepulauan Kei.  Tentu saja tidak lama kemudian jumlah orang Eropa/Belanda semakin banyak di Toeal dan Kepulauan Kei. Dikabarkan guru dari Hila FA Perretaz dipindahka ke Toeal untuk mengajar di sekolah yang baru dibuka Openbare Lagere School, sekolah dasar untuk orang Eropa/Belanda (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-12-1891). Tidak diketahui apakah sekolah dasar Eropa ini berjalan baik atau tidak. Juga tidak diketahui apakah sudah ada sekolah bagi pribumi di Toeal dan Doellah, dua tempat yang ramai yang mana Toeal sebagai ibukota, Sebagaimana disebutkan, di Toeal dan Doellah dihuni oleh penduduk pribumi yang beragama Islam.

Dalam perjalanan pendeta JH de Vries Jr di Ambon ke Kepulauan Kei sebagaimana ditulisnya pada surat kabar Soerabaijasch handelsblad, 24-12-1891 diceritakan bahwa setelah kapal uap yang mereka tumpangi dari Ambon via Saparoea tiba di Toeal dilanjutkan dengan perahu selama satu jam ke selatan ke sebuah kampong yang disebut Langgoer. Di kampong ini hanya ada 12 rumah panggung dimana di kampong ini terdapat bangunan misionaris yang dipimpin oleh seorang pendeta pribumi yang membimbing 15 anak didik yang sudah dibaptis yang mana  para pendeta itu harus belajar bahasa setempat dan memberikan pendidikan agama, membaca, menulis, dan bahasa Melayu. Rumah-rumah panggung ini terbagi ke dalam beberapa kamar yang disekat daun kering dari pohon sagu yang setiap rumah panggung diperkirakan dihuni keluarga besar sebanyak 20-30 orang. Lantai rumah terbuat dari anyaman bambu yang dapat melihat ke bawah dimana ternak babi tampak berkeliaran. Sebagaimana telah disebutkan di atas pada tahun 1840 wilayah yang berada di selatan Toeal (termasuk Langgoer) masih pagan, kini diduga sudah banyak yang beragama Katolik. Stasion misi sendiri (yang menjadi tempat dimana 15 anak dididik) dibangun pada tahun 1888.

Selain layanan pendidikan untuk orang Eropa/Belanda di Toeal dan penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak pribumi yang telah beragama Katolik di Lienggoer, layanan pemerintah berikutnya yang didatangkan ke Kepulauan Kei adalah layanan kesehatan. Seorang dokter Djawa AT Lalopua telah dipindahkan dari Noesa Laoet ke Toeal. Untuk pengganti di Noesa Laoet dipindahkan dokter Djawa TA Perretsz dari Hila (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 27-02-1892). Dokter Djawa dalam hal ini adalah lulusan sekolah kedoteran pribumi di Batavia yang dibuka sejak tahun 1851.

Controeleur Aroe, Kei, Tenimber en Zuid Wester eilanden yang berkedudukan di Toela telah menetapkan sebuah bangunan sebagai penjara (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 01-03-1892). Bangunan ini adalah suatu bangunan yang disewa selama 15 bulan terhitung sejak tanggal 1 Maret 1891. Dengan meningkatnya intensitas pemerintah dalam hal perkembangan wilayah, keamanan dan kedamaian menjadi faktor penting. Fungsi peradilan juga mulai diselenggarakan yang mana penjara sebagai salah satu elemen dalam peradilan tersebut. Controleur Toealn tidak hanya ruang kerjanya di Kepulauan Kei, juga Kepulauan Aroe serta Tanimbar dan sekitar. Pada tahun 1892 terjadi perang di pulau Selaru di selatan Tanimbar (kini menjadi pulau terluar dekat Australia). Selama ini otoritas pemerintah tidak mampu mendamaikannya, saat kapal perang Ms Emma berada di Toeal lalu dilakukan ekspedsi dan tiba di kampong Adaut tanggal 28 Maret dan berhasil ditaklukkan (yang berselisih dengan kampong Tabing di Selaru). Semua kepala-kepala kampong diundang ke kapal dan kemudian dilakukan upacara perdamaian dari berbagai pihak yang bertikai.  Untuk mendamaikan di wilayah tersebut  pada 30 Maret, para kepala yang jumlahnya 33 orang mengambil sumpah perdamaian di kapal dengan cara minum arak dicampur dengan garam dan bubuk serta darah kedua belah pihak dengan menggunakan pedang. Setelah upacara tembakan kanon kapal ke udara dilakukan untuk menandai awal perdamaian, di wilayah terluar di selatan Maluku yang bersinggungan dengan Australia (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1892). Kapal perang Ms Emma belum lama tiba di Hindia dari Belanda setelah melalui pelayaran di Atkeh, Batabia hingga ke Ambon hingga pada akhirnya harus ke Tanimbar.

Kota Toeal yang semakin dikenal dan tumbuh sebagai pusat perdagangan (1886 sejak van Langen) dan pusat pemerintahan (1890 sejak Controleur pertama, RO van der Hout, Januari 1890), juga secara berangsur-angsur pedagang-pedagangan Tionghoa juga semakin banyak yang berdiam di pulau-pulau selatan yangh berpusat di Toeal. Mereka ini diduga meluas dari Ambon, kemudian ke Bandaneira lalu ke Toeal. Untuk mengantisipasi hal tersebut terbit ordonasi yang menyatakan bahwa di Residentie Amboina juga akan ada wijk (perkampungan) untuk orang Cina di Toeal, ibukota Afdeeling Aroe-, Kei-, Tenimber- en Zuidwester-islands (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-10-1892).

Pada tahun 1892 juga muncul usulan agar Controleur juga ditempatkan di Dobo (Kepulauan Aroe). Usulan ini datang dari seorang penulis di Makassar yang dimuat pada surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 28-11-1892. Disebutkan satu-satunya perwakilan pemerintah di Dobo hanya seorang postjouder O Th Erntsen. Sebab baru-baru ini terjadi pembunuhan terhdap seorang Cina di Dobo. Disebutkan penulis bahwa Kep Aroe merupakan wilayah terpenting di selatan tetapi lebih disukai pemerintahan berkendudukan di pulau Kei (Kecil). Di Kepulauan Aroe kebiasaan minuman keras meningkat yang diduga menjadi penyebab adanya pembunuhan. Oleh karena itu Controleur juga seharusnya ditempatkan di Dobo juga agar kehadiran orang Eropa di kepeluaan tersebut muncul. Dalam tahun-tahun terakhir ini di Dobo ribuan orang asing, kebanyakan orang Cina dan orang Melayu bertemu pada waktu-waktu reguler di pulau-pulau di sekitarnya dan Papua Nugini (baca: Papua Barat), sementara ada ratusan dari mereka ini sepanjang tahun dalam kegiatan bisnis. Di Danner, pulau dimana (kampong) Dobo berada sudah dihuni sejumlah penduduk menetap. Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 14-12-1892 melaporkan yang terbunuh di Dabo dan sekitar sebanyak 60 orang Cina dan orang Makassar.

Setelah posthouder memungut bea dan cukai di beberapa titik pelabuhan yang berada di bawah otoritas Controelur di Teoal, pemungutan pajak padi juga mulai diterapkan. Bataviaasch nieuwsblad, 10-02-1894 melaporkan Residen Amboina menerapkan pajak padi untuk wilayah pulau-pulau di selatan di Banda dan Kep Kei, Aroe dan Tenimbar sebesar 10 persen. Pemungutan pajak ini dipandang sebagai wujud pendapatan pemerintah dalam penyelenggaraan layanan pemerintah. Pejabat yang ditunjuk untuk urusan tersebut termasuk wilayah kerja di Banda adalah JA Pelupessij yang berkedudukan di Toeal (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 23-05-1894).

Tentu saja masih ada hal-hal yang saling mencurigakan antara satu dengan yang lainnya terutama anatara penduduk dan pemerintah. Sejarah Toeal dan sejarah Doellah adalah sejarah yang jauh ke masa lampau. Antara penduduk lokal dengan orang asing terjadi pasang surut. Pengusiran orang Eropa/Belanda di Kepulauan Kei sudah pernah terjadi tempo dulu. Berulang kali pemerintah mengirim ekspedisi ke Kepulauan Kei. Peristiwa pembunuhan di Dobo baru-baru ini menunjukkan indikasi masih adanya perselisihan-perselisihan di antara kelompok penduduk. Laporan terbaru di Toeal, beberapa pedahang Arab dan Makassar ditangkap Controleur karena memperdagangkan senjata untuk penduduk lokal (lihat Soerabaijasch handelsblad, 18-07-1894). Pemerintah di Toeal tampaknya masih memiliki kekhawatiran terhadap munculnya perlawanan dari penduduk di Toeal dan Doellah terhadap otoritas pemerintah.

Setelah sekian abad pemerintahan tradisi di Kepulauan Kei, khususnya di Toeal dan Doellah, dengan semakin menguatnya Pemerintah  Hindia Belanda di Toeal, muncul kabar bahwa Radja (regent) dari negorij Toeal onderafdeeling Klein Kei, afdeeling Aroe-, Keè-, Tenimber en Zuidwester eilanden yang disebut Kabres mengundurkan diri (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-08-1897). Lantas bagaimana dengan regent negerij Doellah tidak diketahui. Namun pengunduruan diri boleh jadi sebagai tanda-tanda berakhirnya kepemimpinan tradisional di Toeal dan Doellah?

Sementara itu, dikabarkan Monseigneur Staal  dari misi (zending) Katolik dengan kapal uap berangkat dari Banda untuk mengunjungi Kepulauan Kei di Toeal dimana Roomsen-Katholieken zendingpost terdapat di Langgoer (lihat Rotterdamsch nieuwsblad,    21-08-1897). Apakah kunjungan Monseigneur ini sebagai pertanda babak baru dalam pengembangan misi di Kepulauan Kei? Seperti di tempat lain kegiatan misi (zending) tidak terkait dengan tujuan pemerintah. Bagi pemerintah, Islam, Kristen, Katolik dan pagan tidak dibedakan, yang membedakannya di mata pemerintah siapa yang bersedia bekerja sama dalam pembangunan jalan dan jembatan (untuk menunjang pendapatan pemerintah).   

Hingga tahun 1901, kota Toeal masih menjadi pusat pemerintahan di pulau-pulau di selatan (Ambon). Indikasi ini dapat diperhatikan pada surat kabar De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 22-04-1901. Disebutkan Controleur Moorrees dipindahkan dari Ambon dan ditenmatkan di Aroe-, Kei- en Tenimber-eilanden yang berkedudukan di Toeal. Informasi ini mengindikasikan kota Toeal adalah ibukota dari pulau-pulau di selatan.

Dermaga di Langgoer, 1920
Dalam perkembangannya administrasi pemerintahan, kota Toeal hanya menjadi bagian dari wilayah Afdeeling kepulauan Kei. Disebutkan Residentie,Ambonia dan Afdeeling Noord Nieuw Guinea (1915) terdiri dari tujuh afdeelung. Afdeeling Ambonia (ibukota Ambiona) terdiri dari empat onderafdeeling Amboina, Boeroe, Saparoea dan Kep Banda: Afdeeling Seram terdiri empat onderafdeeling West Seram (Piroe), Wahai, Amahai dan Oost Seram (Amahai), Seram Laoet en Goram (Giser); Afdeeling West Nieuw Guinea (Banda Neira); Afdeeling Zuid Nieuw Guinea; Afdeeling Kep. Aroe (Dobo); Afdeeling Kep Kei (Toeal); Afdeeling Tanimbar en  Kep Bebar (Saumlakki).

Pertumbuhan dan perkembangan wilayah di pulau-pulau selatan termasuk Kepulauan Kei, tidak semaju di wilayah lain. Wilayah pulau-pulau selatan secara geografis terpencil, tetapi juga terpencil dalam banyak hal. Ibukota Residenti sangat jauh di Ambon. Meski demikian arus pelayaran laut dari dan ke Toeal tetap berlangsung dengan baik. Rute pelayaran kapal uap secara reguler Soerabaja, Makassar. Ambon dan Toeal memungkinkan setiap orang dapat terhubung antara Toeal dengan kota-kota besar (pusat kemajuan).

Kota Tual 1935
Satu bentuk kemajuan yang diperoleh Toeal baru terjadi pada tahun 1931 yang dengan adanya pembangunan stasion radio di Toeal (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-07-1931). Pembangunan stasion radio ini memungkinkan komunikasi antara Jawa dan luar Jawa menjadi lebih intens. Pembangunan stasion radion di Toeal ini bersamaan dengan pembangunan stasion radio di 12 tempat lainnya termasuk dua stasion di Residentie Timor dan tiga di Residentie Maluku (Teoal, Kisar dan Saumlaki). Satu lagi bentuk kemajuan yang diperoleh adalah pendirikan kantor telegraf di Toeal (Bataviaasch nieuwsblad, 14-11-1931). Disebutkan operasional telegraf di Toeal dibuka pada tanggal 16 November 1931.

Toeal dan Langgoer, 1933
Kemajuan-kemajuan yang terjadi di pulau-pulau selatan dan di wilayah Nieuwe Guinea (baca: Papua) menjadi faktor penting Gubernur Groot Indie (baca: Indonesia Timur) melakukan kunjungan dinas ke Maluku khususnya ke pulau-pulau di selatan dan Nieuwe Guinea. Gubernur Koppenol setelah ke Ambon langsung ke Toeal (Soerabaijasch handelsblad, 15-12-1931). Ini adalah untuk kali pertama Toeal dikunjungi oleh Gubernur. Di Kepulauan Kei, selain di Toeal, Gubernur juga berkunjung ke Langgfoer. Setelah dari Toeal gubernur melakukan pelayaran ke Kaimana (ZW Guinea) dan lalu dilanjutkan dan tiba di Fak-Fak pada tanggal 30 November. Gubernur disambut oleh pembantu gubernur yang berkedudukan di Fak-Fak. Kunjungan gubernur terakhir ke Sorong dan akhirnya pada tanggal 4 Desember tiba kembali di Ambon.

Kota Tual Berawal dari Sebuah Kampong; Terkenal Sejak 1824

Kota Tual yang sekarang, kota terbesar di selatan Kota Ambon, sejatinya berawal dari sebuah kampong di masa lampau. Sebagaimana Doellah, nama kampong Toeal diduga berasal dari nama Toellah atau Toeallah (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1877). Kampong Toeal ini terletak di sisi barat pulai Kei Kecil yang terlindung dari lautan (Banda) ditemukan oleh orang-orang Eropa/Belanda pada tahun 1824 dimana kampong kecil bernama Toeal terdapat komunitas orang Bugis yang melakukan fungsi perdagangan di sekitar. Kompong terbesar di pulau Kei Kecil saat itu adalah Kampong Doellah yang terletak di sebelah utara Kampong Toeal.

Rumah misi di Langgoer
Pada saat kedatangan orang Eropa/Belanda ke Toeal, masing-masing distrik Toeal dan distrik Doellah masing-masing sudah memiliki bupati (regent) sendiri. Dengan kata lain di wilayah ini (Toeal dan Doellah) sudah memiliki pemerintahan lokal (pemerintahan tradisi). Penduduk di dua wilayah yang disebut pertama ini seluruhnya sudah beragama Islam.

Pada tahun1890 Kepulauan Kei dijadikan Pemerintah Hindia Belanda sebagai pemerintahan dengan menempatkan seorang Controleur di Teoal. Pemerintahan ini juga mencakup pulau-pulau di tenggara (Kepulauan Aroe) dan pulau-pulau di barat daya (Kepulauan Tanimbar). Pada saat pembentukan pemerintahan di Toeal, Pemerintah Hindia Belanda mulai merintis perluasan wilayah ke Nieuw Guenia bagian selatan dengan tempat utama di Merauke dengan melakukan sejumlah ekspedisi-ekspedisi. Paralel dengan di Nieuwe Guenie di selatan ini juga dilakukan hal yang sama di wilayah utara. Rumah misi di Langgoer

Jauh sebelum kedatangan (orang-orang) van Langen di Kepulauan Kei (di Toeal), sudah banyak orang-orang Eropa/Belanda yang pernah singgah di wilayah ini. Berdasarkan peta-peta kuno Portugis (1600-an) dan peta-peta VOC/Belanda (1695) wilayah ini sudah dikenal (diidentifikasi). Namun sejauh itu hanya sekadar untuk perdagangan yang longgar di pantai-pantai. Setelah kedatangan orang Eropa/Belanda tahun 1824, komisaris pemerintah menyambangi kepulauan ini pada tahun 1836 (bulan April). Pada tahun 1865 giliran seorang pelancong Italia, Beccari yang mengunjungi kepulauan ini. Pelancong ini melaporkan berangkat dari Ellat di pantai barat Groot Kei pada tanggal 7 Agustus 1865 untuk melakukan perjalanan ke Doellah. Disebutnya dalam perjalanan ini melalui jalan yang tidak terdapat dalam peta melalui kampong Toeallah (Toeal) hingga menuju Doellah. Peta sebelumnya hanya ditandai dalam pelayaran navigasi di pulau Kei Besar oleh J du Pon dan WJ van Santen (1862). Jalan ini juga disebut Beccari ternyata sebelumnya telah dilalui oleh seorang pelukis Jerman bernama Rosenberg. Keberadaan Ronsenberg diketahui pertama ketika melakukan ekspedisi di Tapanoeli tahun 1840 (bersama Juing Huhn). Selat dimana Toeal kala itu sering disebut para pelancong sebagai selat Rosenberg. Pelancong berikutnya yang pernah menyambangi selat ini adalah Vettor Pisani dengan kapten kapal Lovera pada tahun 1872. Kapten Lovera menyatakan pelabuhan ini sangat strategis, luas dan tertutup dari semua arah angin. Kapten Lovera adalah orang pertama yang mengidentifikasi tempat ini, Toeallah sebagai pelabuhan dalam navigasi pelayaran. Nama Toealah dan Doellah berasal dari para migran beragama Islam (pendatang).

Meski nama tempat Toeallah ini bukan dari penduduk asli, tetapi dengan penanda navigasi ini oleh Kapten Lovera diharapkan penduduk asli untuk mengetahuinya. Nama Toeallah menjadi Toeal muncul pada tahun 1875. Nama Toeallah ‘dikorting’ menjadi Toeal. Ini bermula dari wakil inspektur pendidikan pribumi tentang perubahan Toeallah menjadi Toeal. Tidak dijelaskan mengapa demikian. Di Toeallah seebelumnya sering dijadikan oleh orang-orang Makassar dan Bugis untuk berlabuh.

Nama Kei juga bukan dari nama asli. Nama Kei sudah ada sejak lama dan kepulauan ini sudah pernah dikunjungi oleh orang-orang Portugis sebelum kedatangan orang Belanda. Peta 1600-1640 yang ditunjukkan di atas, adalah peta Belanda yang diduga bersumber dari peta Portugis. Nama Kei diduga dari bahasa Portugis ‘cayo’ yang diartikan sebagai terumbu atau tebing. Nama Pulau Cayo (Pulau Terumbu karang) dalam perjalanan waktu karena pelafalan dirusak oleh bahasa Inggris dan bahasa Belanda menjadi Kei. Untuk nama tambahan besar dan kecil berasal dari bahasa Melayu (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1877).

Nama Doellah sendiri diucapkan dalam (peta-peta) navigasi sebagai Doela, Doelah, Doellah, Doelan, Doelang dan bahkan Doera. Pelukis von Rosenberg menandai nama pulau dari nama kampong dengan menulis Doellah. Saat itu kampong Doellah adalah nama kampong utama yang menjadi pusat perdagangan di pulai Kei Kecil. Untuk nama tambahan darat dan laut berasal dari bahasa Melayu. Pulau Doellah darat memiliki wewenang terhadap Doellah laut. Nama-nama lainnya yang disebut adalah nama Eli dari nama Ali. Nama Taamdam juga ditulis dengan Tamandam, Tamandan. Tamadan, Tamadaan dan Tammadan.

Distrik-distrik yang berada di selatan pulau Kei Kecil dan distrik-distrik di pulau Kei Besar sebagian sudah beragama Islam dan sebagian yang lain masih pagan (menganut kepercayaan tradisi). Di distrik-distrik yang banyak dihuni oleh penduduk yang pagan, sejak 1887 kegiatan misionaris mulai muncul dan pada tahun 1888 membangun stasion misi (Katolik) pertama di Langgoer.

Stasion misi Katolik 1925; komposisi agama Kep Kei masa kin
Sehubungan dengan perkembangan wilayah, Pemerintah Hindia Belanda mulai melayani pelayaran reguler dari dan ke Toeal. Sebelumnya layanan pelayaran dilakukan oleh swasta dari perusahaan Langen en Co. Industri penebangan kayu, menjadi perusahaan rintisan pertama di Kepulauan Kei yang terkenal dengan kayu jatinya di Batavia. Kepulauan Kei yang berada di wilayah terpencil dari sudut pandang Batavia dan Ambon mengakibatkan kepulauan yang indah dan kota Toeal menjadi jarang dikunjungi oleh para wisatawan. Namun begitu, seorang wisatawan yang pernah datang ke Kepulauan Kei dan Toeal menulis hasil perjalanannya yang dimuat surat kabar Soerabaijasch handelsblad, 21-07-1932. Penulis tersebut lebih tertarik mengulas mengapa pusat misi Katolik di Langgoer, bukan di Toeal. Disebutkan bahwa Langgoer yang dapat dicapai setengah jam perahu terkesan terpencil dari keramaian di Toeal. Penulsi mempertanyarakan mengapa begitu jauh di Langgor, lalu menulis jawabannya karena faktor sejarah dimana awal pos misi dimulai di Langgoer karena di Toeal yang kini menjadi ibukota Kepulauan Kei para misionaris tidak bisa melakukan kontak karena wilayah pemukiman Muslim dan hanya dapat melakukan kontak dengan penduduk secara longgar di Langgoer. Disebutkannya bangunan-bangunan misi yang terbilang baik di Langgoer seakan terjebak sendiri di tempat yang sepi itu sementara kehidupan yang ramai justru barada di Toeal. Langgoes tidak semaju Toeal. Di Langgoer disebutnya sulit mendapatkan uang (penghasilan), dua komoditi utama di masa lampau kopra dab tripang bisa menjadi sumber kemakmuran warga tetapi kini dua komoditi itu harganya sudah sangat rendah jika dibandingkan masa dulu. Disebutkan di Langgoer terdapat perkampungan Cina.

Itulah sejarah awal Kepulauan Kei yang berpusat di Toeal. Suatu kampong pada awalnya menjadi tumbuh dan berkembang menjadi kota seperti yang ada sekarang. Dalam sejarah navigasi pelayaran nama Adolf von Langen, seorang Jerman harus diingat sebagai orang yang membuka keterisolasian pelabuhan Toeal di pulau Doellah di Kepulauan Kei.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

6 komentar:

  1. Pak, Bisa Share Sumber Primernya Gak ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba dispesifikkan sumber primer yang mana biar saya kirim. Untuk korespondensi alamat email saya ada di lama Read Me
      Terimakasih
      akhir mh

      Hapus
  2. Sebagai Putra Asli Kei, saya sampaikan Trimaksih Atas Pengetahuan sejarah ini. Sangat Bermanfaat.

    BalasHapus
  3. Terimakasih Pa atas Hal yg sangat berharga ini, klw boleh minta bantuannya, terkait Besluit penetapan Nama" Desa yang ditetapkan oleh Belanda saya bisa dapatkan di mna pa.??
    Menurut sejarah Kampung kami duluh adalah Desa, yaitu Desa Watran ( Watti an ) sesuai ejaan Belanda itu, namun kami dipolitisasi menjadi Dusun hingga saat ini sya meminta bantuan BPK. Tetimakasih

    BalasHapus
  4. Artikelnya sangat bermanfaat. Izin Share

    https://catatan-azis2.blogspot.com/2022/01/soal-sbmptn-ekonomi-2019-dan-jawabannya.html

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan, dengan senang hati. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe bahwa pengetahuan seharusnya disebarluaskan.

      Hapus