Laman

Rabu, 27 Maret 2019

Sejarah Yogyakarta (28): Lapangan Terbang Maguwo dan Adi Sucipto; Berita Pesawat Dakota dari Singapura 1947 di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Lapangan terbang Magoewo di Jogjakarta kini disebut bandara Adi Sucupto. Nama lapangan bandara ini mengambil nama Adi Soetjipto yang turut dalam penerbangan dari Singapoera yang jatuh di dekat Jogjakarta pada tanggal 29 Juli 1947. Peristiwa ini menjadi polemik karena pihak RI melalui Radio Jogjakarta membawa obat-obatan atas nama palang merah, tetapi pihak Belanda menduga jatuh karena kelebihan beban yang terbang rendah dan menambrak pohon kelapa. Pihak Inggris di Singapoera pesawat tidak menjalankan prosedur penerbangan normal dan Belanda berhak menembak pesawat di wilayahnya.

Berita Dakota dan Adi Soetjipto, 1947
Saya tadi malam berangkat tepat waktu pukul 08.20 dari bandara Adi Sucipto dan tepat waktu pula tiba di bandara Sukarno- Hatta di Cangkereng dengan penerbangan dari maskapai Batik Air. Ketika keluar dari bandara saya juga tepat waktu sebagai penumpang terakhir yang tepat berada di dalam bis yang segera membawa saya ke Depok. Selama perjalanan bis Damri trayek bandara-Depok ini tampaknya tidak pernah berhenti bahkan di persimpangan di Depok yag selalu lampu lalu lintas dalam posisi lampu hijau. Saya yang dijemput di jalan Margonda Raya tepat waktu tiba di rumah pukul 11 malam. Pagi ini saya coba merenung ketepatan waktu ini dengan mencoba membaca surat kabar tempo doeloe apa yang menjadi hubungan Adi Soetjipto dengan lapangan terbang Magoewo di Jogjakarta.

Lantas bagaimana sesungguhnya duduk soal jatuhnya pesawat Dakota yang dimiliki sebuah maskapai di India yang membawa obat-obatan dari Singapoera ke Jogjakarta? Tentu saja kejadian tersebut sudah banyak ditulis dan dapat dibaca dalam berbagai versi di internet. Bacaan-bacaan tersebut tentu saja berguna, tetapi artikel ini coba menyarikan berita-berita yang ada pada seputar waktu dan tempat kejadian. Mari kita telusuri beritanya pada surat kabar pasca kejadian.

Pesawat Dakota dan Adi Soetjipto

Perseteruan Belanda dan Indonesia dari hari ke hari semakin meningkat setelah ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djocjakarta. Ini dimulai setelah pasukan Sekutu/Inggris menyelesaikan tugasnya di Indonesia dalam hal pelucutan militer Jepang dan pembebasan interniran Eropa/Belanda. Di satu pihak permusuhan Belanda dan Indonesia semakin memuncak di pihak lain Indonesia (di Djogjakarta) mulai membangun aliansi (paling tidak di bidang perdagangan) dengan Australa dan Semenanjung (Malaya dan Singapoera) yang tergabung dalam persemakmuran Inggris. Aliansi ini juga terjadi dalam bidang transportasi (udara).

Kerjasama perdagangan ini dimulai dengan mengangkat G Campbell sebagai kepala perwakilan perdagangan Indonesia di Australia. G Campbell menjadi orang yang bertanggungjawab untuk kepentingan perdagangan Indonesia di luar negeri. Salah satu wujud kerjasama ini adalah pengadaan pertama penerbangan domestik di Indonesia jalur Djogja-Malang (Algemeen Indisch dagblad, 29-04-1947). Disebutkan bahwa pesawat Dakota pertama dari Maskapai Indonesia, bernama Glatik telah melakukan penerbangan pertama jalur Djokja-Malang pada tanggal 28 April dengan membawa 29 penumpang dalam penerbangan uji coba dengan jarak tempuh sekitar 159 Km dalam satu jam dua puluh menit. Para kru (pesawat pertama ini) terdiri dari seorang pilot pertama Australia, seorang pilot kedua Inggris, seorang operator telegraf radio Australia dan seorang pilot Indonesia, Adi Soetjipto. Inilah untuk kali pertama muncul nama Adi Sucipto dan maskapai penerbangan Indonesia.

Ketakutan Belanda semakin meningkat. Ini sehubungan dengan keputusan baru pemerintahan Republik Indonesia menyatukan Tentara Republik (TRI) dan organisasi-organisasi Laskar yang disebut sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal ini baru saja diumumkan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin Harahap melalui Radio Djogja (Nieuwe courant, 09-05-1947). Menteri Pertahanan mengatakan tujuannya adalah untuk membentuk tentara nasional yang dimaksudkan untuk membentuk tentara nasional yang kuat yang akan mampu mempertahankan kedaulatan republik. Menurut Menteri Pertahanan Indonesia juga mulai memusatkan perhatian pada masalah sistem pertahanan bersama untuk Asia Selatan dan meletakkan dasar bagi sistem pertahanan yang melampaui batas-batas kepulauan Indonesia. Ketakutan ini akhirnya memicu Belanda melakukan pelanggaran. Dengan kata lain boleh jadi beranggapan daripada diserang duluan lebih baik menyerang duluan.

Belanda semakin khawatir, Belanda mulai melanggar perjanjian damai (perjanjian Linggarjati). Pelanggaran ini dilakukan dalih aksi polisional yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I yang dimulai tanggal 21 Juli 1947. Dalam aksi polisional ini terjadi berbagai pertempuran dengan Republiken di berbagai tempat. Tentu saja banyak korban di pihak Republiken.

Pertempuran di darat menjadi tidak terbendung. Angkatan udara Belanda telah melakukan berbagai manuver baik untuk tujuan untuk memantau dari udara maupun melakukan serangan dengan menjatuhkan bom di berbagai tempat. Dalam fase inilah satu tim dibentuk untuk mendatangkan obat-obatan dari luar negeri untuk digunakan oleh Republik dengan cara mendistribusikan ke kantong-kantong pertempuran. Tim ini mengangkutnya dari luar negeri dengan menggunakan pesawat Dakota. Namun naas, pesawat Dakota yang membawa obat-obatan ini mengalami musibah menjelang pendaratannya di lapangan terbang Magoewo di Djogjakarta. Dalam penerbangan ini turut serta Adi Sucipto sebagaimana diberitakan surat kabar yang terbit di Soerabaja Nieuwe courant, 30-07-1947.

Nieuwe courant, 30-07-1947
Nieuwe courant, 30-07-1947: ‘Insiden penerbangan. Aneta mengirim berita dari Singapura, yang mana pesawat pertama dengan obat-obatan Palang Merah untuk Indonesia dari bandara Kallang kemarin (Rabu, 29-07-1947). Pesawat membawa setengah ton obat-obatan dan perban dengan penicilin memberi tahu kami berita berikut dari Radio Djocja: Pesawat Inggris-Indonesia, yang datang dari Singapura ditembak jatuh oleh dua pesawat Belanda di atas bandara Djocja. Ada empat warga negara Inggris dan lima orang Indonesia di dalam pesawat serta sejumlah obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia. Hanya satu orang Indonesia yang lolos dari kematian. Pesawat sudah dalam posisi roda pendaratan dan siap mendarat ketika diserang oleh pesawat Belanda. Pemerintah Republik mengeluarkan sebuah komunike dimana ia menyatakan kesedihan dan simpati terhadap kerabat mereka yang terkena dampak. Warga negara Inggris adalah mantan Wing Commander Constantine dan istrinya, mantan pemimpin skuadron Hazelhurst dan seorang Inggris yang tidak diketahui namanya. Selanjutnya, orang Indonesia adalah Adi Soetjipto, Dr. Abdoelrachman Saleh, Hadji Soemarmo Wirjokoesoemo dan Arifin. Seorang penumpang Indonesia Abdul Gani selamat. Sebelumnya telah dilaporkan bahwa pesawat telah meninggalkan Singapura. Tampaknya tidak ada pengaturan khusus yang dibuat dengan Belanda untuk perjalanan bebas melintas dari Dakota ini’.

Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin Harahap Memimpin Pemakaman

Pesawat Dakota tersebut yang ditembak jatuh oleh dua pesawat tempur Belanda adalah milik Indier Patniak dari Government of Orissa yang mana seminggu sebelumnya telah membawa Perdana Menteri Soetan Sjahrir ke India diharapkan kembali lagi ke Singapoera pada hari Rabu.

Dr Hassan Aljuneid dari Singapura, kepala Palang Merah Indonesia menyatakan mereka yang berkontribusi pada Palang Merah Indonesia untuk pengiriman adalah Gubernur Jenderal Malaka Malcolm MacDonald dan istrinya yang menyumbangkan 500 Straits Dollars, Sementara masing-masing 250 Staits Dollars dari Gubernur Siredward Ghent dari Uni Malaya dan dua orang Eropa yang tidak ingin disebut namanya, sedangkan United Malaya National Organization menyumbangkan 5.000 dolar (lihat Algemeen Indisch dagblad, 30-07-1947).

Jatuhnya pesawat Dakota menjadi simpang siur. Ini dapat dibaca pada surat kabar  Algemeen Indisch dagblad, 31-07-1947: ‘Disebutkan bahwa pesawat tidak melakukan prosedur normal untuk mendapatkan penerbangan bebas melalui wilayah militer Belanda. Ini diakui oleh seorang pejabat Inggris. Dua pilot Belanda yang diwawancara mengatakan tidak sedang menembak jatuh pesawat tetapu jatuh sendiri setelah terbang rendah dan menabrak pohon kelapa. Kami terlalu jauh di belakangnya. Pilot Letnan Satu Penerbang BJ Ruesink dari Den Haag dan Sersan Mayor Penerbang WE Erkelens mengatakan lebih lanjut bahwa pesawat Dakota jatuh disebabkan kebakaran pesawar sendiri dan tampak api dari samping pesawat. Menurut pilot Belanda bahwa pesawat yang jatuh delapan mil dari Djogja meledak dengan tiba-tiba.

Mereka yang meninggal telah dimakamkan sore tanggal 30 Juli empat anggota Angkatan Udara Indonesia yang tewas dalam Dakota India (Inggris) di Djokja. Upacara tersebut dipimpin oleh Perdana Menteri Indonesia Amir Sjarifoeddin Harahap yang juga dihadiri anggota lain dari pemerintah Indonesia. Para korban Inggris akan diperintahkan esoknya sesuai dengan kebiasaan Kristen atas permintaan Konsul Jenderal Inggris di Batavia, karena tidak mungkin untuk memindahkan jenazah ke Batavia akan dimakamkan di Djogja. Catatan: Amir Sjarifoeddin Harahap diangkat menjadi Perdana Menteri RI sejak tanggal 3 Juli 1947 (sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI).

Atas kejadian tersebut di Singapoera dilakukan penyelidikan menyeluruh. Sementara itu Palang Merah Indonesia di Singapura telah menyelenggarakan pertemuan protes malam ini terhadap apa yang terjadi dengan Dakota. Resolusi akan diajukan, mengecam tindakan Belanda. Di lain pihak Sekretaris Jenderal Gubernur Jenderal, Sir Ralph Hone di Singapoera mengatakan bahwa tidak ada otorisasi yang diberikan sama sekali untuk penerbangan. Pesawat itu tidak memiliki pelat nomor Palang Merah dan dia pikir Belanda bertindak sesuai dengan hak hukum mereka.

Perwakilan Palang Merah Internasional di Singapura, Mr. H. Schweizer, sangat terpengaruh oleh insiden tersebut. Dia menyatakan bahwa dia telah melakukan kontak dengannya untuk melakukan penerbangan di bawah pengawasan Palang Merah Internasional, tetapi dia tidak dapat memberikan otorisasi untuk ini, karena dia tidak memiliki izin dari Jenewa untuk melakukannya. Penerbangan itu adalah penerbangan pribadi, itu tidak dilakukan untuk Palang Merah atau untuk pemerintah Malaka. Juga muncul pertanyaan apakah pesawat telah melebihi muatan? Officier bandara di Singapoera menyatakan pintu pesawat yang akan berangkat dibuka lagi untuk mengeluarkan seorang pemuda Indonesia, karena pilot tampaknya percaya bahwa pesawat itu kelebihan muatan.

Lapangan Terbang Magoewo Menjadi Bandara Adi Sucipto

Pasca perang kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (Desember 1949), ada dua infrastruktur strategis yang segera dikuasai oleh orang Indonesia. Dua infrastruktur tersebut adalah bandara (di berbagai kota) dan pabrik senjata dan mesiu di Bandoeng. Ini dimaksudkan untuk memperkuat kedaulatan Indonesia di bidang penerbangan sipil untuk moda transportasi cepat bagi penduduk Indonesia dan produksi senjata dan mesiu untuk kebutuhan militer Indonesia.

Sejumlah pejabat Indonesia yang diangkat pada awal tahun 1950 diantaranya Ir. Tarip Abdullah Harahap sebagai Kepala Penerbangan Sipil yang berkedudukan di Djakarta dan Overste (Letkol) Ir. AFP Siregar gelar MO Parlindungan sebagai Kepala Perusahaan Sendjata dan Mesiu (PSM) yang berkedudukan di Bandoeng. Ir. Tarip Abdullah Harahap lulus tahun 1939 dari departemen teknik sipil dari Technisch Hoogeschool di Bandoeng (kini ITB). Ir. AFP Siregar lulus tahun 1940 dari departemen teknik kimia dari Universiteit te Delft. Ir. AFP Siregar adalah lulusan kedua dari Delft, sedangkan yang pertama adalah Ir. Pandji Soerachman Tjokroadisoerjo yang pada tahun 1950 diangkat sebagai Presiden (Rektor) Universiteit Indonesia (kini Universitas Indonesia).

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-06-1935: ‘Technische Hoogeschool. Dalam ujian akhir tingkat satu yang diikuti 45 kandidat, yang berhasil lulus adalah: Abdul Kader, Ms. A. Adels, R. Ahja, EJA Corsmit, E. Edward, M. Hoesen, H. Johannes, Lauw Jan, Liem Kiem Kie, Lic Hok Gwan, Lic Soen Giap, R. Moempoeni Dirdjosoebroto, Sardjono, JA van Schalk, AB Schrader, M. Soemarman, JF Strach, Tarip Abdullah Harahap, The Lian Thong dan Thee Kian Boen. Sebanyak 24 kandidat gagal; sementara satu kandidat dilakukan ujian ulangan’.

Pada fase inilah lapangan-lapangan terbang yang sejak era kolonial Belanda sebagai basis angkatan udara difungsikan untuk penerbangan sipil, termasuk lapangan terbang Magoewo di Djogjakarta. Namun persoalannya menjadi muncul karena pesawat-pesawat militer berukuran kecil-kecil.

Lapangan terbang yang pertama dikuasai oleh Republiken (pasca pengakuan Indoneisa oleh Belanda 27 Desember 1949) adalah lapangan terbang (vliegveld) di Magoewo. Di lapangan terbang Magoewo Kepala Staf Angkatan Darat Indonesia Kolonel Abdul Haris Nasution bermarkas. Di lapangan terbang lainnya seperti Tjililitan di Djakarta dan lapangan terbang Andir di Bandoeng masih intens pergerakan militer Belanda yang sebagian telah dipulangkan ke Belanda. Setelah mulai kondusif Kolonel Abdul Haris Nasution pindah ke Djakarta (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-01-1950).

Kepala Penerbangan Sipil, Ir. Tarip Abdullah Harahap mulai bekerja keras untuk merehabilitasi lapangan terbang yang ada karena banyak kerusakan selama perang dan juga melakukan renovasi (perluasan bandara) agar memenuhi persyaratan penerbangan internasional. Untuk itu Ir. Tarip Abdullah Harahap segera bergegas dengan anak buah ke Australia untuk mempelajari seluk beluk penerbangan sipil dan syarat-syarat yang akan dipenuhi untuk kelayakan lapangan terbang untuk pesawat (penerbangan) sipil. Lapangan terbang Magoewo dan lapangan terbang Tjililitan (kini Halim) mendapat high priority.

Ir. Tarip Abdullah Harahap sebagai Kepala Penerbangan Sipil dari Kementerian Perhubungan memimpin langsung untuk melakukan tugas-tugas pemeriksaan terhadap sejumlah lapangan terbang di Indonesia yang dimulai di Tjililitan dan Magoewo. Namun tidak semua lapangan terbang dapat dengan mudah dilakukan terutama di Makassar sehubungan dengan masih adanya properti militer Belanda. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-05-1951: 'Ir. Tarip Abdullah Harahap di Makasser, Kepala Departemen Penerbangan Sipil Kementerian Perhubungan berdiskusi dengan tentara dan administrasi sipil, menyangkut rencana untuk memulihkan hubungan udara antara Djakarta dan Ambon melalui Makasser’. Lapangan terbang di Makassar dan Ambon adalah lapangan terbang pertama di luar Jawa yang mendapat rehabilitasi dan renovasi untuk keperluan penerbangan sipil. Setelah itu baru Medan sebagaimana dilaporkan surat kabar Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-07-1952: Di Medan telah dibentuk sebuah komisi penerbangan (civil aviation) dalam rangka mengevaluasi kelayakan bandara Polonia Medan dan juga untuk melakukan studi persiapan bandara Blang Bintang di Kota Radja (kini Banda Aceh) untuk persiapan pendaratan jenis pesawat Convalrs. Komisi terdiri dari Tarip Abdullah Harahap (ketua)’.

Upaya rehabilitasi dan renovasi lapangan terbang (vliegveld) di berbagai kota tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut dari kebijakan pemerintah yang telah membeli (mengakuisisi) sebanyak delapan pesawat jenis Convalrs (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 29-09-1950). Disebutkan bahwa Dr. E. Van Konijnenburg, Direktur (maskapai) Garuda mengatakan bahwa akan melakukan akuisisi delapan Convairliners, (maskapai) Garuda akan mengeluarkan anggaran total lebih dari 70 juta Ruplah’. Pesawat jenis Convalrs memiliki badan yang lebih besar dari jenis Dakota.

Tidak seperti perusahaan strategis seperti Perusahaan Sendjata dan Mesiu (PSM) di Bandoeng yang harus dimiliki dan dipimpin oleh anak negeri (Ir. AFP Siregar), perusahaan-perusahaan non strategis pemerintah beberapa diantaranya dalam bentuk joint venture (Garuda dengan KLM) dan pengelolaannya diberikan kepada profesional asing seperti Direktur Garuda, Dr. E. Van Konijnenburg, Hingga awal tahun1951 jumlah armada Garuda Indonesian Airways sudah mencapai 38 buah pesawat (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 05-05-1951). Disebutkan bahwa Mr van Houten, wakil direktur Garuda Indonesla Airways telah mengumumkan bahwa GIA saat ini memilik 8 buah Convalrs, 22 buah Dakota dan 8 buah Catalinas’. Pesawat GIA jenis Convalrs secara bertahap akan menggantikan jenis Dakota (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-12-1952).

Sementara Perusahaan Garuda Indonesian Airways (GIA) terus meningkatkan kapasitasnya sebagai operator tunggal di Indonesia, Kementerian Perhubungan cq Direktorat Penerbangan Sipil yang dipimpin Ir. Tarip Abdullah Harahap terus bekerja keras untuk membenahi secara bertahap sejumlah lapangan terbang di berbagai kota. Lapangan terbang Tjililitan dan lapangan terbang Magoewo mendapat perhatian khusus sebab dua lapangan terbang ini menghubungkan jalur udara paling intens. Sementara itu, rehabiitasi dan renovasi lapangan terbang lainnya terus dilakukan.

Java-bode:nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1954: 'Ir. Harahap dari direktora penerbangan sipil, lapangan terbang di Den Pasar, Sumbawa. Waingapu, Kupang, Maumere dan Makassar dan lainnya menginspeksi bandara di bagian timur Indonesia'.

Itulah riwayat lapangan terbang Magoewo dan peristiwa jatuhnya pesawat terbang Indonesia di dekat lapangan terbang Magoewo yang mana salah satu pahlawan Indonesia yang gugur adalah Adi Soetjipto. Dalam perkembangannya, nama lapangan terbang Magoewo diresmikan dengan nama lapangan terbang (bandara) baru dengan menabalkan nama Adi Sucipto.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar