Laman

Jumat, 17 April 2020

Sejarah Air Bangis (20): Sejarah Parit Batu dan Sejarah Kinali; Benteng Parit Batoe Era Padri dan Perang Antara Pasaman dan Tiku


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Parit Batu dan Kinali adalah nama baru, namun Pasaman adalah nama kuno, nama yang lebih tua dari Air Bangis dan Priaman. Nama-nama yang terbilang sudah ada sejak jaman kuno antara lain Batang, Batahan, Sikarbou, Oedjoeng Gading, Pasaman dan Tikoe. Nama Parit Batoe diduga merujuk pada nama kampong Parit (di dekat Odjoeng Gading). Benteng yang diduga dibuat pada awal era Padri diduga menjadi sebab kampong Parit berubah nama menjadi kampong Parit Batoe.

Benteng Parit Batoe
Antara kerajaan Pasaman dan kerajaan Tikoe muncul nama kerajaan baru yang disebut kerajaan Kinali. Saat terjadi perang antar kerajaan Pasaman dan kerajaan Tikoe pada era Pemerintah Hindia Belanda, kerajaan Kinali terjepit. Untuk menghindari perseteruan, Pemerintah Hindia Belanda memisahkan kerajaan Tikoe dan kerajaan Pasaman ke dalam afdeeling yang berbeda. Kerajaan Tikoe dimasukkan ke afdeeling Priaman dan kerajaan Pasaman plus kerajaan Kinali disatukan dengan kerajaan-kerajaan lainnya yang berdekatan dengan nama afdeeling Ophir Districten. Ibu kota afdeeling Ophir Districten awalnya di Parit Batoe kemudian direlokasi ke Taloe. District-district yang termasuk (afdeeling) Ophir Districten adalah Kinali, Pasaman, Taloe, Sinoeroet dan Tjoebadak

Lantas apa pentingnya sejarah Parit Batoe dan sejarah Kinali ditulis? Boleh jadi itu dianggap sepele. Tapi sejarah tetaplah sejarah. Yang jelas sejarah awal Parit Batoe berwarna-warni dari era rezim Padri hingga era rezim Pemerintah Hindia Belanda. Nama Parit Batoe baru muncul ke permukaan ketika ibu kota Pasaman Barat ditetapkan di kota Simpang Ampek. Dengan ditetapkan Simpang Ampek, yang sejatinya Simpang Ampat sebagai ibu kota kabupaten, paling tidak nama Kinali terangkat lagi. Untuk menambah pengetahuan, dan untuk meningkatkan wawasan sejarah, meri kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Kerajaan Pasaman

Setiap era ada upaya dominasi yang satu terhadap yang lain dalam berbagai genre kekuasaan (rezim): ekonomi, politik, teritorial, paham, sosial, budaya dan lain sebagainya. Rezim oder baru mendominasi terhadap orde lama, rezim Pemerintah Republik Indonesia terhadap rezim pendudukan militer Jepang dan rezim pendudukan militer Jepang terhdap rezim Pemerintah Hindia Belanda.

Demikian juga rezim Pemerintah Hindia Belanda mendominasi rezim kerajaan-kerajaan. Tentu saja antar satu kerajaan dengan kerajaan lainnya. Pada fase inilah rezim yang baru muncul Padri mendominasi kerajaan Pagaroejoeng. Rezim Pemerintah Hindia Belanda lalu menghabisi rezim Padri. Soal upaya mendominasi dalam berbagai genre juga masih terkesan adanya hingga ini hari.

Pada era VOC, nama Parit Batoe belum dikenal. Nama yang sudah dikenal adalah nama kampong Parit di dekat Odjoeng Gading. Namun nama kampong Parit hanyalah sebuah kampong kecil dari kerajaan Odjoeng Gading Sikarbou. Kerajaan-kerajaan yang sudah ada sejak lama (jaman kuno) adalah kerajaan Baros, kerajaan Batahan, kerajaan Pasaman, kerajaan Tikoe dan kerajaan Indrapoera. Semua kerajaan ini berada di pantai. Kerajaan-kerajaan Priaman, Natal, Tapanoeli dan Air Bangis adalah kerajaan yang muncul kemudian.

Kerajaan Pasaman bermula di muara sungai Pasaman. Nama sungai dan nama gunung Pasaman diduga sudah ada sejak jaman kuno. Sungai Pasaman dan anak sungainya sungai Kanaikan bermuara di gunung Koelaboe. Orang Eropa pertama mengunjungi Pasaman adalah Paulus van Cardeen, ekpedisi kedua VOC yang berangkat dari Atjeh pada bulan November 1600. Paulus van Cardeen juga mengunjungi Tikoe dan Priaman (sebelum mereka mencapai Bantam). Hingga beberapa dasawarsa kemudian nama Tikoe dan Priaman serta Indrapoera lebih utama dari Pasaman bagi pedagang VOC maupun pedagang Inggris datang kemudian.

Nama Padang baru muncul tahun 1660. Di Priaman tempat kedudukan gubernur (panglima) dari kerajaan Atjeh. Lambat-laun kehadiran Atjeh di pantai barat Sumatra dianggap penghalang oleh orang Belanda maupun Inggris. Lalu muncul surat dari panglima van Padang di Batavia tahun 1661. Setelah pengusiran Atjeh dari Padang (1665), mulai muncul nama Air Bangis (sebagai pusat perdagangan baru). Pada tahun 1668 Atjeh terusir dari Priaman dan Tikoe. Nama Air Bangis telah menggantikan Pasaman. Meski demikian semakin banyak nama tempat yang muncul seperti Sikarboeu, dan Sikilang, Nama Natal muncul pada tahun 1711. Pada tahun 1721 Natal, Air Bangis dan Pasaman menjadi tiga kota perdagangan yang penting. Pada tahun 1725 pemimpin Batak dari pedalaman menyerang Baros dan memberi jalan bagi Atjeh ke Baros namun kembali ke tangan Eropa. Dalam perkembangannya muncul nama Tapanoeli.

Pada era VOC ini juga, ibu kota kerajaan Pasaman relokasi dari muara sungai Pasaman ke muara sungai Batang Kapas. Ibu kota baru ini sangat strategis dan kuat karena memiliki benteng alam (daratan antara sungai dan laut). Ibu kota baru kerajaan Pasaman ini kemudian dikenal sebagai kampong (kota) Sasak. Nama Sasak diduga nama-nama kuno, seperti halnya nama Indrapoera, Pasaman, Masang, Tikoe, Kiawai, Rao dan Telo (Taloe dan Talamau).

Pada tahun 1762 VOC berupaya untuk membujuk bekerjasama dengan kerajaan yang berada di antara Pasaman dan Tikoe (yang disebut Klein Pasaman) yang dipimpin oleh Soetan di Kinali (penyebutan gelar yang umum di Mandailing, red).

Ketika Inggris mencoba membuka pos perdagangan di Priaman, pembukaan pos Inggris di utara wilayah Padang yang dekat dengan wilayah Belanda kembali menjadi sumber perselisihan baru. Lalu kemudian benteng Marlborough di Bengkolen yang dinilai oleh Inggris sangat penting, setelah Perdamaian Paris 1763, Bengkoelen dinyatakan bebas dari Madras dan Bengkoelen dinyatakan sebagai wilayah administasi yang terpisah (Inggris di Hindia Timur menjadi head to head dengan VOC).

Pada tanggal 10 September 1768, wakil pedagang (onderkoopman) VOC dan Resident VOC di Air Bangis membuat perjanjian dengan kepala (Radja) Groot Pasaman agar VOC bisa berlabuh di wilayahnya. Radja Kinali tidak bersedia melakukan kerjasama.

Tidak diketahui secara jelas atas dasar apa VOC menempatkan sebanyak 50 orang Eropa dan pasukan Bugis di pantai Klein Pasaman. Radja Kinali memang tidak melakukan perlawanan, tetapi menghalangi pedagang VOC memasuki wilayahnya (ibu kota Kinali) dengan menghancurkan semua jalan-jalan masuk dan membanjiri sungai dengan kayu-kayu gelondongan. VOC sangat bernafsu untuk mendapatkan Kinali, sebab Kinali menjadi satu-satunya tempat dan sungai yang dapat mencegah Inggris bersatu dengan Soetan di Kinali dan melindungi penduduk pegunungan di Pegunungan Ophir.

Kerajaan Kinali adalah kerajaan independen yang berada di antara wilayah VOC di sebelah selatan (Priaman dan Tikoe) dan di utara (Air Bangis dan Pasaman). Sikap politis kerajaan Kinali ini dapat dipahami mengingat wilayah antara Batahan hingga Baros telah menjadi wilayah kerjasama Inggris. Sementara kerajaan Kinali memiliki hubungan yang dekat dengan kerajaan-kerajaan di pedalaman di pegunungan Ophir dan Rao.

Residen Inggris di Padang (1895-1919)
Pada tahun 1781, satu skuadron Inggris berangkat dari Madras dialihkan ke pantai barat Sumatra. Langkah Inggris ternyata membuat Belanda ciut dan mulai meninggalkan Padang dan semua pos perdagangan lainnya di pantai barat Sumatra. Dalam perkembangannya Inggris sudah menyapu habis semua kekuatan Belanda bahkan di pulau-pulai kecil. Setelah itu Sir Stamford Raffles ditempatkan sebagai Gubernur di Benkoelen. Inggris menjadi Radja di Sumatra. Inggris pada tahun 1795 membuka cabang pemerintah (setingkat Residen) di Padang.

Inggris yang juga mulai melemah di Jawa dan Maluku, sehubungan dengan semakin menguatnya posisi mereka di Sumatra, Inggris memindahkan banyak pohon dari pulau rempah-rempah Ambonia ke Benkoelen. Upaya ini adalah kerja keras. Setelah sempat dikuasai Prancis, Jawa kembali dikuasao oleh Belanda (setelah VOC dinyatakan bangkrut (terbentukanya Pemerintah Hindia Belanda). Pada tahun 1811 Inggris mengalahkan Belanda. Pada tahun 1816 kekuasaan diambil alih kembali oleh Belanda (termasuk Sumatra, minus Bengkoelen).

Pada era Sumatra dikuasai Inggris, pada tahun 1803 di wilayah pedalaman Minangkabau muncul agama sekte baru yang kemudian dikenal sebagai kaum Padri. Ketika Gubenur Raffles melakukan ekspedisi ke Pagaroejoeng (Minangkabau) pada tahun 1818 mulai muncul keinginan para pengeran untuk bekerjasama dengan Inggris. Oleh karena keuasaan telah beralih ke Belanda, niat para pangeran ini diteruskan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Kerjasama pangerang Pagaroejoeng dengan Pemerintah Hindia Belanda diratifikasi (yang menjadi pemicu terjadinya gerakan Padri melawan Belanda).

Pada tahun 1821 di Bengkoelen terdapat lebih dari seratus ribu pohon pala dan sekitar tiga puluh ribu pohon cengkeh sedang mekar-mekarnya. Produksi pala dan cengkeh yang terus melimpah di Bengkoelen menjadikan Inggris tidak tergantung lagi dengan Maluku. Kondisi yang menguntungkan di Bengkoelen ini Inggris menganggap Bengkoelen sebagai bagian terpenting di Sumatra. Namun akhirnya terjadi perjanjian baru antara Belanda dan Inggris soal tukar guling antara Bengkolen dengan Malaka. Perjanjian ini dikenal Traktat London, 1824.

Munculnya Nama Kampong Parit Batoe

Seperti halnya nama Bondjol, nama Parit Batoe adalah nama baru. Kampong Parit Batoe hanya bisa diakses dari Sasak melalui sungai Batang Kapas. Kampong Parit Batoe adalah kampong terpencil. Ada jalan setapak dari Kiawai ke Parit Batoe terus ke Kinali. Dari kampong Parit Batoe ke Taloe tidak ada jalan akses. Jalan utama (jalan kuno) dari Kiawai ke Taloe melalui Kadjai.

Keterangan ini dapat dibaca pada laporan perjalanan seorang pendaki gunung pada tahun 1838 ketika mengukur ketinggian gunung Ophir. Disebutkan bahwa pendaki tersebut memulai pendakian dari kampong Parit Batoe dimana terdapat benteng militer Belanda yang dipimpin oleh seorang letnan. Pendaki ini memilih jalan setapak dari sebelah utara hingga kampong Sawa (kampong di lereng gunung). Pendaki ini kembali ke Parit Batoe dan kembali ke Air Bangis melalui Patoman dan Kiawai.

Benteng Parit Batoe adalah benteng Padri yang direbut oleh militer Belanda pada era Residen Luitenant Kolonel Elout. Benteng ini direbut untuk mendekatkan diri ke pusat kekuatan Padri di Bondjol. Benteng ini pada era Perang Padri (1831-1837) diakses dari tiga tempat: Kiawai, (Moeara) Pasaman dan Kinali (dan Loeboe Basoeng). Jalur militer utama dari Pasaman dan Kinali, sedangkan dari Kiawai-Air Bangis hanya jalur pendukung.

Pada akhir era VOC, kerajaan Pasaman sudah cukup dikenal. Ibu kotanya telah relokasi dari muara sungai Pasaman ke kampong Sasak. Seperti radja-radja lainnya di pantai yang telah berkolaborasi dengan VOC, kecuali radja Kinali (Soetan di Kinali), Radja Pasaman juga telah membuat kontrak dengan VOC. Pada saat Pemerintah Hindia Belanda membuka cabang pemerintahan di pantai-pantai barat Sumatra (sejak 1819) kontak-kontrak dengan VOC inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Hindia Belanda (termasuk kerajaan Pasaman).

Pada saat awal pembentukan rezim Padri (di Kamang, Agam), dua nama muncul ke permukaan. Salah satu penghoeloe di (district) Alahan Pandjang Datoek Radja Bandaro mulai menumbuhkan Padri yang lalu kemudian membangun kampong baru yang disebut Bondjol (diasosiasikan dengan pertahanan). Lalu muncul perselisihan antara Radja Bandaro di (kampong Bondjol) dengan para penghoeloe-penghoeloe lainnya. Dengan bantu (dari) Kamang para penghoeloe di Alahan Pandjang ini dihabisi dan muncul nama Radja Bandaro sebagai penguasa baru di (distric) Alahan Pandjang yang beribukota di Bondjol (dimana benteng sudah dibangun). Asisten Toeabkoe Bandaro di Bondjol adalah seorang pemuda yang kemudian mendapat gelar Toeankoe Moedo. Pada saat yang sama salah satu penghoeloe di district Pasaman dari kampong Alij (ibu kota di Sasak di muara sungai Batang Kapas) juga membangun kekuatan dengan membangun benteng pertahanan. Benteng ini dipilih di (kampong) Parit di hulu sungai Batang Kapas (lalu nama kampong menjadi Parit Batoe). Sebagaimana pemimpin Padri di (benteng) Bondjol, pemimpin Padri di benteng Parit Batoe ini kemudian mendapat gelar baru sebagai Toeankoe Pasaman. Dua tokoh inilah yang kemudian meluaskan pengaruh dan operasi ke berbagai wilayah terutama ke wilayah Agam untuk ambil bagian dalam penggulingan rezim Pagaroejoeng (di Tanah Datar).

Singkat kata ketika para pangeran Pagaroejoeng yang telah meminta bantuan Pemerintah Hindia Belanda di Padang (sejak era Inggris yang dilanjutkan Belanda 1819) untuk mengusir Padri dari Minangkabau (Tanah Datar, Lima Poeloeh Kota dan Agam), lalu puncaknya pada tahun 1831 militer Belanda ingin mengepung Padri yang berpusat di Bondjol. Dalam rangka inilah (keluarga) Radja Pasaman (di Sasak) memberi jalan bagi militer Belanda untuk mengepung Bondjol dari sisi barat. Dari sisi Agam dipimpin oleh Luitenant Kolonel Vermaleem dan dari si barat dipimpin oleh Luitenant Kolonel Elout. Militer Belanda memasuki pedalaman dan kemudian menguasai (benteng) Parit Batoe. Lalu dari Parit Batoe merangsek ke Taloe. Pertempuran sangat sengit di Taloe antara Padri dan militer Belanda.

Setelah beberapa kali serangan gagal ke Bondjol dan sehubungan dengan wilayah utara (Mandiling dan Rao) dan timur (tepatnya tenggara yang masuk wilayah Lima Poeloeh Kota) bergabung dengan Pemerintah Hindia Belanda district (benteng) Bondjol dalam posisi terkepung dari semua arah (kecuali district Mapat Toenggoel masih terbuka ke timur). Loender, Loeboeksikaping dan Taloe yang sudah di wilayah militer Belanda, pada tahun 1837 dimulai serangan yang dipimpin oleh Luitenan Kolonel AV Michiels yang akhirnya pada bulan Agustus benteng Bondjol dapat direbut dan district Alahan Pandjang yang yelah berganti nama menjadi district Bondjol dapat dikuasai. Padri tamat. Toankoe Moeda yang menggantikan Toeankoe Bandaro di Bondjol yang kemudian dikenal sebagai Toeankoe Imam diasingkan.

Setelah direbutnya Parit Batoe, Pemerintah Hindia Belanda mengembalikan district Pasaman kepada pewaris yang berhak. Demikian juga district Alahan Pandjang atau district Bondjol kepada pewaris yang berhak. Di dua district ini Pemerintah Hindia Belanda ‘mengangkat’ para penghoeloe-penghoeloe lainnya atau ahli warisnya yang mungkin pernah terusir dari kampongnya selama era Padri untuk dirajakan. Sebagaimana di kampong-kampong lainnya seperti di Sasak dan Kinali, di kampong Parit Batoe (dimana terdapat benteng Parit Batoe yang menjadi benteng Belanda yang dipimpin oleh seorang letnan) juga diangkat radja baru. Mereka ini sudah barang tentu yang berkolaborasi dengan Pemerintah Hindia Belanda (dan berseberangan dengan rezim Padri sebelumnya). Radja Parit Batoe diduga (yang telah menjadi ibu kota baru district Pasaman) dijadikan sebagai pemuncak di district Pasaman. Oleh karena kerajaan Parit Batoe (Pasaman) dengan kerajaan Kinali berdekatan secara teritorial (ada jalan dari Kinali ke Kiawai melalui Parit Batoe), hubungan kedua kerajaan ini menjadi sangat dekat satu sama lain meski pada era VOC dua kerajaan ini memiliki pilihan politik yang berbeda (kerajaan Pasaman membuat kontrak dengan VOC, kerajaan Kinali menolak).

Pada tahun 1850an terjadi perselisihan antara kerajaan Pasaman dan kerajaan Tikoe. Perselisihan ini menjadi perang terbuka. Sehubungan dengan kejadian perang tersebut, Pemerintah Hindia Belanda, ketika dibentuk afdeeling, kerajaan Kinali dan kerajaan Pasaman disatukan dengan kerajaan-kerajaan lainnya (Taloe, Tjoebadak) menjadi satu afdeeling dengan nama Afdeeling Ophir Districten; sedangkan kerajaan Tikoe diinterasikan dengan Afdeeling Pariaman. Dua kerajaan kuno (Pasaman dan Tikoe) kini dipisahkan oleh batas afdeeling yang berbeda (Kerajaan Pasaman kuno berada di muara sungai Pasaman yang mana sungai Pasaman bermuara di gunung Koelaboe). Apa yang menyebabkan dua kerajaan kuno ini (Pasaman dan Tikoe) bermusuhan dan mengapa pula kerajaan Pasaman dan kerajaan Kinali (dan tentu saja dengan kerajaan-kerajaan Taloe, Sinoeroet dan Tjoebadak) terkesan ‘mesra’ silahkan pembaca mempelajarinya sendiri. Ini dapat dihubungkan kembali ketika Raja Kinali pada era VOC (Soetan di Kinali) ngotot tidak mau kerjasama dengan VOC (dan bahkan menutup diri kepada pedagang VOC dengan merusak jalan dan membanjiri sungai dengan kayu gelondongan ke pedalaman) karena ingin melindungi penduduk Rao, Tjoebadak dan Taloe tetap memiliki akses perdagangan ke laut untuk menjual hasil-hasil tambang dan hasil hutan ke pihak Inggris. Sejumlah nama-nama kampong kecil di dekat Parit Batoe antara lain kampong Panindjaoean, kampongTjoebadak dan kampong baru Simpang Ampat (kelak menjadi pusat kota Simpang Ampek, ibu kota kabupaten Pasaman Barat). Nama kampong Parit pada era Padri berubah nama menjadi Parit Batoe. Nama-nama kampong Parit yang berdekatan saat itu juga terdapat di dekat Kiawai dan di dekat Oedjoeng Gading.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Kinali

Kinali adalah Pasaman Kccil (klein Pasaman). Kerajaan Pasaman adalah kerajaan Groote Pasaman. Kapan terbentuknya Klein Pasaman tidak diketahui secara jelas. Yang jelas bahwa pada tahun 1762 VOC Belanda ingin bekerjasama dengan kerajaan Kinali (Klein Pasaman). Upaya ini dimaksudkan VOC untuk mencegah orang-orang dari pedalaman di Rao dan pegunungan Ophir meneruskan barang dagangannya seperti emas ke pihak Inggris. Boleh jadi dari sinilah pangkal perkara mengapa hubungan politik antara kerajaan Kinali dan kerajaan Tikoe agak renggang. Wilayah Pasaman (kerajaan Klein Pasaman) dengan wilayah kerajaan Tikoe dipisahkan oleh batas geografis sungai Masang. Garis perbatasan di sekitar muara sungai Masang pada era Pemerintah Hindia Belanda menjadi sengketa.

Kecamatan Kinali, kabupaten Pasaman Barat (Now)
Pada tahun 1850an hubungan politik antara kerajaan Kinali dengan kerajaan Kinali (Klein Pasamaaan) berlu, tersambung secara damai. Muncullah apa yang disebut perang antara dua kerajaan bertetangga: Kinali vs Tikoe. Perang ini muncul bukan karena perbedaan pandangan politik terhadap VOC-Belanda. Perang disebabkan oleh soal perbatasan. Kerajaan Tikoe menganggap batas wilayahnya semua daratan di selatan sungai Masang adalah wilayahnya. Namun Kerajaan Kinali sudah sejak lampau kota Kalliagan sebagai pelabuhannya (tujuan produksi Kinali mengalir ke pantai). Pada era VOC-Belanda ketika kerajaan yang lain sudah membuat kontrak dengan VOC, kerajaan Kinali menolak. Akibat pandangan politik yang berbeda ini, pemerintah VOC (yang berpusat di Priaman) mengirim militer VOC dan pasukan Bugis menduduki wilayah Kinali sepanjang pantai (dengan pos pertahanan di Kalliagan). Boleh jadi pendudukan ini dianggap kerajaan Tikoe bahwa semua daratan di muara sungai Masang sudah menjadi wilayah teritori kerajaan Tikoe.

Dalam perang tahun 1850an kerajaan Pasaman dan kerajaan Kinali (Kklein Pasaman) bersatu melawan kerajaan Tikoe. Klaim kerajaan Tikoe terhadap daratan di selatan muara sungai Masang tidak terwujud. Pemerintah Hindia Belanda yang jelas-jelas berada di tengah antara dua kerajaan (lebih) menyetujui batas teritori dari sudut pandang kerajaan Kinali. Itulah mengapa pada era Pemerintah Hindia Belanda, batas antara Kinali dan Tikoe tidak sepenuhnya hanya semata-mata dibatasi oleh sungai Masang.

Kelak pada saat Province Sumatra’s Westkust (yang terdiri dari dua residentie: Padangsche Benelanden dan Padangsche Bovenlanden) dilikuidasi pada tahun 1915 du residentie ini dilebur menjadi hanya satu residentie dengan nama baru Residentie West Sumatra. Pasca likuidasi inilah penataan wilayah dilakukan kembali. District Tikoe yang awalnya berada di Afdeeelling Priaman dipisahkan. Afdeeling Priaman statusnya diturunkan menjadi onderafdeeling Priaman dimasukkan ke Afdeeeling Tanah Datar. Sementara district Tikoe dimasukkan ke onderafdeeling Manindjaoe, Afdeeling Agama. Sedangkan Ophir Districten (termasuk di dalamnnya Pasaman dan Kinali) menjadi satu onderafdeeeling Ophir sendiri juga dimasukkan wilayah Afdeeeling Agam.

Pada era Pemerintah RI dilakukan penataan wilayah di Residentie Sumatera Barat. Onderafdeeling Ophir dan onderafdeeling Loeboeksikaping disatukan dengan membentuka satu kabupaten dengan nama Kabupaten Pasaman. Nama Pasaman kembali muncul. Nama kuno Pasaman terangkat kembali. Nama district Groot Pasaman dan district Klein Pasaman (Kinali) mendapatkan marwahnya kembali.

Tiku (kabupaten Agam) diantara Pasaman Barat dan Pariaman
Sementara itu seteru dua district tersebut, yakni district Tikoe tetap berada dan menjadi bagian dari kabupaten Agam sebagai suatu nama kecamatan. Dalam hal ini nama Pasaman dan nama Tikoe adalah nama-nama kuno. Namun secara teoritis nama Pasaman lebih tua dari nama Tikoe, karena nama pasaman adalah nama penanda navigasi terpenting di jalan kuno (sungai dan gunung Pasaman).

Dalam perkembangan selanjutnya, pada akhirnya kabupaten Pasaman dimekarkan dengan membentuk kabupaten baru yang diberinama Kabupaten Pasaman Barat. Kabupaten Pasaman Barat seakan merecall kembali nama afdeeling pada permulaan pemembentukan Pemerintah Hindia Belanda di pantai barat Sumatra, yakni Afdeeling Air Bangis en Ophir Districten. District (kerajaan) Pasaman dan Kinali (Klein Pasaman) berada di onderafdeeling Ophir Districten. Dalam hal ini Pasaman dan Kinali sejak dari awal seakan sehidup semati.

Tapi ada keutamaan Pasaman dibandingkan dengan Kinali. Tempo doeloe secara harpiah district Pasaman disebut Groot Pasaman sedangkan district Kinali disebut Klein Pasaman. Pengertian Groot dan Klein dalam hal ini hanya karena perbedaan luas wilayah (bukan kedudukan status kerajaan). Keutamaan lainnya Pasaman dari Kinali karena pada masa ini ibu kota kabupaten Pasaman Barat dipilih di Simpang Ampek (tempo doeloe disebut Parit Batoe yang menjadi ibu kota district Groot Pasaman).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

1 komentar: