Laman

Kamis, 30 April 2020

Sejarah Bogor (38): Ekspedisi David A Stier ke Situs Kuno di Padjadjaran, 1730; Kontak Pejabat VOC dengan Pemimpin Priangan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Daerah hulu sungai Tjiliwong dan daerah Priangan menjadi magnet tersendiri bagi Pemerintah dan para pedagang VOC (di Batavia). Meski letaknya yang sangat dekat dari pusat VOC di Batavia, tetapi sempat terabaikan (tidak menjadi prioritas). Sehubungan dengan kebijakan VOC yang bergeser dari kebijakan perdagangan yang longgar dengan kota-kota pantai, menjadika kebijakan yang mana penduduk menjadi subjek, wilayah hulu sungai Tjiliwong menjadi prioritas (yang juga meratakan jalan menuju Priangan). Sejumlah ekspedisi dilakukan.

Area tujuan ekspedisi David Andreas Stier, 1730 (Peta 1687)
Periode aktivitas perdagangan Belanda (VOC) di Hindia dibagi ke dalam empat periode (lihat De Westkust en Minangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931): 1. Periode dimana VOC hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai, sampai sekitar 1615; 2. Periode dimana kata-kota pantai diperluas menjadi bagian perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; 3. Penduduk sebagai sekutu VOC, sampai dengan 1666; dan 4. Penduduk sebagai subyek VOC. Pada periode keempat ini, Pemerintah VOC di Batavia mengirim satu ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong pada tahun 1687 yang dipimpin oleg Sersan Scipio. Beberapa bulan sebelumnya sudah lebih dahulu tim ekspedisi pendahulu ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Luitenan Ambon Patingi Lalarong (dengan membangun benteng Fort Padjadjaran).

Salah satu ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang terbilang unik (dan hampir tidak terkait dengan misi utama VOC: produksi dan perdagangan) adalah menyelidiki situs kuno peninggalan kerajaan Pakwan di Padjadjaran. Eskpedisi ini dipimpin oleh David Andreas Stier pada tahun 1730. Apa yang menjadi tujuan ekspedisi ini sangat kabur. Namun tentu saja, setiap ekspedisi VOC tidak ada yang tanpa motif. Bagaimana ekspedisi Padjadjaran ini berlangsung? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Kontak VOC dengan Pemimpin Priangan (Preanger)

Adanya eks kerajaan besar di hulu sungai Tjiliwong sudah barang tentu telah diketahui oleh orang-orang Belanda ketika mendirikan pusat VOC pada tahun 1619 di (kasteel) Batavia (sisi timur muara sungai Tjiliwong). Eksistensi kerajaan (Daio) sudah lama berlalu (di era Portugis). Letak situs eks kerajaan tersebut begitu dekat dengan Batavia. Interupsi serangan Mataram ke Batavia pada tahun 1628 diduga menjadi satu faktor mengapa Pemerintah VOC tidak segera melakukan penyelidikan ke pedalaman (yang hanya berjarak sejengkal dari Batavia).

Daio, ibu kota kerajaan Pakwan-Padjadjaran (Peta Portugis)
Tome Pires, seorang utusan Radja Portugis, dari Malaka Tome Pires mulai melakukan berbagai penyelidikan di wilayah Asia. Laporan ini dapat dibaca pada publikasi tahun 1535. Dari laporan ini diduga para pembuat peta  Portugis mengidentifikasi kerajaan  (Daio) di dalam peta-peta Portugis. Dalam laporan ini juga disebut kerajaan Pakwan-Padjadjaran yang mana kerajaan tersebut telah dianeksasi oleh (kesultanan) Islam Banten pada tahun 1522. Radja dan para pengeran kerajaan Pakwan-Padjadjaran diduga telah menyingkir ke tempat yang tidak diketahui. Istana dan properti kerajaan Pakwan-Padjadjaran yang terkait dengan (pengaruh) Hindu diduga telah dihancurkan sehingga area kerajaan tidak dihuni hingga satu setengah abad kemudian (sampai kedatangan VOC di hulu sungai Tjiliwong tahun 1687).

Ekspedisi ke area situs kerajaan (Pakwan-Padjadjaran) baru dilakukan pada tahun 1687. Eskpedisi yang dipimpin Luitenant Patingi Lalarong dengan timnya yang berangkat dari Batavia pada tanggal 21 Juli 1687  mulai mengeksplorasi wilayah. Tim ini terdiri dari anggota pasukan Patingi dan sejumlah pemandu dan pembantu. Pemandu ini sudah barang tentu orang-orang yang mengenal wilayah hulu sungai Tjiliwong dan daerah Priangan lainnya. Tugas kedua tim ekspedisi ini adalah membangun benteng pertahanan di titik singgung terdekatan sungai Tjiliwong dan sungai Tjisadane dengan menamainya benteng Fort Padjadjaran. Ekspedisi Patingi ini berakhir pada tanggal 3 September 1687.

Setelah adanya benteng Fort Padjadjaran, beberapa waktu kemudian baru menyusul tim ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Sersan Scipio dengan dua tentara Eropa-Belanda (plus pasukan pribumi dan para pemandu dan pembantu). Tim Scipio datang menjelang berakhirnya tugas Luitenant Patingi. Masing-masing pimpinan ekspedisi ini membuat laporan yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Johannes Camphujs (1684-1691). Laporan Luitenant Patingi dibuat dalam bahasa Melayu yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Lierbert de Jager.

Pada ekspedisi tahun 1703 yang dipimpin oleh direktur Abraham van Riebeeck mulai melakukan kontak dengan para pemimpin lokal, terutama para pemimmpin lokal do Priangan (Preanger) untuk menjalin komunikasi VOC dengan pemimpin dan penduduk setempat. Dalam ekspedisi ini Abraham van Riebeeck diketahui telah bertemu dengan regent (bupati) Tjiandjoer. Sejak inilah komunikasi antara dua belah pihak mulai intens.

Sementara VOC/Belanda memperluas ekspedisi di hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane di Tjiampea yang mana benteng Tsjiaroetan (Ciaruteun) dipindahkan ke Panjoewangan (lihat Daghregister tanggal 28 Mei 1713), dilakukan suatu persiapan dengan membangun pesanggrahan sehubungan dengan kunjungan Gubernur Jenderal ke Tjiandjoer dan Bandoeng (lihat Daghregister 7 Juli 1713). Pertemuan dengan bupati Tjiandjoer (dan bupati Bandoeng) diduga disatukan di Tjiandjoer. Pada bulan Mei 1715 Anga Nata pemimpin di Djampang mengirim surat ke Batavia (lihat Daghregister 21 Mei 1715). Lalu Capitain (lieutenant) VOC Soeta Djaja dikirim ke Djampang. Besar dugaan Anga Nata telah melakukan perlawanan, atau paling tidak melakukan protes terhadap VOC. Daerah Djampang di selatan Jawa adalah intersection antara Mataram dan Banten. Djampang (Koelon) sebagai nama suatu district di daerah aliran sungai Tjimandiri paling tidak sudah dilaporkan pada tahun 1706 (lihat Dgahregister 1 April 1706). Dalam perkembangannya diketahui bahwa Anga Nata pemimpin Djampang berhasil dilumpuhkan di rumahnya di Djampang. Anga Nata masih sebagai pemimpin, hoofd van Djampang hingga tahun 1715 (lihat Daghregister 2 April 1715). Dalam surat Soeta Djaja menceritakan perilaku Anga Nata (lihat Daghregister, 2 Agustus 1715). Beberapa hari kemudian sebuah surat dari bupati Tjiandjioer diterima di Batavia yang kemudian diterjemahkan (lihat Daghregister 9 Agustus 1715).  Beberapa bulan kemudian menyusul surat dari bupati Kampong Baroe (di hulu sungai Tjiliwong) diterima di Batavia (lihat Daghregister 21 Desember 1715).

Pada tahun 1722 beberapa kali surat dari pemimpin benteng di Tandjoengpoera dan di Tjiseroa. Pada tahun 1723 terdapat komunikasi antara Goenoeng Parang dengan (benteng) Tandjoeng Poera (lihat Daghregister 26 Mei 1723. Komunikasi ini diduga terkait dengan benteng VOC di Goenoeng Parang (kini Soekaboemi). Benteng di Goenoeng Parang dipimpin oleh Capitain Soetawangsa. Berdasarkan keterangan-keterangan benteng-benteng VOC sudah ada di sejumlah tempat (Padjadjaran, Tandjoeng Poera, Tjisaroea, Tjiampea dan Goenoeng Parang). Dalam hal ini, bupati Tjiandjoer yang ditinggikan kedudukannya di antara para bupati tampaknya sudah siap untuk meningkatkan komunikasi dengan para pemimpin lokal dengan para pejabat VOC. Pada tahun 1624 suatu ekspesi dilakukan dari Batavia ke hulu sungai Tjiliwong dan suatu pembicaraan akte perjanjian dengan bupati Tjiandjoer (lihat Daghregister 28 Februari 1724).

Bagi VOC di daerah hulu sungai Tjiliwong dan daerah Priangan (termasuk Djampang Koelo) sudah mulai kenal siapa lawan dan siapa kawan. Tampaknya kerjasama (pejabat) VOC dengan para pemimpin lokal sudah mulai terjalin dengan baik paling tidak hingga tahun 1724.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Eskpedisi David Andreas Stier ke Situs Kuno di Padjadjaran

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar