Laman

Rabu, 09 Desember 2020

Sejarah Singapura (23): Orang Melayu Berbahasa Melayu di Tanah Melayu; Sistem Pendidikan Malaysia, Singapura dan Brunei

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Singapura dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Melayu bermula di Semenanjung Malaya. Itu ketika orang-orang pendatang dari India mendirikan kota Malaya yang kemudian kota tersebut disebut oleh pendatang yang baru dengan Malaka. Nama Malaka menjadi nama kota, nama Malaya menjadi nama wilayah (semenanjung). Penduduk asli kemudian disebut orang Melayu yang menggunakan bahasa Melayu. Pendatang Inggris yang datang belakangan menyebut Malaya menjadi Malay.

Pada tahun 1963 Inggris menyatukan seluruh kawasan yang tempo doeloe menjadi wilayah yurisdiksinya ke dalam satu federasi (negara) yang disebut Malaysia (merujuk pada nama Malay dan Malaya). Tidak seperti Sarawak dan Sabah di pantai utara Borneo, Brunei mencari jalan sendiri dengan membentuk negara (kerajaan) sendiri. Nama Brunei di era Portugis menjadi nama pulau Borneo (merujuk pada nama Boernai atau Broenai). Dalam perkembangannya Singapoera memisahkan diri dari federasi (Malaysia) dengan membentuk negara (republik). Sementara itu, pada tahun 1945 diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk (negara kesatuan) Republik Indonesia. Namun Inggris dan Belanda (NICA) melakukan intervensi sehingga menimbulkan perang kemerdekaan Indonesia yang kemudian dilanjutkan ke meja perundingan (1945-1949). Pada tanggal 17 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam wujud negara federasi yang disebut Republik Indonesia Serikat. Akan tetapi siste itu tidak jalan dan adanya tuntutan untuk kembali ke bentuk awal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan dan pada tanggal 18 Agustus 1950 diproklamasikan NKRI.

Lantas bagaimana dengan Negara (Federasi) Malaysia? Yang jelas Singapoera memisahkan diri dan 9 Agustus 1965 menjadi negara sendiri berbentuk Republik. Jika di NKRI semua wilayah disatukan (dala satu kesatuan) dan semua suku (bangsa) dipersatukan (persatuan), tetapi di Malaysia masih ada yang tersisa yang tidak disatukan maupun dipersatukan yakni soal yang fundamental—(sistem) pendidikan. Lalu apa dampanya di masa yang akan datang. Itu satu soal. Hal yang lebih penting dalam hal ini mengapa sistem pendidikan Melayu di negara Melayu di tanah Malayu tidak sepenuhnya Melayu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah internasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Melayu, Bahasa Melayu di Tanah Melayu

Lain ladang lain pula belalangnya. Lain orang lain pula perangainya. Atas dasar perpatah lama ini dan untuk menuju keberagaman dalam satu negara, di Indonesia tempo doeloe dimaklumkan satu semboyan umum dalam satu kongres pemuda pada tahun 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, Indonesia. Lalu pada tahun 1945 diperkaya semboyan ini dengan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) dan Pancasila (lima dasar dalam bernegara). Lantas bagaimana dengan di Tanah Melayu? Tentu saja tidak harus sama, hanya dapat diperbandingkan saja.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sistem Pendidikan di Malaysia: Singapura, Brunei dan Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar