Laman

Senin, 11 Mei 2020

Sejarah Bogor (51): Sejarah Desa Gadog dan Gunung Megamendung; Kopi, Gudang, Jembatan, Pos, Rumah Sakit dan Puncak Pas


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Pada masa kini, nama Gadog sangatlah terkenal dengan nama navigasi: Simpang Gadog (exit Tol ke jalan lama Ciawi-Puncak). Meski demikian, nama Gadog bukanlah baru, tetapi suatu nama tempat yang juga terkenal tempo doeloe (nama Gadog ditulis Gadok). Gadog adalah suatu nama tempat, sementara Megamendung adalah suatu gunung (berg) yang mahkotanya berada di Puncak Pas. Nama Megamendung sebagai nama tempat di dekat kampong Gadok sejatinya baru muncul kemudian.

Gadok (Peta 1900)
Dalam pembagian wilayah administrasi kabupaten Bogor, nama Megamendung dijadikan sebagai nama kecamatan. Di dalam kecamatan Megamendung terdapat desa Gadog dan desa Megamendung. Nama-nama yang sudah ada sejak lama termasuk desa Tjipajoeng (desa Cipayung Datar dan desa Cipayung Girang) dan (desa) Pasir Angin. Nama tempat lainnya yang sudah lama adalah kampong (sungai) Soekabiroes yang kini masuk desa Gadog. Lantas mengapa muncul nama kampong Megamendung, sementara puncak gunung Megamendung berada di Puncak Pas wilayah kecamatan Cisarua yang sekarang?

Begitu banyak data sejarah Gadog dan Megamendung, namun tidak banyak yang terinformasikan pada masa ini. Okelah. Sejarah Gadog (di bawah) dan sejarah gunung Megamendung Puncak Pas (di atas) sungguh mempesona. Apakah kita ingin menulis sejarah kampong Gadog dan sejarah gunung Megamendung? Sejumlah situs penting di Gadog paling tidak tentang kopi, gudang, jalan dan jembatan pos dan rumah sakit. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kecamatan Megamendung, Gadog dan Puncak Pas (Now)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Nama Gasdok dan Megamendoeng

Orang Eropa-Belanda pertama yang menyusuri lereng gunung Pangrango adalah Michiels Ram dan Cornelis Coops pada tahun 1701. Laporan ini dapat dikatakan keterangan yang menggambarkan situasi dan kondisi awal di sekitar Gadog dan Megamendung.

Gadok (Lukisan 1865)
Dalam laporannya rute perjalanan mereka sebegai berikut: ‘Sedikit lebih jauh ke atas lewat sungai Jamboelowok kami tiba di negorij (kampong) Tserang, setelah sekitar 10 jam perjalanan, menjadi tempat terakhir dan tertinggi di pegunungan ini dan kami beristirahat dan bermalam. Pada tanggal 26 pagi kami berangkat sekitar pukul 7 dengan meninggalkan kuda-kuda kami dan barang-barang yang paling tidak berguna, berjalan di atas gunung-gunung yang curam dan tinggi dengan berjalan kaki, naik ke sungai besar Tsiliwong, dimana sungai Tsiesse jatuh di dalamnya, dan berjalan lebih jauh sepanjang sungai Tjiliwong dalam satu jam bertemu sungai Soekabires. Pada pukul 3 sore kami tiba di kaki Gunung Pangorango di sebuah dataran, dan kami membuat pondok yang kami sebut Pondok alon-alon. Di sini kami harus menjaga kondisi dan bermalam. Pada sore berikutnya kami bermalam dengan mendirikan pondok yang kami sebut Pondok Kidang’.

Dari keterangan ini tidak diidentfikasi nama Gadok apakah sebagai nama tempat atau nama sungai. Keterangan ini hanya menyebutkan melalui sungai Tjiliwong tempat dimana sungai Tjiesek bermuara. Juga di sekitar tidak ada indikasi sekitar (Gadok yang sekarang) sudah dihuni penduduk. Nama kampong Gadok baru muncul kemudian. Pada tahun 1777 suatu ekspedisi yang dilakukan oleh Radermascher nama kampong Gadok sudah diidentifikasi.

Setelah bermalam di Pondok Gede (rumah milik land Pondok Gede). Radermascher menulis sebagai berikut: ‘Sabtu, 8 November, kami berangkat dari Pondok Gede pada pukul 6, kami pergi ke timur di Ciceroa tempat dimana ada pasangrahan (tempat istirahat). Pada pukul 8 kami melewati kampung Gadok, Tjipajon[g] dan Gasian dan sungai Tjiliwon dimana terdapat jembatan bambu. Jalan itu bergunung-gunung dan jalan penuh batu tempat pedati leat serta banyak sawah baru dibangun selama setahun terakhir. Di Ciceroa (kopral) Hendrik Roode menyambut kami; dia tinggal di sana di rumah papan, tetapi bangunan yang ada sebagian besar terbuat dari bambu. Saya tidur di rumah papan, di ruangan seluas tujuh kaki persegi’.

Setelah bermalam di Tjisaroe: ‘Kami meninggalkan Ciceroa pada pukul 6 dan pergi ke Megmedon; jalannya berlumpur dan kerbau yang lewat menyebabkan lubang di jalan. Ada beberapa burung di Megmedon, tetapi ada beberapa ayam hutan; kami mendengar kutilang berbunyi dan memetik beberapa stroberi yang tumbuh di semak-semak. Megmedon adalah punggung utara Gunung Gede. Kami mendatanginya di sisi barat, melewati sungai-sungai Tjibinong, Tjikan-baboekan, Tjiriansampat, Tanareija, Tiriana, Tjironpoa, Tjiringol, dan sungai besar Tjiloar dimana yang terakhir bermuara. Melalui medan yang buruk kami datang pada jam pukul 9 di mahkota (pnncak) pundak Megmedon. Tidak ada rumah atau desa di seluruh jalan yang kami lewati. Pada mahkota ini adalah titik pemisah antara Buitenzorg dan Tjanjoer. Dari sini orang pergi ke utara ke Telaga Warna, adalah sebuah danau. Ketika kami mendaki terus kami melihat tambang yang terbuka sekitar 120 meter yang dilakukan pada tahun 1744, berharap menemukan emas tetapi tanpa hasil.

Dari keterangan Radermacher ini sudah diidentifikasi kampong Gadok. Ini mengindikasikan area sudah dihuni penduduk yang mana pada tahun 1701 belum sama sekali. Ada perbedaan waktu selama 76 tahun. Tentu saja wilayah di bawah Tjisaroe sudah berkembang, tetapi wilayah ke atasnya belum dihuni penduduk. Pencetakan sawah baru banyak ditemukan.

Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1840
Pada tahun 1713 di Tjiseroa dibangun pesanggrahan dalam rangka kunjungan Gubernur Jenderal dari Batavia ke Tjiandjoer. Bangunan yang ditempati (kopral) Hendrik Roode di Tjisaroea tempat bermalam Radermacher diduga adalah pesanggarahan yang dibangun tahun 1713. Psanggrahan ini dibangun setelah adanya benteng Tjisaroea (benteng terdekat di Bantar Pete). Benteng Tjisaroe benteng penghubung antara benteng Padjadajaran (di Istana Bogor yang sekarang) dengan benteng Tandjoengpoera (Karawang yang sekarang). Pada saat ekspedisi Radermacher ini terindikasi di Gadok terdapat pos militer (yang juga djaga oleh seorang kopral). Pesanggraan di Tjisaroea juga menjadi pos militer. Pos militer di Gadok dibangun diduga sebagai pengganti benteng Bantar Pete tempo doeloe.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Introduksi Kopi di Megamendung: Gudang dan Jembatan

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pos Perdagangan dan Rumah Sakit

Pada akhir era VOC nama (land) Pondok Gede masih lebih gede jika dibandingkan nama (kampong) Gadok. Kampong Gadok berada di wilayah land Tjikoppo (tetangga land Pondok Gede). Nama Gadok sejak permulaan era Pemerintah Hindia Belanda mulai lebih dikenal karena adanya jalan pos yang juga melewati kampong Gadok dimana di atas sungai Tjiliwong harus dibangun jembatan yang lebih baik. Jalan pos ini dibangun di era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811).

Javasche courant, 10-11-1829
Pada tahun 1823 pemerintah telah membangun gudang di Gadok dan Tjiomas. Tujuan pendirian gudang ini untuk tempat penampungan padi-padi yang dibeli oleh pemerintah. Pada tahun 1829 pendirian stasion post sudah mencapai wilayah Tjisaroea (lihat Javasche courant, 10-11-1829). Sebelumnya pada tahun 1819 stasion post hanya sampai ke Buitenzorg  (lihat Bataviasche courant, 13-03-1819). Lokasi pos yang dibangun tersebut berada Bidara Tjiena, Tandjong. Tjimangies. Tjlbienong dan Tjiloar serta Buitenzorg. Pada tahun 1829 telah ditambahkan stasion baru di Wangon (dekat Tadjoer), Gadok dan Tjiseroa.

Adanya jalan pos, wilayah lereng gunung Pangrango dan gunung Megamendung menjadi lebih trerbuka, menjadi lalintas yang ramai antara Buitenzorg dan Tjiandjoer.Pembukaan kampong-kampong baru dan pencetakan sawah baru makin masif,

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar