Laman

Senin, 19 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (28): Sejarah Sintang di Muara Sungai Melawi (Pedalaman Borneo); Sejarah Melawi Kuno di Muara Sungai Laue

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Barat di blog ini Klik Disini

Sejarah kuno kerap mengejutkan pada masa kini. Apa yang bisa dilihat dan dipetakan pada masa ini adakalanya berbeda dengan situasi dan kondisi masa lampau. Seperti di banyak tempat, kejutan sejarah itu juga terjadi di Sintang dan Melawi. Tidak ada yang menduga jika kerajaan Melawi lebih tua dari kerajaan Sintang. Karena yang terpikir adalah kabupaten Melawi dimekarkan dari kabupaten Sintang.

Kabupaten Sintang beribukota di Sintang. Kabupaten Sintang dibentuk sejak awal pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1950). Kabupaten Sintang sebelumnya adalah suatu afdeeling pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 2004 kabupaten Sintang dimekarkan dengan membentuk kabupaten Melawi. Ibu kota kabupaten Melawi berada di Nanga Pinoh. Di Kabupaten Melawi terdapat  tiga sungai besar: sungai Kayan, sungai Melawi dan sungai Pinoh. Kabupaten Sintang dan kabupaten Melawi adalah dua kabupaten terjauh di pedalaman (provinsi Kalimantan Barat).

Lantas bagaimana sejarah Sintang? Sejarah Sintang tidak berdiri sendiri, tetapi terhubung dengan sejarah Melawi. Pada jaman kuno, ketika kerajaan Melawi masih ditulis kerajaan Laue, letaknya bukan berada di pedalaman (lokasi sekarang) tetapi justru di muara sungai Kapuas (dekat pantai). Saat itu sungai Kapuas yang sekarang justru bernama sungai Laue. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Laue di Muara Sungai Kapuas

Kesampingkan dulu Pontianak dan pikirkan jaman sebelum era Pontianak. Pusat perdagangan jaman kuno, bukan di lokasi Pontianak yang sekarang, tetapi di muara sungai Kapuas. Bukan muara sungai Kapuas di kecamatan Sungai Kakap, tetapi di kecamatan Terentang. Lho, bagaimana bisa? Di kecamatan Terentang yang sekarang adalah hilir sungai Kapuas bercabang. Tepatnya di desa Teluk Empening dan desa Teluk Bayur (mengapa disebut teluk?). Yang jelas satu cabang menuju ke Kota Pontianak dan cabang lainnya menuju ke kecamatan Sungai Kakap. Lantas, maksudnya apa?

Pada jaman kuno bentuk pulau Kalimantan bentuknya berbeda dengan yang sekarang. Bentuknya tidak ‘sebulat’ yang sekarang. Pada jaman dulu banyak teluk telah menjadi daratan akibat proses sedimentasi. Tidak hanya area di sekitar muara sungai Kapuas, tetapi juga area muara sungai Barito dan sungai Mahakam serta banyak muara sungai lainnya dimana terdapat teluk. Pulau Sebatik dan pulau Nunukan (Kalimantan Utara) adalah pulau-pulau yang terbentuk baru akibat proses sedimentasi. Kota Koetai Lama (Kota Samarinda) jaman dulu posisi GPS-nya berada di pantai, demikian juga posisi GPS Kota Banjarasin berada di pantai. Nah, Kota Pontianak yang sekarang jaman dulu berada di laut (teluk). Dengan kata lain sebagian wilayah kabupaten Kubu Raya (termasuk Kota Pontianak) yang sekarang adalah daratan yang terbentuk baru karena proses sedimentasi. Sebelum terbentuk sedimentasi, muara sungai Kapuas tepat berada di desa Teluk Empening-Teluk Bayur, kecamatan Terentang, kabupaten Kubu Raya. Mengapa nama desa disebut Teluk (Empening-Bayur)?

Pada jaman kuno, kerajaan Laue diduga kuat lokasinya berada di desa Teluk Empening-Teluk Bayur yang sekarang. Ini dapat diperhatikan pada peta Portugis (Peta 1601 dan Peta 1619), kerajaan Laue berada di pantai. Di sebelah utara kerajaan Laue adalah kerajaan Hermata. Namun kemudian kerajaa Laue menghilang.

Setengah abad kemudian kerajaan Laue dan kerajaan Hermata telah menghilang. Bagaimana? Di dalam Peta 1657 kerajaan besar yang muncul adalah kerajaan Soecadana. Nama Laue hanya tinggal sebagai nama sungai Lauwe (kini sungai Kapuas). Dalam peta ini sudah diidentifikasi nama-nama Mempawa, Matan dan Sintang. Hal yang menarik dui sekitar muara sungai Laue/Lauwe, pulau-pulau sedimen tempo doeloe semakin besar dan semakin menyatu dengan daratan. Meski peta-peta tersebut tidak terlalu akurat dalam hal teknis, tetapi secara umum tampak pola yang konsisten diantara Peta 1601 dan Peta 1657 jika diperbandingkan bahwa garis ekuator dan pulau Karimata sebagai patokan navigasi. Nama Kariata ditulis sebagai Crimataja. Dalam peta ini juga sudah diidentifikasi nama Sintang (di pedalaman).

Yang tetap menjadi pertanyaan adalah bagaimana kerajaan Laue/Lauwe? Apakah benar-benar menghilang atau relokasi karena suatu sebab? Boleh jadi relokasi karena sudah kembali muncul kekuatan besar kerajaan Soecadana (kerajaan lama pengaruh Madjapahit (pada peta lama kerajaan Soecadana ini masih berada di pantai selatan). Kemana relokasinya diduga telah (kembali) ke pedalaman yang besar dugaan adalah (nama) Melawi yang sekarang.

Ahli geografi Belanda, Prof PJ Veth pernah menganalisisnya yang dipublikasikan pada tahun 1827. PJ Veth menduga bahwa kerajaan pertama yang muncul setelah gelombang migran (dari Indo-China seperti Chiampa, Siam, Laos dan lainnya) adalah kerajaan Taja atau Tajan suatu nama yang kemudian merujuk pada penyebutan orang luar terhadap penduduk asli sebagai Orang Taja dan bergeser menjadi Orang Daja(k). Nama Taja ini Pada Peta 1657 masih melekat pada nama pulau Karimata yang ditulis dengan Crimataja. PJ Veth menyatakan kerajaan Sekadau (Succadow) di sungai Lawai (Laue/Lauwe). Namun menurut Veth kerajaan ini masuk Islam (menjadi Melayu). Nama atau Laue atau Lauwe atau Lawai berasal dari Lao atau Law (Laos). PJ Veth sangat yakin bahwa penduduk asli Daijak awalnya migrasi dari sepanjang sungai besar Kamboja.

Nama Laue, Lauwe, Lawai atau Law yang kemudian diduga menjadi Melawi adalah nama besar di jaman kuno. Prof PJ Veth juga mencatat bahwa orang Tiongkok menulis nama pulau dengan nama Zualamontan (Kalimantan) yang diartikan Veth sebagai Zua-law-mon-tai, suatu nama awal pulau Borneo. Zua adalah pulau, sementara Law-Mon, Tai saya tabahkan disini sebagai pulau dari tiga kerajaan kuno (Law dari Laue atau Lauwe; Mon dari Amontai). Dua kerajaan ini digeser oleh kerajaan Taniampura (Bandjar[masin] dan Soecadana). Kerajaan Bandjarmasin menggeser kerajaan Amontai ke pedalaman dan kerajaan Soecadana menggeser kerajaan Laue atau Lauwe ke pedalaman.

Di daerah aliran sungai Lauwe (singai Kapuas) sejaman dengan lahiranya kerajaan Laue dan Amontai, juga sudah eksis kerajaan-kerajaan Taja[n], Sanggau, Sekadau dan Sintang. Setelah kerajaan Laue relokasi ke pedalaman, kerajaan penduduk asli (Dajak) yang terdekat ke pantai adalah kerajaan Taja[n] yang menjadi asal-usul nama penduduk asli sebagai Orang Taja atau Orang Daja atau Orang Dajak. Kerajaan-kerajaan yang kemudian berkembang di pantai adalah kerajaan Dajak (Islam) yang kemudian disebut Melayu, seperti Bandjarmasin dan Soecadana dan Sambas. Sementara kerajaan-kerajaan Dajak di pedalaman tetap pagan (kepercayaan lama) namun sebagian masuk Islam seperti Sekadau sebagaimana dinyatakan PJ Veth.

Kerajaan Sintang diduga kuat adalah kerajaan Dajak terjauh ke pedalaman di sungai Lauwe. Posisi GPS kerajaan ini berada di muara sungai. Besar dugaan setelah kerajaan besar Laue ‘terusir’ dari pantai (oleh kerajaan Soecadana-Tandjong Poera), relokasi jauh ke hulu sungai Lauwe (di arah hulu kerajaan Sintang). Kerajaan Luuwe atau kemudian dikenal kerajaan Lawai atau Melawi yang tempo doeloe kerajaan besar menjadi kerajaan kecil, terpencil jauh di pedalaman pulau Borneo.

Pada saat pergeseran kerajaan-kerajaan tersebut nama sungai besar tetap disebut sungai Lauwe. Pemilik nama sungai Lauwe tetap kerajaan Lauwe, yang tempo doeloe berada di muara, namun kemudian relokasi ke hulu sungai Lauwe. Pada awal Pemeriintah Hindia Belanda ekspedisi-ekspedisi ke padalaman Borneo dilakukan. Sehubungan dengan diidentifikasinya sungai Lauwe sangat panjang, maka nama sungai Lauwe digantik dengan nama sungai Kapoeas. Nama sungau Lauwe atau sungai Melawi direduksi hanya dari (kerajaan) Sintang hingga kerajaan Melawi. Dengan demikian posisi GPS kerajaan Sintang yang baru adalah di sungai Kapoeas di muara sungai Melawi.

Sintang dan Melawi di Pedalaman Borneo

Posisi strategis kerajaan Sintang (di muara sungai Melawi) menjadi faktor penting kerajaan Sintang tumbuh dan berkembang pesat, lebih-lebih pada era Pemerintah Hindia Belanda. Dalam permbentukan cabang pemerintah Hindia Belanda di Westkust der van Borneo, keutamaan kerajaan Sintang menjadi patokan dan kerajaan Melawi menjadi subordinat. Sementara pusat pemerintahan di Westkust der van Borne belum menentu apakha di Mempawa atau Pontianak.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar