Laman

Minggu, 30 Juni 2019

Sejarah Bekasi (10): Majoor Moeffreni Moe’min, Komandan Tjikampek; Overste MO Parlindoengan, Colonel AH Nasoetion


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Batavia, Tjikampek dan Bandoeng adalah garis lalu lintas perjalanan kereta api terpenting di wilayah West Java. Garis ini juga menjadi penting pada era perang kemerdekaan Indonesia. Posisi Tjikampek sebagai interchange lalu lintas kereta api, juga lokasinya sangat stategis diantara dua medan pertempuran: wilayah pegunungan dan wilayah pantai. Itulah keutamaan kota Tjikampek. Pada era perang kemerdekaan, Mayor Moeffreni Moe’min menjadi Komandan Tjikampek.

Pada era perang kemerdekaan, ketika Belanda/NICA menggantikan posisi Sekutu/Inggris di Djakarta/Batavia, area pertempuran bergeser ke luar kota yang berpusat di tiga tempat: Depok, Tangerang dan Tjikampek. Garis terdepan wilayah Depok berada di Tjililitan dan Kalibata dan garis terdepan wilayah Tjikampek berada di Tjakoeng dan Tjilintjing. Belanda/NICA menganggap wilayah Depok menjadi penting karena terjadi kerusuhan di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945, sementara Sekutu/Inggris menganggap wilayah Tjikampek menjadi penting karena terjadi kecelakaan pesawat militer Inggris di Tjakoeng yang mana korban selamat dibunuh di Bekasi. Dua wilayah sisi luar Batavia ini menjadi wilayah terpenting Komando Siliwangi, dua wilayah yang bertetangga, dan dua wilayah gerilya yang saling terhubung sejak doeloe.  

Mayor Moeffreni Moe’min dan wilayah Bekasi menjadi tidak terpisahkan. Wilayah Bekasi mulai dari sungai Tjakoeng di barat hingga sungai Tjitaroem di timur. Saat terjadi berbagai peristiwa di Bekasi (23 November-13 Desember), di Tjikampek sudah dibentuk Garis Pertahanan Pertama (eerste verdedigingslinie) Republik. Komandannya adalah Mayor Moeffreni Moe’min. Lantas siapa Mayor Moeffreni Moe’min? Sejarahnya sudah banyak ditulis. Artikel ini tidak untuk mengulang, hanya sekadar untuk melengkapi. Itu berarti ada hal-hal baru yang selama ini tidak diceritakan. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Moeffreni Moe’min

Moeffreni masuk sekolah menengah pertama di NIATWU Mulo School di Batavia tahun 1939. Satu kelas dengan Moefreni antara lain Lim Bian Tjay, Kaharoedin dan Ibrahim. Seperti teman-temannya, Moeffreni berhasil naik ke kelas dua tahun berikutnya (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-06-1940). Namun belum sempat lulus, terjadi pendudukan (militer) Jepang.

Mohamad Moeffreni lahir pada tanggal 12 Februari 1921 di Pandeglang, Banten. Ayahnya bernama Mohammad Moe’min. Setelah dewasa, Mohamad Moeffreni menggunakan nama belakang ayahnya. Namanya kemudian lebih dikenal (hanya) sebagai Moeffreni Moe’min. Nama teman-temannya juga menjadi Kaharoedin Nasoetion dan Ibrahim Adjie.

Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, mulai terbentuk badan-badan keamanan rakyat. Di ibukota RI di Djakarta dipimpin oleh Moeffreni Moe’min. Teman-teman lamanya juga merapat ke Djakarta termasuk Kaharoedin Nasoetion dan Ibrahim Adjie. Di Bandoeng terbentuk badan keamanan rakyat oleh para mantan KNIL/Belanda seperti Abdul Haris Nasoetion, TB Simatoepang dan AE Kawilarang. Kelompok Moeffreni Moe’min di Djakarta umumnya lebih muda dan merupakan eks PETA/Jepang.

Pada tanggal 8 September 1945 utusan Sekutu yang dipimpin Inggris datang ke Djakarta. Utusan ini datang setelah sebelumnya Soekarno menemui pimpinan sekutu di Singapoera (De patriot, 18-10-1945). Kemudian tanggal 29 September 1945 pasukan Sekutu/Inggris telah merapat di pelabuhan Tandjong Priok. Tugas mereka hanya ada dua melucuti tentara Jepang dan membebaskan interniran Eropa/Belanda. Sementara badan-badan keamanan rakyat terbentuk, untuk mengantisipasi pasukan Sekutu/Inggris, Presiden Soekarno menginstruksikan kepada Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk membentuk Tentara (profesional) Indonesia. Pembentukan ini dimulai pada tanggal 1 Oktober 1945. Oerip Soemohardjo adalah mantan instruktur KNIL/Belanda. Langkah pertama yang dilakukan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo adalah merekrut 17 pemuda cemerlang di Djogjakarta dengan kualifikasi tertentu, antara lain Dr. Ibnoe Soetowo, Ir. MO Parlindungan dan Dr. Irsan Radjamin. Mereka yang 17 orang pertama ini diangkat dengan pangkat Letenan Kolonel (Overste).

Ir. MO Parlindungan adalah insinyur teknik kimia lulusan Fakultas Teknik di Delft tahun 1942. AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindungan adalah pribumi kedua yang lulus di sekolah elit dan super sulit tersebut. Lulusan pertama adalah Ir. Soerachman tahun 1922. Mahasiswa pertama di Teknik Delft adalah Raden Sosro Kartono (abang RA Kartini) tahun 1896, namun gagal di tahun pertama. Dalam kabinet RI pertama ini Ir. Soerachman menjabat sebagai Menteri Kemakmuran. Sementara itu Dr. Ibnoe Soetowo adalah lulusan sekolah kedokteran Soerabaja, 1940 sedangkan Dr. Irsan Radjamin, lulusan sekolah kedokteran di Djakarta 1943. Dr. Irsan Radjamin adalah anak Wali Kota Soerabaja,

Pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah mengeluarkan maklumat pembentukan Tentara Indonesia. Sementara itu, seiring dengan semakin derasnya aliran tentara Sekutu/Inggris yang masuk ke Indonesia, pada tanggal 13 Oktober Tentara Indonesia yang bermarkas di Bandoeng menyatakan Proklamasi Perang. Pada waktu yang sama Oemat Islam memproklamsikan perang (lihat Keesings historisch archief: 14-10-1945). Presiden Soekarno dalam dilema.

Siapa yang memproklamasikan perang dari Bandoeng ini diduga adalah grup pimpinan badan-badan keamanan rakyat yang dipimpin oleh Colonel Abdul Haris Nasoetion. Siapa yang mengatasnamakan Oemat Islam ini diduga kuat adalah kelompok-kelompok organisasi seperti Hizbullah.

Oleh karena begitu ngototnya Inggris untuk memasuki Indonesia, berbagai hal energi terkuras untuk merespon Inggris. Akibatnya Presiden Soekarno tidak ada kesempatan untuk menyempurnakan susunan menteri dalam kabinet. Kabinet (pertama) sendiri baru terbentuk pada tanggal 13 Oktober 1945 dengan daftar sebagai berikut (lihat Keesings historisch archief: 14-10-1945). Dalam susunan kabinet yang terdiri dari 15 orang termasuk Ir. Soerachman sebagai Menteri Kemakmuran (Maatschappelijk werk) dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan (Voorlichting).

Dengan terbentuknya kabinet RI pertama ini, paling tidak Soekarno dan Hatta tidak sendiri lagi, sudah ada pembantu Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kata lain sudah ada tim (kabinet) yang membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam merumuskan dan menjalankan berbagai kebijakan dan program. Namun dari daftar kabinet ini sungguh sangat tidak ideal karena belum ada Menteri Keamanan. Apalagi pada saat yang bersamaan harus menghadapi sekutu yang dipimpin Inggris (yang mana dibelakangnya menguntit Belanda/NICA/KNIL yang ingin menguasai kembali Indonesia).

Tanda-tanda perang kemerdekaaan ini sudah mulai terlihat. Ini dimulai pada tanggal 16 Oktober 1945 yang mana pasukan Belanda telah mengambil kendali lapangan terbang Tjililitan dan pasukan tambahan telah dikirim dari Singapoera untuk memperkuatnya.

Permulaan perang juga telah direspon pasukan sekutu Inggris. Ini terkesan dari  proklamasi yang dimaklumatkan Mayor Jenderal DC Hawthorne, komandan pasukan darat sekutu di Jawa (yang juga membawahi di Medan dan Padang) pada tanggal 14 Oktober 1945 menyatakan: ‘bahwa ia mengendalikan hukum dan ketertiban, perusahaan publik, mengambilalih pelayanan kesehatan dan makanan. Proklamasi mengutip fakta-fakta berikut yang akan dihukum oleh pemerintahan militer: sabotase, penjarahan, pemogokan di perusahaan publik, menolak untuk menjual kebutuhan untuk alasan apapun dan membawa senjata oleh orang yang bukan bagian dari pasukan sekutu atau polisi berseragam. Semua pertemuan publik, yang menghasut kerusuhan atau kerumunan, dilarang. Sebagian besar pelayanan publik yang dilakukan oleh Indonesia pada saat ini, bekerja secara independen atau di bawah kepemimpinan Jepang. Proklamasi juga menyatakan bahwa semua layanan harus dilaksanakan sekarang memiliki orang-orang untuk bekerja sampai mereka diambilalih oleh pemerintahan militer. Sampai saat itu akan mengontrol layanan yang dilakukan oleh pemerintahan sipil Jepang (lihat juga Keesings historisch archief: 14-10-1945).

Pernyataan Sekutu/Inggris pada tanggal 14 Oktober 1945 ini haruslah diartikan bahwa secara defacto Sekutu/Inggris telah memerintah di Indonesia. Padahal sebelumnya, Sekutu/Inggris meminta Soekarno hanya sebatas membebaskan tawanan Eropa/Belanda dan melucuti militer Jepang. Perubahan sikap Sekutu/Inggris besar dugaan disebabkan dua hal, yakni adanya negosiasi Belanda/NICA di belakang Sekutu/Inggris dan juga meningkatnya eskalasi politik di dalam negeri yang sudah menimbulkan perlawanan terhadap pasukan asing (Sekutu/Inggris dan Belanda/NICA) yang telah memasuki wilayah Indonesia. Dalam hal inilah kelompok perlawanan di Bandoeng menyebut Soekarno harus bertanggungjawab karena telah memberi jalan bagi Sekutu/Inggris memasuki wilayah Indonesia.

Pada tangga 17 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan Indonesia. Dua pasukan Belanda ditembak tentara Indonesia di atas pohon dengan senapan mesin (De patriot, 18-10-1945). Inilah kontak pertama tentara Indonesia dengan (pasukan) Belanda/NICA.

Pasukan Belanda (NICA) terus melakukan konsolidasi dan pasukan dari waktu ke waktu terus mengalir. Belanda semakin bernafsu untuk kembali ke Indonesia (negara yang pernah menjadi jajahannya beberapa abad lamanya). Pasukan sekutu Inggris yang tujuan utama untuk membebaskan tawanan Eropa/Belanda dan melucuti tentara Jepang namun dinamika  politik yang terus berlangsung (antara negara Inggris dan negara Belanda) menjadi dalam posisi dilematis. Oleh karena itu muncul tuntutan dari (pemerintah) Indonesia yang disampaikan kepada komandan Sekutu/Inggris. Tuntutan itu adalah sebagai berikut (Leeuwarder koerier, 20-10-1945): (1) Tidak ada pasukan Belanda di Indonesia dapat dimasukkan ke darat; (2) Semua pasukan Belanda meninggalkan Indonesia; (3)  NICA harus tetap keluar dari layanan; (4) Pemerintah sekarang harus diakui sampai masalah ditinjau oleh ‘otoritas dunia’ yang kompeten; (5) Pendudukan tentara Sekutu/Inggris harus dibatasi untuk urusan yang terkait dengan semua tawanan perang dan melucuti tentara Jepang.

Semua tuntutan itu dalam kenyataannya tidak digubris baik oleh Inggris maupun Belanda. Tampaknya Belanda merasa percaya diri untuk mengambil peran yang lebih luas dari Inggris dan merasa mampu untuk menguasai Indonesia kembali. Di lain pihak, pemerintahan yang baru terbentuk di bawah Presiden Soekarno belum mampu sepenuhnya mengkonsolidasikan kelompok-kelompok perlawanan (terutama pemuda) di seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas. Para Gubernur dan Residen yang sudah ditunjuk belum bekerja secara efektif.

Pasukan Sekutu/Inggris semakin deras masuk ke Indonesia. Pada tanggal 18 Oktober 1945 pasukan Sekutu/Inggris memasuki Bandoeng. Lalu pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan Sekutu/Inggris mendarat di Semarang dan kemudian menyusul pada tanggal 25 Oktober 1945 pasukan Sekutu/Inggris mendarat di Soerabaja.

Pada tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Surabaya. Ketika terdesak, tentara Sekutu/Inggris mengusulkan perdamaian. Pemimpin militer Sekutu/Inggris di Soerabaya meminta pemimpin Indonesia (Soekarno) untuk mengadakan gencatan senjata di Surabaya. Ir. Soekarno dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap berangkat ke Soerabaja. Secara defacto, ketika Ir. Soekarno dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap ke Soerabaja pasca kerusuhan/gencatan senjata Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Menteri Penerangan telah bertindak sebagai Menteri Pertahanan dan Panglima Perang (dalam susunan daftar kabinet tidak/belum ada Menteri Pertahanan).

Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo yang turut mendamping Ir Soekarno dan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, sebelumnya sudah menugaskan 17 tentara profesional ke sejumlah tempat tertentu. Overste Dr. Ibnoe Soetoeo ke Tjepoe untuk mengamankan isntalasi minyak. Sementara Overste Dr. Irsan Radjamin ke Soerabaja untuk menangani logistik dan penanganan kesehatan untuk memback-up pejuang yang terluka. Sedangkan Overste Ir. MO Parlindoengan yang awalnya di Bandoeng untuk membantu Colonel Abdul Haris Nasoetion dalam menangani pabrik senjata dan mesiu kemudian di perbantukan ke Soerabaja untuk penanganan bom-bom peninggalan Jepang yang digunakan dalam pertempuran Soerabaja.

Untuk memperkuat kesatuan yang berada di bawah Colonel Abdul Haris Nasoetion di Tjikampek, Overste Ir. MO Parlindoengan mulai memasok dalam jumlah besar ke Tjikampek seiring dengan peningkatan konsentrasi pasukan di Tjikampek. Suplai senjata ini juga mengalir hingga perbatasan di timur Djakarta dan ke Buitenzorg hingga ke perbatasan di selatan Djakarta.

Wilayah Tjikampek dan Poerwakarta adalah wilayah yang diproyeksikan oleh Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap untuk garis pertahanan pertama di pedalaman. Posisinya yang strategis dapat mendukung pasukan ke tiga arah front pertempuran yakni ke barat ke Djakarta, ke selatan ke Bandoeng, dan ke timur ke Tjirebon. Sejauh ini hingga pada akhir bulan Oktober, Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin (masih) memuji kedisiplinan tentara di Depok, Tangerang dan Tjikampek.

Akan tetapi persoalannya menjadi lain ketika terjadi peristiwa jatuhnya pesawat Dakota yang membawa serdadu Inggris/India dari Djakarta ke Semarang yang mendarat darurat di Tjakoeng tanggal 23 November. Majoor Madmoein Hasiboen dan pasukannya dari Tjilinting berhasil menangkap semua serdadu yang selamat. Tawanan yang jumlahnya 22 orang ini dievakuasi ke Odjoeng Menteng dan kemudian dipindahkan ke penjara Bekasi. Dua hari kemudian Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang mendapat laporan mengirim surat melalui utusan agar para komandan di Bekasi dan Tjikampek membawanya ke Batavia. Besoknya Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap baru mengirimkan pemberitahuan ke markas Sekutu/Inggris (yang berada di Djakarta). Baru ingin merespon markas Sekutu/Inggris mendapat kabar semua tahanan di Bekasi telah dibunuh. Pasukan yang membunuh semua serdadu Sekutu/Inggris ini adalah pasukan (laskar) Banteng Hitam. Lalu pada tanggal 29 Sekutu/Inggis mengirim ekspedisi ke Bekasi untuk pengangkutan mayat dan pembebasan interniran di penjara Bekasi dan pencarian dua mayat di Tjakoeng.

Pada tanggal 13 Desember kembali lagi Sekutu/Inggris mengirim ekspedisi ke Bekasi untuk tindakan balas dendam. Mereka menemukan kampong-kampong kosong dan berhasil menangkap empat orang anggota Banteng Hitam. Pesawat pembom yang melihat truk yang melarikan diri dari Bekasi berhasil menghancurkannya. Dalam situasi marah terhadap pembunuhan serdadu Inggris/India korban selamat pesawat Dakota, pasukan Sekutu/Inggris membakar Bekasi dan kampong-kampong lain. Total sebanyak 600 rumah ludes terbakar termasuk 60 buah rumah orang Tionghoa. Sejak itu, markas Banteng Hitam di Bekasi direlokasi ke Tjikampek (berbaur dengan konsentrasi pasukan di Tjikampek).

Situasi dan kondisi yang semakin mencekam di Djakarta, pemerintahan RI mulai pada awal bulan Januari secara bertahap dipindahkan ke Jogjakarta. Dalam perpindahan ini komandan sektor Djakarta pusat, Majoor Soedarsono turut serta evakuasi sambil mengawal rombongan pemerintah ke Jogjakarta. Pusat komando yang selama ini dibawah pimpinan Majoor Moefferin Moe’min direlokasi ke Tjikampek. Praktis di dalam wilayah Djakarta tidak terdapat lagi pasukan, dan telah bergeser semuanya ke luar kota Djakarta. Sebaliknya wilayah Djakarta sudah sepenuhnya dikuasai oleh Belanda/NICA.

Perseteruan pasukan Sekutu/Inggris dengan tentara Indonesia dan para pejuang (laskar dan rakyat) di Bandoeng semakin hari semakin memuncak. Pasukan Sekutu/Inggris yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal MacDonald mulai kewalahan dan memberi ultimatum hingga pada tanggal 24 Maret. Untuk menghindari jatuhnya korban seperti di Soerabaja dan kerugian di Bekasi, Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap segera bergegas dari Jogjakarta dengan kereta api untuk berkonsultasi dengan Colonel Abdul Haris Nasution. Usulan Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap untuk mengungsi hingga batas tertentu dapat dituruti oleh Colonel Abdul Haris Nasoetion, Akan tetapi perintah Colonel Abdul Haris Nasoetion untuk mengungsi sangat sulit terutama dari para pejuang (laskar dan penduduk). Namun pada akhirnya perintah itu dapat dituruti. Dalam proses pengugsian inilah terjadi aksi bumi hangus di wilayah Bandoeng Selatan. Aksi ini boleh dikatakan sebagai respon terhadap pembakaran oleh Sekutu/Inggris di Bekasi. Dengan aksi pembakaran di Bandoeng Selatan ini akan membuat sejumlah bangunan penting dan rumah-rumah yang potensial tidak dapat digunakan oleh Sekutu/Inggris vis-a-vis Belanda/NICA yang akan segera menyusul ke Bandoeng.      

Sehubungan dengan semakin menguatnya Belanda/NICA yang telah menggantikan Sekutu/Inggris, wilayah pertahanan Indonesia kembali dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Pemerintah RI membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap) dan struktur kemiliteran. Dalam pengumuman ini juga Kolonel Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Nama-nama para pimpinan TRI ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.

Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soerjo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibijo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni Kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.

Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut Jenderal (Soedirman, sebagai Panglima). Pangkat dibawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo, sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel (belum digunakan pangkat Brigadir Jenderal).

Dalam struktur baru ini, Majoor Soedarsono dipromosiskan sebagai perwira tinggi sebagai Panglima Divisi-3 dengan pangkat Mayor Jenderal. Sebelumnya Majoor Soedarsono adalah komandan sektor Djakarta Pusat yang mengawal Presiden, Wakil Presiden dan Menteri serta pejabat pemerintah. Ketika ibukota RI dipindahkan ke Jogjakarta Majoor Soedarsono dan pasukannya juga ikut evakuasi ke Jogjakarta. Dalam hal ini Panglima Divisi-3 meliputi wilayah Jogjakarta.

Majoor Moefferin Moe’min yang juga kologe Major Soedarsono di Djakarta diposisikan sebagai Komandan Resimen di Tjikampek dengan pangkat Letnan Kolonel. Sebelumnya, semua pasukan yang bergerak di Djakarta dan telah bergeser ke luar Djakarta telah dintegrasikan di dalam kesatuan Divisi Siliwangi. Dengan struktur baru ini di West Java dengan panglimanya Majoor Generaal Abdul Haris Nasoetion, Letnan Kolonel Moefferin Moe’min menjadi salah satu komandan resimen di wilayah komando-3 (Siliwangi) yang meliputi wilayah Karawang dan Bekasi. Untuk resimen di Buitenzorg (Bogor dan Soekabomei) di bawah komando Letnan Kolonel AE Kawilarang. Poerwakarta sendiri telah menjadi pusat komando Siliwangi setelah pasukan dievakuasi dari Bandoeng (pasca bumi hangus Bandoeng).

Setelah tugas Sekutu/Inggris selesai, seperti diduga, Belanda/NICA akan menggantikannya. Dalam fase era melawan Belanda/NICA inilah pemerintah melakukan reorganisasi ketentaraan. Reorganisasi ketentaraan ini dilakukan oleh tiga tokoh utama yang berada di Jogjakarta yakni Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Kolonel Zulkifli Loebis (Kepala Intelijen Negara) dan Soeltan Hamengkoeboewono (Pemimpin Wilayah Jogjakarta, ibukota RI).

Zulkifli Loebis lahir di Kota Radja (kini Banda Aceh) tahun 1923. Setelah menyelesaikan pendidikan HIS dan MULO di Kota Radja, anak guru ini melanjutkan studi ke Jogjakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan AMS di Jogjakarta kemudian terjadi pendudukan militer Jepang. Zulkifli Loebis bergabung dengan pusat pelatihan militer di Magelang. Lalu Zulkifli Loebis termasuk yang dilatih di sekolah militer Jepang di Tangerang. Dalam angkatan pertama ini termasuk Daan Mogot dan Moeffreni. Setelah selesai pendidikan Zulkifli Loebis kembali ke Jogjakarta (telah menjadi anak Jogja). Pada tahun 1944 Zulkifli dibawa salah satu komandan Jepang ke Singapoera dan mendapat kesempatan belajar intelijen. Lalu Zulkifli Loebis ditempatkan di Koeala Loempor. Kota ini tidak asing bagi Zulkifli Loebis, sebab banyak kerabat yang tinggal di Koeala Loempoer (kota Koeala Loenpoer di didirkan oleh orang Mandailing en Angkola, kini Tapanuli Selatan). Ketika Indonesia merdeka dan masuknya Sekutu/Inggris, Zulkifli Loebis adalah satu-satu orang Indonesia yang memiliki keahlian khusus di bidang intelijen (seperti halnya Ir. MO Parlindoengan di bidang teknik kimia). Zulkifli Loebis mulai membagun badan intelijen negara di Djakarta. Ketika ibukota RI pindah ke Jogjakarta, seperti halnya Majoor Soedarsono, Zulkifli Loebis juga pindah ke Jogjakarta. Zoelkifli Loebis seakan kembali ke kotanya di Jogjakarta. Sebagai anak Jogja, Zulkifli Loebis cukup dekat dengan Soeltan. Trio Amir, Loebis dan Soeltan inilah yang membuat desain baru organisasi TRI/TNI. Dalam struktur baru TRI/TNI ini Zulkifli Loebis sebagai kepala badan intelijen sedangkan rekannya dari Djakarta, Majoor Soedarsono menjadi Panglima Divisi-2 (Jogjakarta en Soeracarta). Seperti diduga, pasca reorganisasi ini Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dibantu dengan penambahan Menteri Negara urusan Pertahanan yakni Soeltan Hamengkoeboewono.

Setelah reorganisasi ketentaraan ini, struktur TRI/TNI semakin rapih dan solid dalam menghadapi pasukan Belanda/NICA. Pertempuran yang tidak berkesudahan lalu kemudian terjadi proses diplomatik yang ditindaklanjuti dengan gencatan senjata (sejak 14 Oktober) dan dilanjutkan dengan suatu perundingan antara pemerintah Indonesia (PM Soetan Sjahrir) dengan pajabat Belanda/NICA di Linggarjati, Jawa Barat pada tanggal 11 November 1946. Pada saat perjanjian Linggarjati, yang menjadi komandan Resimen di Tjirebon adalah Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min.

Sebelum diselenggarakannya konferensi Linggardajti, untuk menjaga situasi dan kondisi kondusif , Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan kepala badan intelijen negara Kolonel Zilkifli Loebis menggeser posisi Letnan Kolonel Moefferin Moe’min dari Resimen Tjikampek ke Resimen ke Tjirebon. Amir mangandalkan Zulkifli Loebis, lalu Kolonel Zulkifli Loebis mengandalkan teman lamanya Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (sesama PETA/Jepang). Disamping itu, mertua Moeffreni Moe’min adalah seorang wedana di Tjirebon.

Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min tidak lama bertugas di Tjirebon. Pemindahannya dari Resimen Tjikampek ke residem Tjirebon bukan untuk mendekatkan diri ke rumah mertua, tetapi hanya semata-mata untuk diandalkan komandannya untuk mengamankan proses perundingan Linggarjati, Setelah usai perjanjian Linggarjati, Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min dipindahkan ke wilayah Priangan Timur. Pada bulan April 1947 Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min ditugaskan untuk menjabat sebagai komandan sekolah perwira Divisi-1 Siliwangi yang dipusatkan di Garoet. Tentu saja pekerjaan ini tidak sulit, karena Moeffreni Moe’min memiliki pengalaman sebagai instruktur pada era pendudukan Jepang.

Pada tanggal 3 Juli Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dilantik menjadi Perdana Menteri untuk menggantikan Soetan Sjahrir. Meski sudah menjabat posisi Perdana Menteri, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap masih merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Soeltan Hamengkoeboewon tetap menjadi Menteri Negara urusan Pertahanan. Itu berarti Kolonel Zulkifli Loebis tetap di posisinya sebagai kepala intelijen negara.

Namun baru dua minggu Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap memimpin kabinet, Belanda/NICA pada tanggal 20 Juli 1947 melancarkan serangan militer yang kemudian disebut Agresi Militer Belanda. Pada agresi militer Belanda ini Moeffreni Moe’min yang tengah bertugas di sekolah perwira di Garoet tertangkap dan diasingkan ke Noesakambangan. Kolonel Zulkifli Loebis kehilangan teman lamanya.

Belanda/NICA berdalih bahwa TNI dan pejuang (laskar dan rakayat) melakukan gangguan dan kemudian melakukan serangan dan pendudukan di wilayah-wilayah yang dikuasi oleh Republik. Padahal agresi ini jelas-jelas untuk merebut wilayah-wilayah yang potensial dimana banyak perkebunan-perkebunan besar seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Timur dan Jawa Barat. Perkebunan di Jawa Barat mencapai wilayah-wilayah di Soemedang dan Garoet.

Perseteruan antara Republik dengan Belanda yang tidak pernah putus akhirnya Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk gencatan senjata pada tanggal 1 Agusrus dan keputusan PBB ini ditindaklanjuti oleh Belanda/NICA. Gencata senjata dimulau tanggal tanggal 17 Agustus 1947. Tindakan selanjutnya Dewan Keamanan PBB membentuk komisi tiga negara untuk menengahi. Indonesia meminta Australia dan Belanda meminta Belgia. Kedua belah pihak sepakat Amerika Serikat disertakan. Perundingan dilakukan pada tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal Amerika Serikat, Renville.

Meski gencatan senjata sudah diberlakukan sejak tanggal 17 Agustus 1947, pertempuran yang tiada habisnya antara Republiken dengan militer Belanda/NICA tetap berlangsung di wilayah antara Karawang dan Bekasi. Wilayah ini sangat straregis dan menjadi keinginan Belanda/NICA yang belum terpenuhi. Wilayah Karawang-Bekasi yang berpusat di Tjikampek sudah sejak lama dikuasiai oleh Republik. Tjikampek adalah interchange penting karena persimpangan jalur kereta api antara Batavia dengan Bandoeng dan Semarang. Menjaga kedaulatan di Tjikampek menjadi harga mati. Jebol berarti habis segalanya. Tjikampek adalah pemutus rantai Belanda/NICA di Jawa.

Sesuai keinginan Belanda/NICA melakukan agresi untuk merebut wilayah Republik lebih luas menjadi sulit ditahan. Militer Belanda yang telah menguasai wilayah-wilayah potensial di Indonesia seperti Sumatra Timur dan Jawa Barat menjadi harga mati. Belanda/NICA dengan sendirinya mematok hanya mengakui Jawa Tengah, Jogjakarta dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Dua wilayah Indonesia yang kaya (perkebunan) di Jawa boleh dikatakan secara paksa dilancarkan oleh Belanda/NICA. Itu menjadi inti perjanjian Renville. Belanda/NICA juga memaksa melalui perjanjian agar TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Konsekuensi dari perjanjian ini pihak Republik harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai TNI. Pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi harus hijrah ke Jawa Tengah. Divisi ini mendapatkan julukan Pasukan Hijrah oleh masyarakat Kota Yogyakarta yang menyambut kedatangan mereka.

Melihat rekasi yang muncul dari berbagai pihak dari hasil perjanjian yang tidak mengenakkan ini, Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap mengundurkan diri dan mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno. Pada tanggal 29 Januari 1948 sudah terbentuk dan diresmikan kabinet baru yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta dimana Menteri Pertahanan dijabat oleh Soeltan Hamengkoebewono. Sebaliknya para pimpinan TNI mulai gerah dengan Belanda/NICA dan TNI akan melakukan agresi dengan caranya sendiri yakni mengingkari perjanjian Renville dan semua TNI kembali berjuang ke wilayah masing-masing. Kesepakatan para pimpinan TNI ini dituangkan dalam Surat Perintah Siasat No 1 Tanggal 9 November 1948 yang ditandatangani Jenderal Soedirman.

Instruksi ini dikeluarkan tidak lama setelah penumpasan pemberontakan yang terjadi di Madiun berhasil dipadamkan. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 yang dipimpin oleh Kolonel AH Nasoetion.

Namun belum sepenuhnya Surat Perintah Siasat No 1 Tanggal 9 November 1948 dapat ditindaklanjuti, Belanda/NICA kembali melancarkan agresi militer (disebut Agresi Militer Belanda kedua). Agresi militer Belanda kedua ini dimaksudkan untuk merebut seluruh wilayah Indonesia. Pada tanggal 19 Desember 1948 ibukota Jogjakarta diduduki oleh Belanda/NICA dan menahan Presiden dan Wakil Presiden lalu mengasingkannya ke Sumatra.

Dalam situasi ini pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat untuk berjuang. Pasukan ini berangkat dari Jogjakarta pada tanggal 20 Desember 1948. Panglima Jenderal Soedirman juga segera mengungsi untuk melakukan gerilya dari luar kota. Namun pasukan Jenderal Soedirman dapat ditangkap oleh Belanda/NICA (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 21-12-1948). Dalam kondisi sakit parah, Jenderal Soedirman dibawa ke Jogjakarta. Dengan ditahannya Jenderal Soedirman dan lebih-lebih dengan dibrangusnya Radio Djogka maka hubungan dengan para komandan-komandan militer yang bergerilya di berbagai tempat menjadi terputus. Menteri Pertahanan Soeltan Hamengkoeboewono dilakukan tahanan rumah di Jogjakarta, Panglima TNI Jenderal Soedirman sudah ditahan dalam kondisi sakit. Praktis kekuatan militer Indonesia (TNI) hanya berada di tangan dua orang: Wakil Kepala APRI Letnan Jenderal TB Simatupang (yang bergerilya di Jawa Tengah) dan Kepala Teritorium Jawa Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution (yang bergerilya di Jawa Barat).

Melihat situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan Jenderal Soedirman mulai menyadari tak elok dirawat oleh medis Belanda. Apa lagi hanya Jenderal Soedirman sendiri yang berada di Jogjakarta. Para pemmpin telah diasingkan sementara pasukan TNI terpencar-pencar di berbagai tempat di Jawa dan Sumatra. Soedirman bukanlah Presiden atau Menteri. Soedirman adalah Jenderal. Dalam kondisi belum sehat, Jenderal Soedirman keluar dari Jogjakarta (melarikan diri dari pengawasan Belanda/NICA).

Dimana Jenderal Soedirman berada masih belum diketahui. Yang jelas Jenderal Soedirman tidak lagi berada di tangan medis Belanda. Juga sulit menduga jika Jenderal Soedirman sudah bergerak jauh karena kondisinya yang masih sakit. Satu-satunya tempat dimana Jenderal Soedirman berada adalah di kraton Jogjakarta.

Dalam perkembangan terakhir kantor berita Aneta di Batavia 31 Januari 1949 yang mengutip surat kabar Repoebliken Pedoman telah diumumkan melalui radio bahwa Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra sedang mempersiapkan para pemimpin Repoebliken untuk di Jawa. Untuk komisaris di Jawa berada di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman (lihat  Het nieuws : algemeen dagblad, 31-01-1949).

Dalam berita ini tidak disebutkan apakah Jenderal Soedirman masih berada di kraton Jogjakarta. Namun yang jelas dalam perkembangannya Jenderal Soedirman setuju dengan keputusan dari Sumatra tersebut

Perang yang tidak pernah putus, apalagi dengan kembali pasukan Siliwangi ke Jawa Barat, akhirnya mulai ada inisiatif pertemuan perwakilan Belanda dan perwakiltan Republik Indonesia yang dimulai tanggal 14 April 1949 yang hasilnya dikenal sebagai Perjanjian Roem-Royen yang ditandatangani tanggal 7 Mei 1949 di Djakarta. Selama proses perundingan Roem-Royen pihak Republiken di Jawa telah menyelesaikan konsolidasi.

Satu yang penting dari perjanjian ini implikasinya adalah Republik Indonesia (para Republiken) kembali ke Jogjakarta yang pada gilirannya dilanjutkan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Satu hal yang menjadi pertanyaan pasca perjanjian Roem-Royen ini adalah belum diketahuinya dimana posisi (gerilya) Jenderal Soedirman.

Untuk sekadar tambahan sisa pertempuran Republik Indonesia melawan Belanda/NICA tinggal hanya di sejumlah tempat, yakni di Jawa Barat di daerah antara Sukabumi dan Tjiandjur; di Jawa Tengah di daerah Djokja dan Solo; di Jawa Timur di daerah Kediri, Kertosono dan Malang; di Sumatera konsentrasi ini terutama di daerah sekitar Bukit Tinggi; daerah Kabandjahe (selatan Medan); Tarutung (selatan Danau Toba) dan di sekitar Padang Sidempuan (lihat Algemeen Handelsblad, 11-05-1949).

Ada dua poin penting di seputar proses penjanjian Roem-Royen yakni kembalinya Republik ke Jogjakarta dan upaya menemukan kontak dengan Letnan Jenderal Soedirman dan Kolonel TB Simatupang. Secara khusus TB Simatupang sangat diperlukan segera karena TB Simatupang berpengalaman dalam implementasi pasca perjanjian Renville tahun 1947. Namun dimana posisi gerilya TB Simatupang dan Soedirman sulit diketahui. Akan tetapi secara umum menurut laporan tidak resmi Soedirman bergerilya di wilayah selatan Jongjakarta sementara TB Simatupang diduga berada di wilayah utara Jogjakarta.

Saat-saat inilah Soeltan Hemengkoeboewono yang keduanya teman baiknya sulit untuk menemukan kontak. Soeltan Hamengkoeboewono yang juga pemimpin daerah Jogjakarta tempat dimana Republik kembali memerlukan keduanya. Kekhawatiran Soeltan Hamengkoeboewono sangat beralasan jika salah satu diantara kedua petinggi TNI itu tidak ada. Sebab di dalam kota Jogjakarta bisa chaos atau paling tidak muncul kriminalitas karena militer Belanda akan segera evakuasi dari Jogjakarta. Setelah beberapa lama Soeltan Hamengkoeboewono berhasil menemukan kontak dengan TB Simatupang di sekitar wilayah Banaran, Jawa Tengah. Pihak militer Belanda juga sangat khawatir jika tidak ada yang mampu mengendalikan situasi saat mereka evakuasi ada kemungkinan mereka diserang dari belakang. Kedatangan kembali Kolonel TB Simatoepang ke Joghjakarta telah menjamin keamanan tidak hanya bagi kraton yang menjadi tuan rumah kembalinya Presiden dan Wakil Presiden, juga menjamin militer Belanda/NICA tidak diserang dari belakang saat evakuasi (ke Semarang).

Akhirnya Kolonel TB Simatupang tiba di Jogjakarta yang dijemput dari Banaran (Jawa Tengah). Soeltan Hamengkoeboewono lega. Kolonel TB Simatupang adalah Republiken pertama yang kembali ke Jogjakarta. Beberapa hari kemudian militer Belanda melakukan evakuasi dari Jogjakarta.

Pemerintah Belanda/NICA sempat meminta gencatan senjata dan jaminan kepada Kolonel TB Simatupang saat mereka evakuasi. Namun militer Belanda tak menyangka mendapatkan jawaban yang mengejutkan. Simatupang menjawab diplomatis: ‘Akan sulit untuk mengakhiri gerilya dan meminta jaminan’ (lihat Algemeen Handelsblad, 04-07-1949). Boleh jadi Soeltan Hamengkoeboewono yang mendengar permintaan itu tersenyum. Tentu saja Soeltan lega setelah militer Belanda evakuasi dari Jogjakarta. Sejak serangan ke Jogjakarta 19 Desember 1948 Soeltan Hamengkoeboewono yang diawasi sebagai tahanan rumah kini 100 persen bebas. Sementara Simatupang memberi jawaban seperti boleh jadi diartikan ‘pergi kalian ke Belanda dan jangan kembali kesini’.

Dalam proses evakuasi tersebut terjadi dua tembakan ringan. Tembakan itu datang dari arah belakang pasukan terakhir yang evakuasi. Boleh jadi tembakan TNI itu menunjukkan pelampiasan kekesalan terhadap militer Belanda atau boleh jadi tembakan itu menggambarkan kegembiraan di antara anggota TNI yang sepenuhnya telah menguasai (kembali) Jogjakarta. Hanya itulah yang dilaporkan insiden satu-satunya di Jogjakarta saat berlangsungnya evakuasi militer Belanda

Soekarno dan Mohamad Hatta dan tokoh lainnya dijadwalkan akan kembali ke Jogjakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Namun persoalan lain muncul karena Mr. Sjafroeddin Prawiranegara pimpinan Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Bukittinggi belum ada kontak. Untuk itu dikirim delegasi RI ke Bukittinggi yang terdiri dari Leimena, Natsir dan Halim pada tanggal 4 Juli 1949 dengan menggunakan pesawat KLM.ke Padang yang selanjutnya melakukan perjalanan ke Bukittinggi dimana delegasi ini akan menunggu kontak dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya. Upaya ini dilakukan karena sebelumnya Mohamad Hatta sudah dua kali gagal kontak dengan Sjafroeddin Prawiranegara dan tokoh lainnya yang bergerilya di sekitar Bukittinggi.

Singkatnya: Pemerintah RI kembali ke Jogjakrta. Persiapan ke KMB di Den Haag dilakukan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta yang didampingi penasehat ekonomi Abdul Hakim Harahap (Residen Tapanoeli). Sementara Mohamad Hatta dan Abdul Hakim Harahap ke Belanda, Prof. Tadoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia ke Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Perjanjian KMB ditandatangani dan diberlakukan pada tanggal 27 Desember 1949.

Majoor Moeffreni Moe’min Kembali ke Djakarta

Wujud dari pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, sesuai hasil perjanjian KMB pada tanggal 27 Desember di Istana Koningsplein di Batavia terjadi serah terima dari Dr. Lovink ke Soeltan Hamengkoeboewono yang disusul penandatanganan piagam. Dalam serah terimana ini turut dihadiri Sjafroeddin Prawiranegara dan Maria Ulfah. Dari kalangan TNI yang hadir antara lain Kolonel TB Simatupang, Kolonel Abdul Haris Nasution dan Commodore Soeryadarma.

Pada tanggal yang sama, 27 Desember 1949 di Amsterdam (karena perbedaan waktu), Perdana Menteri Mohamad Hatta menerima dari Ratu Belanda yang kemudian dilakukan penandatanganan piagaam. Upacara ini merupakan pemisahan bangsa Belanda dan bangsa Indonesia setelah berabad-abad, yang dilangsungkan di sebuah gedung kuno di Amsterdam. Gedung yang menjadi Balai Kota ini adalah konstruksi yang pembangunannya dimulai pada 1648 oleh Pemerintah Kota Amsterdam.

Hari esoknya pada tanggal 28 Desember 1949 Presiden Soekarno berangkat dari Jogjakarta dan kembali ke ibukota RI di Djakarta. Sementara itu, setelah usai di Belanda, Mohamad Hatta dan rombongan kembali ke tanah air tanggal 2 yang disambut Presiden Soekarno di lapangan terbang Kemayoran.

Seminggu kemudian dilaporkan bahwa pimpinan TNI diputuskan yang mana Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Sebelumnya sudah diumumkan untuk jabatan Panglima TNI yakni Kepala Angkatan Perang RI adalah TB Simatupang. Jenderal Soedirman sakitnya semakin parah dan tidak lama kemudian dikabarkan telah meninggal dunia di Magelang tanggal 29 Januari 1950.

Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min yang selama ini berada di tahanan Belanda/NICA di Nusakambangan, setelah pengakuan kedaulatan ini telah otomoatis dibebaskan. Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min telah berada di Djakarta.  

Kolonel Abdul Haris Nasoetion tentu sangat mengetahui siapa yang telah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan Indonesia. Kolonel Abdul Haris Nasoetion akan menempatkan setiap orang yang memiliki kualifikasi pada bidangnya, apakah di bidang teritorial atau bidang keahlian khusus. Satu yang penting, Overste Ir. MO Parlindoengan yang selama ini telah mendukung habis Kolonel Abdul Haris Nasoetion apakah saat melawan Sekutu/Inggris maupun hijrah ke Jawa Tengah.

Overste Ir. MO Parlindoengan diposisikan untuk menjabat Kepala Perusahaan Sendjata dan Mesioe di Bandoeng tahun 1950. Perusahaan peninggalan Belanda ini sudah pernah ditangani oleh Overste Ir. MO Parlindoengan ketika Kolonel Abdul Haris Nasoetion sebagai Panglima Divisi-1 Siliwangi. Overste Ir. MO Parlindoengan pensiun dini karena ingin mengelola bisnis pada tahun 1954. Perusahaan ini kelak disebut PT Pindad.  .    

Kolonel Abdul Haris Nasoetion kemudian menempatkan Majoor Moeffreni Moe’min di Markas Angkatan Darat sambil menunggu penempatan. Lalu kemudian Majoor Moeffreni Moe’min ditetapkan sebagai Komandan Brigade ke-15 Divisi Siliwangi Bogor. Sehubungan dengan serah terima militer dari Belanda kepada Indonesia dilakukan serah terima dari Letnan Kolonel Beets, Komandan Batalion KNIL Infanteri XXIV di Soekaboemi kepada Majoor Moeffreni Moe’min (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-05-1950).  

Ayahnya sendiri Mohamad Moe’min sebelumnya telah diangkat menjadi Residen Militer di Poewakarta (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-01-1950). Lalu tidak lama kemudian Mohamad Moe’min juga merangkap sebagai Residen Krawang (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 01-03-1950). Residen Mohamad Moe’min yang berkedudukan di Poerwakarta kemudian diperluas dengan nama wilayah yang baru yang disebut Residen Djakarta (luhat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-02-1951). Dengan kata lain wilayah keresidenan Djakarta, pada saat ini meliputi wilayah Jakarta, Bekasi, Purwakarta dan Krawang.  

Pada bulan Januari 1951 Majoor Moeffreni Moe’min dipromosikan menjadi Panglima Militer Teritorial (territoriaal hoofdofficier) di West Java (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode,    01-02-1951). Disebutkan Majoor Moeffreni Moe’min akan menggantikan Overste B Saragih; Majoor Muffreni Moe’min sebelumnya adalah komandan sub-wilayah Bogor.

Penempatan Majoor Moeffreni Moe’min di Bandoeng boleh jadi karena Majoor Moeffreni Moe’min pernah bertugas di Priangan Timoer pada era perang kemerdekaan. Divisi Siliwangi masih punya persoalan lama dengan kelompok-kelompok tertentu terutama di Priangan Timur. Saat ini Panglima Siliwangi dijabat oleh Kolonel Sadikin.

Pada bulan April 1951 dibuka Pusat Pelatihan Perwira APRI wilayah West Java di Bandoeng yang beralamat di Djalan Papandajan. Pelatihan Perwira ini dibuka oleh Overste Dr.  Erie Soedewo, Kepala Staf Divisi Siliwangi mewakili Kolonel Sadikin (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 13-04-1951). Disebutkan pelatihan para perwira ini terutama ditujukan kepada perwira teritorial yang belum ditempatkan. Dalam pembukaan ini turut hadir Gubernur West Java, Sewaka, Wali Kota Bandoeng Enoch dan Komandan PMT Majoor Moeffreni Moe’min. Pelatihan diikuti oleh sebanyak 200 peserta yang akan berlangsung selama tiga bulan di bawah komando Kapten Legiman.

Kolonel Sadikin di era BKR adalah Komandan di Djakarta Pusat. Pada masa ini pangkat Sadikit dua tingkat berbeda dengan Moeffreni Moe’min. Boleh jadi kenaikan pangkat Sadikin terjadi ketika Moeffreni Moe’min berada di tahanan Belanda/NICA (1947-1949). Overste Dr. Erie Soedewo adalah salah satu dari 17 tantara profesional yang direkrut oleh Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemodihardjo. Overste Ir. MO Parlindoengan juga telah berada di Bandoeng sebagai Kepala Perusahaan Sendjata dan Mesioe Angkatan Darat.   

Pada bulan Mei 1951 Gubernur Jawa Barat M Sewaka diangkat menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Soekiman-Soewirjo (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 17-05-1951). Disebutkan bahwa  Mas Sewaka telah mendelegasikan tugas itu kepada Kepala Staf Keamanan (Overste Erie Soedewo) dan sebagai ketua pelaksana dan Majoor Moefferin Moe’min sebagai wakil hingga gubernur terpilih diangkat.

Dalam mengisi kekosongan Gubernur Jawa Barat ini muncul berbagai usulan. Sejumlah tokoh terkemuka Tjirebon dan juga tokoh masyarakat di Kabupaten Bandung mengusulkan Mohamad Moe’min menjadi Gubernur Jawa Barat yang kini menjabat sebagai Residen Djakarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-06-1951). Disebutkan nama Sanusi Hardjawinata juga muncul. Sebagaimana dikethaui kelak yang terpilih adalah Sanusi Hardjawinata.

Pada tahun 1952 Majoor Moeffreni Moe’min kembali ke Markas Angkatan Darat. Pada tahun 1955 menjelang Pemilu Majoor Moeffreni Moe’min menjadi calon legislatif dari Partai IPKI. Ketika Majoor Moeffreni Moe’min dicalonkan tentu saja harus berhenti (cuti di laur tanggungan) menjadi dari dinas militer.

Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) didirikan pada tanggal 20 Mei 1954. Lalu organisasi ini menjadi partai yang ikut pada Pemilu tahun 1955. Partai ini digagas oleh Abdul Haris Nasoetion. Saat itu Abdul Haris Nasution sedang dirumahkan karena persitiwa demonstrasi militer ke Istana pada tanggal 17 Oktober 1952 yang memprotes campur tangan anggota parlemen di pemerintah. Terhadap peristiwa ini Abdul Haris Nsoetion, Kepala Staf Angakatn Darat diberhentikan dan digantikan oleh Kolonel Zulkifli Loebis. Dalam perkembangan berikutnya Jenderal TB Simatoepang juga diberhentikan. Sebagai solidaritas terhadap teman, Soeltan Hamengkoeboewono yang menjadi Menteri Pertahanan ssat itu kemudian mengundurkan diri. Pada fase menganggur ini. Abdul Haris Nasoetion menulis buku Pokok-Pokok Gerilja. Buku ini sangat terkenal hingga ini hari.

Ketegangan yang terus muncul diantara anggota TNI, Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap meminta Menteri Negara Pertahanan Abdul Hakim Harahap untuk mendamaikan seluruh tentara. Abdul Hakim Harahap, mantan Residen Tapanoeli, Penasehat ke KMB dan Wakil Perdana Menteri RI terakhir di Jogjakarta mengumpulkan semua kolonel Indonesia di Jogjakarta. Dalam rapat para kolonel itu Abdul Hakim Harahap dengan tegas mengatakan para kolonel untuk memilih pimpinan sendiri. Dalam rapat tersebut muncul dua tokoh yakni Kolonel Abdul Haris Nasoetion dan Kolonel Zulkifli Loebis. Hasil voting menunjukkan Kolonel Abdul Haris Nasoetion. Nama Abdul Haris nasoetion yang disodorkan PM Boerhanoedin Harahap kepada Presiden Soekarno dan dengan terpaksa menerimanya. Sejak tahun 1955 Abdul Haris Nasoetion diangkat kembali sebagai KASAD. Ternyata keduanya menjadi sangat kompak dan bertahan hingga tahun 1965.

Beberapa anggota legislatif yang terpilih dari IPKI adalah Moeffreni Moe’min, Ovesrte Mr. Arifin Harahap dan Majoor Oking (lihat Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 12-03-1956). Tiga orang ini semasa perang adalah berada di dalam dan pinggir Djakarta. Moeffrein Moe'min di Tjikampek dan Oking di Tjibinong. Arifin Harahap berada di dalam kota di Djakarta untuk mengepalau suatu instansi milik pemerintah RI (yang sudah pindah ke Jogjakarta). Institusi ini semacam kedubes pada masa ini. Sebab saat itu meski Djakarta sudah dikuasai NICA/Belanda, faktanya masih banyak republiken yang bertahan (tetap tinggal) di Djakarta.

Mr. Arifin Harahap adalah sarjana hukum lulusan Recht Hogeschool di Batavia tahun 1939. Mr. Arifin Harahap termasuk salah satu dari 17 tentara profesional yang direkrut oleh Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo tahun 1945 dengan pangkat Overste (Letnak Kolonel). Overste Mr. Arifin Harahap adalah kepala rombongan terakhir pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Dakarta ke Jogjakarta. Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Sutan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (Nieuwe courant, 17-10-1946). Overste Mr. Arifin Harahap seorang sarjana cemerlang yang pernah menjadi menteri di dalam tujuh kabinet mulai dari Kabinet Kerja I (10 Juli 1959) hingga Kabinet Dwikora III (25 Juli 1966). Ketika Suharto menjadi anggota kabinet (Kabinet Ampera I) Mr. Arifin Harahap tidak lagi menjadi menteri, tetapi pada Kabinet Pembangunan I (era Suharto), tahun 1969 Mr. Arifin Harahap diangkat menjadi Duta Besar untuk Aldjazair. Overste Mr. Arifin Harahap adalah adik kandung Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap.

Untuk sekadar catatan kembali, pada saat pembentukan struktur militer, pemerintah menugaskan Letnan Jenderal Oerip untuk membentuk kesatuan fungsional dengan merekrut sejumlah pemuda yang berpredikat sarjana cemerlang (banyaknya 17 orang). Mereka yang direkrut baru ini diberi pangkat Letnan Kolonel (Overste). Untuk urusan persenjataan direkrut Ir. MO Parlindoengan (Ir. AFP Siregar) lulusan fakultas teknik kimia Universiteit te Delf. Juga sejumlah dokter muda seperti Dr. Ibnu Soetowo, Dr. Erie Soedewo, Dr. W. Hutagalung, Dr. Irsan Radjamin (anak dari wali kota pertama Soerabaja, Dr. Radjamin Nasution). Dalam hal ini Dr. Soetowo ditempatkan di pengilangan minyak di Tjepoe (kelak menjadi direktur pertamina) dan Dr. W Hutagalung ditugaskan menjadi dokter pribadi panglima, Jenderal Soedirman. Ir. MO Parlindoengan sebagai ahli teknik kimia ditugaskan ke pabrik persenjataan dan mesiu di Bandoeng (kelak menjadi direktur perusahaan senjata dan mesiu tersebut, kini Pindad). Dari bidang hukum juga direkrut antara lain Mr. Kasman dan Mr. Arifin Harahap.

Besar dugaan Majoor Moeffreni Moe’min berhenti dari dinas militer tahun 1955 (karena terjun ked dunia politik). Majoor Moeffreni Moe’min menjadi anggota parlemen, Sementara itu, pada tahun 1955 ini Overste Ir. MO Parlindoengan berhenti dari dinas militer sebagai Direktur Perusahaan Sendjata dan Mesiu di Bandoeng (kini PT Pindad). Ahli bom tersebut memutar haluan untuk kegiatan bisnis. Overste It. MO Parlindoengan pernah menulis buku yang bersifat kontroversial yang berjudul Tuanku Rao (terbit pertama tahun 1964).


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar