Laman

Jumat, 09 Agustus 2019

Sejarah Tangerang (10): Sejarah Awal Pendidikan di Tangerang, Bukan di Banten Tetapi di Serang; Mengapa Telat Tangerang?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini

Sebelum ada (kota) Serang, kota (pelabuhan) Banten sudah ada sejak jaman kuno. Kota Tangerang bediri jauh sebelum lahirnya kota Serang. Namun introduksi pendidikan modern (aksara Latin) tidak selalu mengikuti tingkat kosmopolitan sebuah kota. Bahkan untuk urusan pendidikan bagi pribumi, introduksi pendidikan modern justru lebih awal di kota Serang dibandingkan di kota metropolitan Batavia dan kota satelit Tangerang. Mengapa? Itulah pertanyaan pentingnya. Pertanyaan yang sejauh ini belum pernah ditanyakan.

Pendidikan bagi pribumi di Hindia Belanda belumlah lama. Pada era VOC tidak pernah terdeteksi pendidikan modern apakah untuk orang Eropa/Belanda maupun orang pribumi. Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda (setelah 1816), pendidikan juga belum menjadi prioritas. Baru beberapa tahun kemudian pendidikan bagi anak-anak orang Eropa/Belanda dimulai dan hanya terbatas di beberapa tempat, terutama di tempat-tempat utama dimana banyak berdomisili orang Eropa/Belanda seperti di Batavia, Soerabaja, Semarang dan Padang. Pada tahun 1822 pemerintah menyelenggarakan prndidikan bagi anak-anak pribumi seperti di Batavia, Soerabaja dan Padang dengan menyedikan guru-guru Belanda yang mampu berbahasa Melayu. Namun minim peminat (boleh jadi dianggap tidak berguna). Akhirnya program ini tidak jelas. Program top-down tidak jalan. Yang kemudian secara perlahan-lahan adalah program bottom-up pada level daerah yang diinisiasi oleh Asisten Residen atau Controleur. Di beberapa tempat program bottom-up ini jalan seperti di Soeracarta dan Fort de Kock.

Afdeeling Tangerang dipimpin oleh seorang Schout (setingkat Controleur). Schout Tangerang tidak bisa berbuat banyak karena wilayahnya  hampir seluruhnya terdiri dari land-land partikelir dimana di setiap land yang berkuasa adalah tuan tanah (landheer). Pemerintah (dalam hal ini Schout) tidak bisa melakukan intervensi di dalam land. Akibatnya, Schout hanya mengurusi masalah keamanan dan peradilan. Sementara para landheer hanya berpikir tentang  pembangunan (ekonomi dan pertanian) dan kurang peduli terhadap bidang sosial seperti kesehatan dan pendidikan penduduk. Semua ini menjadi sebab awal mengapa introduksi pendidikan modern di Afdeeling (district) Tangerang seakan terlantar. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Kweekschool dan Docter Djawa School

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

1 komentar: