Laman

Minggu, 10 Januari 2021

Sejarah Banten (10): Sejarah Cilegon, Sejak Era Hindu hingga Kijai Hadji Wasid; Kota Cilegon Kini Jadi Kota Industri di Banten

 

*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini

Kota Cilegon adalah kota yang tumbuh baru sebagai kota industri. Pada era Hindia Belanda nama Tjilegon tidak setenar kota Serang dan kota Tangerang. Nama Tjilegon juga tidak setenar kota Banten (dimana terdapat kraton Sultan Banten). Ibarat rumah, Banten adalah pintu depan dan Tjiligon hanya sekadar pintu samping (pintu belakang adalah Serang). Namun zaman telah berubah, nama Tjilegon pelan tapi pasti kini menjadi kota terdepan (jauh membelakangi kota Banten). Nama Tjilegon mulai menarik perhatian ketika KH Wasid pada tahun 1888 menarik garis dengan Pemerintah Hindia Belanda (lima tahun setelah meletus gunung Krakatau).

Seperti halnya kota Serang, kota Tjilegon sedikit lebih beruntung ketika terjadi letusan gunung Krakatau pada tahun 1883. Namun ada perbedaan antara kota Tjilegon dengan kota Serang dimana kota Tjilegon semuanya tertutup tebal debu vulkanik. Nama Anjer dan nama Banten saat itu masih lebih terkenal dibanding nama Tjilegon dan Serang, Namun tsunami yang terjadi selepas meletus gunung Krakatai kota Anjer dan kota Banten tersapu habis. Dalam upaya pembangunan kota kembali, Pemerintah Hindia Belanda lebih memperhatikan Tjilegon dan Serang karena masih trauma dengan tsunami. Saat itu sudah terbentuk jalur trans-Java ruas Batavia Anjer melalui Serang dan Tjilegon,

Lantas bagaimana Sejarah Cilegon? Tidak ada kaitannya dengan nama Cirebon. Sejarah Tjilegon terkait dengan sejarah Anjer. Kedua nama ini sudah eksis sejak zaman kuno, era Hindoe. Lalu apa hubungannya kota Tjilegon dengan KH Wasid? Apakah ada kaitannya dengan pemberontakan 1869? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Cilegon Sejak Era Hindoe: Kerajaan Banten

Hasil test-DNA ethnicity di zaman now (modern), sesungguhnya gambaran penyebaran manusia (migrasi) di masa lampau. Salah satu wujud dari penyebaran itu dapat dilihat pada terbentuknya nama-nama geografis. Salah satu asal yang utama dari nama-nama tersebut di Indonesia berasal dari India. Namun demikian, darimana saja penduduk yang menempati wilayah geografis tersebut adalah hal lain. Yang jelas, jika nama tempat merujuk pada nama India, tentu saja ada unsur asal-usul dari India. Namun seberapa besar kontribusinya hal lain lagi. Hal ini karena orang yang bertempat tinggal di tempat tersebut dapat datang dari berbagai arah.asal di tempat tersebut.

Nama Banten diduga kuat merujuk pada nama India yakni Banta. Orang-orang Portugis mencatatnya Bantam. Pada era Pemerintah Hindia Belanda nama Banten lebih populer daripada Bantam. Dengan kata lain ada pergeseran ejaan penyebutan nama, tetapi nama aslinya masih dapat diidentifikasi. Hal yang sama juga dengan nama Zunda yang merujuk pada nama di India. Pada era Belanda eajaan Zunda bergeser menjadi Sunda atau Soenda.

Lantas bagaimana asal-usul nama Cilegon atau Tjilegon? Peda peta Portugis (Peta 1614) Banten ditulis sebagai Banta atau Bantan yang pada era Belanda menjadi Bantam. Dalam peta ini meski posisi Anyer dan Cilegon diidentifikasi terbalik, tetapi nama Anier mengindikasikan nama Anyer atau Anjer dan nama Chregui mengndikasikan nama Cilegon atau Tjilegon. Tentu saja awalan ci atau tji mengindikasikan nama lokal yang diartikan sebagai sungai (cai atau tjai menjadi ci atau tji). Namun yang ditulis untuk nama Cilegon adalah Cheregui. Sedangkan nama Cirebon ditulis sebagai Charaboan.

Dari nama-nama tempat yang diidentifikasi pada Peta 1614 di seluruh Jawa yang mirip dengan penulisan ci yang sekarang hanya ditemukan untuk nama tempat Cidayo (pada masa kini adalah Sedayu). Perbedaan lafal antara Cidayo dan Sedayu dapat dimaklumi karena ada perbedaan apa yang diucapkan, didengar dan ditulis (dalam aksara Latin). Namun menjadi pertanyaan penulisan antara Cilegon dengan Cheregui dan Cirebon dengan Charaboan. Namun ada kemiripinan antara Chere-gui dan Chara-boan yakni penulisan (pengejaan) suku kata awal Chere dan Chara. Kedua penulisan ini dapat dianggap dari sumber yang sama Chere atau Chara.

Penamaan ci atau tji untuk semua sungai di wilayah Soenda (Jawa bagiabn barat) adalah satu hal. Lalu mengapa chara atau chere telah bergeser menjadi Cire(bon) dan Cile(gon)? Sementara itu air dalam bahasa Soenda cai atau tjai apakah menjadi asal-usul awalan ci (reduksi dari cai) pada nama sungai? Boleh jadi cai (tjai) dan ci (tji) adalah hal yang lain lagi. Sedangkan Chere-gui dan Chara-boan adalah nama suatu tempat, suatu yang dapat berbeda dengan ci yang kalaupun disebut sebagai reduksi dari cai.

Dalam konteks nama tempat (Chere-gui dan Chara-boan), dapat kita asosiasikan dengan nama-nama tempat di India. Faktanya nama-nama tempat yang berasal chere dan chara ditemukan di India. Jika kita percaya banyak nama-nama tepat di Sumatra dan Jawa merujuk pada nama-nama di India (termasuk Chere-gui dan Chara-boan), maka chere (pada nama Cirebon) dan chara (pada nama Cilegon) bukanlah reduksi cai menjadi ci, Chere-gui dan Chara-boan bukanlah nama sungai, tetapi nama tempat.

Dalam bahasa Hindi maupun Tamil, chere atau chara diartikan sebagai terhormat. Jika kita tambahkan di sini nama-nama tempat yang berakhiran pura (seperti Sukapoera, Martapoera), dalam bahasa India lama diartikan sebagai tempat suci. Lalu muncul pertanyaan apakah penggunaan chara atau chere seperti penggunaan poera dalam penamaan tempat?

Tunggu deskripsi lengkapnya

KH Wasid: Kota Cilegon Menjadi Kota Industri

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar