Laman

Selasa, 25 Agustus 2020

Sejarah Manado (7): Alifuru, Sombaopoe di Gowa dan Sejarah Awal Penyiaran Agama di Sulawesi Utara; Pagan, Islam dan Kristen

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Wilayah Sulawesi Utara pada dasarnya meliputi Gorontalo, Minahasa dan kepulauan. Wilayah ini pada masa lampau terhubung dengan Ternate (belakangan dengan Macassar). Dalam konteks inilah ditemukan penduduk memiliki kepercayaan tradisional yang disebut Alifuru sehubungan dengan munculnya pedagang-pedagang Islam (Melajoe) di Ternate dan di Sombaopoe (Gowa Macassar).

Dalam sejarah lebih tua di nusantara, penyebaran Hindoe-Boedha masih menyisakan penduduk yang memiliki kepecayaan sendiri-sendiri (pagan). Ketika Islam mengkoversi Hindoe-Boedha juga masih menyisakan Hindoe (Bali) dan pagan. Di Bali sendiri masih menyisakan pagan (Bali-Aga) dan di Lombok dan Soembawa (Bodha). Di berbagai tempat di wilayah Timor pagan dikoversi menjadi Islam oleh Macassar dan Katolik oleh Portugis serta di utara Minahasa pagan dikonversi Katalik oleh Spanyol (Filipina). Sisa penduduk pagan yang belum beragama ini disebut dengan nama umum kepercayaan Alifuru (termasuk Bali Aga dan Bodha). Lantas mengapa masih tersisa Alifuru di Minahasa sementara pengaruh Islam sudah menguat di Gorontalo?

Lantas bagaimana sejarah awal penyebaran agama-agama di Sulawesi bagian utara? Sejumlah penulis Belanda penduduk Minahasa masih pagan (Alifuru) ketika pedagang-pedagang Islam (dari Ternate dan Macassar) dan pelaut-pelaut Eropa (Portugis, Spanyol dan Belanda) sudah berada di pantai-pantai. Dalam situasi dan kondisi inilah pengaruh Kristen dan Islam memasuki pedalaman Minahasa. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Alifuru dan Sombaopoe di Gowa

Alifuru adalah terminologi yang digunakan penulis-penulis Belanda (Alfuren) berdasarkan pengertian orang-orang Melajoe (yang beragama Islam) untuk membedakan dengan penduduk yang belum beragama (Islam). Penggunaan terminologi Alifuru dalam hal ini bersifat generik di berbagai tempat di kepulauan Hindia sebelah timur. Penulis-penulis Belanda juga adakalanya menyebut Alifuru untuk penduduk Bali yang belum beragama Hindu (Bali Aga) dan penduduk Lombok yang belum beragama Islam (Bodha). Meski tidak head to head, hal serupa juga dialamatkan (oleh orang Melajoe) kepada penduduk di pedalaman Sumatra yang belum sepenuhnya beragama (Batak). Terminologi Alifuru juga dialamatkan kepada penduduk di pedalaman Sulawesi bagian utara (Minahasa).

Sejumlah penulis menganggap kepercayaan Alifuru merujuk pada pemujaan dan penghormatan kepada para leluhur dan dewa (opo). Pemujaan rerhadap dewa ini juga ditemukan pada penduduk asli Bali (Bali Aga) dan penduduk asli Lombok dan Soembawa (Bodha). Praktek kepercayaan serupa ini juga masih ditemukan sisa peradaban (kepercayaan) lama di Simaloengoen (lihat  Steenplastiek in Simaloengoen    inventaris van steenen beelden, reliefs, steenen kisten en dergelijke, 1938).

Tempo doeloe di Sulawesi bagian selatan, di era kejayaan kerajaan Gowa ibu kota berada di Sombaopoe. Lantas apakah kota Sombaopoe ini merujuk pada kota kuno jauh sebelum masuknya (penyiaran) Islam? Sepintas, nama kota ini dapat diartikan sebagai menyebah (somba) dewa (opoe). Yang jelas, kota Sombaopoe sebagai pusat perdagangan penting di wilayah kerajaan Gowa (yang telah beragama Islam). Menurut Francois Valentjn (1726) pengaruh (agama) Islam di kerajaan Gowa baru dimulai pada tahun 1605.

Pada tahun 1605 ada satu kejadian penting yang mana Belanda menaklukkan benteng Portugis di Ambon (Fort Victoria). Tahun inilah awal kekuatan Belanda di kawasan Hindia. Ekspedisi Belanda pertama sendiri baru dimulai pada 1595 yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan melakukan kontrak dengan Radja Bali pada tahun 1597. Orang Belanda baru mencapai Ambon pada ekspedisi kedua yang mana Cornelis de Houtman tewas di Atjeh pada tahun 1601. Pada ekspedisi-ekspedisi berikutnya, ketika ekspedisi dipimpin oleh Steven van der Hagen (1603-1605) berhasil menduduki Ambon (mengusir Portugis yang bergeser ke Dilli). Setelah Belanda mengusir Portugis di Coepang tahun 1613 dan menguasai Banda, Belanda merelokasi pos utama perdagangan dari Ambon ke Batavia (1619). Di Coepang penduduk sudah beragama Katolik sementara di pulau-pulau lain di sekitar sudah ada yang beragama Islam (pengaruh Malajoe).

Islam sendiri sudah sejak lama berkembang di Sumatra, Semenjung (seperti Malaka dan Djohor) dan di Jawa. Pedagang-pedagang Melajoe dan Djawa yang menyiarkan agama Islam di Ternate, Lombok, Soembawa dan Gowa. Para pedagang-pedagang ini hilir mudik antara pantai utara Jawa dan Malaka dengan Ambonia dan Ternate. Pedagang-pedagang Arab dan Moor yang beragama Islam juga sudah mencapai Ambon dan Ternate. Pedagang-pedagang Islam inilah bersama dengan pedagang-pedagang Portugis, Spanyol dan Belanda mencapai wilayah Sulawesi bagian utara (khususnya di Manado dan Gorontalo). Pada fase awal inilah diduga pengaruh Islam di Sombaopoe dan Ternate-Ambon meluas ke pantai-pantai di Sulawesi bagian utara (pusat perdagangan di Ternate dan Sombaopoe).

Perseteruan antara Belanda dengan Portugis dan Spanyol akhirnya Pemerintah VOC juga berhasil mengusir Spanyol dari Ternate dan Manado. Spanyol bergeser ke arah utara (Filipina) dan Portugis masih bertahan di Sombaopoe. Pada tahun 1661 pedagang-pedagang VOC mulai menguasai Manado dan melakukan relokasi dari pulau (Manado) ke muara sungai Tondano dengan membangun benteng pada tahun 1665 (Fort Amsterdam). Semakin menguatnya Pemerintah VOC di Manado menjadikan ruang terbuka penyiaran agama Kristen (yang berpusat di Ambon) ke Manado. Penyiaran agama Kristen di Manado (dan Minahasa) baru intens pasca berakhirnya VOC.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Penyebaran Islam dan Kristen di Manado dan Minahasa

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar