Laman

Rabu, 03 Juni 2020

Sejarah Padang Sidempuan (8): Marga dan Transformasi Pembentukan Marga Secara Formal; Sejarah Marga-Marga Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
 

Pada masa ini marga menjadi kata generik untuk nama keluarga (family name). Tidak hanya untuk orang Batak, untuk orang Arab, orang Tionghoa tetapi seluruh bangsa Indonesia. Penggunaan nama marga di Indonesia secara administratif  awalnya muncul pada era kolonial dan semakin intens dipraktekkan di Indonesia. Namun demikian, jika diperhatikan ke belakang, asal-usul pembentukan marga berbeda satu sama lain.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) marga diartikan secara berbeda-beda. Secara khusus marga diartikan sebagai berikut: (1) binatang liar (tidak diternakkan atau dipelihara) seperti terminologi margasatwa; (2) kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal; (3) bagian daerah (sekumpulan dusun) yang agak luas (di Sumatra Selatan); (4) satuan taksonomi di antara suku dan jenis, serta merupakan wadah yang mempersatukan jenis-jenis yang erat hubungannya, huruf depan nama marga ditulis dengan huruf kapital dan selalu tercantum dalam nama jenis; (5) jalan dasar yang dipakai sebagai pegangan hidup, bekerja, dan sebagainya seperti saptamarga dan jasamarga. Dalam artikel ini hanya fokus pada no (2).

Praktek penggunaan marga sesungguhnya secara sosial jauh sebelum orang-orang Eropa/Belanda mempopulerkannya diantara orang-orang non-Eropa di Indonesia (baca: Hindia Belanda). Namun, bagaimanapun, orang-orang Eropa/Belanda yang mendorong kebutuhan marga di belakang nama untuk orang-orang non-Eropa terutama Arab, Tionghoa dan pribumi. Lalu muncul gagasan pembentukan marga baru (yang harus disahkan oleh pemerintah) termasuk diantara orang-orang yang Batak yang telah memiliki marga. Nah, untuk menambah pengetahuan mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Transformasi Marga dan Pembentukan Marga Baru

Pada tahun 1889 muncul di Jogjakarta seorang pribumi mendaftarkan namanya menjadi nama keluarga (lihat Nederlandsche staatscourant, 23-08-1889). Nama pribumi tersebut adalah Kassian yang dalam sehari-hari menyebut dirinya sebagai Chepas. Kassian, seorang fotografer namanya kerap ditulis dengan nama Kassian Chepas. Kassian Chepas mengajukan namanya di Djokjokarta pada tanggal 14 Juni 1888 yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal untuk dirinya dan putranya Sem dan Tarif agar disahkan memiliki nama keluarga Cephas. Permintaan ini kemudian dikabulkan pemerintah (lihat Nederlandsche staatscourant, 31-12-1889).

Pemerintah sejak 1883 mengakomodir bagi pribumi untuk mendaftarkan nama untuk dijadikan menjadi nama keluarga dalam bentuk peraturan perundang-undangan yakni dikeluarkannya Ordonansi 30 Juli 1883 (Indisch Staatsblad No. 192). Mangapa muncul ordonansi ini tidak diketahui secara jelas. Akan tetapi diduga karena ada dorongan dari pribumi, karena penulisan nama keluarga di belakang menjadi semacam keharusan bagi orang-orang Eropa/Belanda.

Sebelumnya penulisan nama-nama orang pribumi hanya didasarkan pada nama kecil, nama gelar atau gabungan keduanya. Nama gelar ini sudah umum secara adat digunakan orang pribumi teutama di Jawa dan Sumatra. Secara khusus di Jawa dan Minangkabau, nama gelar ini digabungkan dengan nama (tingkat) jabatan (dalam struktur pemerintahan tradisional). Di daerah Tapanoeli, nama-nama jabatan tradisional ini kurang menonjol.

Di daerah Soenda (Jawa) jabatan atau posisi sosial tersebut paling tidak terbagi dua belas tingkatan, yakni 1. Adipati, 2. Aria, 3. Toemenggoeng, 4. Demang, 5. Raden, 6. Ngabei, 7. Maas, 8. Rangga, 9. Condoran, 10. Patih atau bendahara, 11, Ombo atau kepala, 12. Mandor atau Loerah (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1856). Di daerah Minangkabau jabatan-jabatan ini antara lain panghoeloe, doebalang, malim dan manti. Untuk setiap orang dewasa (setelah menikah) di dalam masing-masing suku (kaum) memiliki gelar sendiri-sendiri yang dalam pepatah lama disebut ‘ketek banamo gadang bagala’. Untuk gelar bagi jabatan tertentu di dalam kaum memiliki gelar (pusaka) tersendiri (lihat Sumatra-bode, 18-05-1922).

Penulisan nama di daerah Tapanoeli khususnya di Afdeeling Angkola en Mandailing adalah nama kecil dan atau nama gelar. Di daerah Jawa nama kecil ini menghilang sehubungan dengan ditabalkannya nama gelar, sementara di Sumatra (Tapanoeli dan Minangkabau) nama kecil adakalanya tetap disebut meski ada yang lambat laun hanya ditulis nama gelarnya saja. Penggunaan nama marga belum lazim.

Penggunaan nama marga di belakang nama awalnya jarang digunakan dalam penulisan nama. Yang umum adalah nama kecil plus nama gelar. Misalnya, Radjioen gelar Soetan Kasajangan. Dalam hal ini Radjioen adalah nama kecil, Soetan Kasajangan adalah nama gelar. Sementara ayahnya bernama Tagor gelar Maharadja Soetan. Sedangkan nama kakeknya hanya ditulis Patoean Soripada. Patoean adalah jabatan dan Soripada adalah nama gelar. Dalam hal ini nama kecil kakeknya jarang dipakai sehingga tidak pernah ditemukan dalam penulisan nama dan hanya disebut Patoean Soeripada. Di Afdeeling Mandailing en Angkola umumnya gelar seseorang umumnya ditambahkan dengan mengabil nama kekek (ompung), bukan ayah. Oleh karena itu gelar Radjioen dalam hal ini adalah Soetan Kasajangan Soeripada. Radjioen gelar Soetan Kasjangan (Soripada) tidak pernah ditemukan menambahkan nama marganya (Harahap). Dalam penulisan nama marga hanya muncul sebagai keterangan seperti Radjioen gelar Soetan Kasajangan (Soeipada) marga Harahap. Jadi, penggunaan nama marga di belakang nama belum lazim.

Penggunaan nama marga di belakang nama awalnya terdeteksi di kalangan misionaris. Para misionari adakalanya sudah menyebut nama seseorang pribumi dengan notasi nama kecil plus nama marga (tidak dengan menggunakan nama gelar).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Asal-Usul Marga Batak

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar