Laman

Sabtu, 04 Juli 2020

Sejarah Lombok (28): Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945; Militer Inggris Jepang dan Pemerintahan NICA (Belanda) di Lombok


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Pendudukan militer Jepang di Indonesia akhirnya harus berakhir. Penduduk Sasak khususnya di Lombok sangat menderita selama kehadiran Jepang. Saudara tua tidak selalu menjadi lebih baik dari Belanda. Saudara tua dalam hal tertentu bahkan bisa lebih kejam. Sebaliknya, bagi penduduk Sasak di Lombok, Belanda telah mengangkat harga diri mereka dengan membebaskan mereka dari rezim Bali (sejak 1895). Semua yang telah kembali diraih di era rezim Pemerintah Hindia Belanda hilang seketika saat pendudukan militer Jepang (sejak 1942).

Pada tanggal 17 Agustus 1945, pemimpin Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti seluas-luasnya, suatu kemerdekaan yang tidak sepenuhnya diperolah pada era Hindia Belanda dan era pendudukan militer Jepang. Proklamasi kemerdekaan juga termasuk dalam pembebasan rakyat Indonesia dari praktek kotor dari raja-raja feodal yang dzalim. Namun proklamasi kemerdekaan Indonesia tersebut tidak bergaung keras di Lombok. Selama era rezim Pemerintah Hindia Belanda dan pendudukan militer Jepang, penduduk Sasak sendiri belum sepenuhnya melupakan rezim sebelumnya yakni kerajaan Bali Selaparang. Bekas-bekasnya masih nyata yang membuat hidup berdampingan antara orang Bali dan Sasak di Lombok belum sepenuhnya hilang. Penduduk Sasak dan para pemimpinnya larut dengan masalah internal sendiri dan masih terfokus pada perjuangan untuk hidup. Energi belum terbagi untuk hal-hal yang bersifat nasional.

Gaung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tidak terlalu terasa dan dirasakan di Lombok. Meski Lombok cukup dekat secara geografis dengan pusat-pusat pergerakan Indonesia di pulau Jawa, tetapi secara sosiologis politik terisolasi. Semua itu bersumber dari rangkaian pengalaman masa lalu yang tidak pernah putus: rezim Bali Selaparang, rezim Pemerintah Hindia Belanda dan rezim pemerintah pendudukan militer Jepang. Penduduk Sasak di Lombok seakan tidak pernah lepas dari pertarungan hidup untuk sekadar survive. Oleh karena itulah, gaung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tidak begitu menggema di (pulau) Lombok. Oleh karena itu pula situasi dan kondisi di Lombok pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia kurang terinformasikan. Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia: Evakuasi Jepang dan Kembalinya Belanda di Lombok

Selama pendudukan militer Jepang di Lombok, tidak ada orang Eropa-Belanda. Semua orang Eropa-Belanda telah diinternir ke tempat lain. Sebagai orang asing, hanya orang sipil dan militer Jepang yang ada di Lombok. Jumlah orang Jepang di Lombok sekitar 2.000 orang yang dipimpin oleh Kolonel Takujoro. Semua orang Jepang di Lombok menjadi diam seribu bahasa sesaat Kaisar Jepang membacakan pidatonya yang takluk kepada Sekutu. Pidato ini disiarkan melalui radio pada tanggal 14 Agustus 1945, sehingga militer Jepang di Lombok juga mengetahuinya.

‘Pada tanggal 14 Agustus 1945 pada pukul sebelas tiba-tiba listrik padam seluruh Java sekitar tiga jam...ada orang-orang yang berpikir untuk sabotagc.. tidak ada pemberitahuan pemadaman sebelumnya..pada pukul 12 kaisar akan mengumumkan melalui radio penghentian perang di seluruh kuasa militer Jepang karena kalah dari sekutu...Pimpinan tentara Jepang di Jawa, yang telah menerima pesan tanggal 13 malam bahwa pada 14 Agustus bahwa Jepang akan menyerah ...banyak orang tidak percaya bahwa Jepang telah menyerah, bahkan para pelaut yang tengah berada di kapal mereka di Priok yang dari situ berita beredar ke darat..bahkan dua Boeng (Soekarno dan Mohammad Hatta) juga tidak percaya ketika dikonfirmasi padahal mereka baru 10 haru sebelumnya bertemu Jenderal Terauchi di Saigon...Tetapi sekelompok pejuang revolusioner yang sudah lama bekerja di bawah tanah, termasuk Soekarni, Adam Malik, BM Diah, Wikana D. Asmoro dan Mr. Iwa Kusoemasoemantri dan Mr. Soebardjo percaya pada kekalahan Jepang dan mulai sibuk membuat rencana. Para siswa diantara mereka dengan bersemangat mendorong maju dengan pemimpinnya Chairoel Saleh, seorang mahasiswa hukum. Kelompok revolusioner mengadakan pertemuan rahasia pada malam tanggal 15 Agustus 1945 di Wilhelminainstituut, Pengangsan Timur 15. Kepemimpinan ditugaskan kepada  Chairoel Salem. Diputuskan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak harus bergantung pada orang lain atau Kerajaan [Jepang]. Untuk menyatakan bahwa rakyat Indonesia siap untuk merdeka dan mempertimbangkan momen ini untuk melakukannya, satu-satunya jalan keluar adalah memproklamasikan kemerdekaan dengan cara proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri, tanpa campur tangan asing. Dua utusan Wilkana dan Darwis diperintahkan untuk mengunjungi Soekarno dan Mohammad Hatta dan menanyakan apakah mereka akan memproklamasikan kemerdekaan dan memutuskan semua hubungan dengan Jepang... Pada pukul sepuluh malam, dua utusan diterima di Pegangsan Tinur 56. Setelah mereka memberi pesan mereka meminta Sukarno tentang posisinya. Dia menjawab: ‘Saya tidak percaya kekalahan Jepang, sementara pihak resmi [Jepang] belum memberitahu saya. Sejauh menyangkut kemerdekaan, Indonesia pasti akan merdeka karena masalah ini sekarang hanya menunggu waktu tepat karena persiapan yang hampir selesai’. Singkatnya pertemuan lebih lanjut Soekarno dengan yang lain diadakan 9malam itu)..Sementara dalam pertemuan tersebut hanya datang Drs. Moh. Hatta, Mr. Soebardjo dan Dr Boentaran. Hatta dan  Mr Soebardjo sudah mendengar berita tentang penyerahan Jepang dan ia merumuskan posisinya: ‘saya harus setuju bahwa kami (Soekarno, Hatta) 'masalah proklamasi kemerdekaan, sebelum kita lakukan  resmi kita harus mendengar pandangan pemerintah Jepang terlebih dahulu apa yang telah dijanjikan’, Pada tanggal 15 Agustus pada pukul 12 malam hari suatu pertemuan para konspirator di alamat jalan Tjikini 71, dimana laporan didengar dari utusan yang menemui Soekarno, Hatta. Pertemuan itu  dibawah kepemimpinan Chairoel Saleh. Diputuskan bahwa proklamasi dalam hal apapun harus dilakukan, jika perlu tanpa izin dari Soekarno dan Hatta. Bagaimanapun, kedua pemimpin ini akan dibawa ke luar kota. Chairoel Saleh, Sukarni, J. Koento, Dr. Moewardi dan Singih akan mengambil penculikan itu. Hatta dibangunkan pada jam empat pagi. Terkejut, dia bertanya apa maksudnya. Sukarni mengatakan bahwa ia [Moh. Hatta] perlu dibawa keluar kota sehubungan dengan situasi tegang. Hatta, meskipun marah, mengikuti. Dr. Moewardi yang telah diinstruksikan untuk membangunkan Soekarno, ragu-ragu karena [Soekarno] tidur sangat nyenyak. Dia [Moewardi] menunggu Chairoel Saleh, yang sebentar kemudian muncul dengan Hatta di mobilnya. Setelah Soekarno terbangun awalnya juga bertanya mengapa. Chairoel Saleh dan Soekarni mengatakan telah mengatakan kepadanya hal yang sama kepada Hatta. Kemudian meninggalkan [Djakarta] pukul setengah dua dengan mobil menuju Rengas Dengklok, sebelah timur Djakarta sekitar 90 km sebelah barat dari Krawang. Pada malam tanggal 16 sampai 17 Augustin 1945, warga Djakarta tidur dengan tenang, Soekarno dan Hatta dibawa kembali ke Jakarta, dimana mereka ditampung di perumahan Laksamana Maeda di Orange-Nassau Boulevaard. Soekarno dan Hatta mengusulkan untuk menandatangani proklamasi, hari berikutnya untuk mengirimkannya kepada panitia persiapan kemerdekaan Indonesia yang dibentuk oleh Jepang yang anggotanya agar berkumpul di Djakarta (baca: PPKI), Namun usulan itu ditolak oleh Chairoel Saleh dan Soekarni dengan kata-kata: ‘Kita tidak akan memiliki tubuh berbau Jepang’. Selanjutnya, Soekarno dan Mohammad Hatta meminta waktu untuk berunding dengan pejabat tertinggi Jepang. Usulan ini juga ditolak. Kemudian teks proklamasi diubah sehingga menjadi kurang tajam. Teks ini diketik oleh Sajoeti dan ditandatangani pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta di hadapan Chairoel Saleh, Soekarni, Soebardjo, Iwa Koesoemamantri, Soediro, BM Diah, Sajoeti, [Adam] Malik dan Semaun Bakrie. Lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya’ (lihat De West: nieuwsblad uit en voor Suriname, 08-03-1951).

Namun  berita proklamasi ini tidak segera menyebar ke seluruh Indonesia karena terbatasnya komunikasi. Radio-radio masih dikuasai oleh militer Jepang (dan tentu saja di jaga). Komandan militer Jepang, Kolonel Takujoro dan semua bawahannya mati langkah. Apa yang telah terjadi boleh jadi tidak seorang pun warga di Lombok khususnya penduduk Sasak mengetahuinya. Boleh jadi sebagian besar penduduk Sasak di Lombok juga tidak mengetahui telah terjadi perlawanan rakyat Indonesia di Jawa dan Sumatra.

Pada saat permulaan kemerdekaan Indonesia ini, saat pemerintah yang dipimpin oleh Soekarno dan Mohammad Hatta menyusun struktur pemerintahan dan menjalankan rekonstruksi nasional, tiba-tiba Belanda/NICA menguntit di belakang tentara sekutu/Inggris yang melakukan proses pembebasan interniran Eropa-Belanda dan pelucutan senjata dan evakuasi militer Jepang (ke luar Indonesia). Sementara di pihak sekutu/Inggris yang terkesan memberi angin kepada Belanda/NICA yang dipimpin van Mook (di pengungsian di Australia), di pihak republiken mulai muncul perseteruan (kolompok) siapa yang akan memimpin (perang) revolusi. Terjadilah perang di berbagai kota dan tempat di Jawa dan Sumatra. Para interniran Eropa dan Batavia dan sekitar segera dilakukan oleh tentara Sekutu-Inggris, dan wilayah dibelakangnya segera ditempati oleh tentara NICA-Belanda. Sementara tentara Sekutu terus merangsek ke tempat-tempat dimana orang Eropa-Belanda ditahan (interniran) dan militer Jepang yang akan dilucuti (wait en see). Di sejumlah tempat terjadi pertempuran antara Republiken dan tentara Sekutu-Inggris seperti di Soerabaja yang puncaknya tanggal 11 November 1945. Demikian juga terjadi kontak senjata antara para Republiken dengan tentara NICA yang terus mengalir memasuki Indonesia. Para interniran ini yang tetap sehat diberdayakan NICA untuk mengisi posisi-posisi jabatan tertentu (yang mungkin pernah dijabatnya sebelum pendudukan militer Jepang).  

Akhirnya baru setelah pertengahan bulan Maret 1947 tentara Sekutu-Inggris memasuki wilayah (pulau) Lombok. Ini dapat dibaca pada surat kabar berbahasa Belanda Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 27-03-1946: ‘Kantor berita Aneta melaporkan: Misi Sekutu, yang mengunjungi pulau Lombok, melaporkan bahwa situasi di sana sepi, kecuali di distrik Selong, dimana unsur-unsur perlawanan [nasionalus Indonesia] berusaha menghalangi dan melakukan provokasi (terhdap kedatangan Sekutu-Inggris). Namun, semua pemimpin perlawanan tersebut telah diketahui. Mereka adalah guru Jawa dan beberapa dari mereka sudah ditangkap. Penangkapan yang telah dilakukan memiliki efek yang sangat kondusif di ibu kota pulau itu, Mataram, dimana 90 persen yang awalnya pendukung gerakan nasionalis Indonesia telah beralih dan meninggalkannya dalam beberapa hari terakhir’.

Berita pertama ini mengindikasikan tentara Sekutu-Inggris telah memasuki pulau Lombok untuk melucuti militer Jepang. Juga disebutkan adanya perlawanan yang dilakukan terutama di wilayah Lombok Timur. Sebagaimana diketahui Lombok Timur yang beribukota di Selong adalah wilayah konsentrasi penduduk Sasak. Catatan: surat kabar Het dagblad adalah surat kabar (berbhasa) Belanda yang pertama terbit di Hindia Belanda yang bermarkas di Djakarta-Batavia.  Surat kabar ini pertama kali terbit segera setelah NICA mulai menguasai Djakarta (di belakang tentara Sekutu-Inggris). Surat kabar inilah yang day to day melaporkan perjalanan tentara Sekutu-Inggris dan perkembangan terbaru terhadap kehadiran NICA-Belanda.

Tidak lama setelah tentara Sekutu-Inggris melucuti militer Jepang dan pada tahap persiapan untuk evakuasi, pasukan angkatan laut Belanda-NICA segera menyusul memasuki Lombok. Pasukan Belanda-NICA ini diketahui masuk dari (pelabuhan) Lembar. Mengapa harus pelabuhan Lembar? Hal ini karena kapal-kapal Sekutu-Inggris masih berada di pelabuhan Ampenan dalam urusannya proses evakuasi militer Jepang.

Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-03-1946: ‘Pendudukan Lombok, menyambut hangat pasukan  Laporan dari layanan informasi Angkatan Laut, sepanjang jalan dari Lembar (tempat pendaratan pertama terjadi) ke Mataram, ibukota Lombok, kerumunan besar penduduk melambai dengan antusias dan bersorak: ‘Slamat datang, Tuan!’ Penerimaan ramah dari penduduk, membungkuk dan memberi hormat ala orang Jepang, tidak terlihat adanya bendera merah putih dan fakta bahwa tidak ada tulisan di dinding atau rumah yang membuat perjalanan ke Mataram benar-benar suatu kemenangan. Mantan Controleur Mataram, Luger yang ikut dalam pendaratan adalah orang pertama yang mencapai Mataram dan disambut oleh penduduk sebagai orang yang sudah lama terlupakan, tetapi sekarang dengan senang hati kembali bertemu kebali sebagai teman. Seribu orang termasuk pemimpin lokal menyaksikan kedatangan di Mataram. Di mana-mana orang bertanya tentang uang pemerintah yang baru (pengganti uang Jepang). Para perwira angkatan laut Belanda yang membagikan rokok hampir dibanjiri oleh kerumunan yang berdesakan dan antusias. Dimana-mana orang mengungkapkan rasa terima kasih dan kepuasan besar tentang kedatangan pasukan dan kembalinya pemerintah Belanda. Sebanyak sekitar 30 orang pemberontak (nasionalis Indonesia) telah ditangkap sebelumnya dan telah dipenjara oleh pihak berwenang setempat yang lalu segera diserahkan kepada pihak berwenang Sekutu-Inggris. Berkali-kali diharapkan bahwa dengan kembalinya otoritas Belanda ini, masa-masa sulit akan berakhir dan yang pertama, keadaan bahagia sekarang akan kembali’.

Orang-orang NICA-Belanda didahului oleh militer yang didalamnya disertai orang-orang sipil. Tentu saja orang sipil yang ditunjuk adalah yang pernah berpengalaman di Lombok, kebetulan orang sipil tersebut adalah mantan Controleur pada era Pemerintah Hindia Belanda. Rupanya penduduk sangat senang menyambut kedatangan Belanda-NICA. Boleh jadi penduduk selama ini di era pemerintahan militer Jepang sangat menderita, tidak hanya soal pangan, dan pakaian juga masalahan kesehatan. Namun tentu saja ada pihak yang tidak menginginkan kedatangan Belanda. Gambaran serupa ini juga ditemukan di tempat yang lain, ada yang menyambut senang dan ada juga yang kurang senang dan coba melakukan perlawanan (bahkan dengan bantuan orang-orang Jepang).

Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 30-03-1946: ‘Sebagian besar penduduk pulau Lombok, yang diduduki oleh pasukan Belanda, akhir-akhir ini menderita penyakit malaria, disentri dan kudis. Rumah sakit Belanda telah didirikan di pulau itu. Pakaian yang sangat dibutuhkan penduduk diharapkan segera didatangkan dari Soerabaja. Beberapa pemberontak (nasionalis Indonesia) ditangkap tetapi secara umum penduduknya menunjukkan sikap yang sangat ramah terhadap Belanda. Komandan dari pasukan Jepang di Lombok, Kolonel Takujoro telah ditangkap karena gagal menekan perlawanan pemberontak nasionalis Indonesia yang terjadi tak lama sebelum pasukan Sekutu mendarat. Situasi di Lombok bagus, hanya Selong yang mungkin menjadi pusat masalah’.

Kota Selong di Lombok Timur telah menjadi pusat perlawanan nasionalis Indonesia. Kota ini juga sejak awal kehadiran Belanda di Lombok menjadi salah satu pusat perlawanan penduduk Sasak terhadap pasukan kerajaan Bali Selaparang yang berpusat di Mataram. Namun perlawanan nasionalis Indonesia tidak sebanding dengan kekuatan tentara Sekutu-Inggris dan militer Belanda-NICA. Akhirnya perlawanan yang ada redup, lebih-lebih sejumlah pemimpinnya sudah mendekam di penjara. Bagaimana gambaran situasi dan kondisi di Lombok sebuah artikel seingkat yang dikiirm dari Lombok dimuat surat kabar Nieuwe courant pada erdisi  23-04-1946 sebagai berikut:

‘Pasukan Belanda mendarat di Lombok. Delapan kapal berlabuh di pelabuhan Laboehan Tring (Lembar) satu per satu bergiliran ke pantai untuk menurunkan pasukan, peralatan dan logistik...Tidak banyak kegiatan yang bisa dilihat di darat. Orang-orang Jepang menunggu di kejauhan di dermaga. Pasukan dan penumpang lainnya melompat ke darat. Mereka melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu dan terdengar salam ‘Tabeh toean, slamet dateng’. Beberapa penduduk pribumi dengan celana sobek datang berlari. Senyum lebar di wajah mereka. Tanpa bertanya, mereka mengambil tas ransel yang berat di bahu yang turun dari kapal. ‘Mana touan?’. Mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti. Tetapi bunyi kata-kata mereka mengindikasikan  bahwa mereka bahagia dan suasana hati mereka memiliki antusiasme, usaha mereka dihargai dengan beberapa batang rokok, lalu kembali ke dermaga. Lebih banyak pelanggan yang menginginkann jasa mereka dan lebih banyak rokok yang mereka dapat, suatu hal yang patut ditiru. Segera menjadi hiruk pikuk di pelabuhan. Semua orang berjalan mondar-mandir. Dermaga darurat untuk pendaratan ini dikerjakan oleh perwira angkatan laut Sekutu-Inggris dengan bantuan hampir dua ratus orang Jepang. Dalam waktu singkat sebanyak 120 ton batu telah diledakkan dan 250 ton batu lainnya telah dipindahkan untuk menyiapkan dermaga darurat itu. Kendaraan-kendaraan keluar dari rahang kapal yang menganga dengan lancar, kolom panjang dibuat dalam waktu satu jam mereka siap. Perjalanan ke pedalaman dapat dilanjutkan. Saat pasukan pertama baru saja mendarat bendara tricolor Belanda dikibarkan sebagai tanda pertama Belanda sudah ada di pulau. Kami tidak mengangkatnya sendiri, tetapi mereka yang berada jauh di pedalaman di district Geroeng. Bupati di Geroeng adalah Laloe Darwisha. Pesan pendaratan Belanda segera sampai padanya. Bendera Belanda segera dikerek ke udara di dua tempat. Ketika komandan militer, Overste Termeulen dan salah satu pegawai pemerintah memasuki kota terlebih dahulu, mereka tidak hanya kagum, mereka juga tergerak oleh pesan kesetiaan penduduk disini. Itu menghilangkan rasa keraguan. Mesin di kota di mulai. Pasukan dengan truk, jip, station wagon dan ambulan perlahan mulai bergerak disini. Disana-sini di sepanjang jalan ada beberapa orang nasionalis Indonesia terlihat. Mereka tampak terkejut ketika kami melewatinya. Jelas juga untuk melihat bahwa mereka belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Salam kami dijawab dengan berisik, tapi itu otomatis dan patuh. Tiga tahun diantara Jepang telah memaksa mereka untuk bersikap sopan. Mereka tunduk pada model ala Jepang. Dan tampak lebih banyak ketakutan daripada kebaikan di mata mereka ketika mereka melakukan itu. Tapi itu tidak butuh waktu lama. Berita ini melaju cepat di pulau ini. Lebih cepat daripada pasukan bermotor. Belanda kembali. Masih ada keraguan diantara mereka dengan bertanya ‘apakah mereka orang Belanda?’. ‘Mereka terlihat sangat berbeda dari ketika mereka meninggalkan kita’. ‘Lihat, yang mengemudi di kendaraan yang sama sekali berbeda dari sebelumnya’. Tampaknya waktu telah berhenti disini, tapi tidak di seluruh dunia. Sayangnya orang-orang Belanda yang datang ini berbicara dalam bahasa mereka (Belanda). Itu adalah pukulan terakhir. Kami melihat sikap orang berubah. Tentu saja, banyak yang membuat hal mereka tunduk ala Jepang, yang lain memberi hormat seperti tentara Jepang.Tapi ada juga banyak yang melambaikan kedua tangan. Ada juga banyak dengan senyum spontan di wajah mereka. ‘Slamet dateng, toean, slamat datang’ terdengar di sepanjang jalan itu. Semakin kita maju, semakin banyak orang yang muncul. Mereka meninggalkan pekerjaan mereka di lahan. Mereka lari ke jalan. Kapak melambai. Perempuan yang lagi andi melambaikan tangan sambil menjulurkan  kepala mereka untuk melihat. Anak laki-laki telanjang berlari bersama melompat ke samping mobil. Dimana-mana Anda melihat wajah bahagia. Ini adalah kegembiraan yang nyata. Kami kehilangan ketakutan ini dari orang di lain tempat dimana pengaruh para pemberontak nasionalis mencegah penduduk dari membebaskan diri dalam mengekspresikan.,,Ini adalah hari yang menyenangkan untuk Lombok. Bukan hanya untuk kita. Pastinya juga untuk penduduk. Mereka juga mengalami tahun-tahun yang sulit di belakang. Mereka juga mengalami kesulitan. Tentu saja, mereka tidak terlihat kurang gizi seperti di tempat lainl. Namun demikian, mereka memiliki waktu yang buruk. Banyak dari kita mengeras dalam perang. Namun sulit untuk menyembunyikan emosi terdalam Anda. Penerimaan ini, keramahan ini, tidak memalukan untuk menggosok mata Anda sekilas. Ini benar-benar kemenangan. Seluruh jalan menuju Mataram, kita tidak melihat bendera merah putih. Tidak ada seorang pun dengan pin merah dan putih dan slogan-slogan Jawa terdengar di beberapa titik. Sejauh yang saya tahu hanya ada bendera merah putih di distrik Lombok dari cerita para perwira Inggris yang membuat persiapan untuk pendaratan tersebut. Kedatangan di Mataram menjadi sorotan. Dalam beberapa saat mereka yang dikelilingi oleh orang-orang homogen dengan memanggil ‘Toean Lindiner, toean Lindner’. Beberapa orang telah mengenal wajah yang dikenal di salah satu jip depan, seorang pejabat pemerintah yang telah bekerja disini selama bertahun-tahun. Sukacita reuni tidak datang dari satu sisi. Pejabat pemerintah melompat keluar dari jip sebelum berhenti total. Dia berjalan ke arah orang-orang dengan tangan terentang. Ini terguncang dengan hangat. Semua orang sangat senang dengan dia. ‘Bagaimana keadaan touan?’ Petugas administrasi tersebut bertanya dengan minat tentang situasi, ternak dan pekerjaan. Salah satu anggota dewan tertua segera tampil diantara penduduk yang berdesakan datang kepada kami dan menyambut kami. ‘Slamat datang, toean’. Kami mendengar tanpa kecuali. Orang-orang saling berbicara tentang pakaian kami, sepatu kami yang kokoh dan rokok kami. Ya, rokok itu, mereka sangat menginginkannya. Seorang perwira angkatan laut Belanda membawa sekaleng berisi lima puluh. Dia ingin memberikan sebagian. Dalam beberapa detik dia kehilangan semua rokok dan bahkan kalengnya. ‘Kapan uang sungguhan akan datang lagi’ mereka ingin tahu. Kami perlu uang untuk beli pakaian dan perhiasan yang cantik seperti yang kita kenakan dan beras kami sudah cukup untuk dijual. Sebuah pertanyaan spontan yang membanjiri kami. Mereka mendengarkan dengan mulut terbuka. Mereka mengerti bahwa mereka harus menunggu sedikit lebih lama sebelum semuanya seperti dulu. Tetapi mereka juga memahami bahwa titik balik sekarang telah tercapai sehingga mereka sekarang menuju ke arah yang benar. Mataram sudah habis. Setiap mobil diserbu. Setiap orang Belanda memiliki semua jenis pertanyaan untuk dijawab. Mereka melakukannya dengan senang hati. Lombok adalah pulau terakhir di garis dimana Belanda telah kembali. Tapi itu tidak diragukan lagi menunjukkan antusiasme yang paling besar. Kegembiraan itu tidak tergoyahkan oleh ketakutan akan elemen-elemen yang tidak bertanggung jawab. Lembar, Pantai Barat Lombok, Rabu: 27 Maret. Alfred van Sprang.

Satu yang terpenting dari surat pembaca ini adalah bahwa (pulau) Lombok terbilang adalah wilayah yang terbilang terakhir proses pelucutan militer Jepang oleh tentara Sekutu-Inggris yang dengan demikian wilayah yang terakhir pula NICA-Belanda mulai tugas mereka. Meski demikian adanya, seperti disebutkan pada berita dan surat pembaca di atas, penerimaan di Lombok cukup kondusif. Tidak terlalu mengkhawatirkan tentang nasionalis Indonesia (karena pentolannya sudah dipenjara). Cabang pemerintahan NICA-Belanda yang baru dimulai di pulau Lombok.

Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia,15-04-1946: ‘Bali en Lombok. Afdeeling Bali en Lombok secara administrasi saat ini sedemikian rupa sehingga Bali berada di bawah CO Amacab di Singaradja dan Lombok di bawah CO Amacab di Mataram, yang keduanya secara administratif berada di bawah CCO Amacab di Soerabaja’.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar