Laman

Rabu, 08 Juli 2020

Sejarah Lombok (32): Sejarah Awal Moda Transportasi di Pulau Lombok; Pelabuhan, Jalan, Kereta Api dan Lapangan Terbang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini

Satu hal yang penting dalam sejarah kota-kota atau tempat-tempat penting di Indonesia adalah soal moda transportasi. Pertumbuhan dan perkembangan transportasi mengiringi sejarah itu sendiri. Namun sangat jarang sejarawan memperhatikan dan menulis moda transpoertasi tersebut. Tentu saja sejarah moda transportasi di pulau Lombok luput dari perhatian. Padahal liputan sejarah akan membantu secara kontekstual bagi pengambil kebijakan sehubungan dengan usulan-usulan perencanaan pembangunan pada masa kini.

Moda transportasi kereta Api di Lombok (Peta 1940)
Moda transportasi kuno, pelabuhan dan jalan raya di pulau Lombok seumur dengan sejarah (pulau) Lombok. Cornelis de Houtman, pimpinan ekspedisi Belanda pertama tahun 1597 telah mencatat keberadaan pelabuhan Lombok di teluk yang berada di timur pulaunya penduduk Sasak. Tentu saja Cornelis de Houtman tidak memmbayangkan suatu jenis moda transportasi lainnya di pulau Lombok di masa yang akan datang akan muncul. Setelah populernya moda transportasi kereta api di Eropa, cabang Pemerintah Hindia Belanda di Lombok mengusulkan pentingnya moda transportasi dibangun di Lombok. Demikian juga ketika pesawat sudah meretas udara Hindia Belanda, pendaratan pesawat di Lombok juga dilakukan, tidak di daratan, tetapi dilakukan di perairan pantai Ampenan.

Lantas mengapa rencana pembangunan kereta api di pulau Lombok tidak terwujud? Demikian juga mengapa tidak pernah muncul gagasan pembangunan lapangan terbang di Lombok? Yang jelas, pada masa kini pembangunan bandara di Lombok sudah terwujud, tetapi tidak dengan pembangunan jalur kereta api. Usulan yang mengemuka belakangan ini adalah pengadaan moda transpoertasi kereta api di pulau Sumbawa. Apakah usulan kereta api di pulau Lombok dan pulau Sumbawa akan terwujud? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Studi Kelayakan Pembangunan Kereta Api di Lombok

Pasca Perang Lombok (1895) dan sehubungan dengan pembentukan cabang Pemerinta Hindia Belanda di pulau Lombok pembangunan dimulai. Seperti halnya di Jawa dalam mendukung pengembangan ekonomi dan perdagangan, dibangun jalan dan jembatan pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Pola ini juga yang dilakukan oleh Asisten Residen Lombok yang pertama adalah membangun jalan dan jembatan.

Pada era Kerajaan Bali Selaparang sudah terbentuk jalan dari Ampenan ke Mataram dan dari Mataram ke Tjkranegara. Jalan yang dapat dilalui kendaraan kereta kuda juga sudah sampai ke Narmada. Jalan yang sudah bisa dilalui kendaraan kereta kuda juga hanya sampai ke Pagasangan dan Pagoetan. Satu ruas jalan yang sama juga telah dibangun ke Goenoeng Sari (tempat peristirahatan raja yang pertama dibangun). Keterangan ini paling tidak sudah diketahui pada tahun 1847 ketika seorang Jerman Heinrich Zollinger melakukan ekspedisi ilmiah ke pedalaman Lombok. Selebihnya jalan-jalan di daerah penduduk Sasak tidak terawat dan sangat sulit dilalui dan belum ada jembatan. Jalan-jalan ini semakin sulit dilewati pada musi hujan karena berlumpur. Pada saat Perang Lombok banyak jembatan yang rusak, jembatan yang sebelumnya menghubungkan jalan-jalan bagus yang dilalui kereta.

Salah satu jembatan yang dibangun adalah jembatan di atas sungai Djangkok yang menghubungkan pelabuhan Ampenan dan Mataram. Jembatan ini sudah beberapa tahun dibangun dengan biaya f75,000 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 22-08-1904). Untuk menjaga kualitas jalan disebutkan baru-baru ini telah dianggarkan sebanyak f10.000 untuk membangun sistem drainase jalan yang menghubungkan Ampenan dan Mataram.

Beberapa tahun sebelumnya Pemerintah telah memberi izin kepada seorang pedagang Cina di Ampenan untuk merehabilitasi kapal uap eks milik Radja Bali Selaparang yang rusak berat. Catatan: kapal Radja Selaparang yang diberinama Sri Matara. setelah disita Pemerintah Hindia Belanda diganti namanya menjadi Smeroe (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 26-08-1896).

Dalam berita Soerabaijasch handelsblad, 22-08-1904 ini juga disebutkan bahwa perusahaan kereta api uap telah meminta izin untuk menggunakan data pemerintah untuk pembangunan jalur kereta api dari Ampenan melalui Mataram ke Tjakranegara dengan jalur cabang dari Tjakranegara ke Kediri.

Rencana pembangunan kereta api tersebut sudah lama ada. Segera setelah berakhirnya Perang Lombok, pemerintah berencana untuk meletakkan jalur trem di Lombok dan untuk tujuan tersebut seorang insinyur dikirim ke Lombok dengan staf stockmen untuk melakukan pengukuran. Dalam proses pengukuran tersebut di wilayah bagian tengah terjadi pemberontakan. Disebutkan seorang pekerja kereta api asal Jawa terbunuh (lihat De grondwet, 12-09-1897). Namun dalam perkembangannya bagaimana hasil pengukuran tersebut yang telah menelan biaya pemerintah sekitar f20.000 tetapi kenyataannya kereta api tidak pernah dibangun.

Dengan latar belakang itulah kemudian muncul pihak swasta mengajukan permohonan konsesi kereta api di Lombok. Dewan siap untuk memberikan konsesi, asalkan memenuhi syarat dan ketentuan setelah pembayaran jumlah yang dihabiskan oleh pemerintah untuk penerimaan yang harus ditanggung oleh pemohon. Pemohon tampaknya tidak ingin membahasnya. Sejumlah pihak mendukung investor baru ini karena biaya f20.000 itu bisa saja ditawar dan masih banyak yang percaya bahwa jika ada rencana serius oleh pelamar tidak perlu takut dengan f 20.000 itu.

Studi kelayakan yang dilakukan oleh pihak swasta tersebut mulai menemukan titik terang. Setahun kemudian, muncul pemberitaan di surat kabar bahwa pemerintah telah meberikan konsesi kepada pemohon untuk pembangunan dan pengoperasian kereta api melalui pulau Lombok, bergerak dari Ampenan melewati Mataram, Tjakranegara, Abijan Teboe dan Bengkei ke Kediri, dengan jalur dari Tjakranegara melalui Bertais ke Narmada (lihat De nieuwe vorstenlanden, 13-11-1905). Lantas bagaimana kelanjutannya setelah pemerintah mengeluarkan hak konsesi?

De nieuwe vorstenlanden, 13-11-1905
Rencana pembangunan kereta api di Hindia Belanda sudah muncul pada tahun 1843. Pemerintah telah mengeluarkan peraturan dan perundang-undangannya termasuk petanya. Namun baru awal tahun 1860an sejumlah swasta mengajukan konsesi. Pemohon pertama dari Belanda telah mengajukan konsesi untuk jalur Batavia menuju Buitenzorg melalui Bekasi dan Tjibinong. Tampaknya pihak swasta yang telah melakukan studi kelayakan mengembalikan hak konsesi kepada pemerintah. Pada tahun 1867 sebuah perusahaan swasta di Belanda mengajukan konsesi untuk ruas Semarang-Soeracarta terus ke Djogjakarta. Perusahaan ini berhasil membangun dan mengoperasikannya pada tahun 1869. Tahap pertama Semarang ke Tanggoeng dan tahap ke dua ternyata tidak ke Soercarta tetapi berbelok ke Ambarawa. Pada tahun 1869 kereta api di Batavia mulai dibangun antara kota (stad) hingga Meeester Cornelis yang pengoperasiaannya dilakukan pada tahun 1870. Lalu kemudian berturu-turut ruas Tanggoeng-Soeracarta dan terus ke Djogjakarta, ruas Meester-Cornelis-Buitenzorg dioperasikan pada tahun 1873. Jalur Buitenzorg keudian diperluas ke Soekaboemi (1882) dan Bandoeng (1884). Jalur kereta api yang semakin meluas di Jawa, juga pembangunan kereta api dilakukan di pantai barat Sumatra dan menyusul di pantai timur Sumatra. Pengalaman dan sukses kereta api di Jawa dan Sumatra inilah yang kemudian memunculkan gagasan pembangunan kereta api di Lombok.  

Tampaknya hasil studi kelayakan yang diinisiasi oleh Pemerintah Hindia Belanda di Batavia dan hasil studi kelayakan yang dilakukan oleh swasta mengindikasikan pembangunan kereta api di Lombok tidak menguntungkan. Pemerintah menyerah dan swasta juga kemudian menyerah. Meski demikian, pengadaan kereta api di pulau Lombok sangat diharapkan oleh pemerintah lokal dan para pedagang swasta di Ampenan. Apakah masih ada swasta yang berminat?

Upaya pembangunan kereta api di pulau Lombok tidak pernah menyerah. Residen Bali en Lombok di Boeleleng dan Asisten Residen di Mataram, Lombok terus mendorong investor untuk mengambil konsensi yang telah ditawarkan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Residen dan Asisten Residen terus berharap pembangunan kereta api di Lombok. Namun belum ada investor swasta yang benar-benar mewujudkannya. Permintaan dan penawaran masih belum ketemu. Oleh karena itu, Residen dan Asisten Residen belum menghapus peta jalur kereta api di peta Lombok.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pendaratan Pesawat Pertama di Lombok

Pesawat pertama (dari Amsterdam) mendarat di Indonesia di lapangan terbang Polonia Medan. Itu terjadi pada tahun 1924. Dari Singapura pesawat yang sama kemudian mendarat di lapangan terbang Tjililitan, Batavia (kini Cililitan, Jakarta). Dua bandara ini (Polonia dan Cililitan) menandai awal sejarah aviasi (penerbangan) di Hindia Belanda. Setelah sukses pendaratan tersebut, Panitia Penerbangan Hindia Belanda langsung mengirim telegram ke Ratu Wilhelmina dan sang Ratu langsung mengirim ucapan selamat. Ucapan selamat juga disampaikan kepada tiga penerbang dan langsung mendapat bintang (lihat De Zuid-Willemsvaart, 25-11-1924). Itulah awal penerbangan di Hindia Belanda,

Sejak peristiwa bersejarah ini lalu muncul gagasan penerbangan sipil di Hindia. Lalu didirikan Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij (KNILM) pada tanggal 16 Juli 1928. Layanan pertama dilakukan masih sebatas di Jawa. Rute pertama yang dikembangkan adalah untuk menghubungkan Batavia dan Bandoeng. Rute berikutnya yang dikembangkan adalah untuk menghubungkan Batavia dan Semarang. Layanan ini dimulai tanggal 1 November 1928. Selanjutnya KNILM memperluas layanan hingga ke Soerabaja.

Lantas bagaimana dengan pulau Lombok? Belum ada jalur penerbangan yang secara khusus dibuat untuk menyambung rute yang sudah ada hingga Soerabaja. Demikian juga jalur penerbangan ke Bali juga belum terbentuk. Namun tentu saja tidak ada halangan bagi penduduk Lombok untuk melihat pesawat terbang. Itu terjadi pada tahun 1934. Pesawat terbang benar-benar muncul di Lombok. Namun tidak mendarat di darat, tetapi melaut di perairan pantai Ampenan (lihat De koerier, 30-07-1934). Pesawat tersebut adalah pesawat militer ketika skuadron berlatih perang di teluk Ampenan.

De koerier, 30-07-1934
De koerier, 30-07-1934: ‘Senin 16 Juli skuadron Hindia Belanda berangkat dari Soerabaija dan skuadron tersebut berlabuh di Ampenan pada hari Jumat 20 Juli. Perjalanannya lima hari sementara untuk jarak tersebut dibutuhkan kapal uap KPM hanya satu hari. Hal ini karena skuadron ini juga meliputi berbagai jenis kapal seperti empat buah 4 kapal selam, dua buah kapal perusak dan satu buah kapal utama H. Ms. Java yang juga membawa dua pesawat kecil untuk kebutuhan eksplorasi...skuadron di teluk Ampenan dalam rangka latihan perang (rutin sejak pasca Perang Lombok, 1895). Empat puluh tahun yang lalu, sebanyak 12 kapal berlabuh di teluk Ampenan dala rangka dimulainya Perang Lombok...saya mendapat kesempatan untuk penerbangan nomor 28 pada tanggal 21 Juli 1934 yang dilakukan pada tanggal 23 Juli - jadi hari ini - pada pukul setengah sepuluh. Dua pesawat yang ada V1 dan V5 akan melakukan penerbangan di sepanjang pantai Lombok. Lalu saya naik ke udara pukul sebelas yang dikemudikan oleh pilot CJ van der Graaff dan pesawat yang kedua oleh pilot LJ Fritz. Kami pertama-tama berputar-putar di atas Ampenan, dimana kami melihat kuburan di bawah kami. Lalu kami terbang di sepanjang pantai selama lebih dari 45 menit ke teluk LaboehanTring dan dari sana ke teluk Gedeh tempat kami ‘mendarat’ di laut sebentar sebelum lepas landas dan kembali ke Ampenan. Betapa indahnya pantai Lombok dilihat dari ketinggian enam ratus meter. Guncangan yang berbahaya terjadi di udara di sekitar pegunungan. Tapi kebetulan, penerbangan ini adalah sensasi yang luar biasa. Seseorang merasa ‘seperti burung di udara’. Saat mau parkir di atas kapal Hr MS Java kami melihat hiu besar muncul. Setelah pesawat diangkat kembali ke kapal oleh alat derek listrik, saya memberikan jabat tangan bersyukur kepada sang pilot yang terampil membawa saya dan juga menyapaikan terimakasih kepada Komandan Skuadron tentang layanan yang saya terima di udara’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kebutuhan Lapangan Terbang di Lombok

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar