Laman

Senin, 27 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (16): Orang Bali di Kota Batavia, Orang Batak di Jawa; Sejarah Awal Migrasi Etnik di Indonesia Sejak Era VOC


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Sejak jaman kuno, ada beberapa suku bangsa (etnik) di nusantara yang bukan pelaut, diantaranya orang Bali dan orang Batak. William Marsden (1811) heran mengapa orang Batak bukan pelaut padahal teluk Tapanoeli selain banyak ikannya adalah pelabuhan terbaik di pantai barat Sumatra. Heinrich Zollinger (1847) menyatakan pantai-pantai Bali banyak ikannya dan teluk-teluknya banyak yang dapat dijadikan pelabuhan yang baik, tetapi orang Bali bukan pelaut. R van Eck (1878) menyatakan orang Bali bukan pelaut, karena itu mereka tidak pernah meninggalkan tanah mereka atas kehendak sendiri. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, orang Bali mendatangkan ikan dari orang Bugis dan orang Mandar.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk, 2010 di Provinsi Jawa Timur tercatat hanya lima etnik asli yang menjadi penduduk asli Jawa Timur, yakni  Jawa, Madura, Osing, Bawean, dan Tengger. Dari 37,476,757 jiwa penduduk Jawa Timur, persentase terbesar adalah etnik Jawa (79.58 persen) yang disusul kemudian etnik Madura (17.53 persen). Tiga etnik asli lainnya, Osing di Banyuwangi (0.76 persen), Bawean (0.19 persen) dan Tengger (0.13 persen). Sedangkan etnik pendatang sendiri hanya sebanyak 1.81 persen saja dari total penduduk Provinsi Jawa Timur. Persentase etnik pendatang terbesar adalah etnik Tionghoa (0.73 persen)  dan kemudian pada urutan berikutnya adalah etnik Batak (0.15 persan) dan etnik Sunda (0.12 persen). Ini berarti etnik Batak merupakan penduduk terbanyak kedua di luar penduduk asli. Jika persentase etnik Batak di Provinsi Jawa Timur sebesar 0.15 persen maka ini setara dengan 56.215 jiwa. Jumlah ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan etnik Jawa dan etnik Madura yang masing-masing 29.824.950 jiwa dan 6.568.438 jiwa. Namun jika jumlah etnik Batak di Jawa Timur dibandingkan dengan etnik Tionghoa  (236.124 jiwa) dan etnik Sunda (45.262 jiwa) dan  etnik Bali (19.316), jumlah etnik Batak ini menjadi begitu berarti (signifikan). Keberadaan etnik Batak sendiri di Jawa Timur tidak hanya terdapat di ibu kota provinsi (Kota Surabaya) tetapi juga tersebar merata di semua kabupaten/kota di Jawa Timur.

Pada Sensus Penduduk tahun 1920 di Jawa jumlah etnik Batak sebanyak 868 jiwa dan etnik Bali sebanyak 607 jiwa. Lalu mengapa pada masa ini (berdasarkan Sensus Penduduk 2010) orang Bali di Jawa Timur relatif begitu sedikit jika dibandingkan orang Batak? Padahal Bali begitu dekat dengan Jawa Timur (hanya dibatasi oleh selat). Apakah ini suatu anomali? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Bali di Jawa Era VOC

Di Batavia (dan sekitarnya) banyak ditemukan kampong Bali dan kampong Jawa pada era VOC. Kampong ini diidentifikasi sesuai penghuninya. Selain kampong Jawa dan kampong Bali juga ada kampong Ambon, kampong Makassar, kampong Bugis, kampong Tambora, Kampong Manggarai, kampong Bangka, kampong Banda(n) dan kampong Melajoe. Ada juga kampong Koja, kampong Pakojan serta kampong Bidara Tjina dan kampong Malaka. Tidak ditemukan kampong Minangkabau, kampong Atjeh dan kampong Batak.

T van Eck (1878)
Kampong Bali terkenal pada masa ini berada di Jatinegara, di Tanah Abang dan di Angke. Jumlah kampong Bali tempo doeloe lebih dari itu. Kampong Bali juga ditemukan di Tangerang, di Bekasi, di Tanjung Priok dan lainnya. Seperti halnya yang lain, tidak semua kampong disebut kampong Bali meski penghuninya atau yang membuka kampong orang Bali.

Pada era VOC orang Bali sudah tersebar di berbagai tempat bahkan hingga pulau Sumatra. R van Eck (1878) mengutip catatan statistik tahun 1778 orang Bali di Batavia tidak kurang dari 13.000 orang. Jumlah ini tentu sangat besar pada masa itu. N van der Tuuk (1871) seorang ahli bahasa berbakat yang melakukan studi bahasa Bali meyakini bahwa struktur bahasa Melayu di Batavia dipengaruhi oleh bahasa Bali. Pada awal era VOC, penduduk pribumi kota (stad) Batavia menurut van der Tuuk pada dasarnya adalah orang Bali (membedakan dengan orang Eropa-Belanda).

R van Eck (1878) juga mengutip surat pemerintah VOC di Batavia pada awal 1665 yang berisi larangan impor budak-budak Bali dalam yurisdiksinya. Sebagaimana diketahui yurisdiksi terbesar VOC saar itu adalah stad Batavia (plus benteng-benteng di berbagai tempat). Menurut R van Eck meski larangan telah diperketat pada tahun 1715, namun karena keserakahan para pedagang dan terutama para raja Bali menjadi tidak efektif. Oleh karena itu ratusan budak tetap masuk Batavia dengan harga rata-rata 20 tikar Spanyol. Hal ini juga karena orang-orang Eropa-Belanda sendiri juga sikap anti-perbudakan ini meski didasarkan atas dasar umat manusia belaka, tetapi para budak itu dianggap terlalu banyak kebaikannya apakah sebagai pembantu rumah tangga atau tentara, orang Bali bahkan diaggap paling disenangi karena sikapnya jika dibandingkan dari yang lain yang gampang marah. Kedamaian di doloni menjadi sesuatu yang bernilai.

Gambaran ini menjadi sebab mengapa orang Bali begitu banyak di stad Batavia. Penjualan budak Bali kepada VOC di Batavia paling tidak sudah diketahui pada tahun 1661 (lihat Daghregister 5 Agustus 1661). Budak yang didatangkan ke Batavia selain dari Bali berasal dari berbagai tempat seperti Arakan (Birma), Mauritius, Madagaskar, Timor dan Macassar. Bagaimana perdagangan budak ini terus berlangsung juga dapat dibaca pada catatan Kasteel Batavia misalnya surat berbahasa Melayu, Goesti Made dari Karangasem en Selaparang kepada Yang Mulia (Hunne Hoog Edelheden) diterima di Batavia pada 26 Januari 1792 yang isi suratnya adalah pemberitahuan pengiriman kapten Tiongkok di kapal yang memuat daging kering, kulit sapi, kayu cendana dan sarang burung...juga disebutkan bahwa terakhir kali orang Cina itu pergi dengan 100 budak Bali. Surat lainnya adalah surat berbahasa Melayu yang ditulis pada Shaban 1218 ke-18 diterima di Batavia pada tanggal 9 Mei 1804 yang isinya adalah permintaan untuk meminjam untuk jangka waktu tiga bulan untuk dikirim satu kapal layar, lima pentjalang besar dan sepuluh yang kecil dengan perlengkapannya, persenjataan dan amunisi yang terdiri dari serbuk, peluru, bom, granat dan semua hal seperti itu, yang sangat sulit didapat, karena ia ingin berperang dengan Sasak di Lombok dan pengawasan di laut. Setelah perang berakhir dengan pertolongan Tuhan (!), dia akan mengembalikan semua yang dipinjam dengan hadiah 300 hingga 400 budak.

Praktek perdagangan budak ini bahkan masih terus berlangsung hingga era Pemerintah Hindia Belanda sudah sangat ketat membatasinya. Beberapa berita dapat dikutip sebagai berikut: Leydse courant, 09-11-1838: ‘Kasus perdagangan budak telah ditemukan di Batavia, yang tidak pernah terjadi selama bertahun-tahun. Pada tanggal 2 September, kapal Portugis, Margarida, dengan kapten TA. d'Aquina yang akan menuju Macao yang merapat di Batavia, ditemukan di dalam kapal sebanyak 46 orang penduduk asli dari bagian Portugis di Timor. Menurut sang kapten, orang-orang ini akan diberangkatkan untuk belajar agama Kristen di Macao dan dilatih dalam beberapa profesi! Namun, ternyata pretensi ini tidak benar, dan beberapa orang berpendapat di Batavia bahwa keterangan itu hanyalah dalih. Sebab setelah dibawa ke darat diduga secara diam-diam akan dijual sebagai budak. Nakhoda kemudian ditahan sambil menunggu penyelidikan menyeluruh dari masalah ini’. Utrechtsche courant, 28-11-1836: ‘Perdagangan budak di sekitar perairan Lombok (selat Lombok) masih terus eks, terutama dari kerajaan-kerajaan di Bali’. Perdagangan budak tampaknya sangat menguntungkan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Orang Batak di Jawa, Orang Jawa-Bali di Sumatra

Kampong Bali di Batavia begitu penting sehingga nama kampong ini dijadikan sebagai nama district di Batavia (District Kampong Bali). Ibu kota Batavia (Hoofdplaats Batavia) terdiri dari tujuh district: Ouder en Zuider voorstad; Ooster district (Jacatra en Weltevreden); Molenvliet, Nordwijk en Kongsplein; Zuidwester; Wester; Chineesch Kamp; dan Kampong Bali. Berdasarkan statistiek tahun 1845 secara keseluruhan pendududk Hoofdplaats Batavia sebanyak 59.483 jiwa (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1847). Jumlah ini terdiri dari Eropa-Belanda 2.969 jiwa, Cina 17.207 jiwa, pribumi 38.744 jiwa dan Arab 563 jiwa.

Di luar Hoofdplaats Batavia terdiri dari tiga wilayah (kwartier): Ooster, Wester dan Zuider.Secara keseluruhan Hoofdplaats Batavia dan tiga kwartier pada tahun 1845 jumlah penduduk sebanyak 278.767 jiwa. Dari total ini termasuk duiantaranya sebanyak 2.374 orang militer dan 2,376 budak. Jumlah penduduk ini telah meningkat jika dibandingkan dengan keadaan tahun 1813 sebanyak 161.345 jiwa. Pada tahun 1838 tercatat sebanyak 271.299 jiwa yang terdiri dari Eropa-Belanda 3.383 jiwa, Cina 33.982, pribumi 230.997, Arab 627 dan budak 2.408. Selama tujuh tahun terakhir masih terlihatada penambahan jumlah budak (jumlah ini tampaknya kontribusi dari kelahiran). Keterangan ini juga mengindikasikan bahwa pengiriman budak ke Batavia sudah benar-benar dihentikan (namun pemilikan budak yang ada masih dimungkinkan). Sebagaimana diketahui pembebasan budan baru diratifikasi pada tahun 1860an.

Orang Batak baru terdeteksi adanya pada tahun 1854. Disebutkan dua siswa dari Afdeeling Mandailing en Angkola Residentie Tapanoeli tiba di Batavia untuk mengikuti pendidikan kedokteran yang diadakan di rumah sakit militer di Weltevreden (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Dua siswa inilah siswa pertama yang diterima dari luar Jawa di sekolah kedokteran yang disebut Docter Djawa School (kini berada di RSPAD). Lalu pada tahun 1856 dua lagi siswa dari Afdeeling Mandailing en Angkola di sekolah kedokteran tersebut. Mereka berempat ini diduga adalah orang Batak pertama di Batavia.

Pada tahun 1857 seorang lulusan sekolah di Afdeeling Mandailing en Angkola bernama Si Sati [Nasution] berangkat studi ke Belanda untuk mengikuti pendidikan guru. Dia berangkat dari Padang dengan kapal laut ke Amsterdam. Pada tahun 1860 Si Sati alias Willem Iskander lulus dan mendapat akta guru dan kembali ke tanah air pada tahun 1860. Willem Iskander dengan kapal yang lebih besar dari Amsterdam menuju Batavia. Hal ini untuk bertemu pejabat departemen pendidikan sehubungan dengan rencananya membuka sekolah guru di kampongnya di Tanobato, Mandailing. Si Sati di Batavia stay selama satu bulan sebelum pulang ke kampong halaman. Sekolah guru yang di Tanobato dibuka pada tahun 1862 (sebagai sekolah guru ketika di Hindia Belanda). Si Sati alias Willem Iskander aalah pribumi pertama yang studi ke Belanda.

Penduduk Batavia dari tahun ke tahun semakin bertambah. Dalam statistiek 1867 jumlah Hoofdplaats Batavia di tujuh district secara keseluruhan dicatat sebanyak 99.759 jiwa. Nama kampong Bali masih disebut nama district. Tiga kwartier yang lainnya telah ditingkatkan menjadi dua Afdeeeling: Afdeeling Meester Cornelis dan Afdeeling Tangeran (Westkwartier). Afdeeling Meester Cornelis terdiri dari empat district: Meester Cornelis, Kebajoran, Bekasi dan Tjabangboengin. Dua district yang disebut pertama sebelumnya disebit Zuidkwartier dan dua district yang disebut terakhir sebelumnya disebut Oostkwartier.

Jumlah penduduk Afdeeling Meester Cornelis sebanyak 185.123 jiwa, sementara jumlah pendudukan Afdeeling Tangerang sebanyak 257.145 jiwa. Afdeeling Tangerang terdiri dari tiga district (Oosterdistrict, Zuiderdistrict dan Noorderdistrict). Jumlah penduduk district Meester Cornelis 66.331 jiwa; district Kebajoran 45.362 jiwa, district Bekasi 67.132 jiwa dan district Tjabangboengin 6.298 jiwa.

Tampaknya pendataan tahun 1867 ini adalah catatan statistik penduduk Batavia yang terakhir sebelum dilaksanakannya pendataan yang lebih komprehensi Sensus Penduduk tahun 1920. Sensus ini dapat dikatakan sensus pertama di Hindia Belanda. Sebelumnya pendataan yang dilakukan atas dasar registrasi (catatan penduduk yang dikumpulkan dari daftar kampong atau desa).

Pada sensus yang diadakan pada tahun 1920 ini kelompok penduduk diperinci menurut suku bangsa. Kelompok Eropa terdiri dari Belanda, Inggris, Jerman, Jepang, Amerika dan sebagainya. Kelompok Cina dan Arab masing-masing tetap satu kelompok tersendiri. Kelompok lainnya dikeluarkan kelompok Kling (Bengali) menjadi kelompok sendiri. Untuk pribumi yang sebelumnya satu kelompok diperinci ke dalam suku bangsa (etnik) seperti Jawa, Soenda, Madoera, Minangkabau, Bugis, Makassar, Mandar, Ambon, Papoea, Atjeh, Bali, Sasak, Timor, Batak dan sebagainya. Kelompok Timor termasuk pulau-pulau lainnya seperti Flores, Soemba dan Solor. Kelompok Soenda termasuk Batavian (Betawi?) dan Depokker. Kelompok Bali termasuk Bali Aga.

Dalam rangkuman statistik Sensus Penduduk 1920 disarikan kelompok suku bangsa yang berada di (pulau) Jawa dan luar Jawa. Orang Jawa sebanyak 22.866.277 jiwa di pulau Jawa dan yang berada di luar Jawa sebanyak 520.559 jiwa. Kelompok suku bangsa terbanyak kedua adalah orang Soenda dan kemudian disusul orang Madoera. Setelah orang Madoera suku bangsa terbanyak (di atas satu juta) berturut-turut adalah Minangkabau (1.452.895 jiwa), Bugis dan Timor. Jumlah suku bangsa Bali sebanyak 962.454 jiwa tidak termasuk 607 jiwa di Jawa. Jumlah suku bangsa Batak sebanyak 986.855 jiwa tidak termasuk sebanyak 868 jiwa di Jawa. Jumlah penduduk Bali dan Batak relatif berimbang. Jumlah penduduk Bali adalah terbanyak kedelapan dan Batak yang ketujuh.

Orang Eropa terbanyak adalah Belanda (Nederlander) yang umumnya berada di Jawa yakni sebenyak 127.227 jiwa dan sebanyak 26.872 jiwa di luar Jawa. Jumlah orang Eropa kedua terbanyak adalah Jerman yakni sebanyak 1.850 di Jawa dan 1.560 di luar Jawa. Sementara yang ketiga adalah orang Inggris sebanyak 1.008 jiwa di Jawa dan 684 jiwa di luar Jawa. Orang non-Eropa terbanyak adalah orang Cina sebanyak 384.218 jiwa di Jawa dan 425.429 jiwa di luar Jawa dan kemudian disusul orang Arab sebanyak 27.806 jiwa di Jawa dan 17.115 jiwa di luar Jawa. Lalu kemudian disusul Jepang sebanyak 1.734 jiwa di Jawa dan 2.414 jiwa di luar Jawa.

Seperti ditampilkan pada grafik di atas, jumlah migran terbanyak di Jawa adalah orang Minahasa (Sulawesi Utara) sebanyak 9.453. Mereka ini tersebar di Batavia, Midden Java dan Oost Java. Migran kedua terbanyak adalah orang Ambon sebanyak 6.076. Mereka ini adalah umumnya (keluarga) militer. Lalu migran terbanyak berikutnya berturut-turut adalah Bugis, Palembang, Makassar, Timor, Mandar dan plus Atjeh. Suku bangsa tersebut semua adalah pelaut-pelaut yang terkenal sejak kampau. Suku bangsa Bali dan Batak bukan pelaut, tetapi jumlah migrannya di pulau Jawa terbilang cukup banyak. Orang Bali di Jawa sebanyak 607 jiwa dan orang Batak sebanyak 868 jiwa. Orang Bali umumnya di Soerabaja dan orang Batak umumnya di Batavia. Suku bangsa lainnya yang bukan pelaut adalah Minangkabau dan Sasak. Orang Minangkabau di Jawa hanya delapan orang; orang Sasak tidak ditemukan di Jawa. Lantas pertanyaan berikutnya adalah apakah ada orang Bali di Sumatra?

Jumlah penduduk menurut suku bangsa (etnik) di Jawa, 1920
Sebelum menelusuri apakah ada orang Bali di Sumatra, perlu diingat lagi jumlah orang Bali yang cukup banyak di Batavia sejak era VOC. Jika hanya berdasarkan statistik hasil sensus pada tahun 1920 yang hanya sebanyak 607 jiwa orang Bali di Jawa maka pertanyaan berikutnya adalah kemana mereka atau bagaimana mereka? Sudah barang tentu tidak kembali ke kampong halaman di pulau Bali. Hal ini karena mereka sudah puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun di Jawa khususnya di Batavia dan sekitar. Orang Bali yang mengidentifikasi diri sebagai orang Bali sebanyak 607 jiwa diduga adlah orang Bali yang migrasi ke Jawa belakangan (yang boleh jadi satu gelombang dengan orang Batak yang migrasi ke Jawa). Satu-satunya yang menyelamatkan penjelasan ini adalah keterangan yang terdapat dalam angka residual. Dalam statistik hasil Sensus Penduduk 1920 terdapat sebanyak 330.944 jiwa di Jawa yang dikategorikan sebagai onbekend (unknown). Jumlah ini sangat besar. Mereka adalah pribumi di Jawa yang tidak bisa atau tidak bersedia mengidentifikasi diri ke salah satu suku bangsa. Mereka menolak atau tidak bisa lagi mengidentifikasi karena sebab-sebab yang mungkin seperti tidak tahu lagi asal-usul, memiliki sejarah masa lalu (yang ingin melupakan asal-usul) atau bisa jadi karena adanya perkawinan campuran. Apakah orang Bali yang banyak di Batavia dan sekitar tempo doeloe berada di kategori residu ini? Namun jika tidak, besar dugaan mereka itu telah mengidentifikasi diri sebagai Batavian (Betawi?).

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar