Laman

Sabtu, 18 Januari 2020

Sejarah Menjadi Indonesia (33): Sebut Aku Tionghoa, Dia Adalah Orang Tiongkok; Sejarah Awal Orang Cina di Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sejarah orang-orang Cina di Indonesia (baca: Hindia) sudah sedari doeloe, bahkan jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa. Namun penggunaan nama Tionghoa dan Tiongkok belumlah lama. Penggunaan terminologi baru pada era Hindia Belanda sehubungan dengan gerakan orang-orang Cina untuk menjadi Indonesia (sebagaimana orang-orang Arab untuk menjadi Indonesia).

Dalam hal ini kita tidak sedang membahas klain Pemerintah Cina terhadap laut Natuna Utara, tetapi soal terminologi Tionghoa dan Tiongkok. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 telah mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keputusan tahun 2014 ini ingin mengembalikan sebutan Tionghoa untuk masyarakat Cina dan Tiongkok untuk negara Cina. Dalam bahasa sehari-hari dari sudut pandang Indonesia: ‘Sebut aku Tionghoa, dia adalah orang Tiongkok’.   

Bagaimana sejarah introduksi dan penggunaan nama Tionghoa dan Tiongkok tentu saja sudah pernah ditulis. Namun tentu saja itu masih belum cukup. Memahami sejarah introduksi dan penggunaan nama Tionghoa dan Tiongkok diharapkan akan memperkaya pemahaman kita tentang gerakan menjadi Indonesia di era Hindia Belanda. Bagaimana itu bisa terwujud? Mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Menjadi Tionghoa Sebelum Menjadi Indonesia

Gerakan Tionghoa bermula ketika ada gerakan menjadi Hindia.  Orang-orang Cina asal Cina, Chineesche Chineezen ingin menjadi orang Cina Hindia, Indische Chineezen (lihat De Sumatra post, 27-07-1906). Mereka tidak ingin terikat dengan negara Cina, mereka hanya ingin sepenuhnya di negara Hindia. Ketika (negara) Hindia Belanda (Nederlansche Indie) masih menganut dwikewarganegaran, gerakan ini artinya mereka ingin membuang KTP Cina dan hanya menyisakan satu saja di dompet, KTP Hindia Belanda.

Orang-orang Eropa/Belanda sebelumnya juga telah memulai gerakan menjadi Hindia dan tidak ingin terikat dengan negara (kerajaan) Belanda. Mereka ingin hanya menjadi warga negara Hindia. Dalam hubungan ini mereka ingin sepenuhnya tentang Hindia: Dari Hindia, Oleh Hindia dan Untuk Hindia. Gerakan ini ingin menghapus nama Nederlandsche dari negara yang disebut Nederlandsche Indie (Hindia Belanda). Gerakan ini mengkristal dengan terbentuknya Indisch Verbond pada tahun 1896. Mereka yang ingin berjuang menjadi Hindia ini adalah orang-orang Indo (orang Eropa/Belanda yang lahir dan besar di Hindia). Seperti kita lihat nanti, gerakan menjadi Hindia ini oleh para Indo, untuk memperkuat barisan, lalu dikembangkan untuk merangkul pribumi yang menjadi asal-usul munculnya Indische Partij (Partai Hindia) yang dimotori oleh tiga orang yang kini lebih dikenal sebagai tiga serangkai (EFE Douwes Dekker/Setiabudi, Soerjaningrat/Ki Hadjar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo).

Gerakan orang-orang Cina yang ingin menjadi Hindia ini lebih intens di Jawa jika dibandingkan di luar Jawa. Meski demikian, gerakan menjadi Hindia ini juga dari waktu ke waktu terus meningkat di luar Jawa. Langkah pertama dari gerakan orang Cina menjadi Hindia ini adalah pembentukan organisasi Algemeen Chineesch Verbond (ACV) atau Tionghwa Tjong Hoi pada tanggal 15 Januari 1906.

Dalam pembentukan organisasi ACV tersebut hadir delegasi dari berbagai asosiasi Tiong Hwa Hwee Kwan yang diwakili oleh asosiasi Batavia, Tanah Abang, Pasar Bahroe, Serang, Baitenzorg, Cheribon, Pemalang, Pekalongan, Semarang, Magelang, Solo, Ngawi, Kediri, Djombang, Toeloeng Agoeog, Blitar, Bondowosso, Batang, Poerbolinggo dan Surabaija Selain itu, surat-surat diterima yang menyatakan dukungannya dari asosiasi di Mojokerto, Tegal, Malang, Indramajoe, Probolinggo, Pasoeroean, dan Boemi Ajoe. Dalam pertemuan ini juga ditetapkan pada tahun pertama ini kantor pusat ditetapkan di Semarang.

Sebut Aku Tionghoa: Perhimpoenan Tionghoa Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar