Laman

Minggu, 28 Februari 2021

Sejarah Ternate (24): Sejarah Lapangan Terbang Morotai (Bandara Pitu); Simbol Berakhirnya Kolonial di Ternate, Maluku

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Ternate dalam blog ini Klik Disini

Lapangan terbang tertua di Maluku Utara bukanlah Bandara Sultan Babullah  di (pulau) Ternate, tetapi lapangan Terbang Pitu di (pulau) Morotai. Lapangan terbang Morotai tidak pula setua lapangan terbang yang berada di wilayah (kota) lain. Lapangan terbang Morotai dibangun pada saat terjadinya Perang Pasifik (1942). Lapangan terbang ini tidak terkait kolonial Belanda, tetapi lapangan terbang ini menjadi rebutan antara militer Jepang dan militer Sekutu-Amerika Serikat karena posisi strategisnya. Lapangan terbang Morotai ini kini dikenal bandar udara (bandara) Pitu.

Pada masa ini di (provinsi) Maluku Utara cikup banyak lapangan terbang. Selain lapangan terbang Pitu di pulau Morotai, lapangan terbang terbesar berada di (pulau) Ternate, Bandar Udara Sultan Babullah. Lapangan terbang lainnya adalah Bandar Udara Buli (kabupaten Halmahera Timur); Bandar Udara Emalamo di Sanana (kabupaten Kepulauan Sula); Bandar Udara Gamarmalamo di Galela dan Bandar Udara Kobok di Kao (kabupaten Halmahera Utara); Bandar Udara Kuabang juga di Kao; Bandar Udara Oesman Sadik di Hidayat (kabupaten Halmahera Selatan). Satu lapangan terbang lagi yang tengah dibangun adalah Bandar Udara Internasional Sultan Nuku di Kota Sofifi (ibu kota provinsi Maluku Utara di pulau Halmahera).

Lantas bagaimana sejarah lapangan terbang Morotai? Seperti disebut di atas lapangan terbang ini yang pertama di provinsi Maluku Utara, tetapi yang lebih penting dari itu lapangan terbang Morotai yang dibangun tahun 1942 dapat dikatakan sebagai simbol berakhirnya kolonial di Ternate, Maluku. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Awal Mula Lapangan Terbang Morotai

Jepang tidak memiliki akses yang leluasa untuk menghubungkan jalur penerbangan ke Hindia Belanda (baca: Indonesia). Hal itu karena sudah diketahui ada indikasi bahwa Jepang akan melakukan invasi ke Asia Tenggara (termasuk Hindia Belanda). Dalam situasi dan kondisi tersebut, Jepang menjalin kerjasama dengan Timor Portugis (Dili) untuk diizinkan membuka jalur penerbangan antara Palau dan Dili (lihat De Indische courant, 17-01-1941). Kerjasama tersebut terealisasi beberapa minggu kemudian setelah dua pesawat Jepang yang membawa 20 penumpang dari Palau tiba di Dili.

Maksud Jepang itu juga diketahui oleh Australia yang juga mulai merintis jalur penerbangan dari Sydney ke Koepang dan ke Dili. Bahkan Australia akan membuka jalur penerbangan langsung dari Sydney ke Dili. Terjadi semacam game theory antara Jepang dan Australia yang tiba-tiba sama-sama tertarik membukan jalur penerbangan ke Dili. Pemerintah Hindia Belanda tentu saja was-was, namun tidak bisa berbuat karena Dili adalah Timor Portugis. Yang jelas pembukaan jalur penerbangan dari Jepang ke Dili via Palau adalah prakondisi sebelum perang dilancarkan ke Asia Tenggara. Tentu saja dengan pembukaan jalur penerbangan ke Dili ini, atase militer Jepang atau mata-mata akan bergerak bebas dari Jepang ke Dili (atau sebaliknya).

Setahun setelah pembukaan jalur penerbangan antara Jepang dan Dili via Palau, seperti yang diduga semua pihak benar-benar terjadi serangan militer Jepang ke Hindia Belanda pada bulan Januari 1942 (lihat De Indische courant, 05-01-1942). Disebutkan bom pesawat terbang Jepang telah dijatuhkan di Kepulauan Terempa (Natuna), Pontianak, Sorong, Ternate, dan Anambas adalah bukti nyata bagi kita bahwa musuh telah menyasar penduduk sipil. Beberapa hari keudian pada tanggal 11 Januari Jepang telah menyerang kilang minyak Tarakan dan pasukan Belanda di Kakas (Minahasa). Sebelu itu diketahui Australia telah menduduki Timor Timur (lihat Onze toekomst, 14-01-1942).

Pendudukan Australia atas Timor Timur dilakukan pada tanggal 17 Desember secara diam-diam (sambil mengirim delegasi runding kepada Gubernur dengan alasan pencegahan invasi Jepang ke Indonesia, karena menurut intelijen Timor Timur dicantumkan dalam rencana strategis Tokyo). Gubernur Timor Timur memprotes, karena dia mengatakan belum menerima instruksi apapun dari Lisbon, tetapi tidak ada perlawanan terhadap pendaratan Australia di Dilli. Jelas dalam hal ini, sebelum Jepang melakukan invasi ke Indonesia, Australia sudah lebih dulu melakukan invasi ke Timor Timur. Dalam tulisan-tulisan masa kini, invasi Australia ini kurang terinformasikan (seakan sengaja dianggap remeh).

Australia yang sok jagoan dan secara tak sadar sejatinya telah melakukan invasi ke Timor Timur, Jepang tidak diam. Lalu pada tanggal 20 Februari 1942 terjadi pertempuran di Selat Lombok dengan angkatan udara Hindia Belanda dan di Timor dengan Australia. Kapal laut Australia yang berada di sekitar Timor hancur lebur oleh pesawar-pesawat pembom Jepang. Pasukan dan militer Jepang tidak kembali ke Singapoera tetapi mendarat di Timor (Koepang dan Dili). Singapoera sendiri telah diduduki sejak tanggal 15 Februari.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Lapangan Terbang Morotai: Berakhirnya Kolonial di Ternate, Maluku

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar