Laman

Sabtu, 26 Desember 2020

Sejarah Aceh (23): Sejarah Tangse di Pidie, Kota Pegunungan Tetangga Kota Takengon; The Hidden Geopark of Lost Civilizations

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini 

Siapa yang peduli sejarah Tangse di kabupaten Pidie. Kota kecamatan ini pada masa kini boleh jadi dianggap tidak ada apa-apa selain keindahan alam yang tersebunyi (The Hidden Geopark). Tidak seperti halnya Kota Tangsel, tetangga Kota Jakarta yang kini menjadi pusat peradaban baru, kota Tangse yang kini seakan terpencil, sejatinya di masa lampau, seperti tetangganya Kota Takengon adalah pusat peradaban lama (The Lost Civilizations). Bagaimana bisa? Itulah dua kota kuno di provinsi Atjeh: Takengon dan Tangse.

Pada awal pembentukan cabang pemerintahan Hindia Belanda, daerah aliran sungai Baroe (kini sungai Pidie) dibagi dua. Wilayah hilir disebut Moekim Pedir (ibu kota di kampong Segli) dan wilayah hulu disebut Moekim Pidie. Di wilayah Moeki Pidie terdapat dua kampong besar yakni kampong Tangse dan kampong Geumpang, yang mana yang dijadikan ibu kota adalah Tangse. Sebagian wilayah moekim Pidie inilah yang kini menjadi wilayah Kecamatan Tangse. Sementara nama Pidie kini dijadikan sebagai nama wilayah (kabupaten) Pidie. Ini berarti nama Pidie lebih terikat dengan Tangse daripada Sigli (sebelumnya dieja Segli). Pada masa kini kecamatan Tangse terdiri banyak gampong (desa), yakni: Alue Calong, Blang Bungong, Blang Dalam, Blang Dhot, Blang Jeurat, Blang Malo, Blang Pandak, Beungga, Keubon Nilam, Keudee Tangse, Krueng Meuriam, Krueng Seukeuek, Layan, Lhok Keutapang, Nubok Badeuk, Paya Guci, Peunalon I, Peunalon II, Pulo Baro, Pulo Kawa, Pulo Mesjid I, Pulo Mesjid II, Pulo Sejahtera, Pulo Seunong, Pulo Ie, Rantau Panyang, Tuha Blang Beungoh dan Ulee Gunong. Nama-namanya unik, bukan? Tapi ada hubungan satu sama lain dari zaman kuno hingga era Hindia Belanda.

Lantas bagaimana wilayah Tangse dapat dikatakan sebagai The Hidden Geopark? Silahkan berkunjung sendiri untuk merasakan eksotik dan sensasinya. Lalu bagaimana wilayah Tangse dapat dikatakan sebagai The Lost Civilizations? Nah, itu dia. Tampaknya harus dipelajari sejarahnya sejak zaman kuno. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Okelah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Tangse dan Nama Takengon

Tidak pernah diketahui ada nama tempat Tangse. Baru pada Peta 1860 nama Tangse diidentifikasi. Itu berarti pemetaan dilakukan jauh sebelum terjadi Pera Atjeh (1874). Hanya satu-satunya nama tempat (kapong) Tangse yang diidentifikasi di pedalaman (dari jalur masuk kota Sigli). Sebagai nama wilayah dalam peta tersebut diidentifikasi sebagai Oloe Pedir. Sebagaimana dilihat nanti Oeloe Pedir adalah Pidie.

Peta atau skestsa (kaart) adalah salah satu sumber data penting yang jarang digunakan oleh penulis sejarah. Umumnya sumber sejarah hanya fokus pada surat kabar, majalah atau buku sejaman. Namun yang jelas, peta juga dapat diandalkan karena peta umunya dibuat berdasarkan penambahan nama geografi baru pada peta-peta terdahulu atau deskripsi geografi. Peta 1860 dapat dikatakan peta pertama yang telah mengindetifikasi nama Tangse di Oeloe Pedir.

Tangse dan Pidie tampaknya satu paket dalam sejarah, ibarat koin dua sisi. Nama Tangse dan nama Pidie diduga kuat berasal dari India. Pedir diduga cara menyebut Pidie oleh (bangsa) yang lain. Di pantai barat Atjeh ada nama kuno lainnya Labo (kini Meulaboh). Nama tempat ini terhubung dengan Pidhi dan Tangse di pedalaman melalui daerah aliran sungai Teomon. Besar dugaan di masa lampau Labo adalah pelabuhan utama Takengon (di pedalaman). Namun dalam perkembangannya pelabuhan ke pantai barat bergeser ke pantai timur (Pedir) melalui sungai Baroe (sebelumnya disebut sungai Pidie dan Pedir). Antara Tangse dan Takengon terhubung di pedalaman. Kawasan pedalaman ini diduga pusat peradaban awal di provinsi Aceh yang berpusat di danau Laut Tawar (Takengon).

Pada era Boedha-Hindoe orang-orang India berdagang ke pantai barat Sumatra. Para pedagang-pedagang ini kemudian berinteraksi dengan penduduk asli di pedalaman (orang Gayo). Orang-orang India kemudian membuat koloni tidak hanya di pantai tetapi juga di pedalaman. Pada era awal inilah penduduk asli di pedalaman tercerahkan dengan religi (Boedha-Hindoe), ilmu dan pengetahuan termasuk aksara, seni dan pengolahan biji tambang seperti emas. Pola koloni ini adalah tipikal untuk pedagang-pedagang India di banyak tempat di nusantara seperti di pulau Sumatra dan pulau Jawa. Era sejaman inilah yang kini dikenal era Boedha-Hindoe. Koloni-koloni India di pantai-pantai kemudian menjadi ramai sehubungan dengan pedagang-pedagang baru muncul dari Persia dan orang-orang Moor beragama Islam dari Afrika Utara (kini Mauritania, Morocco dan Tunisia).

Lantas apa yang menjadi keutamaan nama tempat Pidie dan Tangse di pedalaman? Seperti disebut di atas kawasan pedalaman ini menghasilkan emas. Tentu saja tidak hanya itu. Ada gading (gajah), hasil-hasil hutan (kamper, damar dan mungkin kemenyan) dan berbagai jenis kulit seperti kulit harimau dan berbagai flora dan fauna lainnya.

Di Takengon terdapat danau yang masih eksis hingga ini hari. Danau tersebut awalnya disebut Danau Takengon (kini disebut danau Laut Tawar). Ada hal yang perlu ditinjau lebih lanjut tentang keberadaan Tangse ini di masa lampau dengan mengajukan pertanyaan apakah kota Tangse yang sekarang di masa lampau merupakan suatu danau besar? Seperti yang tampak dari video Teungku Syukri bahwa kota Tangse seakan suatu lembah yang dikelilingi perbukitan yang di tengah kota terdapat banyak sungai. Gambaran spasial ini juga bersesuain dengan peta satelit kota Tangse. Jika diperhatikan peta-peta pada era Hindia Belanda, kawasan lembah Tangse ini terdiri dari beberapa nama kampong selain nama kampong Tangse juga ada nama-nama kampong yang menggunakan nama Poelo, Teluk, Rawa, Koewala dan lainnya, Sebagai suatu lembah, masih berdasarkan peta lama dan peta satelit, Tangse adalah hulu dari dua sungai besar yang satu mengalir ke barat (sungai Teunom) dan yang lain ke timur sebagai sungai Pidie (kini sungai Baroe bermuara ke Sigli). Sebagai danau banyak anak sungai bermuara ke danau. Sedangkan luapan air danau (rawa) mengalir ke barat seperti yang disebut di atas. Apa yang menyebabkan lembah ini tergenang dan membentuk danau diduga karena proses vulkanik atau tektonik yang menyebabkan jalan air terhalang dan apa yang menyebabkan danau mengering diduga juga karena proses vulkanik atau tektonik yang menyebabkan arus sungai yang sekarang terbentuk (ke barat). Jika hal ini memang benar-benar terjadi di masa lampau, dapat diduga wilayah penduduk asli Gayo di Takengon (danau Takengon atau danau Laut Tawar) dan di Tangse (danau Tangse) terhubung sebagai dua pusat peradaban lama di pedalaman pada ketinggian yang hawanya sejuk. Dalam suatu penelitian flora dan fauna pada era Hindia Belanda ditemukan ada beberapa flora yang ditemukan di kawasan Gayo juga ditemukan di gunung Himalaya (India). Bukankah nama Pidie dan Tangse juga ditemukan di India?

Tunggu deskripsi lengkapnya

Tangse: The Hidden Geopark of Lost Civilizations

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar