Laman

Jumat, 25 Desember 2020

Sejarah Aceh (22): Sejarah Pasai, Antara Sungai Djamboe Aer dan Sungai Pase; Kerajaan Aroe di Daerah Sungai Baroemoen

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini

Sejarah kuno selalu menyisakan pertanyaan yang sangat banyak. Semakin kuno suatu sejarah semakin banyak fakta dan data yang tercecer. Upaya penemuan data tersebut tentu saja terus dilakukan karena banyaknya deposit data yang belum tergali. Namun demikian, upaya tersebut seiring dengan meningkatkan ilmu dan pengetahuan memungkin banyak cara yang digunakan untuk mendeteksi dimana data harus dicari dan digali. Hal itulah yang juga berkenaan dengan sejarah Pasai yang disebutkan kerajaan Pasai ini berada di antara Sungai Jambo Air dan Krueng Pase.

Pada peta-peta Portugis sejumlah nama tempat diidentifikasi di (pulau) Sumatra yang diduga sebagai kerajaan. Secara khusus kerajaan-kerajaan di bagian utara Sumatra adalah Atjem (Aceh), Sumerlang (Samalanga di Bireuen),  Pasange (Pasai), Ambuara, Terra Daru, Daja, Soeson, Baruas (Barus) dan Bathang (Batang Natal). Nama Ambuara kemudian diketahui sebagai Djamboe Aer) dan Terra Daru adalah kerajaan Aru (kini Tapanuli Bagian Selatan). Dalam bahasa Portugis Terra adalah Tanah sedangkan Daru adalah singkatan dari de Aru, d’Aru dan Daru (Aroe berasal dari bahasa India, aroe=sungai; sungai B-aroe-moen). Dalam peta-peta pada era VOC (Belanda) nama-nama tersebut beberapa telah meredup dan yang lainnya masih eksis. Sementara beberapa nama tempat baru muncul dan mulai populer seperti Singkil, Labo (Meulaboh) dan Dilli (Deli).

Sudah barang tentu nama Pasai begitu penting di masa lampau. Hal itulah mengapa tetap perlu menulis sejarah Pasai dan memutakhirnya narasinya sehubungan dengan ditemukannya data baru. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe bahwa sejarah adalah narasi fakta dan data. Lantas bagaimana merekonstruksi narasi sejarahnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Permulaan itu imumnya dimulai dari keberadaan sungai. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Pasai: Sungai Ambuara

Jangan bayangkan dulu nama Lhokseumawe dan Lhoksukon. Dua nama tempat ini masih relatif baru. Jauh sebelumnya, pada zaman kuno, ada kerajaan yang eksis yang disebut kerajaan Pasai. Nama Pasai ini masih teridentifikasi pada peta-peta Portugis maupun buku-buku Eropa yang diterbitkan sejaman. Dalam peta Portugis tersebut tetangga (kerajaan) Pasai adalah (kerajaan) Ambuara. Tidak ada pernulis yang menyinggung kerajaan Ambuara ini.

Penulis-penulis sejarah pada era Hindia Belanda meyakini nama Ambuara adalah sungai Djamboe Aer (kini Jambo Aye atau Jamnu Air). Pada peta-peta era Hindia Belanda, sungai Djamboe Aer ini sebelum bermuara ke laut terpecah menjadi dua muara sungai yang satu disebut sungai Djaeboe Aer dan sungai Arakoendo. Boleh jadi di era Portugis sungai ini masih utuh dengan nama Djamboe Aer yang bermuara ke teluk di sekitar Lhoknibong yang sekarang. Oleh karena terjadi proses sedimentasi jangka panjang, teluk menjadi rawa yang menyebabkan sungai Djamboe Aer bercabang yang ke arah utara disebut sungai Djamboe Aer (sebagai induk) dan yang ke arah selatan disebut sungai Arakoendo. Oleh karena muara sungai bersumber dari sungai yang sama di arah hulu lalu muncul nama keduanya yang disebut Ambuara (Djamboe Aer dan Arakoendo). Sungai yang ke arah utara (sungai Djamboer Aer) ini kini sudah mati sehingga sungai Djamboe Aer didugunakan untuk ke hilir sebagai sungai Djamboe Aer (Nama Arakoendo tamat). Nama Lhokniboeng diduga merujuk pada nama teluk Niboeng (yang menjadi nama tempat Lhok Nibong). Lhok diduga kuat merujuk pada sebuat telok, teloek yang mereduksi menjadi Lhok. Nama tempat yang menggunakan nama Lhok ini adalah Lhoksoekon (suatu telok zaman kuno) dan Lhokseumawe (teluk di pulau).

Kerajaan Ambuara diduga berada di (kota) Lhoknibong yang sekarang. Lantas dimana letak kerajaan Pasai? Pada masa ini letak kerajaan Pasai ini hanya disebut berada antara sungai Krueng Jambo Aye (sungai Jambu Air) dan sungai Krueng Pase (sungai Pasai), Seperti halnya kerajaan Ambuara yang diduga terletak di Lhoknibong, lalu apakah letak kerajaan Pasai berada di (kota) Lhoksukon yang sekarang? Nama Lhoknibong dan Lhoksukon diduga adalah nama yang sudah eksis di zaman kuno, jauh sebelum terbentuknya nama tempat Lhokseumawe.

Sungai Ambuara adalah sungai terbesar kedua di bagian utara pulau Sumatra. Sungai Ambuara ini bermuara di Gayo (sekitar danau Laut Tawar). Sungai terbesar pertama adalah sungau Baroemoen yang bermuara di Angkola (sekitar danau Siais). Sebelum terbentuknya kota-kota pelabuhan di pantai yang kemudian bertransformasi menjadi kerajaan (seperti Ambuara dan Pasai), pusat peradaban pertama berada di wilayah pegunungan di sekitar danau (era Boedha-Hindoe). Sisa peradaban Boedha-Hindoe yang paling masif ditemukan di Angkola (Padang Lawas) sekitar danau berupa puluhan candi-candi kuno. Sebelum terbentuknya pusat perdagangan di Lhoknibong dan Lhoksukon, arus perdagangan dari pegunungan menuju ke pantai barat (jalur awal masuknya pedagang-pedagang India), Wilayah peradaban pertama di pegunungan ini berada di wilayah Tanah Gayo (yang berpusat di danau Laut Tawar). Orang Gayo dapat dikatakan adalah penduduk asli di ujung utara pulau Sumatra. Sementara di hulu sungai Baroemoen yang juga menjadi penduduk asli adalah Orang Batak (Angkola dan Mandailing). Pada-peta era VOC, dibagian utara pulau Sumatra hanya dua wilayah yang disebut Terra atau Tanah yakni Terra Ambuara (Orang Gayo-Alas) dan Terra Daru (Orang Angkola-Mandailing). Penyebutan Terra merujuk pada kerajaan di pedalaman (terra). Penduduk asli lainnya di pulau Sumatra adalah Toba (danau Toba), Agam (danau Maninjau), Solok (danau Maninjau), Kerinci (danau Kerinci), Komering-Lampong (danau Ranau). Semua penduduk asli ini dari selatan (Lampong) hingga ke utara (Gayo) memiliki aksara sendiri yang satu sama lain mirip (berbeda dengan di Jawa, Bali dan Lombok). Mereka penduduk asli ini yang turun gunung bertransaksi (dengan pedagang-pedagang dari lautan) di pelabuhan-pelabuhan pantai seperti di Lhoksukon dan Lhokniboeng (Gayo), Panai (Angkola-Mandailing), Siak dan Indragiri (Agam dan Solok),  Djambi (Kerinci),, Palembang (Komering), Martapoera-Manggala (Lampong).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan Dilli dan Kerajaan Aroe

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar