Laman

Rabu, 30 Desember 2020

Sejarah Aceh (32): Sejarah Surat Kabar di Kota Radja, Sejarah Pers Aceh; Riwayat Dja Endar Moeda, Makam Pionir di Banda Aceh

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini

Haji Dja Endar Moeda adalah pionir pers di Atjeh. Dia tidak berharap meninggal di Atjeh, tetapi Atjeh memanggilnya. Haji Dja Endar Moeda meninggal dengan tenang di Kota Radja pada tahun 1926. Lantas dimana makamnya? Yang jelas Haji Dja Endar Moeda mendirikan surat kabar pertama di Kota Radja pada tahun 1906. Surat kabar itu diberinama Pembrita Atjeh. Surat kabar ini adalah surat kabar pertama di Aceh.

Pada bulan Juni 2015 saya pernah menulis riwayat Dja Endar Moeda dengan judul: Bapak Pers Indonesia: ‘Dja Endar Moeda, Kakek Pers Nasional dan Parada Harahap, Cucu Pers Nasional’. Empat tahun yang lalu saya bertemu dengan cicit Dja Endar Moeda dari Lampung di Jakarta. Saya telah mengkonfirmasi bahwa Dja Endar Moeda meninggal di Kota Radja (kini Banda Aceh). Menurut sang cucu, kuburan kakek beliau telah tersapu (hilang) karena tsunami pada tahun 2004. Jejak (posisi) GPSnya tidak terdeteksi lagi. Untuk sekadar diketahui putri Dja Endar Moeda bernama Alimatoe’saadiah adalah perempuan pribumi pertama yang mengikuti pendidikan Eropa (ELS), jauh sebelum RA Kartini. Cucu Dja Endar Moeda (putri Alimatoe’saadiah) bernama Ida Loemongga adalah perempuan pribumi pertama berpendidikan tinggi yang meraih gelar doktor (Ph.D). Ida Loemongga meraih Ph.D di bidang kedokteran di Universiteit te Utrecht pada tahun 1930. Cucunya yang kedua adalah Mr Gele Harun Nasution (Residen pertama Lampung di er RI).

Haji Dja Endar Moeda sang pionir adalah satu hal. Hal lain yang juga penting adalah bagaimana perjalanan sejarah pers di Aceh? Apakah sudah ada yang menuli? Tentulah sudah ada. Namun sejauh data dan fakta baru ditemukan, penulisan narasi sejarah per Aceh tidak pernah berhenti. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, sejarah adalah narasi fakta dan data. Lantas darimana dimulai sejarah pers Aceh? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Dja Endar Moeda dan Pers Atjeh

Pada tahun 1900 Teuku Baid yang sudah lama diasingkan di Banda, meminta agar dipindahkan dan ditahan di penjara Kota Radja. Permintaan itu meski ditolak JB van Heutsz, namun dikabulkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia karena alasannya Teuku Baid yang sudah mulai menua ingin meninggal di kampong halamannya di Atjeh (lihat Soerabaijasch handelsblad, 26-11-1900).  Dalam berita ini juga disebutkan, sesampai di Kota Radja, dari balik jeruji besi, Teuku Baid meminta bertemu Gubernur Atjeh, JB van Heutsz, namun permintaan itu ditolak. Entah apa yang menyebabkan alasan JB van Heutsz menolak dua kali permintaan pejuang Aceh terkenal Teuku Baid.

Pada tahun yang sama 1900, seorang pensiunan guru di Padang, Dja Endar Moeda membeli surat kabar Pertja Barat dan sekaligus percetakanya dari keluarga Jerman. Segera pada tahun itu juga Dja Endar Moeda menerbitkan satu lagi surat kabar berbahasa Melayu yang diberi nama Tapian Na Olie dan satu majalah dwimingguan Insulinde yang berisi konten-konten pembangunan (pertanian dan industri). Tidak sampai disitu, Dja Endar Moeda mengumpulkan tokoh-tokoh pribumi di seluruh kota Padang untuk membentuk organisasi (kebangsaan) yang diberinama Medan Perdamaian. Itulah cara Haji Dja Endar Moeda berjuang untuk bangsanya.

Sampai sejauh ini pemberitaan tentang situasi dan kondisi di Atjeh bersumber dari surat kabar berbahasa Belanda yang dimiliki oleh investor Eropa (Belanda) yang terbit di Medan, Padang, Batavia dan Soerabaja. Surat kabar berbahasa Melayu di Atjeh mulai muncul pada tahun 1906 yang diberi nama Pembrita Atjeh. Pada tahun 1907 oplah surat kabar Pemberita Atjeh sudah sampai di Batavia (lihat De locomotief, 27-07-1907). Surat kabar ini dirintis oleh Dja Endar Moeda yang juga merangkap sebagai redaktur.

Dja Endar Moeda setelah memiliki tiga media (Pertja Barat, Tapian Na Oeli dan Insulinde,), kembali menerbitkan surat kabar baru, tidak berbahasa Melayu tetapi berbahasa Belanda. Boleh jadi Dja Endar Moeda ingin beritanya diketahui oleh orang-orang Eropa (yang tidak terlalu lancar bahasa Melayu). Surat kabar itu diberinama Sumatra Nieuwtblad (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-07-1905). Inilah surat kabar berbahasa Belanda yang diterbitkan oleh pribumi. Dja Endar Moeda dihubungkan dengan delik pers karena memberitakan perilaku buruk seorang pejabat pemerintah di Kajoe Tanam. Dja Endar Moeda dijatuhi hukuman di pengadilan pada tanggal 24 Juli 1905 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 30-11-1905). Disebutkan ‘kasus delik pers di Pengadilan Padang dimana dua orang redaktur dijatuhkan hukuman pada 24 Juli tahun ini. Si Saleh gelar Dja Endar Moeda, alias Hadji Mohd. Saleh, editor koran berbahasa Melayu ‘Pertja Barat’ dan ‘Sumatraasch Nieuwsblad’ (berbangsa Belanda) mendapat hukuman cambuk dan mengakibatkan cedera. Sementara, K. Baumer, editor dan penerbit Sumatraasch Bode (berbangsa Belanda) hanya didenda f15’. Akibat kasus ini Dja Endar Moeda untuk sementara mendelegasikan surat kabar Pertja Barat kepada adiknya, mantan guru Dja Endar Bongsoe dan surat kabar berbahasa Belanda Sumatraasch Nieuwsblad kepada C. Deutekom. Dja Endar Moeda berangkat ke Kota Radja untuk membuka cabang baru dengan menerbitkan surat kabar berbahasa Meleyu Pembrita Atjeh.

Pemberita Atjeh adalah satu-satunya surat kabar di Atjeh yang terbit di Kota Radja. Dja Endar Moeda tampaknya harus bolak-balik Padang-Kota Radja untuk memimpin semua medianya. Dja Endar Moeda sudah memperluas usaha hingga ke Medan. Pada tahun 1907 Dja Endar Moeda dan Hadji Ibrahim di Medan membentuk Sarikat Tapanoeli untuk mengimbangi dominasi perdagang orang-orang Cina. Masih pada tahun 1907 surat kabarnya Sumatraasch Nieuwsblad terkena lagi delik pers di Padang.

 

Bataviaasch nieuwsblad, 25-03-1907: ‘Persdtlict. Tanggal 19 di depan dewan keadilan di Padang C. Deutekom, mantan editor Sumatiaasch Nieuwsblad, karena pers pelanggaran - pencemaran nama baik. Pada bulan September tahun lalu Mr. v. D. mendapat laporan dari koresponden Koran berbahasa Melayu, Perja Barat. (Dja Endar Moeda dihadirkan sebagai saksi). Saksi mengatakan dalam hal ini tidak sepenuhnya terlibat. Saksi Dja Endar Moeda, direktur Sum. Surat kabar dan editor Pcrtja liarat dinyatakan tidak tahu apakah Mr. v. D., dalam proses penyusunan laporan tersebut. Mr. v. D secara sah dan meyakinkan terbukti dan mengundang kecaman dan didenda f100 subsider dan 15 hari penjara dan biaya proses’

Dja Endar Moeda yang sudah kenyang dengan urusan pengadilan di Padang, Dja Endar Moeda di Kota Radja kerap turun tangan membantu penduduk Atjeh di pengadilan. Dja Endar Moeda tanpa pamrih. Dja Endar Moeda sudah berkecukupan. Dja Endar Moeda hanya berusaha untuk mendapatkan keadilan, baik terhadap dirinya maupun pihak yang lain yang berperkara.

De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-08-1909: ‘Dja Endar Moeda, editor koran ‘Pembrita Atjeh’ membantu seorang terdakwa secara hukum dan bebas. Atas memberikan keterangan (saksi ahli) yang mewakili terdakwa dan sikap adil, Dja Endar Moeda ditawari pemerintah f5000, melalui pengacara, tetapi Dja Endar Moeda menolaknya’. Dja Endar Moeda kembali di pengadilan Kota Radja turut membantu seorang penduduk yang dituduh mencuri koper orang Eropa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-10-1909).

Sambil terus menjaga marwah surat kabar Pemberita Atjeh di Kota Radja, pada akhir tahun 1909 Dja Endar Moeda kembali menerbitkan surat kabar baru di Medan. Di Medan terdapat surat kabar berbahasa Belanda Deli Courant dan Sumatra Post. Satu surat kabar berbahasa Melayu di Medan adalah Pertja Timor (di bawah penerbit Sumatra Post). Surat kabar yang diterbitkan Dja Endar Moeda di Medan diberinama Pewarta Deli yang diterbitkan oleh NV Sjarikat Tapanoeli.

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 16-03-1910: ‘Untuk kota Padang terdapat lima surat kabar berbahasa Melayu. Jumlah ini sudah melampaui batas ekses  diizinkan, sehingga mengejutkan bahwa hingga akhir-akhir ini masih belum diperhatikan. Sutan Raja nan Gadang menjadi editor "Warta Hindia" dengan moto "Adil Raja di Sembah-dzalim raja di sanggah", yang menjadi selalu berbicara tentang korupsi polisi, pejabat pemerintah tentang buruknya memerintah. Koran Pertja Barat dengan semboyan "Segala bangsa" dengan editor Dja Endar Bongsoe’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Meluruskan Sejarah Pers Aceh Bagian Sejarah Pers Indonesia

Surat kabar Pembrita Atjeh masih eksis hingga tahun 1912 (lihat Deli courant, 30-12-1912). Seorang peneliti Ahmat B. Adam menyatakan bahwa surat kabar Pembrita Atjeh hanya berjaya satu tahun karena munculnya pesaing Sinar Atjeh. Pernyataan ini dikutip berbagau pihak hingga masa ini. Entah darimana sang peneliti mendapatkan keterangan. Kenyataannya Pembrita Atjeh masih bertahan hingga tahun 1912. Nama surat kabar Sinar Atjeh kenyataannya tidak ditemukan pada berita-berita sejaman. Sang peneliti tampaknya tidak teliti.

Surat kabar berbahasa Melayu di Atjeh hanya satu-satunya Pembrita Atjeh. Sebelum muncul surat kabar berbahasa Melayu di Kota Radja tahun 1906, sudah ada tiga surat kabar berbahasa Belanda yakni Atjeh Courant, Echo dan Nieuwsblad voor het Gouvernement Atjeh en ondeihoorigheden. Surat kabar yang disebut terakhir ini terbit pertama pada tahun 1900. Atjeh Courant lebih dahulu dan Echo sesudah terbit Nieuwsblad. Pada tahun 1913 Nieuwsblad merayakan ulang tahunnya yang ke-12 (lihat Deli courant, 30-12-1912).

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar