Laman

Senin, 25 Mei 2020

Sejarah Padang Sidempuan (5): Tokoh Terkenal Asal Padang Sidempoean di Jawa Era Pendudukan Jepang; Siapa Mereka?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Ada satu masa di Indonesia begitu sulit didapat informasi yakni pada era Pendudukan Militer Jepang. Surat kabar, majalah dan buku-buku yang terbit di era tersebut kurang terdokumentasikan dengan baik dan nyaris tidak ada yang peduli untuk menyimpannya. Akibatnya ketika kita pada masa ini ingin melihat potret situasi dan kondisi Indonesia di era pendudukan Jepang menjadi suram. Satu sumber yang penting yang dapat dibaca pada masa ini salah satu diantaranya adalah buku berjudul ‘Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa’.

Buku ini terbit pada tahun 1944 (tebalnya 552 halaman). Di dalam buku ini dicatat nama-nama orang Indonesia yang terkemuka di Djawa saja. Banyaknya 3.109 orang.  Mereka ini tergolong mempunyai kedudukan, kepandaian dan pekerjaan yang berarti dalam masing-masing golongan masyarakat. Buku ini adalah hasil suatu survei yang dilakukan, namun tidak semua orang yang dikirim kuesioner mengembalikannya. Dalam buku terdapat nama-nama terkenal di era kolonial Belanda seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohamad Hatta, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Parada Harahap. Secara umum buku ini dibagi ke dalam tiga kategori yang masing-masing dikelompokkan dalam beberapa bidang-pekerjaan. Kategori pertama Urusan Negara yang terdiri dari Administrasi Umum Negeri, Pangreh Praja, Urusan Keuangan Negeri, Penjagaan Keamanan dan Pengadilan. Kategori kedua Perekonomian yang trerdiri dari Pertanian, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan, Kerajinan, Perhubungan, Berbagai Urusan Teknik, Perdagangan, Keuangan dan Perhimpunan-Perhimpunan Memajukan Perekonomian. Kategori ketiga terdiri dari Penerangan, Pertolongan dalam Kehakiman, Kesehatan, Pengajaran, Kebudayaan, Agama. Urusan Politik dan Soal Pekerjaan, Urusan Kaum Dhaif dan Urusan Perempuan, dan Urusan Pemuda, dll. Orang Indonesia jang terkemuka tentu saja ada di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya. Namun tampaknya buku ini terbit sebelum publikasi buku berikutnya selesai sudah berakhir era pendudukan Jepang dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Survei ini bukan sesuatu yang khusus, pada era kolonial Belanda kegiatan survei ini dilakukan setiap lima tahun.

Lantas siapa saja orang Indonesia yang terkemuka di Jawa yang berasal dari Padang Sidempoean. Pada era kolonial Belanda dan pada masa pendudukan Jepang afdeeling Padang Sidempoean kini menjadi Tapanuli Bagian Selatan. Mereka yang berasal dari Padang Sidempoean tidak hanya lahir di afdeeling Padang Sidempoean tetapi juga banyak yang lahir di perantauan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasioanl dalam artikel ini didaftarkan orang Indonesia jang terkemuka yang berasal dari Padang Sidempoean baik yang berada di Jawa maupun di daerah lainnya di Indonesia serta di luar negeri. Riwayat hidup mereka ini diperkaya dengan merujuk pada sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Di Jawa

Parada  Harahap gelar Maharadja Goenoeng Moeda (1899-1959)

Orang Indonesia yang terkemuka di Jawa yang berasal dari Padang Sidempoean yang tergolong senior adalah Parada Harahap gelar Maharadja Goenoeng Moeda. Dalam buku tersebut (berdasarkan isian kuesioner 24 Desember 1943), Parada Harahap menjabat sebagai direktur percetakan dan harian Sinar Baroe di Semarang. Lahir di Pargaroetan (dekat kota Padang Sidempoean) tanggal 15 Desember 1899. Riwayat pendidikan: Standaardschool lulus tahun 1914; kursus dagang dan mengetik Medan, kursus bahasa Belanda tahun 1919; sit in Rechthoogeschool bagian Sosiologi di Batavia.

Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa (1944)
Riwayat pekerjaan di Sumatra: Juru tulis kantor perkebunan (onderneming) Liberia 1914-1915; asisten pembukuan (boekhouder) onderneming Soengei Dadap 1916-1918; koresponden surat kabar Pewarta Deli dan Benih Merdeka di Medan; pada tahun 1919 mendirikan perserikatan pekerja perkebunan (estateklerkenbond) yang berindak sebagai ketua dan merangkap sebagai redaktur majalah; redaktur Benih Merdeka Medan. Pada tahun 1919 mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dan bertindak sebagai kepala redaktur Sinar Merdeka dan majalah Poestaha Padang Sidempoean; pada tahun 1921 mendirikan Kongres Tapanoeli di Sibolga.

Pada tahun 1922-1923 sebagai redaktur surat kabat Neratja di Batavia; Pada tahun 1923 menerbitkan mingguan Bintang Hindia; melakukan perjalanan jurnalistik ke Sumatra dan Malaka; Pada tahun 1926 menerbitkan surat kabar Bintang Timoer di Batavia; menerbitkan surat kabar Djawa Barat, Sinar Pasoendan, Semangat dan surat kabar berbahasa Belanda de Volkscourant; mendirikan percetakan dan penerbitan My. Pada tahun 1936-1942 menerbitkan surat kabar Tjaja Timoer. Sejak bulan Juli 1942 sebagai Staf Kantor Gunseikanbu Batavia. Sejak tanggal 1 September 1942 sebagai Direktur percetakan dan harian Sinar Baroe di Semarang sampai sekarang (Desember 1943). Sinar Baroe yang diterbitkan di Semarang adalah media propaganda Jepang yang pertama. Lalu kemudian menyusul Asia Baroe di Batavia yang dipimpin BM Diah (anak buah Parada Harahap).

Dari keterangan ini Parada Harahap sejak Juli 1942 sudah bekerja di Sekretariat Pemerintahan Militer Pusat, Gunseikanbu ((Central Military Administration) Batavia. Guisenkanbu terdiri atas lima bu (departemen), yaitu Sumabu (Departemen Urusan Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan Tangan), Kotsubu (Departemen Lalu Lintas) dan Shihobu (Departemen Kehakiman). Pemerintahan militer di setiap daerah dikoordinatori oleh Gunseibu yang mana pusat-pusat koordinator militer tersebut berada di Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur).

Sebagaimana diketahui Pemerintah Hindia Belanda pada bulan Maret 1942 menyerah kepada Jepang. Pada tanggal 9 Juli 1942 tiba di Batavia (Djakarta) dari Fort de Kock. Ketika terjadi serangan Jepang di Sumatra, seluruh orang Belanda diarahkan ke Padang untuk evakuasi ke Australia. Ir. Soekarno di pengasingan di Bengkoeloe juga dibawa ke Padang. Pada saat di Padang Mr. Egon Hakim Nasution ‘menculik’ Ir. Soekarno dan mebawanya ke rumahnya. Mr. Egon Hakim Nasution adalah seorang advokad di Padang, anak Wakil Wali Kota (Burgemeester) Padang yang juga menantu dari MH Thamrin. Setelah kota Padang dikuasai Jepang, Mr. Egon Hakim Nasution mengantar Ir. Soekarno ke Fort de Kock.

Parada Harahap adalah orang Indonesia pertama yang berkunjung ke Jepang. Ini bermula ketika Ir. Soekarno akan diasingkan. Parada Harahap yang tidak memiliki ‘utang’ kepada Pemerintah Hindia Belanda sangat geram dengan tindakan Belanda. Pada bulan November 1933. Parada Harahap pemimpin redakasi surat kabar Bintang Timoer memimpin tujuh revolusioner ke Jepang. Dalam rombongan ini terdapat Abdullah Lubis (pemimpin surat kabar Pewarta Deli di Medan dan Mr. Sjamsi Widagda, Ph.D (ekonom bergelar Ph.D pertama Indonesia, guru di Bandoeng). Dalam rombongan ini juga termasuk Drs. Mohamad Hatta yang baru pulang studi dari Belanda. Mereka tiba di Kobe, Jepang tanggal 4 Desember 1933. Kembali ke Indonesia dengan kapal Panama Maru dan bersandar di pelabuhan Tandjoeng Perak, Soerabaja pada tanggal 14 Januari 1934 (pada hari yang sama Ir. Soekarno dari pelabuhan Tandjoeng Priok, Batavia diberangkatkan ke pengasingan di Flores).

Parada Harahap adalah orang pertama yang menggagas supra organisasi kebangsaan Indonesia. Pada bulan September 1927 Parada Harahap (Sekretaris Sumatranen Bond) mengundang seluruh pemimpin bangsa Indonesia di rumah Prof. Hoesein Djajadiningrat. Turut hadir dalam pertemuan ini perwakilan Pasoendan, Kaoem Betawi (diwakili oleh ketuanya MH Thamrin), Boedi Oetomo, Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandoeng (diwakili oleh ketuanya Ir. Soekarno), Islamiten Bond dan lainnya. Hasil keputusan rapat membentuk supra organisasi yang diberi nama Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (disingkat PPPKI). Sebagai pengurus secara aklamasi mengangkat MH Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Program: membangun kantor-gedung kabangsaan Indonesia di Gang Kenari (kini masih eksis di Jalan Kenari, Jakarta) dan menyelenggarakan Kongres PPPKI (senior) pada tanggal 30 September 1928 dan diintegrasikan dengan kongres junior (Kongres Pemuda) pada tanggal 28 Oktober 1928. Ketua Kongres PPPKI adalah Dr. Soetomo sementara pemimpin komite Kongres Pemuda adalah Soegondo (ketua), Mohamad Jamin (sekretaris) dan Amir Sjarifoeddin Harahap (bendahara).

Sebagai jurnalis dan penulis, Parada Harahap menerbitkan sejulah buku. ‘Journalistiek di Amerika’ (1925); hasil perjalanan jurnalistik ke Sumatra dan Malaka dengan judul ‘Dari Pantai ke Pantai’ (1925); ‘Journalistiek dan Pers’ (1926); hasil perjalanan ke Jepang (Dai Nippon) dengan judul ‘Menoedjoe Matahari Terbit’ (1934); ‘Riwajat Dr. Rivai’ (1939); ’Pers dan Journalistiek (1940); ‘Indonesia Sekarang (1940).

Parada Harahap juga terkenal sebagai aktivis organisasi. Organisasi pertama tentu saja adalah sebagai Ketua Perserikatan Pekerja Perkebunan (estateklerkenbond) di Medan (1919). Ketua Sarikat Islam Tapanoeli (1921); Wakil Ketua organisasi Perserikatan Djoernalistik Indonesia (Perdi) dan Wakil Ketua dan Sekretaris Perserikatan Dagang Indonesia (1940-1942).

Abdoel Haris Nasoetion (1918-2000)

Abdoel Haris Nasoetion di era Pendudukan Militer Jepang meski tidak memegang posisi, tetapi dianggap sebagai orang Indonesia jang terkemuka di Jawa. Masih muda, lahir di Hoeta Peongkoet (onderafdeeling Klein Mandailing, Afdeeling Padang Sidempoean) pada tanggal 3 Desember 1918. Pada saat survei (mengembalikannya dari Bandoeng tanggal 17 Februari 1943) usianya 24 tahun.

Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa (1944)
Abdoel Haris Nasoetion menyelesaikan sekolah HIS di Kotanopan dan lulus dengan diploma pada tahun 1932. Setelah menyelesaikan sekolah guru, Abdoel Haris Nasoetion melanjutkan pendidikannya di HIK Bandoeng dan lulus mendapat diploma tahun 1938. Pada tahun yang sama Abdoel Haris Nasoetion juga lulus sekolah AMS di Batavia.

Abdoel Haris Nasoetion memulai karir sebagai guru HIS di Bengkoeloe segera setelah lulus HIK di Bandoeng tahun 1938. Tentu saja Abdoel Haris Nasoetion bertemu dengan Ir. Soekarno yang diasingkan di Bengkoeloe (sejak 9 Mei 1938).

Mengapa Ir. Soekarno dipindahkan ke Bengkoeloe dan Abdoel Haris Nasoetion memilih ke Bengkoeloe? Ini tentu by design. Orang yang berada di balik itu adalah Parada Harahap, MH Thamrin dan Mangaradja Soangkoepon (dua anggota Volksraad), Dr. Radjamin Nasution (anggota dewan kota, wethouder Soerabaja, pengurus PBI), Mr. Egon Hakim Nasution (advokat di Tandjoengkarang, anak Dr. Haroen Al Rasjid Nasution di Telokbetoeng) dan Mr. Gele Haroen Nasoetion (advokad di Padang, anak Dr. Abdoel Hakim Nasution, wakil wali kota  Burgemeester Padang). Mr. Egon Hakim dan Mr. Gele Haroen adalah saudara sepupu. Dr. Abdul Hakim adalah besan dari MH Thamrin (Parada Harahap yang menghubungkan dua keluarga ini). Mangaradja Soeangkoepon adalah kerabat dari Parada Harahap. Dr. Abdul Hakim adalah mantan Ketua NIP Pantai Barat Sumatra (di era Dr. Tjiptomangoenkoesoemo). Dr. Abdul Hakim dengan Dr. Tjipto satu kelas dan sama-sama lulus STOVIA tahun 1905. Dua advokat inilah yang kerap menemuai Ir. Soekarno selama diasingkan di Bengkoeloe. Pada tahun 1942 Mr. Egon Hakim menculik Ir. Soekarno di Padang dari pengawasan intel Belanda dan menyembunyikan di rumahnya.

Tidak ada orang yang tahu apa yang dibicarakan Ir. Soekarno dengan guru muda Abdoel Haris Nasution di Bengkoeloe. Yang jelas, Abdoel Haris Nasution peindah mengajar ke Palembang (Moeara Doea dan Tandjoeng Radja). Lalu mengapa Abdoel Haris Nasution meninggalkan posisi guru dengan haji tinggi dan berangkat ke Bandoeng untuk mengikuti pendidikan militer? Itu jelas rahasia Ir. Soekarno dan Abdoel Haris Nasution (kelak ketika Ir. Soekarno menjadi Presiden RI, Abdoel Haris Nasution sangat setia sebagai panglima).

Setelah dua tahun sebagai guru HIS di Bengkulu dan Palembang (1938-1940), Abdoel Haris Nasution mengikuti akademi militer Belanda (Koninklijk Militaire Academie) di Bandoeng pada tahun 1940. Apakah ini saran dari Ir. Soekarno dan Abdoel Haris Nasution menurutinya? Abdoel Haris Nasution lulus tahun 1942 dengan pangkat Letnan dan ditempatkan sebagai Komandan Batalion Infantri III di Soerabaja (kampong halaman Ir. Soekarno). Tentu saja Abdoel Haris Nasution bertemu dengan Dr. Radjamin Nasution. Pada saat pemindahan Ir. Soekarno dari Flores ke Bengkoeloe tahun 1938, permintaan Ir. Soekarno untuk singgah di Soerabaja dikabulkan dengan alasan bertemu keluarga, tetapi kenyataannya yang menyambutnya adalah Dr. Radjamin Nasution (anggota senior dewan kota Soerabaja). Kelak, pada saar Ir. Soekano menjadi Presiden RI tahun 1945, Wali Kota Soerabaja yang diangkat langsung Ir. Soekarno adalah Dr. Radjamin Nasution. Ketika Ir, Soekarno dalam perjalanan dari Soerabaja naik kereta singgah di Batavia (beretemu dengan MH Thamrin dan Parada Harahap). Perjalanan dilanjutkan dari Batavia naik mobil ke Merak dan dilanjutkan dengan kapal ke Telokbetoeng (disambut oleh Mr. Gele Haroen Nasution). Kelak, Mr. Gele Haroen menjadi Resident Lampoeng.

Ketika terjadi pendudukan militer Jepang di Soerabaja 25 Oktober 1942 secara teknis militer Belanda (KNIL) tidak berdaya dan akan digantikan oleh militer Jepang. Abdoel Haris Nasution kemudian membuang seragam KNIL dan kembali ke Bandoeng. Abdoel Haris Nasution terus di awasi di Bandoeng sebagai mantan KNIL. Meski demikian, Abdoel Haris Nasution tetap menjaga semangat untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia. Sejak Januari 1943, Abdoel Haris Nasution membentuk Lembaga Pemoeda Bandoeng dan bertindak sebagai ketuanya. Itulah sebabnya Jepang menganggap Abdoel Haris Nasution sebagai orang Indonesia terkemuka di Jawa (meski tanpa mendapat posisi di pemerintahan). Abdoel Haris Nasution mengisi kuesinoer survei dan mengembalikannya pada tanggal 17 Februari 1943.

Jepang menyerah kepada Sekutu dan Ir. Soekarno membacakan proklamasi kemerdekan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Adam Malik segera mengutus Mochtar Loebis ke Bandoeng agar Sakti Alamsjah Siregar membacakan teks proklamasi di Radio Bandoeng (Malabar), Pada pukul 7 malam Sakti Alamsjah membacakan teks tersebut sehingga berita kemerdekaan diketahui warga Bandoeng dan penduduk Priangan. Adam Malik, Mochtar Loebis dan Sakti Alamsjah adalah anak buah Parada Harahap yang bekerja di kantor media militer Jepang. Kelak Mochtar Loebis mendirikan surat kabar Indonesia Raja di Djakarta dan Sakti Alamsjah mendirikan surat kabar Pikiran Rakjat di Bandoeng. Adam Malik kembali memimpin kantor berita Antara (yang didirikan tahun 1937). Kantor berita pribumi pertama didirikan Parada Harahap tahun 1925 (salah satu editornya WR Soepratman). Tidak lama setelah proklamasi tersebut diketahui Abdoel Haris Nasution, segera membentuk pasukan di Bandoeng. Sejak inilah karir Abdoel Haris Nasution terus berkibar hingga menjadi Panglima di sisi Presiden Soekarno.

Sorip Tagor (1888-1973)

Sorip Tagor Harahap adalah salah satu tokoh senior asal Padang Sidempoean di Jawa. Sorip Tagor adalah dokter hewan pertama pribumi. Sorip Tagor lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan Universiteit Utrecht tahun 1921. Sorip Tagor segera pulang ke tanah air dan diangkat sebagai dokter hewan di lingkungan Istana Gubernur Jenderal di Batavia. Pada saat pendudukan militer Jepang, ketika mengembalikan kuesioner survei tanggal 8 Juni 1943, Sorip Tagor masih tetap sebagai dokter hewan pemerintah (di Djakarta). Sorip Tagor Harahap adalah ompung dari Inez Tagor, Risty Tagor dan Deisti Astriani Tagor (istri Setya Novanto, mantan ketua DPR).

Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa (1944)
Sorip Tagor lahir tanggal 21 Mei 1888 di Hoeta Imbaroe (5 Km dari kota Padang Sidempoean). Menyelesaikan pendidikan sekolah dasar Eropa (ELS) di kota Padang Sidempoean dan lulus dengan diploma tahun 1904. Untuk sekadar catatan ELS ini berada di gedung Bank Sumut Padang Sidempuan yang sekarang). Lalu dalam usia 16 tahun melanjutkan sekolah pangreh praja (OSVIA) ke Bandoeng dan lulus dengan diploma tahun 1907. Anak muda ini tampaknya tidak terlalu tertarik jadi pejabat dan mununda pulang kampong dan langsung ke Buitenzorg (kini Bogor) untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sorip Tagor diterima di sekolah kedokteran hewan Veeartsenschool di Buitenzorg pada tahun 1907. Sekolah kedokteran hewan ini dibuka tahun 1907. Sorip Tagor sebagai angkatan pertama Veeartsenschool menyelesaikan pendidikannya dengan diploma Dokter Hewan (Dr) pada tahun 1912.

Sorip Tagor tampaknya tidak puas dengan pendidikan lokal, Sorip Tagor berangkat studi lebih lanjut ke Belanda tahun 1913. Sebelumnya, Sorip Tagor adalah asisten dosen di kampusnya Veeartsenschool di Buitenzorg. Sorip Tagor diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Universiteit Utrecht pada akhir tahun 1913. Sorip Tagor adalah orang Non-Belanda pertama yang kuliah di kampus kedokteran hewan terkenal di Belanda ini. Sorip Tagor lulus dengan predikat Dokter Hewan setara Eropa tahun 1921.

Sorip Tagor sudah barang tentu termotivasi karena seniornya Soetan Casajangan yang baru pulang studi dari Belanda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan tiba di tanah air pada bulan September 1913. Sebelum ditempatkan sebagai direktur sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock, Soetan Casajangan ditempatkan sementara di sekolah dasar Eropa ELS di Buitenzorg. Pada saat inilah diduga dua anak Padang Sidempoean ini bertukar pikiran yang memotivasi segera Sorip Tagor lekas berangkat ke Belanda. Soetan Casajangan lahir di Batoenadoea (4 Km dari kota Padang Sidempoean).. Soetan Casajangan berangkat studi ke Belanda tahun 1905 untuk mengikuti pendidikan keguruan (semacam IKIP sekarang). Soetan Casajangan adalah mahasiswa kelima pribumi di Belanda. Pada tahun 1908 Soetan Casajangan menggagas organisasi mahasiswa Indonesia yang sekaligus menjadi ketuanya. Organisasi mahasiswa Indonesia pertama ini diberi nama Indische Vereeniging (pada tahun 1924 Mohamad Hatta dkk mengubah nama organisasi ini menjadi Perhimpoenan Indonesia).

De Sumatra post, 31-07-1919
Pada tahun 1917 di Belanda, Sorip Tagor menggagas organisasi mahasiswa asal Sumatra yang diberi nama Sumatra Sepakat sebagai sub organisasi dari Indische Vereeniging. Jika Indische Vereeniging misinya bersifat nasional, Sumatra Sepakat (Sumatranen Bond) hanya fokus pada upaya percepatan pembangunan di Sumatra (untuk bisa mengejar ketertinggalan dari pembangunan di Jawa). Sumatra Sepakat ini langsung diketuai oleh Sorip Tagor. Sekretaris adalah Dahlan Abdoellah dan bendahara Soetan Goenoeng Moelia. Salah satu pengurus lainnya adalah Tan Malaka. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lahir di Padang Sidempoean (saudara sepupu Amir Sjarifoeddin Harahap). Kelak Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D menjadi Menteri Pendidikan RI yang kedua (menggantikan Ki Hadjar Dewantara).

Di tanah air, Menteri Koloni di Belanda menempatkan Dr. Sorip Tagor menjadi dokter hewan di lingkungan Istana Gubernur Jenderal (Batavia, Buitenzorg dan Tjipanas). Setelah bertugas di lingkungan Istana, Sorip Tagor melakukan dinas ke berbagai tempat di Bima, Djawa dan Sumatra, termasuk di kampong halamannya di Padang Sidempoean. Jabatan terakhir Sorip Tagor di era kolonial Belanda sebagai kepala dinas peternakan Province West Java. Pada saat pendudukan Jepang, Dr. Sorip Tagor masih dipercaya Jepang dengan tetap pada posisinya sebagai dokter hewan pemerintah yang ditempatkan di Djakarta (hingga kuesioner pendataan ini dikembalikannya tanggal 8 Juni 1943). Dr. Sorip Tagor meninggal pada usia tinggi 85 tahun pada tahun 1973.

Anwar Nasoetion gelar Mangaradja Pidoli

Anwar Nasoetion termasuk orang Indonesia jang terkemuka asal Padang Sidempoean di Djawa pada jaman Jepang. Anwar Nasoetion lahir di rantau di Lho Nga (Atjeh) pada tanggal 30 April 1906. Melihat marganya, Anwar Nasoetion berasal dari ondeafdeeling Groot Mandailing, afdeeeling Padang Sidempoean; dari gelarnya Mangaradja Pidoli, Anwar Nasoetion memiliki kampong di Pidoli (Lombang). Anwar Nasoetion memiliki garis keturunan (keluarga) Wille Iskander, tokoh pendidikan Indonesia terawal. Anwar Nasoetion gelar Mangaradja Pidoli lebih dikenal sebagai ayah dari Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987).

Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa (1944)
Pada saat pendataan, ketika Anwar Nasoetion mengembalikan kuesioner pada tanggal 16 Desember 1942 menjabat sebagai dokter hewan di Shokuin Balai Pemeriksaan Penyakit Hewan Bogor (sejak 6 Juni 1942). Sebagaimana diketahui Belanda menyerah kepada Jepang pada bulan Maret 1942.

Setelah cukup lama mengabdi sebagai guru di Atjeh, ayah Anwar Nasoetion dipindahkan kebali ke Residentie Tapanoeli. Ayah Anwar Nasoetion adalah bagian dari guru-guru asal afdeeling Padang Sidempoean yang dikirim ke Atjeh setelah Perang Atjeh. Guru-guru tersebut termasuk ayah dari Mr. Mohamad Amin Nasution (Gubernur Sumatra Utara yang pertama) dan Kolonel Zulkifli Loebis (Kepala Intelijen RI yang pertama).

Anwar Nasoetion menyelesaikan pendidikan sekolah dasar Eropa (ELS) di Sibolga pada tahun 1919. Lalu keudian melanjutkan studi ke sekolah pertanian (Middlebare Landbouw School) di Buitenzorg (kini Bogor) dan lulus dengan diploma pada tahun 1922. Pada tahun ini juga Anwar Nasoetion melanjutkan studi di kota yang sama di sekolah kedokteran hewan Nederlandsche Indie Veeartsenschool. Anwar Nasoetion lulus tepat waktu empat tahun pada tahun 1926 dan langsung diangkat sebagai dokter hewan pemerintah. Anwar Nasution pernah berdinas di Singaradja (Bali), Pare-Pare dan Watampone (Sulawesi) dan Roeteng (Flores) hingga tahun 1930. Lalu kemudian Anwar Nasution diangkat menjadi dokter hewan pemerintah di Batavia (lihat De Indische courant, 04-06-1930). Sempat berhenti karena sakit.  Setelah sembuh, pada tahun 1931 Anwar Nasoetion kemudian dipekerjakan lagi yang diperbantukan pada Dinas Kedokteran Hewan dan Lembaga Kedokteran Hewan di Bogor hingga tahun 1942. Kemudian Anwar Nasution bertugas kembali ke daerah antara lain di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-02-1938). Salah satu kontribusi Dr. Anwar Nasution adalah membuat pedoman pengawasan daging hewan untuk diterapkan di seluruh wilayah Hindia Belanda hingga ke desa-desa (lihat De Indische courant, 27-06-1941). Anwar Nasoetioan masih menjadi dokter hewan di Dinas Kedokteran Hewan dan Lembaga Kedokteran Hewan di Bogor hingga tahun 1942. Sejak tanggal 6 Juni 1942 Anwar Nasoetion bekerja sebagai dokter hewan di Shokuin Balai Pemeriksaan Penyakit Hewan di Bogor.

Setelah pension dari dinas pemerintah Dr. Anwar Nasoetion lebih memilih tetap menetap di Kota Bogor dan berkiprah sebagai dokter hewan swasta (di jalan Tjiwaringin). Sementara itu, Andi Hakim Nasution yang lahir di Batavia tahun 1932 menyelesaikan pendidikan sekolah dasar HIS tahun 1945, SMP pada tahun 1948 dan SMA pada tahun 1952. Andi Hakim Nasoetion kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (UI) dan lulus tahun 1958. Enam tahun kemudian (1964), tanpa melalui jenjang master, Andi Hakim Nasoetion meraih gelar Doctor of Philosophy di bidang Statistika Percobaan (Experimental Statistics) dari North Carolina State University, Amerika Serikat. Dua sekolah yang dulu diikuti ayahnya Anwar Nasution adalah cikal bakal Institut Pertanian Bogor, yang mana Middlebare Landbouw School menjadi Fakultas Pertanian dan NI Veeartsen School menjadi Fakultas Kedokteran Hewan UI. Dua fakultas inilah yang kemudian dipisahkan dari UI dengan mebentuk Institut Pertanian Bogor (IPB).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Di Sumatra dan Tempat Lainnya di Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

Di Luar Negeri

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar