Laman

Selasa, 02 Juni 2020

Sejarah Yogyakarta (41): Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito, Defacto Raja Sejak Muda; Sri Sultan Hamengkubuwana X


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito, kelak dikenal sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana X (sekarang). Sultan Hamengkubuwana IX sang ayah dan Sultan Hamengkubuwana IX sang anak adalah dua pemimpin modern di Kesultanan Djogjakarta. Antara ayah dan anak hanya beda-beda tipislah, 11, 12. Secara dejure Hamengkubuwana IX masih menjadi sultan hingga tahun 1988 (sejak 1940), tetapi secara defacto Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sejak 1973 sudah menjadi Sultan Yogyakarta. Apa, iya?

Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito
Pada tahun 1965 adalah tahun paling kritis di Indonesia. Terjadi peristiwa penting di Indonesia yang puncaknya disebut G 30 S/PKI. Dimana-mana di seluruh Indonesia terjadi ketegangan dan bahkan kerusuhan. Jenderal Abdoel Haris Nasoetion nyaris terbunuh di rumahnya, tetapi tak disangka anaknya Ade Irma Soerjani yang menjadi korban. Secara psikologis, tamat riwayat Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (dihentikan). Saat itu Presiden Soekarno yang merangkap Perdana Menteri hanya sendiri (tidak ada Wakil Presiden, sejak 1956) namun masih dibantu oleh generasi 45 (Republiken). Hamengkubuwana IX sebagai Menteri/Ketua BPK. Menteri-menteri lainnya, antara lain (yang berasal dari Mandailing en Angkola) adalah Adam Malik (Menteri Koordinator Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin); Arifin Harahap (Menteri Negara bidang perdagangan); Jenderal TNI Abdoel Haris Nasoetion (Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata). Saat terjadi genting, di Djokjakarta aman dan terkendali. Mengapa bisa aman? Keris poesaka Kiai Selamat dibawa berkeliling Djokjakarta untuk menangkal kudeta komunis. (lihat De Volkskrant, 22-04-1967). Siapa yang memerintahkan Kiai Selamat dikeluarkan untuk menjaga kota dan kraton sementara Hamengkubuwana IX berada di Djakarta? Saat itu, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sudah berumur 19 tahun (belum lama kuliah di Universitas Gadjah Mada). Foto (De Volkskrant, 22-04-1967).

Bendoro Raden Mas (BRM) Herdjoeno Darpito gelar KPH Mangkubumi pada tahun 1973 sudah berumur 27 tahun. Saat itu, sang ayah, Hamengkubuwana IX diangkat menjadi Wakil Presiden RI (kosong sejak Mohamad Hatta mengundurkan diri tahun 1956). Tahun 1973 adalah era baru Wakil Presiden. Hamengkubuwana IX sebagai Wakil Presiden (1973-1978) dilanjutkan oleh Adam Malik (1978-1983). Dua wakil presiden pertama era baru ini adalah generasi 1945 (Djokjakarta). Lantas seperti apa sejarah awal Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito yang melanjutkan jabatan historis Sultan Hamengkubuwana IX? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. De Volkskrant, 22-04-1967

Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito

Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito berangkat dewasa pasca G 30 S/PKI 1965. Usianya telah melampaui usia 19 tahun dan terdaftar di tingkat pertama fakultas hukum Universitas Gadjah Mada di Djokjakarta. Saat terjadi G 30 S/PKI 1965 tentu saja sang ayah berada di Djakarta sebagai Menteri/Ketua BPK RI. TNI segera dapat mengendalikan situasi dan kondisi di Djakarta. Sempat muncul kekhawatiran di Djokjakarta tetapi segera pula mereda. Sejak situasi dan kondisi menjadi lebih tenang, ada rumor bahwa para komandan TNI meminta Presiden Soekarno untuk menunjuk seorang Wakil Presiden (Vice President) yang secara otomatis pada waktunya menggantikan Kepala Negara wafat (lihat Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 17-11-1965).

De Volkskrant, 22-04-1967
Disebutkan tentara lebih menyukai Menteri Pertahanan Jenderal [Abdoel Haris] Nasoetion untuk menjadi Wakil Presiden. Dua kandidat lain untuk Wakil Presiden adalah Mohamad Hatta dan Soeltan Hamengkoeboewono IX. Mohamad Hatta yang pernah menjadi Wakil Presiden sebelum 1956, telah mengindikasikan pada beberapa kesempatan tidak lagi bercita-cita untuk posisi itu bersama Soekarno. Ini akan membatasi pilihan menjadi tingga dua. Jika Soekarno membuat keputusan tentang masalah ini, Presiden akan menyukai Soeltan, yang sangat dihormati di seluruh Jawa dimana dua pertiga dari 105 juta orang Indonesia berada di Jawa. Sementara itu, masih menurut Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 17-11-1965, ribuan pekerja Indonesia telah berdemonstrasi di Djakarta pagi ini melawan komunisme dan imperialisme. Para pengunjuk rasa datang dari daerah sekitarnya ke ibu kota Indonesia dengan bus, truk, dan berjalan kaki. Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 17-11-1965 juga membertitakan bahwa Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Umum Jenderal [Abdoel Haris] Nasoetion tadi malam memimpin pertemuan para komandan angkatan bersenjata untuk membahas kesatuan angkatan bersenjata. Sebuah buletin (press-release) yang diedarkan setelahnya mengatakan bahwa ada kesepakatan dengan suara bulat bahwa angkatan bersenjata harus bersatu erat, apa pun solusi politik Presiden [Soekarno] terhadap krisis saat ini. Surat kabar lain menambahkan bahwa pada hari Sabtu, [Presiden] Soekarno akan bertemu dengan para pemimpin militer di istananya di Bögor (lihat Trouw, 18-11-1965). Preferensi militer untuk mempromosikan Abdoel Haris Nasoetion disinyalir sebagai bagian dari paket kesepakatan (package deal) setelah Generaal Majoor Soeharto bertemu dengan [Jenderal Abdoel Haris] Nasoetion (lihat Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 19-11-1965).

Namun rumor tetaplah rumor. Yang agak membingungkan, beberapa bulan kemudian muncul pemberitaan bahwa Presiden Soekarno telah ‘memecat’ Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dari posisinya (lihat Trouw, 23-02-1966). Apakah karena sebelumnya dipromosikan militer Jenderal Abdoel Haris Nasoetion menjadi Wakil Presiden? Juga disebutkan bahwa Presiden Soekarno telah menawarkan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion sebagai duta besar, tetapi Jenderal Abdoel Haris Nasoetion telah menolaknya. Disebutkan pemberitahuan ‘pemecatan’ ini disebutkan pada tanggal 17 Februari, sementara Jenderal Abdoel Haris Nasoetion tidak langsung menjawab, tetapi akan mengadakan pertemuan para jenderal. Secara khusus, Mayor Jenderal Soeharto, Kepala Staf Angkatan Darat menyarankan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion untuk menentang keputusan Presiden.

Disebutkan salah satu konsekuensi langsung dari ‘penggusuran’ Jenderal Abdoel Haris Nasoetion adalah bahwa wakilnya Laksamana Martadinata juga akan ‘tergusur’. Disebutkan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion akan digantikan oleh [Mayor Jenderal] Sarbini yang merupakan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Juga disebutkan Soeltan Hamengkoeboewono, yang sampai sekarang sebagai Ketua BPK telah ditempatkan sebagai kepala kementerian pariwisata yang baru. Kementerian yang baru lainnya adalah pos dan telekomunikasi yang akan dipimpin Marsekal Udara Soerjadarma.

Sementara itu menurut Trouw, 23-02-1966 masih belum jelas bagaimana berbagai komandan militer di Indonesia bereaksi terhadap ‘pemecatan’ Jenderal Abdoel Haris Nasoetion sebab koneksi dengan berbagai pulau tidak selalu bekerja dengan cepat. Disebutkan menurut stasion rahasia yang diduga ditempatkan di suatu tempat di Jawa melaporkan kemarin bahwa situasi di Djakarta menyusul pemecatan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion sebagai Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata merupakan ledakan. Stasion itu melaporkan bahwa konflik bersenjata dapat pecah kapan saja dan bahwa pengawasan terhadap istana Presiden Soekarno telah diperkuat.

Perubahan kabinet ini kini dikenal sebagai perubahan kabinet Dwikora I menjadi Dwikora II. Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdoel Haris Nasoetion diganti dengan Mayjen TNI Sarbini; Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana Martadinata digantikan oleh Laksamana Muda Muljadi (plus wakilnya). Posisi Hamengkoeboewono IX yang sebelumnya strategis di BPK telah diisi oleh Mayor Jenderal Soeprajogi. Hamengkoeboewono IX menempati kementerian yang baru yang juga merangkap menteri koordinator pada bidang tersebut. Secara teknis, Presiden Soekarno telah ‘memecat’ tiga posisi penting (yang boleh jadi saling terhubung): Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (Menteri Koordinator Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata); Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata; dan Hamengkoeboewono IX (Menteri/Ketua BPK).

Lantas siapa yang diuntungkan dalam reshuffle kabinet ini (Kabinet Dwikora II)? Apakah Presiden Soekarno atau yang lain? Yang jelas kandidat Wakil Presiden (Jenderal Abdoel Haris Nasoetion atau Hamengkoeboewono IX) tidak terwujud. Apakah pengganti Jenderal Abdoel Haris Nasoetion akan bertahan lama?

Dinamika politik sangat cepat. Situasi dan kondisi belum sepenuhnya kondusif. Sejak terjadi G 30 S/PKI (Oktober) banyak muncul tuntutan. Tentara memaksa Soekarno untuk memerintahkan pembersihan pemerintah komunis. Militer Indonesia mencapai kemenangan politik besar kemarin dengan dikeluarkannya, atas nama Presiden Soekarno, sebuah dekrit yang memerintahkan pembersihan pemerintah dari komunis dan individu-individu yang bersimpati dengan kudeta 1 Oktober yang gagal. Dekrit yang dikeluarkan sebagai perintah presiden oleh komando operasional tinggi (Koti) - Soekarno - ditandatangani atas nama presiden oleh komandan militer, Mayor Jenderal Soeharto (lihat Leeuwarder courant : hoofdblad van Friesland, 17-11-1965). Sementara itu, Parlemen Indonesia (beranggotakan 300 orang) menuntut pembubaran partai komunis (lihat Gereformeerd gezinsblad / hoofdred. P. Jongeling, 19-11-1965). Disebutkan parlemen telah diusir 70 orang dari partai komunis (hanya tersisa 230 orang). Sementara itu pimpinan angkatan bersenjata Indonesia telah meminta Presiden Soekarno untuk memberhentikan Marsekal Omar Dhani sebagai komandan Angkatan Udara. Disebutkan pimpinan militer percaya bahwa Omar Dhani telah kehilangan otoritasnya karena terlibat dalam kudeta.

Satu bulan kemudian setelah reshuffle kabinet (Kabinet Dwikora II) terjadi lagi reshuffle kabinet (Kabinet Dwikora III) yang hasilnya diumumkan pada tanggal 27 Maret 1966. Semua anggota kabinet yang berhaluan komunis dan terkait dengan kudeta telah diberhentikan. Sejumlah posisi penting yang ditinggalkan telah diisi. Tiga orang promosi pada tempat yang strategis, yakni: Adam Malik, Hamengkoeboewono IX dan Soeharto. Ini adalah bayangan trio baru Indonesia.

Pada awal berdirinya negara Republik Indonesia (1945) ada trio pendiri negara Indonesia (Three Founding Father) yakni Soekarno, Mohamad Hatta dan Amir Sjarifoeddin Harahap (Kabinet RI pertama). Tiga orang ini telah berjuang sejak tahun 1928. Sejak ibu kota RI hijrah ke Djokjakarta, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang mengajak Hamengkoeboewono bergabung ke kabinet 1947. Saat itu  Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Hamengkoeboewono diposisikan sebagai Menteri Negara bidang Keamanan Rakyat. Sebelum Hamengkoeboewono bergabung dalam kabinet, pada tahun 1946 Amir Sjarifoeddin Harahap (Menteri Keamanan Rakyat), Kolonel Zoelkifli Loebis (kepala intelijen RI) dan Hamengkoeboewono IX (kepala daerah Djokjakarta) bertiga mendesain struktur Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI. Lalu pada saat Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menjadi Perdana Menteri, kombinasi Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Hamengkoeboewono IX dipatenkan. Selanjutnya, pada saat Mohamad Hatta menjadi perdana menteri, Hamengkoeboewono IX dipromosikan menjadi Menteri Pertahanan. Inilah karir awal Hamengkoeboewono IX dalam pemerintahan RI. Pada kabinet Natsir, Hamengkoeboewono IX promosi menjadi Wakil Perdana Menteri (1951). Habis itu Hamengkoeboewono IX sempat menjadi anggota kabinet Wilopo (sebagai Menteri Pertahanan) tetapi Hamengkoeboewono IX harus terpaksa pensiun dini (mengundurkan diri) pada tahun 1953,

Pada era demokrasi terpimpin (setelah Dwitunggal Soekarno-Hatta retak) kembali Presiden Soekarno mengambil marwah Djokjakarta di dalam kabinetnya. Presiden Soekarno tampaknya tidak cukup hanya dengan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion. Dua menterinya yang baru adalah Mr. Arifin Harahap dan Hamengkoeboewono IX. Mr. Arifin Harahap sebagai Menteri Muda Perdagangan dan Hamengkoeboewono IX (Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara) sejak Kabinet Kerja I/1959. Mr. Arifin Harahap adalah adik dari Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Pada saat ibu kota RI di Djokjakarta, Letkol Mr. Arifin Harahap adalah perwakilan RI di Batavia/Djakarta (semacam duta besar). Mr. Arifin Harahap adalah salah satu dari 17 sarjana cemerlang yang masih muda yang direkrut Letnan Jenderal Oerip (atas permintaan kabinet pertama 1945) untuk membentuk tentara fungsional dengan pangkat Overste (Letkol). Beberapa yang lain diantara 17 orang tersebut adalah Letkol Dr Ibnoe Soetowo, Letkol Mr. Kasman. Letkol Dr W Hoetagaloeng dan Letkol Ir MO Parlindoengan (AFP Siregar).

Mengapa Hamengkoeboewono IX mengundurkan diri sebagai Menteri Pertahanan pada Kabinet Wilopo tahun 1953. Hal ini karena Peristiwa Oktober 1952 yang kemudian dua sobatnya dipecat Presiden Soekarno yakni Jenderal TB Simatoepang (KASAP) dan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion (KASAD). Sebagai rasa solidaritas, Hamengkoeboewono IX mengundurkan diri. Itulah kesetiakawanan Hamengkoeboewono IX terhadap dua jenderal setia RI tersebut. Pada era Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap (1955) Jenderal Abdoel Haris Nasoetion diposisikan kembali (yang kosong sejak 1952). Sebagai jenderal setia, Jenderal Abdoel Haris Nasoetion masih setia dengan Presiden Soekarno hingga kembalinya Hamengkoeboewono IX ke kabinet (demokrasi terpimpin). Kini, nostalgia era Djokjakarta mekar kembali di Djakarta. Hamengkoeboewono IX seakan ‘hidup’ kembali, partner barunya adalah Mr. Arifin Harahap (adik sahabatnya).

Hamengkoeboewono IX dan Mr. Arifin Harahap tetap bertahan hingga Kabinet Dwikora III (25 Juli 1966), tetapi tidak dengan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion yang ‘dipecat’ pada Kabinet Dwikora I (sampai 22 Februari 1966), Pada Kabinet Ampera I (Soeharto), Mr. Arifin Harahap dipensiunkan Soeharto dan dijadikan duta besar untuk Tunisia. Pada saat Kabinet Ampera I inilah muncul trio baru Indonesia:  Soeharto, Hamengkoeboewono dan Adam Malik. Adam Malik adalah anak buah Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap di Partai Indonesia (Partindo) 1934 dan pendiri kantor berita Indonesia Antara (1937). Adam Malik yang masih berumur 15 tahun memulai karir politik (Partindo) di Pematang Siantar, Sipirok dan Padang Sidempoean (pernah dibui Belanda di Padang Sidempoean 1935 sebelum hijrah ke Batavia). Ketika Ir. Soekarno berkunjung ke Tapanoeli bersama Amir Sjarifoeddin Harahap untuk kampanye Partindo, Adam Malik dari Padang Sidempoean menyambutnya ke Sibolga. Saat itu Amir Sjarifoeddin Harahap adalah ketua Partindo cabang Batavia.

Kesibukan Hamengkubuwana IX di Djakarta (sebagai Trio Baru Indonesia) membuat sang anak, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito semakin intens di Djakarta. Perkuliahan Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito di Djokjakarta mulai tidak fokus. Hal ini pernah dialami sang ayah, Goesti Raden Mas Dorodjatoen (Hamengkubuwana IX) yang berkuliah di Belanda mulai tidak fokus karena sang ayah (Hamengkubuwana VIII) mulai lelah (dan kemudian GRM Dorodjatoen menjadi Sultan Djokjakarta tahun 1940). Kini, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sering mendampingi ayahnya di Djakarta (karena kesibukan yang luar biasa sebagai Trio Baru Indonesia).

Besar dugaan melihat posisi super sibuk sang ayah (Hamengkubuwana IX) di Djakarta membuat anak muda Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito di Djakarta mulai ikut membantu sang ayah. Membantu sang ayah di Djakarta dalam urusan bernegara, dan membantu sang ayah di Djokjakarta dalam urusan internal kraton.

Ketika jurnalis Belanda datang ke Djokjakarta pada awal tahun 1967, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sudah bertindak di kraton Djokjkarta bagai Soeltan (lihat De Volkskrant, 22-04-1967). Dalam wawancara dan tour di seputar kraton, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito didampingi oleh adik perempuan. Sang ayah berada di Djakarta dalam urusan negara. Pada jamuan makan malam, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito seakan bertindak sebagai ayah yang duduk di samping sang ibu (yang juga turut saudara-saudara perempuan dalam jamuan makan tersebut). Tentu saja itu sangat bijaksana dan Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito yang sudah berumur 20 tahun dalam status mahasiswa (lajang) telah dapat menggantikan ketidakhadiran sang ayah di tengah keluarga.

Pengantin baru (1973)
Boleh jadi sang ayah (Hamengkubuwana IX) di Djakarta mulai mempercepat proses suksesi di kraton leluhur. Rumah pribadi di Djakarta (sebagai representasi negara) sudah semakin sulit ditinggalkan, karena kesibukan, untuk commuter ke Djokjakarta. Satu-satunya jalan adalah mempromosikan Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito dengan terlebih dahulu menikahkannya. Tentu saja bagi pria modern  (masih berkuliah) Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sulit menerimanya. Dalam hal ini sesungguhnya maksud sang ayah bukan memberi izin nikah muda bagi Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito tetapi dengan tujuan untuk menuakan Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito di lingkungan kraton.

Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito yang terus commuter Djokjakarta-Djakarta untuk membantu sang ayah baik dalam urusan negara maupun urusan kraton, proses menuakan Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito melalui proses pernikahan, baru terlaksana pada tahun 1973. Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito yang berusia 25 tahun dinikahkan dengan Tatiek Dradjad Soepriastoeti (gelar GKR Hemas) di kraton Djokjakarta.

Meski Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito gelar KPH Mangkoeboemi sudah menikah, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito tetap menjalankan keseharian yang lama, membantu sang ayah di Djakarta dan menjadi ad-interim sebagai Soeltan di Djokjakarta.. Keluarga Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito sendiri tidak tinggal di kraton tetapi hidup di lingkungan luar kraton. Mengapa? Hamengkubuwana IX secara dejure masih Soeltan Djokjakarta. Pernikahan membuat Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito tinggal di luar untuk bermasyarakat (masih di seputar Djokjakarta). Suatu waktu, Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito gelar KPH Mangkoeboemi akan kembali ke istana untuk menggantikan sang ayah sebagai Soeltan. Inilah cara Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito untuk mendewasakan diri tidak lagi dengan metode pengasuhan kraton, tetapi dengan cara hidup modern bangsa Indonesia.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sultan Hamengkubuwana X

Pada kabinet Ampera I, sejak 12 Maret 1967 Soeharto secara defacto telah menjadi Presiden RI. Trio baru Indonesia ini pada kabinet Ampera I, Soeharto sebagai Menteri Utama bidang Pertahanan dan Keamanan, Adam Malik sebagai Menteri Utama bidang Politik dan Hamengkubuwana IX sebagai Menteri Utama bidang Ekonomi dan Keuangan. Tiga bidang keamanan, politik dan ekuin adalah tiga posisi strategis.

Trio baru Indonesia mengantikan trio lama. Komposisi trio lama Indonesia adalah Soekarno, Mohamad Hatta dan Amir Sjarifoeddin Harahap (sejak Kabinet RI pertama, 1945). Kini, di tahun 1967 (sejak Kabinet Ampera I967) komposisinya Soeharto, Adam Malik dan Hamengkubuwana IX. Enam orang dua generasi ini berasal dari daerah-daerah Republik (100 persen RI, bukan federalis). Trio Indonesia pertama komposisinya 2+1 (dua Sumatra + 1 Jawa). Trio Indonesia kedua komposisinya 1 + 2 (satu Sumatra + 2 Jawa). Dari Sumatra yang terus eksis adalah Tapanoeli (Amir Sjarifoeddin Harahap dan Adam Malik). Komposisi ini seakan mengingatkan himbauan Dr. Soetomo pada tahun 1915 sepulang berdinas dari Tandjoeng Morawa, Deli meminta diadakan rapat umum Boedi Oetomo di Afdeeling (cabang) Batavia yang saat itu dipimpin oleh golongan muda terpelajar Dr. Sardjito (kelak Rektor UGM pertama). Dalam rapat umum tersebut Dr. Soetomo meminta perhatian para hadirin: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri. Di luar Jawa di Deli orang Jawa sangat menderita. Banyak orang Tapanoeli yang terpelajar. Mereka ada dimana-mana. Kita tidak bisa lagi hidup sendiri. Tugas kita lebih luas dari yang kita pikirkan’.

Sebagaimana Trio lama Indonesia, trio baru Indonesia ini juga ‘alumni’ Djokjakarta (semasa ibu kota RI di Djokjakarta 1946-1949). Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito melihat komposisi pemimpin Indonesia yang baru, salah satu sang ayah. Sudah tentu Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito tidak terlalu mengenal trio lama Indonesia, sebab Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito baru lahir tahun 1946 (2 April). Ibu kota RI pindah dari Djakarta ke Djokjakarta pada tanggal 4 Januaru 1946. Itu berarti, tiga bulan kemudian Bendoro Raden Mas Herdjoeno Darpito lahir, saat ibunya mengandung, saat ayahnya menyambut kedatangan para Republiken.

Pindahnya ibukota RI ke Djogjakarta, paling tidak kehadiran tiga pertama pemimpin RI (Soekarno, Hatta dan Amir) sebagaimana dilaporkan Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 07-01-1946 merupakan amanat KNIP. Keputusan ini diperkuat dari informasi yang disiarkan (kantor berita) AP bertanggal 7 Januari di Batavia yang dilansir Het nieuws: algemeen dagblad, 07-01-1946 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta pindah ke Yogyakarta di Jawa Tengah setelah Pemerintah Indonesia diminta (KNIP) untuk mendirikan kantor di luar ibukota dengan mengingat situasi di Batavia, sebab secara umum, situasi di Jawa relatif tenang. Jika memperhatikan kunjungan Soekarno dan rombongan ke Jogja yang didampingi oleh Mr. Kasman, perpindahan ibukota ke Jogjakarta secara defacto bersifat alamiah karena di Djogka sudah dibentuk tentara Indonesia (cikal TNI). Hal itu juga menjadi pertimbangan KNIP memutuskan agar pemerintahan dipindahkan ke Djogjakarta.

Perpindahan ibu kota ke Djogjakarta tentu saja tidak bulat. Sebab ada rumor adanya kesenjangan diantara para pemimpin sebagaimana dilaporkan surat kabar Merdeka 12 Januari yang dilansir surat kabar De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 15-01-1946. Disebutkan ada indikasi baru terdapat kesenjangan yang semakin besar antara para pemimpin di Djogjakarta (Soekarno, Hatta dan Amir) dan di Batavia (Sjahrir dan Menteri lainnya). Para pihak menduga Belanda/NICA ingin menggunakan Sjahrlr untuk kepercayaannya. Rumor ini juga muncul dari Jogja sebagaimana dikutip surat kabar yang menyatakan: ‘Radio Djokja menuduh markas besar (hoofdkwartier) Indonesia di Batavia menutup matanya atas infiltrasi pihak Belanda ke Djokjakarta (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 17-11-1945).

Proses perpindahan ibu kota RI dari Djakarta ke Djokjakarta tidak sekaligus. Yang pertama pindah adalah urusan pertahanan dan keamanan yang dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, beru kemudian menyusul rombongan yang dipimpin Soekarno dan Mohamad Hatta. Demikian seterusnya secara bergelombang sesuai urutan kepentingannya, Rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Djakarta ke Djokjakarta terjadi pada tanggal 16 Oktober 1946. Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin oleh Letkol Mr. Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Djokja yang dikawal oleh polisi Belanda (lihat Nieuwe courant, 17-10-1946). Letkol Mr. Arifin Harahap adalah adik Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang saat trio Indonesia baru mulai berkuasa (Soeharto, Adam Malik dan Hamengkoeboewono) diangkat menjadi duta besar berkuasa di Tunisia.

Pada tahun 1966, Abdul Haris Nasution sebagai senior ABRI, dilantik menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pada saat menjabat sebagai Ketua MPRS, untuk pertama kali Lembaga Tertinggi Negara itu menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang dikenal dengan nama Nawaksara. Dalam sidang MPRS di bawah pimpinannya, Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden, yang kemudian menjadi Presiden pada tahun 1968.

Last but not least: Ketika disebutkan Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dibebastugaskan Presiden Soekarno dari jabatan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keagamaan yang kemudian ditawarkan menjadi duta besar, Jenderal Abdoel Haris Nasoetion menolak, Mungkin bagi Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dirinya didubeskan adalah suatu pelecehan dalam bernegara. Namun keputusan tetap tidak memberi tempat baginya di kabinet. Jenderal Abdoel Haris Nasoetion diminta berbagai pihak untuk menjadi Ketua MPRS. Jenderal Abdoel Haris Nasoetion menerimanya dan mulai memimpin sidang pada tanggal 20 Juni 1966. Lalu tiba gilirannya pertanggungjawaban Presiden Soekarno di depan sidang MPRS yang diadakan pada tanggal 22 Juni. Pidato Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara. Tentu saja sidang yang dipimpin Jenderal Abdoel Haris Nasoetion menolak. Ini secara pribadi Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dua kali menolak dalam berurusan dengan Presiden Soekarno. Hal ini mirip yang pernah dikatakan Mohamad Hatta, saya menolak diangkat lagi menjadi Wakil Presiden selagi Presiden Soekarno yang berkuasa. Akhirnya pada sidang MPRS pada tanggal 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dicopot dari kekuasaan oleh MPRS yang diketuai oleh Jenderal Abdoel Haris Nasoetion dan selanjutnya melantik Soeharto sebagai Presiden sementara. Secara resmi pada tanggal 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh. Tamat Soekarno orang terakhir dari Trio lama Indonesia, muncul Soeharto sebagai pemimpin Trio baru Indonesia (Soeharto, Adam Malik dan Hamengkoeboewono). Lalu Jenderal Abdoel Haris Nasoetion lengser keprabon.

Pada awal era Trio Baru Indonesia inilah Bendoro Raden Mas Herdjoeno menjadi dewasa. Lalu pada tahun 1973 pada usia 25 tahun Bendoro Raden Mas Herdjoeno menikah dengan Tatiek Dradjad Soepriastoeti. Tahun ini adalah kehidupan permulaan Bendoro Raden Mas Herdjoeno untuk bertanggungjawab kepada keluarga, kepada kraton dan kepada Republik Indonesia. Semenetara sang ayah, pada tahun 1973 juga mencapai puncak karir politiknya setelah diangkat menjadi Wakil Prseiden RI.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar