Laman

Kamis, 29 April 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (54): Dimensi Tiga (D3) Sejarah Indonesia; Mempelajari Sejarah 'tidak cukup vertikal atau horizontal'

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini  

Menulis Sejarah Menjadi Indonesia tidak seperti yang dikatakan Emha, ‘Indonesia Adalah Bagian dari Kampong Saya’, tetapi yang benar menurut AMH adalah ‘Kampong Saya adalah Bagian dari Indonesia’. Mungkin maksud Emha ingin guyon atau paling tidak untuk sekadar meminta perhatian, tetapi faktanya banyak ahli sejarah dan tentu saja para peminat sejarah yang mengikuti cara berpikir (platform) yang dicatat versi Emha di atas. Dalam hal ini Sejarah Menjadi Indonesia. tidak hanya ‘kampong saya’. Akan tetapi juga ‘kampong dia’, ‘kampong kamu’ dan ‘kampong mereka’ dalam membentuk Sejarah Menjadi Indonesia. Dalam hubungan ini, cara berpikir itu disebut holistik, sejarah total (total history) dan total football---bukan parsial atau egosentris.

Hari ini blog ini baru mencapai 1.000.000 pageview (jumlah dibaca). Angka ini tentu saja relatif tidak tinggi dalam platform blog, apalagi jika dibandingkan dengan viewer pada platfprm Youtube (googlesearch dan googleaearth, blogspot dan youtube berada di dalam holding yang sama). Boleh jadi itu karena pergeseran cara setiap orang dalam mendapatkan pengetahuan dari baca-tulis (blogspot) ke audio-visual (youtube). Namun demikian penulisan sejarah tidak pernah berhenti, sebab penggalian data masih terus dilakukan. Untuk saat ini, pilihan blogspot untuk menarasikan Sejarah Menjadi Indonesia ke publik masih dianggap sesuai jika dibandingkan youtube. Blogspot lebih fleksibel dalam jumlah halaman (terutama bagi penulis dan pembaca), dalam hal menambahkan atau koreksi (editing), dan dalam hal efisiensi dalam penyimpanan. Blogspot dan Youtube jelas membantu dalam publikasi sejarah sebagaimana googlesearch dan googleaearth membantu dalam pencarian data.

Lantas bagaimana seharusnya menulis atau menarasikan Sejarah Menjadi Indonesia? Seperti yang disebut di atas, jika total sejarah yang diterapkan, dalam kasus baru-baru ini nama pendiri NU KH Hasyim Asy'ari dan bahkan tokoh sekaliber Jenderal Abdul Haris Nasution tidak mungkin tidak masuk dalam Kamus Sejarah (Indonesia) terbitan Kemendikbud. Namun faktanya begitulah cara berpikir (bahkan sekelas kementerian) menarasikan sejarah: tergantung cara berpikir, siapa yang menulis (WHO); bukan bagaimana Sejarah Menjadi Indonesia ditulis apa adanya (HOW). Dalam artikel ini tidak ingin mendiskusikan apa yang telah berlalu itu, tetapi apa yang seharusnya dan bagaimana seharusnya menulis dan menarasikan Sejarah Menjadi Indonesia. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejak tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Dimensi Tiga (D3) Sejarah Menjadi Indonesia

Dimensi Tiga (D3) adalah akumulasi Dimensi Satu (D1) dan Dimensi Dua (D2). Dalam bahasa eksak, D1 itu adalah garis lurus (kumpulan titik-titik). Titik dalam analisis sejarah adalah suatu data atau informasi tunggal yang memiliki koordinat (tempat dan waktu). Ruang dalam hal ini adalah area atau tempat dimana terjadi kejadian (fakta) pada waktu tertentu (tahun, bulan, hari) di masa lampau. Titik-titik data tau informasi jika dihubungkan pada dimensi waktu (time-series) maka terbentuk garis tunggal sejarah.

Sebagai contoh garis lurus (D1) sejarah: Pelaut-pelaut Belanda mencapai Indonesia (baca: Hindia Timur) termasuk di Soenda Kalapa pada tahun 1597, lalu pada tahun 1619, pedagang-pedagang Belanda (VOC) mendirikan ibu kota (stad) di Kasteel Batavia. Pada tahun 1628 Kasteel Batavia diserang Mataram demikian seterusnya hingga VOC dibubarkan pada tahun 1799.  Kemudian Kerajaan Belanda mengakuisisi Properti VOC di seluruh Hindia Timur dan membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Namun pada tahun 1811 terjadi pendudukan Inggris (hingga 1817) dan Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan kembali, demikian seterusnya hingga tahun 1942 terjadi pendudukan milter Jepang dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Itulah garis lurus (D1) sejarah Jakarta dari era VOC hingga awal Republik Indonesia.

D1 garis lurus sejarah hanya mencerminkan suatu garis lurus vertikal (titik-titik waktu) pada satu titik waktu (Jakarta). Informasi sejarah garis lurus D1 ini tidak menggambarkan titik-titik tempat (yang lain) secara horizontal di seluruh Indonesia. Oleh karena itu garis lurus D1 itu bukan sejarah Indonesia, tetapi sejarah (yang terbatas) di Jakarta. Untuk mendapatkan gambaran sejarah di titik-titik tempat yang lain pada waktu yang sama kita mendapatkan gambaran tempat (wilayah) yang lebih luas, yang dalam hal ini kita sebut bidang sejarah (D2).

Sebagai contoh bidang sejarah (D2): Pada saat kehadiran Belanda di Indonesia (Hindia Timur) pada tahun 1596-1597,  sebelum mencapai Soenda Kalapa, pelaut-pelaut Belanda sudah lebih dahulu stay beberapa waktu di pelabuhan Banten. Pada saat ini, pelabuhan Banten, adalah pelabuhan yang ramai di bawah yurisdiksi Kerajaan (Kesultanan) Banten. Pelabuhan Soenda Kalapa berada di bawah yurisdiksi Kerajaan Jacatra. Kerajaan-kerajaan lain pada waktuitu sudah banyak di Hindia Timur termasuk Ternate, Gowa, Atjeh, Matara, Jepara, Bali dan sebagainya. Demikian juga pada saat itu sudah eksis sejak lama pedagang-pedagang Eropa (Portugis dan Spanyol). Pedagang-pedagang Portugis tidak hanya bekerjasama dengan Kerajaan Banten, pedagang-pedagang Portugis juga sudah memiliki benteng-benteng, selain di Malaka, juga terdapat di Koepang, Banda, Amboina dan Ternate. Tentu saja jangan lupa pedagang-pedagang Spanyol selain di Filipina juga sudah eksis dan memiliki benteng di Maluku. Itulah bidang (D1) sejarah Hindia Timur pada awal kehadiran pelaut-pelaut Belanda..

Jika bidang-bidang sejarah (kumpulan D2) ditumpuk (disusun) menurut garis waktu dari era VOC hingga era Republik Indonesia akan membentuk ruang (D3). Dengan demikian data sejarah Indonesia akan membentuk suatu arsitektur tertentu apakah bentuknya limas, kubus, prisma atau bola. Memahami ruang data itu (D3=D1+D2) maka kita dapat menganalisisnya secara utuh yang kemudian dinarasikan secara lengkap yang akan menggambarkan total sejarah Indonesia. Jika cara berpikir ini diterapkan, maka tidak ada sejarah yang terlewatkan di Indonesia, baik menurut waktu maupun menurut tempat. Itulah Sejarah Menjadi Indonesia.

Sepuluh tahun yang lalu (2011) ketika saya mengawali menulis artikel sejarah di blog (lihat blog Tapanuli Selatan dalam Angka), saya berpikir menulis sejarah seperti umumnya yang dilakukan banyak penulis (sejarawan maupun para peminat sejarah) yakni menulis sejarah seperti garis lurus (D1). Dua tahun kemudian saya mulai menyadari pendekatan penulisan sejarah garis lurus itu tidak tepat, karena cara semacam ini di satu sisi akan mengabaikan (mengerdilkan) sejarah di tempat lain, di sisi lain akan cenderung tergoda untuk mengarang data (membesarkan) sejarah di satu tempat. Dalam situasi dilematis itulah saya mulai berpikir bagaimana menulis sejarah secara total football (D3) sejarah Indonesia. Tapi itu jelas akan sulit karena harus mempelajasri sejarah di berbagai tempat. Lalu muncul pertanyaan apakah itu bisa? Saya khawatir tidak bisa karena data sejarah untuk seluruh Indonesia (sejak era VOC) umumnya dalam teks, peta dan foto berbahasa Belanda. Semuanya ada diinternet dapat diakses di berbagai perpustakaan seperti di Indonesia, Asutralia, Inggris dan Belanda. Untuk tujuan menulis total sejarah (Indonesia) maka langkah pertama yang saya lakukan adalah belajar kosa kata (vocabulary) bahasa Belanda sebanyak mungkin. Ketika sudah hafal sekitar 500 vocab saya mulai membaca koran-koran, majalah-majalah berbahasa Belanda (ibarat Dr Poerwatjaraka ketika memulai membaca teks kuno Jawa Kuno (Kawi). Perbendahaaran vocab saya makin lama makin banyak. Saya membaca teks-teks awal ini, sambil memperbanyak vocab, langkah kedua mulai dilaksanakan, yakni mendesain manajeen data, yang mana setiap wilayah Indonesia dibagi ke dalam sejumlah kota-wilayah sejarah yang masing-masing dibuat dalam folder-folder. Setiap wilayah sejarah dibuat sub wilayah dalam fplder yang berbeda. Pada masing-masing folder itu dibagi lagi ke dalam aspek-aspek seperti pendidikan, kesehatan, pertumbuhan kota, pelabuhan, sepak bola, tokoh dan sebagainya. Lalu kemudian pada saat membaca surat kabar atau majalah maka  isinya (dipotong-potong per berita atau per artikel) lalu didistrubusikan ke berbagai folder yang sudah disiapkan. Dalam fase ini pada setiap folder (aspek) mulai dibentuk judul-judul tentatif sesuai dengan banyaknya data yang bersesuaian membentuk judul (dalam hal ini judul dibuat mengikuti data yang tersedia dan analisis awal; bukan sebaliknya—metode ini saya sebut metode induktif). Oleh karena itu pada serial artikel kota-wilayah tertentu yang diupload di blog terkesan bersifat random, karena masih banyak judul-judul artikel yang belum dinarasikan atau judul-judul yang menunggu data tambahan. Lima atau tujuh tahun yang lalu, analisis lebih lanjut dilakukan dan menarasikan setiap judul yang ada (hingga dilakukan ini hari). Singkatnya: semua artikel-artikel yang dibuat (di dalam blog tidak semua diupload) akan disatukan menjadi sejarah lokal dan juga sejarah nasional (Indonesia). Dengan tahapan tersebut dengan manajemen data yang terstruktur diharapkan pada tahap awal akan saya pahami total sejarah Indonesia yang pada akhirnya akan terbentuk narasi Sejarah Menjadi Indonesia.

Dengan pendekatan total sejarah (D3) maka Sejarah Menjadi Indonesia akan tergambar dalam wujud ruang sejarah (D3). Dalam hal ini data dalam bentuk ruang data sejarah (D3) diperkaya dengan analisis relasi (relationship). Jadi dalam hal ini data sejarah D3 adalah syarat perlunya dan syarat cukupnya adalah analisis relasi. Dalam hal ini relasi antar data (verifikasi data) dan juga relasi substrasi (relasi antara satu aspek dengan aspek yang lain).

Relasi antar data ini begitu penting, karena akan menjadi hulu dari narasi sejarah. Data (misalnya pencatatan di koran) di satu tempat dan data di tempat lain, misalnya data pendidikan di Bandung dan di Jogjakarta dapat disandingkan sehingga dapat disimpulkan data mana yang paling akurat. Jika ada keraguan antar dua kota tersebut dapat disandingkan (validasi) dengan data kota lain. Dalam hal ini data akan terverifikasi. Sebab mengutip satu data dalam satu surat kabar sangat naif, sebab bisa jadi pencatatan di dalam surat kabar itu ada kesalahan cetak, salah kutip wartawan dari sumber atau atau kesalahan-kesalahan yang lain. Jadi semakin banya data yang mencatat informasi atau keterangan yang sama akan semakin valid. Dalam analisis relasi substansial (aspek atau variabel) juga di satu sisi dapat memverifikasi data, juga dari hasil analisis relasi substansial ini ditemukan hal-hal yang baru (tidak berdasarkan data harfiah tetapi berdasarkan interpretasi atau nalar). Antar data yang berlainan waktu (era) fungsi analisis relasi substansi ini dapat bermanfaat untuk mengisi kekosongan data pada waktu atau periode tertentu (bersifat interpolasi)..

Satu hal dalam memahami Sejarah Menjadi Indonesia, ternyata diperlukan dari data sejarah di luar Indonesia. Hal ini beberapa pembaca ada yang menanyakan mengapa serial artikel sejarah luar negeri dibuat (seperti Singapoera atau Semenanjung, Australia dan kini Filipina). Pendekatan ini tidak lazim bahkan di negara-negara tetangga tadi tidak pernah atau jarang menyinggung (data) sejarah Indonesia. Sejatinya memahami sejarah negara tetangga adalah untuk maksud melihat relasi sejarah Indonesia dengan negara lain, yang dalam hal ini ternyata memperlajari sejarah negara lain dapat memperkuat data dan analisis Sejarah Menjadi Indonesia. Sebab faktanya sebelum menjadi Indonesia, tempo doeloe antara pilau di Hindia Timur dan juga Australia terhubung satu sama lain. Oleh karena itu dala serial artikel sejarah negara tetangga (dalam blog ini) bukan untuk memperkaya sejarah negara tetangga, tetapi untuk memperkaya data dan narasi sejarah Indonesia. Syukur-syukur para penulis sejarah negara tetangga dapat memanfaatkan artikel-artikel tersebut.

Tunggu deskripsi lengkapnya


Kasus Kamus Sejarah Indonesia: Mempelajari Sejarah Tidak Cukup Vertikal atau Horizontal Saja

Tunggu deskripsi lengkanya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar