Laman

Sabtu, 20 Maret 2021

Sejarah Papua (33): Area Perbatasan Papua Nugini, MUARA-tami hingga MERA-uke; Keerom, Pegunungan Bintang, Boven Digul

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Papua dalam blog ini Klik Disini 

Nama (pulau) Papua sudah dikenal sejak era Portugis yang ditandai pada peta sebagai Papoea atau Nova Guinea. Dua nama tersebut tetap eksis, tetapi nama Nova Guinea lebih kerap digunakan dalam peta-peta buatan Eropa. Pada era VOC (Belanda) nama Nova Guinea diterjemahkan pelaut-pelaut Belanda sebagai Nieuw Guinea. Pada permulaan era Pemerintah Hindia Belanda terjadi perjanjian antara Inggris dengan Belanda tahun 1823 (Traktat London 1824). Pemerintah Hindia Belanda memproklamasikan batas yurisdiksinya (bagian barat pulau Papua) pada tahun 1828.

Batas tersebutlah yang kemudian ditarik dari utara ke selatan dengan garis lurus (kecuali di ruas sungai Bensbach) dengan menggunakan alat untuk membedakan batas pulau bagian Pemerintah Hindia Belanda sebagai wilayah West-Zuidkust Niew Guenea dan Noord-Oosterkust Niew Guinea. Batas tersebut yang tetap eksis hingga kini sebagai batas Provinsi Papua (Indonesia) dan (negara) Papua Nugini. Pada tahun 1845 wilayah Papua bagian barat dimasukkan ke dalam wilayah Residentie Ternate. Pada tahun 1854 pemasangan patok untuk perbatasan dilakukan. Lalu pada tahun 1858 Pemerintah Hindia Belanda membentuk suatu komisi yang bertugas untuk mengidentifikasi dan memetakan (pulau) Papua bagian barat yang laporannya dipublikasikan pada tahun 1862. Pemetaan ini dimaksudkan untuk persiapan pembentukan cabang pemerintah Hindia Belanda. Namun itu tidak segera terlaksana, dan baru benar-benar terwujud cabang pemerintahan dibentuk pada tahun 1898 di afdeeling West-Zuidkust Niew Guenea dengan ibu kota di Fakfak dan afdeeling Noord-Oosterkust Niew Guinea. Ibu kota di Manokwari.

Lantas bagaimana sejarah wilayah Indonesia di perbatasan Papua Nugin? Seperti disebut di atas, perbatasan ini sudah ditarik garis lurus sejak era Pementah Hindia Belanda. Pada masa ini batas garis lurus ini antara distrik Muara Tami, Kota Jayapura hingga Distrik Sota-Distrik Naukenjerai di Kabupaten Merauke. Di wilayah pedalaman Papua, garis batas ini melalui kabupaten Keerom, kabupaten Pegunungan Bintang dan kabupaten Boven Digul. Lalu bagaimana sejarah wilayah Indonesia di perbatasan Papua Nugin? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Wilayah Perbatasan Papua Nugini: Dari Muara Tami hingga Merauke

Batas Papua dengan Papua Nugini berada pada garis lurus dari pantai utara di distrik Muara Tami (Kota Jayapura). hingga pantai selatan di distrik Naukenjerai (kabupaten Merauke). Diantara dua distrik ini (kabupaten Merauke dan kabupaten/Kota Jayapura) terdapat kabupaten Keerom, kabupaten Pegunungan Bintang dan kabupaten Boven Digul.

Kabupaten-kabupaten di perbatasan ini merupakan pemekaran dari tiga kabupaten induk: Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Merauku, Kabupaten Keerom adalah pemekaran dari Kabupaten Jayapura tahun 2002 dengan ibu kota di Waris. Kabupaten Keerom terdiri dari lima distrik yang berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini, yakni Web, Towe, Yaffi, Waris, dan Arso Timur. Kabupaten Pegunungan Bintang adalah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya pada tahun 2002 dengan ibu kota di Oksibil. Kabupaten Boven Digoel adalah pemekaran dari kabupaten Merauke pada tahun 2002 dengan ibu kota di Tanah Merah.

Perbatasan di wilayah pantai utara di Jayapura (dengan nama Hollandia) dan pantai selatan di Merauke sudah sejak lama dikenal. Jauh sebelum perbatasan dibuat (1824) di wilayah pantai selatan sudah dikenal sejak era Portugis. Kawasan Teluk Torres (antara Papua dan Australia) merupakan kawasan perdagangan orang-orang Moor yang berbasis di Maluku (Halmahera). Pada era VOC, pedagang-pedagang Belanda beberapa kali melakukan ekspedisi ke kawasan ini (dalam rangka eksplorasi wilayah di benua baru yang disebut Nieuw Hollandia dan pulau Tasmania.

Pada era Pemerintah Hindia Blanda muncul suatu kejadian luar biasa dimana penduduk asli di barat perbatasan menyerang warga yang berada di wilayah timur perbatasan. Pemerintah Australia (Inggris) melakukan protes untuk diselidiki dan para pelaku diekstradisi ke Australia (di Pulau Thursday). Pemerintah Hindia Belanda segera merespon dengan mengirim suatu ekspedisi tahun 1900. Salah satu hasil ekspedisi ini adalah merekomendasikan agar di Merauke ditempatkan pejabat pemerintah dengan memekarkan Afdeeling West en Zuidkust Nieuw Guiena. Lalu pada tahun 1905 ibu kota wilayah di pantai selatan didirikan di Merauke. Sejak itulah wilayah perbatasan di pantai selatan di distrik Naukenjerai menjadi terkendali.

Wilayah perbatasan di pantai utara mulai dipersiapkan cabang pemerintahan di Afdeeeling Noors en Oostkust Nieuw Guinnea (ibu kota di Manokwari) seperti halnya sebelumnya pemekaran di Merauke, Cabang pemerintahan yang dipilih di Afdeeeling Noord en oostkust Nieuw Guinea dipilih di teluk Humboldt. Tempat yang dipilih adalah lokasi pabrik Belanda di Hollandia (kelak dikenal sebagai Jayapura). Untuk tujuan ini diawali dengan suatu pengukuran perbatasan antara Duitsche Nieuw Guinea (Jerman) dengan Afdeeling Noord en Oostkust Nieuw Guinea (Nederlandsche) yang akan disahkan (lihat Algemeen Handelsblad, 13-12-1910). Bagian timur perbatasan ini sejak 1884 di bawah yurisdiksi Jerman.

Dalam proses pengukuran perbatasan ini di pedalaman yang dimulai dari Muara Sungai Tami sudah dibentuk tim ekspedisi masing-masing di pihak Pemerintah Hindia Belanda dan di pihak Jerman (German Nieuw Guinea). Dua tim ekspedisi beda bangsa ini saling bekerjasama. Ketua tim ekspedisi Pemerintah Hindia Belanda dipimpin oleh Kaptein Sachse (yang berdinas di Humboldt Baay) pada bulan April dan Mei 1910 sebelum kehadiran tim Jerman. Pada bulan Juni Kaptein Sache dibantu oleh Luitenant laut Luymes dan Luitenant Dalhuisen serta petugas kesehatan Gjellerup. Tim dari pihak Hindia Belanda ini turut ahli fauna Dr. van Kampen. Tim ini juga disertai seorang juru foto Eropa, satu orang scouut pribumi, satu sersan Belanda dan seorang kopral pribumi dan tujuh orang pribumi yang membatu, dua orang mantri pribumi bertugas untuk koleksi botani dan zoologi, juru bahasa seorang Ternate, seorang pemandu dan dua kuli Papua. 64 pekerja paksa yang mana di antaranya 25 orang sebagai pembawa bagasi dan 39 orang pembawa perlengkapan. Sementara itu dari pihak Jerman diketuai oleh Prof. Schultze, Tim Jerman ini bekerja terpisah dan mengikuti rute yang dilalui oleh Luymes dan Sasche. Ekspedisi ini berhenti pada tanggal 12 Juli karena faktor kesulitan di suatu titik yang disebut Terminus, sejauh ini hasilnya  96 Km sungaui dan jarak dari Muara Tami sudah menempuh jarak 220 Km. Lalu tim kembali dan pada tanggal 17 tiba kembali di pos Bergend. Pada tanggal 31 Juli tiba di pantai teluk Hunboldt di Hollandia. Prof Shultze dari Muara Tami berlayar ke timur. Perjalanan bolak balik ke pedalaman dari dan ke teluk Huboldt dari tanggal 12 Juni hingga 31 Juli telah menempuh 410 Km.

Dalam laporan yang dimuat pada Algemeen Handelsblad, 13-12-1910 ekspedisi lain juga dilakukan dengan menggunakan kapal perang HM Edi pada tanggal 6 Agustus melalui sungai Kaiserin Agusta (kini sungai Sepik). Namun karena masalah navigasi hanya berlayar hingga tanggal 12 Agustus. Pada tanggal 22 Agustus diadakan pertemua antara Hindia Belanda dan Jerman di sekitar kawasan (kapal HM Edi) untuk menyatukan laporan dari dua ekspedisi tersebut.

Ekspedisi ke pedalaman dari pantai utara ini menjadi informasi yang penting untuk Pemerinatah Hindia Belanda dan Menteri Koloni di Belanda sebagai bahan perencanaan pembentukan cabang pemerintahan di di sekitar teluk Humboldt. Hal serupa ini yang telah dilakukan dalam ekspedisi Merauke pada tahun 1900 yang dipimpin oleh Asisten Residen Afdeeling West en Zuidkust van Nieuw Guinea Kroesen di Fakfak dengan dua kapal perang HS Serdang dan HS Sumatra. Dalam ekspedisi ini Kroesen juga melaku ekspolorasi wilayah (sejauh tertentu) di sungai Merauke dan sungai Digoel.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Wilayah Perbatasan di Pedalaman: Keerom, Pegunungan Bintang dan Boven Digul

Kabupaten Boven Digul

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kabupaten Pegunungan Bintang

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kabupaten Keerom

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar