Laman

Selasa, 20 Oktober 2020

Sejarah Kalimantan (29): Sejarah Muara Teweh, Ibu Kota Barito Utara di Kalimantan Tengah; HG Dahmen di Koetai 1858-1864

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kalimantan Tengah di blog ini Klik Disini

Sejarah Muara Teweh sejatinya tidak bermula dari Banjarmasin tetapi dari Samarinda. Muara Teweh memang berada di sungai Barito (yang bermuara ke Banjarmasin), namun jaraknya yang jauh di hulu sungai Barito di pedalaman Borneo, hanya pedagang-pedagang lokal yang berhasil mengakses Muara Teweh. Kisah Muara Teweh mulai terbuka pada tahun 1861 ketika terjadi perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Orang Bandjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Untuk menghadang pengikut Antasari yang terdesak ke utara, Asisten Residen Koetai GH Dahmen melakukan ekspedisi melalui sungai Mahakam (dari Samarinda) ke Muara Teweh.

Pemerintah Hindia Belanda telah membuka cabang pemerintahan di Goote Daijak dan di Amoentai. Sementara di sungai Mahakam cabang pemerintahan baru ada di Koetai (Samarinda dan Tenggarong). Dalam situasi dan kondisi Perang Bandjar ini Asisten Residen Koetai GH Dahmen berangkat ke Muara Teweh. Boleh dikatakan ekspedisi ke Muara Teweh ini sebagai awal isolasi Muara Teweh terbuka. Pada masa ini akses ke Muara Teweh dari Banjarmasin (Kalimantan Selatan) masih melalui sungai Barito dan jalan akses darat dari Samarinda (Kalimantan Timur). Namun kini Muara Teweh menjadi bagian wilayah provinsi Kalimanten Tengah.

Lantas begaimana perkembangan lebih lanjut Muara Teweh setelah era GH Dahmen? Yang jelas pasca Perang Banjar wilayah pedalaman ini mulai terbuka dari isolasi (yang kemudian dibentuk cabang pemerintahan). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Muara Teweh

Sejak kapan pengaruh Islam (dari kesultanan Bandjarmasin) di Moeara Teweh tidak diketahui secara pasti. Moera Teweh sebagai pusat perdagangan utama di hulu sungai Barito mencakup wilayah yang luas dimana penduduk asli Dayak berada. Ketika terjadi Perang Bandjar (sejak 1859) yang dalam pekembangannya banyak pengikut Pangeran Antasari menyingkir (berlindung) ke arah hulu sungai Barito, Pemerintah Hindia Belanda, melalui Asisten Residen Koetei GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda turut mengepung dari arah utara (menuju Moeara Tewe). Sejak inilah nama Moera Tewe mendapat perhatian (suatu wilayah yang belum pernah dikunjungi oleh orang Eropa).

GH Dahmen masih muda. GH Dahmen memulai karir pada tahun 1855 berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 20 November 1855 (No.4) sebagai pegawai pemerintah. GH Dahmen ditempatkan di Banten. Pada tahun 1856  GH Dahmen dipromosikan dari commies tingkat 2 di kantor Resident Banten menjadi Asisten Residen Koetai (lihat Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 16-09-1858). Untuk mengawali karirnya di Koetai, GH Dahmen berangkat dari semarang dengan kapal (lihat Samarangsch advertentie-blad, 10-09-1858). Besar dugaan, GH Dahmen adalah salah satu pegawai pemerintah  yang tidak disukai di Residentie Banten. GH Dahmen seakan dibuang jauh ke Koetai (Samarinda) sebagai Asisten Residen pertama. Demikian juga halnya Eduard Douwes Dekker sebagai Asisten Residen Lebak di Rangkasbitoeng dibuang ke Residentie Manado. Eduard Douwes Dekker di Residentie Manado meski hubungannya baik dengan Resident Manado, berselisih paham dengan Gubernur Maluku, lalu mengundurkan diri dan kembali ke Eropa. Pada tahun 1860 buku Eduard Douwes Dekker terbit dengan judul Max Havelaar. Pada tahun 1842 Edward Douwes Dekker bermasalahan dengan Gubernur Pantai Barat Sumatra AV Michiels soal koffiestelsee di Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli). Eduard Douwes Dekker  dicopot dari jabantannya sebagai Controleur di Afdeeeling Natal (Residentie Tapanoeli) karena Melindungi penduduk Mandailing en Angkola.

GH Dahmen adalah seorang pegawai pemerintah berdedikasi seperti halnya Edward Douwes Dekker alias Multatuli. GH Dahmen bekerjasama dengan Soeltan Koetai (yang masih remaja). GH Dahmen dan Soeltan Koetai bagai abang-adik. Kerajaan Koetai menandatangani kontrak dengan pemerintah pada tahun 1850, yang saat itu Soeltan masih kanak-kanak. Cabang pemerintah di Koetai baru diimplementasikan pada tahun 1858 (Asisten Residen pertama GH Dahmen). Dua pemuda inilah yang bertanggungjawab soal situasi dan kondisi wilayah di pedalaman (wilayah bagian utara Bandjarmasin) yang mulai bergolak pada tahun 1859.

Pada bulan Maret 1861 Asisten Residen GH Dahmen dan Letnan dua A de Brauw dan pasukannya berangkat ke Moeara Tewe yang berkekuatan 100 bayonet dan mortir (lihat Bataviaasch handelsblad, 16-11-1861). Dalam ekspedisi pertama Koetai ini Soeltan Koetai hanya mendampingi pada titik tertentu ke arah Moera Teweh. Pasukan Boegis atas nama Soeltan hanya sampai batas wilayah Bandjarmasin-Koetai. Hal ini karena perjanjian Soeltan Koetai dengan orang Boegis di Samarinda hanya bersedia perang di wilayah Koetai. Ekspedisi Koetai kedua yang dipimpin GH Dahmen ke Moeara Tewe pada bulan Oktober 1861 hingga Januari 1862 dengan Kaptein infanteri Bode dan pasukannya (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-03-1862). Ekspedisi kedua ini dengan mengerahkan kapal perang ZM Bali (hingga Moeara Pahoe). Dalam ekspedidi kedua ini Pangeran Natta Kesuma berhasil dibujuk Soeltan untuk menyerah dan datang ke kapal ZM Bali. Peta 1861

Dalam dua ekspedisi pertama inilah situasi dan kondisi wilayah Moeara Teweh masuk dalam dokumen pemerintah (yang menjadi salah satu dasar pertimbangan pembentukan cabang pemerintahan). Nama GH Dahmen tercatat manis dalam sejarah Pemerintah Hindia Belanda dan juga tercatat indah dalam sejarah awal peerintahan di Koetai (Samarinda). Namun enjadi pahit buat sejarah Bandjarmasin (Pangeran Antasari). GH Dahmen terpaksa meninggalkan Koetai, tanah yang mulai ia cintai. GH Dahmen, Asisten Residen Koetai meninggal pada 7 Juni karena sakit yang kondisinya melemah setelah dia menghabiskan sebagian besar energi untuk melakukan perjalanan dari Koetei sepanjang Mahakam dan sungai Pahoe ke Boven Dousson pada bulan Mei (lihat Bataviaasch handelsblad, 11-07-1864).

Disebutkan kunjungan GH Dahmen dan Soeltan Koetai (ekspedisi ketiga ini) ke Moeara Teweh untuk meyakinkan para pemimpin lokal. Dengan kemampuan berbahasa Melayu, GH Dahmen tidak kesulitan dalam tugasnya itu. GH Dahmen bahkan berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan orang Dajak Ot yang sama sekali tidak dikenal dan bermusuhan, Dia berhasil melakukan negosiasi dengan putra-putra almarhum Pangerang Antassarie dan dia tinggal menunggu hasil di Moeara Teweh. Di Moeara Teweh, GH Dahmen sakit. Dia tinggal di rumah Haji Sleman orang yang setia kepadanya. Haji Sleman menasehati Dahmen untuk berangkat ke Banjermassin atau Moeara Manhallat untuk mencari bantuan medis. GH Dahmen menolaknya dengan keras kepala, dan kata-kata terakhir yang menentang Soelthan Koetej adalah: 'Lebeh baai mati di sini derie poelang di Banjer. dengan tangan kossong. GH Dahmen meninggal seorang istri dan lima anak yang masih kecil-kecil. Apa yang menyebabkan GH Dahmen jatuh sakit, seperti diberitakan kelak, GH Dahmen sakit karena diduga keracunan (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 17-05-1880)

Asisten Residen pertama GH Dahmen tidak hanya berperan penting dalam perang melawan pangikut Pangeran Antasari juga berperan membuka hubungan bagian hulu sungai Mahakam dan hulu sungai Barito. Dalam konteks inilah peran GH Dahmen membuka isolasi Moeara Tewe. GH Dahmen telah tiada, pemerintah Hindia Belanda kehilangan pejabat yang paling berhak dari pemerintah dalam negeri dalam banyak hal. Tentu saja sahabat Edward Douwes Dekker alias Multatuli kehilangan teman seperjuangan.

Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-02-1866: ‘Pada tanggal 24 Januari kapal perang Sr. MS. Madura berangkat ke Muara-Teweh (dari Bandjarmasin) untuk mentransfer pasukan tambahan dan logistik dan juga untuk menangani urusan lainnya disana’.

Sehubungan dengan situasi dan kondusif di sepanjang daerah aliran sungai Doesoen atau sungai Barito dan intensitas militer ke Moeara Teweh, perdagangan semakin lancar (lihat Bataviaasch handelsblad, 21-03-1866). Afdeeling baru telah dibentuk dengan nama Afdeeling Doessoen en Bekompaij. Seorang pejabat pemerintah diangkat untuk urusan afdeeeling tersebut (waarnemend civiel gezaghebber).

Nederlandsche staatscourant, 10-07-1866: ‘Penjabat (waarnemend civiel gezaghebber van de afdeeling Doessoen en Bekompaij) kembali ke kantornya pada 16 April dari perjalanan inspeksi ke Beneden Doessoen, dimana ia menemukan keadaan sangat menguntungkan. Penduduk disana semakin cenderung ke tempat tinggal komunal dan terutama terlibat dalam koleksi produk hutan. Empat kampung yang cukup bagus telah dibangun antara Montallat dan [Moeara] Teweh, masing-masing terdiri dari 20 sampai 30 rumah. Di Moeara-Teweh, orang-orang dari negara-negara atas [Boven Doesoen] terus berdatangan untuk menyerahkan wilayah mereka di bawah pemerintah’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Perkembangan Lebih Lanjut Muara Teweh

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

1 komentar:

  1. Untung lah muara teweh barito utara di kenal juga di jakarat ..heee

    BalasHapus