Laman

Selasa, 28 Juli 2020

Sejarah Pulau Bali (17): Para Pelukis Eropa Melukis Keindahan Bali; Sejarah Awal Para Pelukis dan Pembuat Peta Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini
 

Pulau Bali terkenal karena keindahannya. Tidak hanya pantai dan lanskapnya, tetapi juga hasil karya dan cara berperilaku yang baik penduduknya. Oleh karena itu banyak orang bule (Eropa-Amerika) yang datang ke Bali untuk melukis—untuk melukis apa saja. Tentu saja yang datang ke Bali bukan hanya bule tetapi juga ada yang pribumi. Ringkasnya keindahan Bali menjadi daya tarik para pelukis manca negera untuk dipamerkan di pameran dunia.

Wanita Bali di Sering Sing (lukisan Corneille le Bruyn, 1706)
Sebelum ada ahli kartografi, untuk membuat peta yang baik fungsi itu diperankan oleh para pelukis. Keahlian melukis tempo doeloe impian setiap orang karena dapat merekam visual sendiri. Ibarat sekarang setiap orang ingin memiliki smartphone yang bagus agar bisa mereka apa yang diinginkan. Jabatan para pelukis menjadi berfungsi kemana-mana. Para pelukis juga disertakan dalam perang untuk melukiskan jalannya perang. Para pelukis menjadi semacam wartawan perang. Para pelukis juga menjadi andalan setiap pejabat tinggi di era VOC maupun era Pamerintah Hindia Belanda. Para pelukis menjadi semacam ajudan pribadi. Namun pelukis tetaplah pelukis. Ketika alat pemotretan sudah ditemukan dan mulai muncul di Hindia Belanda tahun 1850an, para pelukis tetap melukis dan tidak mau beralih ke profesi lain. Para pelukis kembali ke habitatnya.

Lantas seperti apa sejarah para pelukis di Bali? Nah, itu dia. Belum ada tampaknya yang tertarik untuk menulis itu. Yang jelas sebelum muncul para pelukis di Bali, para pelukis sudah berkeliaran dimana-mana di seluruh Hindia, bahkan ke tempat-tempat yang terpencil, tempat dimana belum pernah dikunjungi orang Eropa sebelumnya. Para pelukis seringkali menjadi pionir (penemu). Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pelukis-Pelukis Eropa Sejak Era VOC

Jauh sebelum Walter Spies, pelukis asal Jerman menemukan Bali tahun 1920 sebagai ruang imajinasinya dalam melukis, pelukis-pelukis Eropa sudah banyak yang melangkangbuana di berbagai tempat di Jawa dan Sumatra. Langkah Walter Spies kemudian diikuti oleh seorang pelukis asal Meksiko José Miguel Covarrubias yang berkiprah di New York secara kebetulan menemukan Bali tempat dimana Walter Spies berada.

Bagaimana seorang Jerman mengetahui Bali sebagai tempat yang ideal untuk melukis tidak diketahui secara persis. Namun yang jelas, seorang ‘anak’ Semarang bernama Raden Saleh berangkat ke Belanda pada tahun 1836 untuk belajar seni melukis. Raden Saleh setelah selesai pelajarannya tentang seni lukis di Belanda, tahun 1839 Raden Saleh dilaporkan ikut pameran lukisan di Jerman, Austria, Paris dan Italia (lihat Overijsselsche courant, 29-10-1839), Sejak itu, nama Raden Saleh semakin popular di kalangan para pelukis dunia. Raden Saleh setelah terkenal di Eropa, kembali ke tanah air tahun 1851. Raden Saleh awalnya membuka galerinya di (land) Menteng, namun kemudian memindahkannya ke Buitenzorg (menghadap view gunung Salak).

Ketenaran Raden Saleh di Jerman boleh jadi memicu seorang Jerman Hermann von Rosenberg untuk datang ke Hindia Belanda. Awalnya Hermann von Rosenberg bekerja di Kantor Geografi di Belanda yang menyebabkan Rosenberg menemukan jalan ke Hindia Belanda yang awalnya bekerja untuk Kantor Topografi di Batavia.

Gunung Lubukraya di Angkola (lukisan H von Rosenberg, 1840)
Setelah selesai kontraknya di Kantor Topografi Batavia mulai menyingsingkan lengan baju dengan berkeliling ke berbagai pulau-pulau mulai dari kepulau Mentawai (Pantai Barat Sumatra) hingga pulai Kei (Maluku Tenggara). Petualangan untuk melukis itu dimulainya di district Angkola (Residentie Tapanoeli). Lukisan pertama Hermann von Rosenberg adalah sungai Batangtoroe dengan latar gunung Loeboekraja di district Angkola.

Kisah Hermann von Rosenberg bermula ketika pada tahun 1840 seorang geologis dan botanis Jerman FW Junghuhn dipekerjakan oleh Gubernur Jenderal Pieter Merkus untuk melakukan survei geologi ke Tanah Batak (Residentie Tapanoeli), FW Junghuhn mengajak Rosenberg. Pada bulan Mei 1840 mereka berdua tiba di pulau Pontjang, teluk Tapanoeli. Lalu kemudian menyusuri sungai Loemoet dan selanjutnya mengikuti jalan tradisional ke district Angkola di lembah gunung Lubuk Raya (kini Kota Padang Sidempuan). Lukisan pertama Hermann von Rosenberg tentang alam pedalaman Sumatra itu adalah sungai Batangtoroe dengan latar gunung Loeboekraja.

Pohon Andaliman di Angkola, Tapanoeli (Charles Miller, 1772)
Sebelum Hermann von Rosenberg meletakkan kuasnya di kanvas pada tahun 1840 di district Angkola, jauh sebelumnya seorang botanis Inggris, Charles Millir sudah lebih dulu datang ke district Angkola ini dalam suatu ekspedisi botani pada tahun 1772. Seperti halnya Junghuhn, Charles Miller juga tempo doeloe menyerttakan seorang pelukis untuk membantunya untuk melukis berbagai pohon dan daun-daunan vegetasi tertentu. Salah satu lukisan daun dari pelukis yang tidak diketahui namanya itu adalah daun pohon Andaliman (suatu pohon yang menghasilkan biji-bijian yang digunakan penduduk Angkola sebagai rempah-rempah yang menjadi sensasi pada masakahn khas Angkola seperti arsik ikan mas). Charles Millir mengetahui itu setelah ikut merasakan masakah khas Angkola di Huta Simasom, Angkola (kampong halaman sutradara terkenal Irwan Siregar).

Uniknya, sungai Batangtoroe yang pernah dilukis Rosenberg kembali muncul dalam sebuah lukisan yang dibuat oleh seorang Prancis bernama Le Clereq pada tahun 1846. Boleh jadi Le Clereq telah mengetahui karya-karya Hermann von Rosenberg yang dipamerkan di Batavia.

Ini bermula ketika utusan Ratoe Belanda mengirim utusan khusus ke Hindia Belanda, Jenderan von Gagern. Dalam kunjungan ke ibu kota onderafdeeling Angkola di Padang Sidempoean, von Gagern merekrut seorang tentara profesional yang memiliki keahlian melukis asal Prancis yang telah bergabung dengan militer Hindia Belanda. Jenderal von Gagern ditemani oleh Gubenur Pantai Barat Sumatra Kolonel AV Michiels. Rute perjalanan mereka dengan naik kuda dari Padang ke Fort de Kock lalu menuju Leander (Panti), Singengoe dan Siaboe (onderfadeeling Mandailing) dan Padang Sidempoean (lalu pulangnya melewati Batangtoroe menuju ke Sibolga dan kemudian berlayar ke Padang). Hasil-hasil lukisan Le Clereq itu boleh jadi akan menjadi lampiran laporan von Gagern kepada Ratoe Belanda. Kolonel AV Michiels yang telah menjadi Gubernur pasca Perang Padri 1837 pada tahun 1849 menjadi panglima Hindia Belanda dalam Perang Bali (1849). Tidak lama setelah berakhirnya Perang Bali, Kolonel Michiels diberitakan meninggal di Bali tahun 1849 karena dibunuh di rumahnya oleh seorang pembantu pribumi yang menaruh dendam kepadanya.

Hermann von Rosenberg dan Le Clereq adalah dua diantara orang-orang berbakat melukis yang bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda yang menjadi pionir-pionir lukisan keindahan alam di Jawa dan Sumatra di era Pemerintah Hindia Belanda. Setelah itu menjadi pelukis profesional. Sementara pada era VOC, selain orang-orang Belanda yang bekerja untuk VOC dan bertindak sebagai pelukis (untuk fungsi pemotretan), pelukis-pelukis profesional yang datang ke Hindia sebagai lone ranger yang datang dari Eropa yang melakukan petualangan (melancong) dan setelah itu mereka pulang dan menyusun buku (hasil perjalanan) dan juga ada yang mengadakan pameran di Eropa.

Lanskap Sering Sing (lukisan Corneille le Bruyn, 1706)
Satu yang terpenting dari pelukis-pelukis Eropa yang datang ke Hindia adalah seorang pelukis profesional Prancis Coneille le Bruyn. Satu lukisannya yang terpenting adalah lanskap Seringsing (kini Serengseng, Jakarta Selatan) tempat dimana orang sebangsanya membuka usaha pertanian yakni Cornelis Chastelein. Lukisan itu bertarikh 1706. Lukisan yang bersifat natural tersebut membuat pelukis-pelukis di Belanda cemburu dan berusaha mereplikasinya tetapi hasil le Bruyn tak bisa ditandingi. Lukisan replikasi itulah yang beredar pada masa ini. Lukisan asli ditampilkan di artikel ini. Selama tinggal (sebulan di Seringsing), Coneille le Bruyn juga sempat melukis dua wanita Bali di Seringsing.

Lisan, tulisan dan lukisan pada era VOC dapat dianggap sebagai cara perekaman suatu objek atau peristiwa. Tentu saja kala itu belum ditemukan alat pemotretan (fotografi). Lukisan telah memperkuat tulisan. Lukisan adalah gambar dalam berbagai bentuk: peta, sketsa dan gambar. peta. Dua bentuk sumber data (tulisan atau lukisan) dapat digunakan sekaligus untuk menulis sejarah.

Sangat jarang penulis sejarah memanfaatkan lukisan. Lukisan cenderung hanya ditempatkan sebagai pendamping. Bahkan tidak jarang lukisan hanya dianggap sebagai illustrasi semata. Padahal, lukisan (sebelum ada teknologi fotografi) berfungsi sebagai instrumen perekam yang andal. Suatu rekaman gambar (lukisan) yang dapat diperhatikan secara detail (seperti halnya tabel data statistik). Para ilmuwan (seperti botanis, geolog) atau perwira militer yang memimpin ekspedisi ke wilayah yang baru (dan terpencil) mereka harus piawai menggambar atau paling tidak di dalam tim disertakan satu atau beberapa orang pelukis (painter). Fungsi pelukis dalam hal ini adalah untuk memproduksi dokumentasi (dalam bentuk sketsa, peta atau lukisan). Ajudan seorang komandan dalam ekspedisi cenderung dipilih yang memiliki bakat melukis.

Pada ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman pada tahun 1597 juga menyertakan ahli bahasa dan ahli melukis. Ketika ekspedisi ini berada di sekitar pulau Bali mereka juga membuat peta Bali, peta permukaan pantai dan juga melukis pertemuan mereka dengan rombongan radja Bali. Sejak ekspedisi pertama ini ekspedisi-ekspedisi berikutnya terus berlangsung hingga mereka membuat koloni di muara sungai Tjiliwong dengan membangun benten (kasteel) VOC yang disebut Kasteel Batavia pada tahun 1619.

Perang Gowa (lukisan Johannes Vingboons, 1669-1675)
Setelah berhasil menaklukkan Portugis di Amboina pada tahun 1605 lukisan benteng Voctoria juga terus diabadiakan dalam berbagai bentuk lukisan. Hal karya pelukis inilah kita pada masa ini bisa mengenal dan mengidentifikasi benteng Viktoria di Amboina. Para pedagang VOC di berbagai tempat juga melukis lanskap pelabuhan-pelabuhan yang mereka kunjungi atau tempat. Demikian juga benteng-benteng yang mereka bangun di berbagai tempat dilukis. Produksi peta-peta terus ditingkatkan sehubungan dengan semakin banyaknya sketsa-sketsa yang dibuat oleh para pedagang VOC. Salah satu gambaran visual terawal tentang pantai Macassar adalah lukisan yang dibuat tahun 1636. Johannes Vingboons adalah seorang pelancong dari Eropa yang sempat melukis view Kota Sombaopoe, Kerajaan/Kesultanan Goa (Makassar). Lukisan ini seakan memetakan kota Sombo Opoe, suatu kota yang terbilang kota besar saat itu. Lukisan/peta ini dibuat sekitar tahun 1665 (sebelum terjadinya perang tahun 1667 yang menghancurkan kota itu. Bagaimana peristiwa perang itu di kota Sombo Opoe, ketika pemimpin perang Gowa, admiral Corenelis Speelman menjadi Gubernur Jenderal meminta seorang pelukis kenamaan di Belanda. Pelukis tersebut adalah Romeyn de Hooghe yang mana judul lukisan tersebut diberi nama  Victorien de Nederland. Lukisan ini diperkirakan dibuat antara tahuan 1669-1675. Lukisan ini sangat disukai oleh pihak kerajaan Belanda. Johannes Vingboons juga melukis wajah Soeltan Hasanoeddin. Oleh karena itu kita bisa mengenal wajah Soeltan Hasanoeddin pada masa ini.

Pelukis-pelukis tenar juga semakin banyak yang datang ke Hindia Timur apakah karena inisiatif sendiri atau karena permintaan Gubernur Jenderan VOC atau atas permintaan pihak kerajaan di Belanda. Pada tahun 1705 seorang pelukis Prancis Coneille le Bruyn tiba di Batavia. Kesempatan ini digunakannya mengunjungi para pedagang-pedagang VOC yang telah membuka pertanian (estate) di sekitar Batavia. Coneille le Bruyn tidak hanya melukis titik penting di kota (stad) Batavia juga melukis di sekitar Tangerang. Pada tahun 1706 Coneille le Bruyn berkunjung ke Sering Sing tempat dimana rekan sebangsanya Cornelis Chastelein membuka estate. Pada kesempatan ini Coneille le Bruyn juga membuat lanskap Sering Sing sangat baik. Selama di Serng Sing, Coneille le Bruyn juga menghasilkan dua wajah wanita Bali di Sering Sing. Oleh karena itu melalui lukisan Coneille le Bruyn kita bisa mengenali wajah wanita Bali tempo doeloe, tiga abad yang lalu.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Bule Pertama Pelukis-di Bali: Walter Spies

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar