Laman

Kamis, 04 April 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (19): Sejarah Hari NKRI, 3 April (1950); Bagaimana Gagasan NKRI Muncul? Inilah Faktanya!


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Beberapa hari terakhir ini muncul usulan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar tanggal 3 April dijadikan Hari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Usulan ini sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa pahlawan nasional Mohammad Natsir yang telah berperan dalam Mosi Integral Natsir yang disahkan pada tanggal 3 April 1950. Usulan ini berkembang dari sarasehan nasional bertajuk "Peran Umat Islam dalam Memelopori, Mendirikan, Mengawal dan Membela NKRI" pada hari Senin 1 April 2019. Kementerian Agama (Kemenag) menyambut baik usulan dari MUI tersebut.

Pada tanggal 27 Desember 1949 secara resmi kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda yang bersamaan dengan pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintah RIS sudah terbentuk sejak tanggal 20 Desember 1949 yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta (Kabinet Hatta). Republik Indonesia hanya sebagai bagian dari RIS (yang mana wilayah lainnya dianggap sebagai negara-negara federal bentukan Belanda). Bersamaan dengan pemerintahan baru RIS ini juga sudah terbentuk parlemen. Namun dalam perkembangannya muncul gerakan di parlemen (mosi) untuk mendorong Indonesia terintegrasi kembali yang mosi tersebut ditandatangani pada tanggal 3 April 1950. Tanggal inilah yang diklaim MUI untuk dijadikan sebagai Hari NKRI.

Apa yang sesungguhnya terjadi pada tanggal 3 April 1950 boleh jadi banyak masyarakat Indonesia pada masa ini yang kurang mengetahui. Tentu usulan Hari NKRI ini penting, karena selama ini masyarakat umumnya hanya mengetahui semboyan NKRI Harga Mati namun bagaimana  NKRI itu terwujud kurang terinformasikan. Untuk itu artikel ini mendeskripsikan apa yang sesungguhnya terjadi di masa lampau pada sekitar tanggal 3 April 1950. Mari kita telusuri suratkabar sejaman..

Mosi Integral Republik Indonesia

Pada tanggal 3 April 1950 parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat) melakukan sidang untuk mendengar mosi integral yang diajukan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Mosi ini kemudian ditandatangani sejumlah anggota.

Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat) jumlah anggota terdiri dari 150 orang. Sebanyak 50 anggota mewakili dari Republik Indonesia, sedangkan daerah ex BFO (Bijeenkomst voor Federal Overlag) menunjuk sebanyak 100 anggota. Untuk Negara Sumatera Timur terdiri dari enam anggota (Het nieuwsblad voor Sumatra, 02-12-1949). Negara Pasundan akhirnya dibubarkan pada tanggal 30 Januari 1950 dibubarkan dan kembali ke Negara Republik Indonesia. Isyarat pembubaran Negara Pasoendan ini sudah muncul segera setelah terjadinya Agresi Militer Belanda II. Wali Negara Pasoendan mengundurkan diri karena tidak setuju serangan yang dilakukan ke ibukota RI di Jogjakarta.

Mr. Subadio Sastrosatomo, penggagas mosi menyatakan sampai saat ini, pemerintah RIS yang dipimpin Perdana Menteri Mohamad Hatta belum berani mengambil inisiatif untuk sampai pada kebijakan tertentu sehubungan dengan penghapusan berbagai nagara bagian dan penggabungan negara bagian ini dengan Republik Indonesia. Mosi ini integral ini muncul setelah memahami perkembangan di daerah.

De locomotief, 04-04-1950
De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-04-1950: ‘Jakarta, 3 April (Aneta). Pada hari Senin pagi, Partai Sosialis Indonesia mengajukan mosi ke Representasi Rakyat RIS (volksvertegenwoordiging van de RIS) dengan konten berikut: ‘Representasi Rakyat RIS, mengingat bahwa sangat perlu untuk membuat kebijakan integral dan programmatik sehubungan dengan konsekuensi dari perkembangan politik yang pesat akhir-akhir ini; Sebagian mempertimbangkan bahwa kehendak masyaralat dari berbagai daerah di Indonesia, seperti yang dinyatakan dalam gerakan yang berbeda kepada parlemen, untuk menghapuskan negara-negara asal Belanda (negara federalid) dan untuk merakit kembali daerah-daerah yang terkait dengan Republik Indonesia, diambil ke dalam hati seharusnya; Sedangkan dampak dari perkembangan ini didasarkan pada program pemerintah; Dan akhirnya, bahwa kebijakan penggabungan ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan internal seluruh Indonesia; bahwa memutuskan untuk mendesak pemerintah untuk mengambil inisiatif merancang setidaknya satu konsepsi secara integral dan terprogram, dimana masalah ini diselesaikan. Mosi ini ditandatangani bersama oleh Moh. Natsir (Masjumi), Sakirman (Partai Buruh Indonesia), Ngadiman Hardjosubroto (Partai Komunis Indonesia), Engel Sehetapy (Kelompok Demokrat), Dr. Tjokronegoro (Partai Petani); Moch. Tauchid (Partai Petani), K. Werojo (Partai Buruh) dan Tambunan (Partai Kristen Indonesia). [Lebih lanjut] Mr. Subadio Sastrosatomo, penggagas mosi, memberikan penjelasan kepada Aneta selama pertemuan. Sampai saat ini, pemerintah RIS belum berani mengambil inisiatif untuk sampai pada kebijakan tertentu sehubungan dengan penghapusan berbagai nagara bagian dan penggabungan negara bagian ini dengan Republik Indonesia. ‘Pemerintah sejauh ini bertindak sebagai mediator’, kata Subadio Sastrosatomo’.

Perkembangan di Negara Sumatera Timur sangat dinamik. Negara Sumatra Timur sendiri adalah negara boneka Belanda yang paling kuat diantara negara-negara bagian (federalis) karena perkebununannya dan jumlah populasi orang asing terutama Eropa/Belanda.

Diantara 40 anggota parlemen Negara Sumatra Timur terdapat sejumlah anggota yang tidak sependapat harus berlindung di bawah Belanda. Mereka yang oposisi ini adalah anggota parlemen yang berasal dari luar lingkungan kesultanan. Dalam situasi inilah hubungan Djogjakarta dan Medan terus dijaga diantara para Republiken. Di sejumlah kota yang sejak era perang telah dikuasai Belanda muncul perlawanan politik yang dikenal sebagai Front Nasional terus terjaga seperti Front Nasional Medan yang dipimpin oleh Dr. Djabangoen Harahap, Front Nasional Soerabaja yang dipimpin oleh Arnowo dan Front Nasional Sibolga yang dipimpin oleh Mohamad Nawi Harahap. Untuk sekadar diketahui Pemerintah RI yang berpusat di Jogjakarta dipimpin oleh Perdana Menteri Abdul Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdul Hakim Harahap. Sebagaimana diketahui Abdul Hakim Harahap adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Medan pada era kolonial Belanda (1930-1937) dan Residen Tapanoeli pada era perang kemerdekaan (1948-1949). Abdul Hakim Harahap adalah tokoh Masjumi.

Front Nasional Medan yang dipimpin oleh Dr. Djabangoen menginisiasi untuk melakukan Kongres Rakyat yang akan diadakan pada awal bulan April 1950. Kongres Rakyat ini bertujuan untuk mengetahui rakyat maunya apa: apakah federalis atau Republik. Sebab sebelumnya di Medan sudah muncul beberapa kali demonstrasi karena adanya dualisme kepempimpinan di Negara Sumatra Timur, yakni Kepemimpinan Kaum Federalis dan Kepemimpinan Republik(en).

Antara tokoh-tokoh Republiken dan tokoh-tokoh federalis melakukan balapan ke Djakarta. Delegasi Republiken dikirim ke Djakarta untuk menyampaikan niat untuk melakukan Referendum di Medan dan Sumatra Timur. Gelagat ini diketahui tokoh-tokoh federalis lalu membentuk delegasi ke Djakarta untuk bertemu dengan Perdana Menteri Mohamad Hatta agar rencana referendum di Negara Sumatra Timur dibatalkan. Perdana Menteri Mohamad Hatta tampaknya mengikuti keinginan delegasi federalis, tetapi kemudian tokoh-tokoh Republiken dari Sumatra Timur terus mendesak. Dengan terus di bawah tekanan, Pemerintah Pusat di Djakarta akhirnya menyetujui referendum apakah RIS atau NKRI. Hasilnya ternyata Republik yang menang dan meminta Negara Sumatra Timur dibubarkan.

Dinamika yang terjadi daerah inilah yang kemudian direspon oleh anggota palemen RIS di Djakarta yang kemudian Partai Sosialis Indonesia memajukan mosi integral Republik Indonesia. Mosi ini ditandatangani oleh sejumlah anggota parleman pada siang yang dilakukan pada tanggal 3 April 1950. Mosi ini terus bergulir tidak hanya di Indonesia tetapi responnya juga beragan di Eropa. Pemerintah RIS yang dipimpin Mohamad Hatta mulai membuka ruang diskusi.

Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 22-04-1950: ‘Untuk mencapai solusi integral mengenai struktur konstitusi Indonesia, sesuai dengan mosi yang diajukan oleh mantan menteri Mohamad Natsir (Masjoemi) di parlemen Indonesia, Pemerintah Pusat memutuskan untuk mengadakan apa yang disebut sebagai konferensi segi empat di Sekretariat Perdana Menteri pada tanggal 25 April , dengan demikian diputuskan dalam pertemuan Kabinet RIS Peserta konferensi segi empat ini adalah perwakilan dari pemerintah pusat Indonesia, Republik Djokjase dan negara-negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur.

Pertarungan dua kubu di Sumatra Timur (Republiken vs Federalis) semakin sengit yang menjadi pusat perhatian tokoh-tokoh Republiken di Djakarta dan Jogjakarta. Koalisi integral Republik Indonesia ini semakin mengerucut kepada dua tokoh Masjumi yakni Mohamad Natsir (anggota parlemen RIS) di Djakarta dan Abdul Hakim Harahap (Wakil Perdana Menteri RI) di Jogjakarta.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-04-1950 (Representatief): ‘Ada pihak yang kemudian berpendapat, bahwa RIS harus mengakui Kongres Rakyat sebagai parlemen yang demokratis, yang dapat dianggap mewakili 1,5 juta penduduk Sumatera Timur. Hal ini berbeda dengan Dewan Perwakilan dari Negara Sumatra Timur (NST), yang ditunjuk oleh Wali Negara. RIS regering Kongres milik Rakjat untuk mengenalinya sebagai Status Badan Penetapan Wilajah Negara Sumatera Timur, tubuh yang status daerah NST dapat vaststelen. Akhirnya datang ke interpretasi logis, Mr. Jacoeb mengatakan bahwa NST adalah gatra reaksioner, karena mereka hanya mewakili kepentingan promotor kuno--Komite Istimewa Daerah Sumatra. Ia juga menunjukkan banyak resolusi baru yang diadopsi oleh NST. Prov. menyimpulkan dengan menyatakan harapan bahwa NST akan dilikuidasi dan dimasukkan ke dalam Republik Indonesia. Tentang Yahya Jacoebs saran dilakukan 39 pembicara dari semua kelompok kata. Tanpa kecuali, mereka bersaksi persetujuan mereka pada kesimpulan. Setelah jawaban singkat dari Mr Jacoeb, Kongres berubah sesuai aceoord dan pergi dengan prinsip, bahwa NST harus dalam (Negara) Republik Indonesia. Lima orang komite kemudian ditunjuk dari politik, ekonomi, budaya, agama dan sosial. Mereka akan mempelajari saran lebih lanjut dan laporan tentang berbagai aspek masalah ini. Ketua komite tersebut (di mana semua kelompok diwakili) yang resp. Mr. M. Jusuf, Jusuf Adjitorop, GB Joshua, Hadji Rahman Sjihab dan Mr. H. Silitonga. Sementara itu jumlah fraksi diperluas dengan dua faksi progresif yakni Dr. Gindo Siregar, dan wakil sebagian kecil Karo’

Pada akhir Mei 1950 di Medan dilakukan rapat dewan Negara Sumatera Timur. Dalam rapat ini hanya 18 dari 40 anggota yang hadir. sehingga kuorum dari 20 itu tidak tercapai. Ini mengindikasikan Negara Sumatera Timur tidak efektif lagi. Namun Presiden dewan Sumatera Timur menyatakan masih valid dan tetap mengambil keputusan. Salah satu keputusan pemberhentian Wali Negara Sumatra Timur Tengku Hafas. Penggantinya ditunjuk Mr Abdul Wahab dan Dr. Mohamad Ildrem (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-06-1950). Inilah kemenangan pertama Republik Indonesia di negara-negara federal. Kemenangan Republiken di Sumatra Timur ini menjadi sumber kekuatan bagi seluruh Republiken di seluruh Indonesia. Boleh jadi Abdul Hakim Harahap sebagai Wakil Perdana Menteri RI di Jogjakarta mulai tersenyum.

Pada tanggal 17 Agustus 1950 secara formal NKRI terbentuk. Di Sumatra Utara sendiri untuk kali pertama diadakan Upacara Hari Kemerdekaan RI bahkan sejak tahun 1945. Upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ini dipimpin oleh Mr. GB Joshua Batubara. Dalam upacara ini Pidato Presiden Soekarno dari Istana Merdeka di Djakarta direlay dengan menggunakan perangkat Radio (RI) Medan. Upacara ini turut dihadiri Kolonel Maludin Simbolon (Panglima Sumatra Bagian Utara); Sarimin Reksodihardjo (Pejabat Kemerterian Dalam Negeri sebagai plt Gubernur Sumatra Utara) dan Dr. Djaboengoen Harahap (Ketua Front Nasional Medan).

Akhirnya Pemerintah RIS berakhir. Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk yang mana Mohamad Natsir ditunjuk sebagai formatur pembentukan kabinet baru (NKRI) untuk menggantikan Kabinet Hatta (RIS). Dalam susunan kabinet baru ini yang diresmikan pada tanggal 6 September 1950 Mohamad Natsir sebagai Perdana Menteri dan Soeltan Hamengkoeboewono sebagai Wakil Perdana Menteri. Untuk posisi Menteri Pertahanan diberikan kepada Abdul Halim sedangkan Menteri Luar Negeri diberikan kepada Mohamad Roem. Untuk Menteri Keuangan dijabat oleh Sjafroeddin Prawiranegara serta Menteri Agama dijabat oleh Wahid Hasjim.

Jogjakarta-Sumatra Timur
Mohamad Natsir, Mohamad Roem, Sjafroeddin Prawiranegara serta Wahid Hasjim yang menjabat posisi strategis di dalam Kabinet NKRI Kabinet Natsir adalah tokoh-tokoh Masjumi. Dengan demikian Kabinet NKRI boleh dikatakan sebagai Kabinet Masjumi. Sementara Soeltan Hamengkoeboewono yang sebelumnya sebagai Menteri Pertahanan di dalam Kabinet RIS diposisi sebagai Wakil Perdana Menteri sedangkan Abdul Halim sebagai Perdana Menteri RI di Jogjakarta diposisikan menjadi Menteri Pertahanan. Kabinet ini juga dapat dikatakan sebagai Kabinet NKRI Kabinet Jogjakarta.

Lantas kemana Abdul Hakim Harahap sebagai pemegang portofolia tertinggi yang menjadi awal munculnya mosi integral alias mosi NKRI. Perdana Menteri RI di Jogjakarta Abdul Halim sudah diposisikan sebagai Menteri Pertahanan, lalu bagaimana dengan posisi Abdul Hakim Harahap sebagai Wakil Perdana Menteri RI Jogjakarta. Abdul Hakim Harahap untuk sementara diperbantukan kepada Assaat di Kementerian Dalam Negeri sambil menunggu persiapan pembentukan Provinsi Sumatra Utara yang mana Abdul Hakim Harahap diproyeksikan sebagai Gubernurnya. Abdul Hakim Harahap dilantik menjadi Gubernur Sumatra Utara (gabungan Tapanoeli dan Sumatra Timur) pada tanggal 25 Januari 1951. .

Demikianlah proses munculnya NKRI. Suatu proses yang alot dan panjang yang dimulai oleh para Republiken di Medan dan Jogjakarta. Soekarno (Presiden RIS) dan Mohamad Hatta (Perdana Menteri RIS) yang sempat ‘mengingkari’ Republik Indonesia yang beribukota di Jogjakarta kembali diposisikan sebagai Presiden dan Wakil Presiden (NKRI).


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar