Laman

Sabtu, 01 Agustus 2020

Sejarah Pulau Bali (21): Sejarah Subak Bali, Organisasi Tradisi Sistem Pengairan; Sawah, Terasering dan Pertanian Selaras Alam


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bali dalam blog ini Klik Disini

Subak terhubung dengan sejarah Bali, bahkan sejak jaman kuno. Subak dihubungkan dengan terbentuknya kelembagaan tradisi dalam mengelola pertanian. Organisasi tradisi subak terutama di dalam pengelolaan sawah dan persawahan. Sementara itu, sawah terdapat dimana-mana dengan tanaman utama padi untuk menghasilkan beras sebagai bahan baku utama membuat nasi. Sawah dan persawahan dapat dibentuk di dataran rendah maupun dataran tinggi dan diantara keduanya di lereng-lereng bukit dan gunung. Bentuk sawah di lereng-lereng disebut sawah terasering (berteras-teras atau berundak-undak). Wujud terasering sangat kontras di lereng-lerang, tetapi sawah-sawah di dataran (rendah atau tinggi) juga pada dasarnya adalah wujud terasing yang lebih landai.

Ada seorang penulis Belanda dalam tulisannya 1846 berpendapat bahwa orang Batak sudah bertani padi sejak jaman kuno. Menurutnya padi seumur dengan kebudayaan orang Batak karena padi dalam bahasa Batak disebut eme--suatu kata yang berbeda dengan kosa kata bahasa para tetangga (Melayu, Minangkabau dan Atjeh). Bahasa diturunkan  antargenerasi. Kosa kata sawah dalam bahasa Baatak aalah huma, beras disebut dahanon dan nasi disebut indahan. Sementara bahasa Melayu (Indonesia) secara berturut-turut disebut sawah, padi, beras dan nasi. Dalam hal ini kosa kata huma di Batak sama dengan di Bali tapi berbeda dengan padi (eme), baas (dahanon) dan nasi (indahan). Beras dalam bahasa Bali mirip dengan bahasa Melayu yakni baas yang dalam bahasa Minangkabau disebut bareh. Penduduk asli di Bali (Bali Aga) diduga telah mengenal huma sejak jaman kuno. Peradaban baru (dari Jawa dan Melayu) menambah kekayaan kosa kata bahasa Bali kuno (dan boleh jadi telah tergantikan) seperti padi, baas dan nasi. Kosa kata sawah, padi, beras dan nasi berasal dari bahasa Sanskerta (sumber utama bahasa Melayu dan Jawa). Dalam bahasa Batak dikenal aek (sungai), tahalak (bendungan) dan bondar (saluran irigasi). Irigasi adalah kosa kata bahasa asing (Eropa). Sistem irigasi kuno, sistem pengairan yang diorganisasikan oleh penguasa yang mana menurut Jung Huhn (1846) di Tanah Batak ditemukan di dekat percandian Padang Lawas (percandian sejak tahun 1030).

Lantas bagaimana dengan sejarah sistem subak di Bali? Nah, itu dia. Itu yang akan kita cari tahu. Sebab belum lama ini, UNESCO melalui sidangnya tanggal 20 Juni 2012 telah menetapkan subak (terasering) di Bali sebagai heritage dunia. Sawah terasering sendiri tentu saja terdapat di banyak tempat dan sudah ada sejak lampau bahkan sudah masuk dalam pembicaraan Plato. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sistem Irigasi di Indonesia

Pada tahun 1925 terjadi kehebohan di Belanda. Seorang pribumi berhasil dalam studinya di Leiden. Raden Soebroto, kelahiran Pasoroean Oost Java berhasil mempertahankan desertasinya dan meraih gelar pendidikan tertinggi sebagai doktor (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-09-1925). Disebutkan di Leiden dianugerahkan gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum setelah mempertahankan desertasinya berjudul ‘Indonesische Sawah-verpanding’.

Dr Soebroto, Ph.D telah memperpanjang daftar pribumi yang meraih gelar doktor di Belanda. Masih pada rahun 1925, beberapa bulan sebelumnya Radja Enda Boemi lahir di Batang Toroe (Padang Sidempoean) dinyatakan lulus di Universiteit Leiden dan mendapat gelar doctor (Ph.D) dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’ (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 10-07-1925). Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi adalah ahli hukum pertama dari Tanah Batak dan orang Indonesia kedua yang meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang hukum di Belanda.

Desertasi Soebroto menjadi menarik perhatian di Belanda maupun di Hindia Belanda karena topiknya pertanian khususnya pertanian sawah dari sudut pandang hukum (recht). Meski sudah banyak analisis hukum pertanian yang ditulis oleh orang Belanda, namun nama Soebroto menyita perhatian karena dia adalah seorang pribumi, seorang pribumi yang lebih merasakan nuansa hukum pertanian penduduk pribumi. Dalam desertasi ini banyak membahas pengembangan irigasi, penerapan hukum pajak serta praktek-praktek pengelolaan organisasi pertanian penduduk sejak jaman kuno, termasuk subak di Bali.

Studi-studi tentang pertanian khususnya sawah sudah dimulai sejak lama. Pengembangan pertanian sendiri di kalangan penduduk baru berkembang pesat sejah Pemerintah Hindia Belanda (kembali) menggantikan pemerintah pendudukan Inggris (1811-1816). Program pembanguan pertanian dan studi-studi pertanian semakin meluas seiring dengan semakin bertambahnya cabang Pemerintah Hindia Belanda yang dibentuk di berbagai pulau dan di berbagai wilayah (district-district). Studi pengembangan pertanian di pulau Bali baru dimulai pada tahun 1874 (masih terbatas di afdeeeling Boelelng dan afdeeling Djembrana). Studi-studi pengembangan pertanian baru dilakukan secara masih di pulau Bali setelah tahun 1908 (setelah dibentuknya afdeeling Zuid Bali yang beribukota di Denpasar).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Subak dan Terasering di Bali dan Lombok

Ketika seorang sarjana asal Jerman, Heirich Zollinger melakukan ekspedisi ilmiah ke pulau Bali tahun 1846 tampaknya kurang memperhatikan mengapa sistem pengairan sawah penduduk begitu baik. Sebagai seorang geolog dan botanis ia hanya lebih tertarik memperhatikan topografi, vegetasi, daerah aliran sungai dan jenis tanah dimana sawah-sawah berada. Setali tiga uang juga Heirich Zollinger di Lombok. Heirich Zollinger hanya menyinggung soal pungutan (semacam pajak). Demikian juga Dr. N van der Tuuk, Ph.D yang sejak 1871 sudah berada di Bali kurang memperhatikan dan sesuai kehaliannya dia hanya berbicara perihal bahasa dan sastra. Yang melaporkan kali pertama tentang subak di Bali adalah R van Eck dan FA Liefrinck (lihat Bataviaasch handelsblad, 14-02-1876).

Dr R van Eck, Ph.D adalah ahli yang dipekerjakan Pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan berbgai studi di Residentie Banjoewangi. Salah satu pejabat yang ditempatkan di Banjoewangi sejak 1874 adalah FA Liefrinck. Afdeeling Boeleleng dan Afdeeeling Djembrana masih menjadi bagian dari Residentie Banjoewangi. R van Eck dan FA Liefrinck melakukan studi pertanian ke Bali. Dalam studi di Bali inilah mereka berdua menemukan subak yang kemudian laporan mereka dipublikasikan.

Adanya subak di Bali ditemukan dalam laporan R van Eck dan FA Liefrinck dengan judul Algemeene Opmerkingen over de Belasting op de Rijstvelden op Bali, Speciaal in het Gewest Boelèlèng. Untuk mendampingi laporan ini mereka menerjemahkan Kerta Sima Soebak atau undang-undang dewan air. Dalam hal ini R van Eck dan FA Liefrinck tidak hanya menemukan subak (suatu sistem pengelolaan air) juga telah menyalin dan menerjemahkan peraturan tentang sistem tata kelola air tersebut di Bali.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Asal-Usul Subak di Bali

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar