Laman

Minggu, 20 September 2020

Sejarah Manado (36): Kota Tahuna dan Gunung Awu Meletus 1856, Kini Menjadi Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Sangihe

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Manado dalam blog ini Klik Disini

Tempo doeloe, wilayah Taboekan lebih maju dari wilayah Tahoena. Hal ini karena sisi timur pulau Sangir (Sangihe) dan sisi barat pulau Talaud adalah perairan yang ramai antara Mindanao dan Ternate (Manado). Wilayah Taroena yang berada di sisi barat pulau menjadi terpencil. Oleh karenanya, Radja Taboekan begitu terkenal di antara radja-radja lainnya di pulau Sangihe. Namun pelan tapi pasti, situasi di Taroena terus berkembang sehubungan dengan perkembangan di teluk Taroena.  

Pada masa ini, kota Tahuna dapat dikatakan kota terbesar di pulau Sangihe. Kota Tahuna sebelumnya sudah menjadi ibu kota kabupaten Sangihe-Talaud. Pada tahun 2000 kabupaten Kepulauan Sangihe-Talaud dilikuidasi dengan mebentuk dua kabupaten: Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauaan Talaud. Ibu kota kabupaten Sangihe tetap berada di kota Tahuna.

Lantas bagaimana sejarah kota Tahuna? Yang pasti wilayah dimana kota Tahuna berada, tempo doeloe disebut wilayah Taroena. Bagaimana kota Tahuna tumbuh dan berkembang di teluk Taroena dimulai dari intensitas kehadiran orang Eropa-Belanda. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Bagaimana sejarah permulaan kota Tahuna ini kurang terinformasikan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Taroena

Pada tahun 1848 di Belanda sudah terbit dan beredar peta (kaart) Taroena, peta (kaart) Manganitoe dan peta (kaart) Salibaboe (lihat Algemeen Handelsblad, 29-12-1848). Peta Taroena dan peta Manganitoe ini masing-masing peta wilayah kecil (lanskap) di pulau Groot Sangir. Ini mengindikasikan bahwa wilayah Taroena mulai diperkenalkan dalam dunia pelayaran dan perdagangan. Nama Taroena sendiri sudah sejak lama ada, paling tidak telah dicatat pada Daghregister 6 Desember 1695.

Pada Peta 1854 (cetak ulang), nama-nama tempat di pulau Sangir diidentifikasi nama-nama kampong. Nama-nama kampong tersebut semuanya berada di pantai, diantaranya Taroena, Taboekan dan Manganitoe. Dalam peta ini, nama Sangir diidentifikasi nama pulau dan juga sebagai nama kepulaua. Satu yang penting penanda navigasi di tengah pulau Sangir adalah gunung Awoe. Dari nama-nama tempat inilah kemudian peta-peta yang lebih rinci dibuat seperti peta Taroena dan peta Manganitoe.

Pada tahun 1856 gunung Awoe meletus dan menyebabkan gempa (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 19-06-1856). Disebutkan untuk meyakinkan berita letusan yang beredar di Ternate, kapal ss Semarang pada tanggal 2 Mei. Keesokan paginya tiba di teluk Taroena. Besoknya para radja dan kepala-kepala kampong berkumpul untuk membicarakan dampaknya dan tindak lanjut. Disebutkan dampak letusan meliputi lanskap lanskap Taroena, Kandbar dan Taboekan. Letusan ini sangat besar lahar panas mencapai laut dan jatuhan batuan bahkan mencapai Mindanao. Di tempat utama Taroena menderita abu dan batu yang merusak rumah dan melukai penduduk. Kampong Kolongan tersapu habis oleh aliran lahar. Yang paling parah area di sisi lain Taroena dari Kandhar dan ujung paling utara pulau. Kampong Tariang, di sebelah kampong Pembalarain, Labakassin, Fatoen dan Hilang telah hancur total oleh api.

Dari laporan kunjungan ke TKP di Taroena diperoleh data bahwa jumlah penduduk yang tewas di tiga lanskap berdasarkan keterangan tiga kepala suku adalah sebagai berikutL di Taroena jumlah penduduk yang tewas laki-laki, perempuan dan anak-anak sebanyak 722 jiwa; di lanskap Kandhar sebanyak 45 jiwa; dan di lanskap Taboekan sebanyak 2.039 jiwa. Jumlah ini tidak diketahui secara rinci menurut kampong-kampong yang ada. Disebutkan bahwa korban tewas umumnya yang berada di luar rumah, sebagian yang lain karena hawa panas banyak yang melarikan diri ke laut berendam tetapi mereka tewas karena adanya ombak yang besar datang. Tampaknya ada indikasi telah terjadi tsunami. Catatan: lanskap Taboekan memiliki penduduk yang besar dan lanskap Kandhar masih jarang penduduknya.

Dalam laporan ini juga disebutkan bahwa Radja Taroena telah meminta orang Eropa yang datang untuk menginfornmasikan bagi penduduknya yang berada di tempat jauh seperti di lanskap tetangga Manganitoe dan Siau serta pulau-pulau lainnya untuk pulang dan juga menghimbau para kepala suku lainnya mengekstrasi penduduknya. Para penduduk yang dihimbau pulang ini untuk mulai memikirkan pembangunan lahan pertanian lagi untuk produksi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tahoena Menjadi Ibu Kota

Nama Tahoena muncul kali pertama ke publik pada tahun 1924 (lihat De Sumatra post, 11-04-1924). Disebutkan verificateur (bidang keuangan) di Soerabaja JK Lengkong dipindakan ke Tahoena. Pada saat ini nama Taroena juga masih eksis. Hal ini dapat dilihat dari pemberitaan Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 21-07-1924 yang menyatakan bahwa Dr Sjoeib Proehoeman dipindahkan dari Taroena ke Midden Java. Lantas mengapa nama Taroena juga disebut Tahoena?

JK Lengkong dipindahkan kembali ke Soerabaja sebagai verificateur (lihat Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 28-01-1928). Pada bulan September 1929 Dr Radjamin Nasoetion sebagai dokter bea dan cukai (bidang kesehatan) dipindahkan dari Tandjoeng Priok, Batavia ke Tandjoeng Perak Soerabaja. Dua bulan kemudian, awal November, Radjamin dan kawan-kawan mendirikan Sarikat Pekerja Bea dan Cukai. Radjamin duduk sebagai bendahara, sedangkan ketua dan sekretaris adalah HWA Waleson dan JK Lengkong. Dalam rapat tahunan Oktober 1930 komposisi pengurus Sarikat Pekerja berubah dimana ketua dan sekretaris berganti tempat, sedangkan Radjamin tetap sebagai bendahara. Pada tahun 1931 Dr Radjamin Nasoetion terpilih menjadi anggota dewan kota (geeenteraad) Soerabaja. Pada tahun 1933 JK Lengkong di Soerabaja mendapatkan kenaikan pangkat (lihat  Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-06-1933). Pada tahun 1934 JK Lengkong ikut pilkda. Radjamin Nasoetion dan Jk Lengkong menjadi anggota dewan. Pada tahun 1938 Wethouder Dr Radjamin Nasoetion terpilih menjadi anggota Volksraad dan JK Lengkong menjadi wethouder di dewan. Hingga tahun 1939 JK Lengkong masih pejabat di bea dan cukai Soerabaja (lihat De Indische courant, 26-06-1939). Pada tahun 1940 JK Lengkong diketahui sebagai anggota dewan Provinsi Oost Java. Pada tahun 1942 Dr Radjamin Nasoetion diangkat menjadi wali kota Soerabaja (era pendudukan Jepang).

 

Sementara itu, Dr Sjoeib Proehoeman lulus sekolah kedokteran STOVIA di Batavia pada tahun 1917. Pada tahun 1919 Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (De Sumatra post, 26-06-1919). Tidak lama kemudian Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Panjaboengan (Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1919). Sjoeib Proehoeman dipindakan lagi ke Solok (De Preanger-bode, 21-06-1920). Tidak lama kemudian dipindahkan lagi kembali ke Batavia sebagai direktur institut-koepok darat dan Institut Pasteur di Weltevreden. Pada tahun 1921 Sjoeib Proehoeman dicalonkan untuk anggota dewan kota (gemeenteraad) Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 02-04-1921). Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Tahoena, Residentie Manado (De Preanger-bode, 26-08-1921). Setelah cukup lama di Taroena kembali dipindahkan ke Midden Java (De Preanger-bode, 22-07-1924). Sjoeib Proehoeman diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1926). Sjoeib Proehoeman dinyatakan lulus dokter (Algemeen Handelsblad, 13-11-1929). Sjoeib Proehoeman tidak langsung pulang ke tanah air, tetapi berupaya mengajukan proposal untuk tingkat doktoral. Upaya Sjoeib Proehoeman tidak sia-sia lalu kemudian dinyatakan berhak mendapatkan gelar doktor (Ph.D) dengan desertasi berjudul ‘Studies over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de daaraan verwante organismen’ (Nieuwsblad van het Noorden, 20-11-1930).

Meski nama Taroena masih eksis, nama Tahoena juga semakin kerap muncul di berbagai tulisan apakah di dalam surat kabar maupun majalah. Kota Tahoena tampaknya sudah menjadi kota (paling) penting di pulau Sangir dan kepaulauan Sangir. Kota Taroena atau Tahoena  adalah tempat kedudukan Controleur.

Penempatan pejabat Pemerintah Hindia Belanda setingkat Controleur di kepulauan Sangir dan kepulauan Talaud dimulai pada (bulan Juni) tahun 1882. Controleur berkedudukan di Taroena (lihat De locomotief, 28-04-1883). Dua kepulauan ini dijadikan satu afdeeling dengan nama Afdeeeling Sangir en Talaud. Pemerintah mulai lebih peduli tentang daerah-daerah terpencil. Disebutkan penempatan Controleur ini karena Taroena sudah berkembang sejak perusahaan dari Hong Kong mendirikan kantor perdagangan di Taroena (perdagangan kayu). Hal ini karena sebelunya banyak pedagang-pedagang Cina yang berpusat di Taroena (perdagangan kopra). Disebutkan secara politis, kelompok Sangir terbagi menjadi enam lanskap yang masing-masing dengan pemimpinya yang  menyandang gelar Radja yakni Ini adalah Taroena, Kandhar, Teboekan dan Manganitu (di Groote Sangir), Siauw dan Tagoelandang. Radja-radja ini diplih oleh penduduknya sendiri (yang kemudian disahkan oleh peerintah). Tidak selelalu radja dari lanskap itu sendiri, seperti radja yang pernah terpilih di Siau tidak berasal dari orang Sangir tetapi dari Bolaang Itam. Radja Manganitoe yang sekarang awalnya seorang pendeta. Di Kepulauan Sangir dan Talaud ada sekitar lima puluh pedagang Cina sehingga jumlah orang Cina bisa diperkirakan sebanyak 150 jiwa. Tempat perdagangan utama adalah Makawa, sebelah timur kampong Taroena dan di sisi utara teluk Taroena yang dapat digunakan oleh kapal-kapal pengangkut kayu. Teluk ini terbuka untuk angin barat tetapi kapal selalu menemukan tempat berlabuh yang aman dan bagus disana. Populasi kelompok Sangir adalah sekitar 100.000 jiwa. Lanskap Manganitoe memiliki populasi terbabnyak dan lanskap Teboekan relatif paling kecil.

Sejak adanya perusahaan Hongkong di Taroena dan penempatan Controelur di Taroena dapat dianggap awal pertumbuhan dan perkembangan kota Taroena.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar