Laman

Sabtu, 22 Mei 2021

Sejarah Jambi (1): Sebaran Candi Zaman Kuno di Daerah Aliran Sungai Batanghari, Jambi; M Sebo, Mauli, Sarolangun, Kerinci

 

*Untuk melihat semua artikel sejarah Jambi di blog ini Klik Disini

Sejarah Jambi haruslah bermula dari sejarah candi-candi di (kawasan) wilayah daerah aliran sungai Batanghari. Besar kemungkinan dimulai dari wilayah hulu sungai Batanghari yang sekarang. Sebab wilayah hilir sungai masih rawa-rawa (tanah sedimentasi), seperti halnya di hilir kota Palembang zaman kuno. Oleh karena itu dalam perkembangannya, candi-candi di wilayah daerah aliran sungai Batanghari lebih beroritensi kepada kerajaan-kerajaan di arah utara (Aru, Mauli-Pagarajoeng) daripada kerajaan-kerajaan di selatan (Sriwijaya, Tulangbawang).

Sungai tidak hanya infrastruktur alam dalam bidang transportasi zaman kuno, juga nama sungai adalah penanda navigasi dalan pelayaran (laut dan sungai). Nama sungai besar di (provinsi) Jambi adalah sungai Batanghari, Nama ini merujuk pada batang yang juga diartikan sebagai sungai (Sungai Hari). Nama sungai Batang[hari] menjadi salah satu penanda nama geografis yang membedakan tidak adanya nama batang pada nama-nama sungai di wilayah Palembang (provinsi Sumatera Selatan). Tidak pernah ditemukan catatan tentang nama Batang Musi. Yang ada adalah nama sungai Banyu Asin (merujuk pada nama sungai di Jawa). Penggunaan nama batang terkesan dari Jambi hingga ke bagian utara di Atjeh.

Lantas bagaimana sejarah candi-candi di daerah aliran sungai Batanghari di wilayah provinsi Jambi yang sekarang? Seperti yang disebut di atas, wilayah daerah aliran sungai Batanghari berada diantara daerah aliran sungai Musi di sebelah selatan dan daerah liran sungai di sebelah utara seperti sungai Indragiri, sungai Kampar dan sungai Rokan (provinsi Riau) dan sungai Barumun (Sumatera Utara). Lalu apa pentingnya keberadaan candi-candi kuno tersebut bagi provinsi Jambi? Seperti disebut di atas, dari sejarah candi inilah sejarah Jambi mulai dinarasikan. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sungai Batanghari: Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya

Dari arah mana peradaban di (pulau) Sumatra bermula? Itu tergantung eranya. Pada era permulaan peradaban dari arah barat. Danau-danau yang dekat ke pantai barat menjadi pusat peradaban di wilayah pedalaman (pulau) Sumatra. Pusat-pusat peradaban di pedalaman di seputar danau adalah danau Kerinci (Jambi), danau Ranau (Sumatra Selatan dan Lampung), danau Singkarak dan Maninjau (Sumatra Barat), danau Siais dan danau Toba (Sumatra Utara), danau Takengon dan Tangse (Aceh). Peradaban baru bagi penduduk asli Sumatra ini dipengaruhi oleh kebudayaan India.

Pada era ini antara satu pusat peradaban dan pusat peradaban lainnya di wilayah pedalaman terhubung satu sama lain melalui jalan darat (jalan lintas Sumatra bagian tengah yang sekarang). Aspek-aspek kebudayaan melalui jalan darat ini berinteraksi seperti bahasa, aksara, religi, teknologi termasuk arsitektur, dan navigasi pelayaran perdagangan tidak hanya ke pelabuhan-pelabuhan di pantai barat juga di pantai timur. Seiring dengan meningkatnya pengaruh India di Jawa dan kehadiran pengaruh kebudayaan Tiongkok, maka pusat-pusat peradaban awal di pedalaman merangsek ke arah timur mengikuti arah navigasi palayaran sungai yang kemudian terbentuk pelabuhan-pelabuhan baru di pantai timur seperti Martapura, Palembang, Jambi, Indragiri, Bangkinang dan Binanga (Padang Lawas Tapanuli). Tahap perkembangan peradaban (baru) dimulai dengan orientasi ke pantai timur (di selat Malaka). Dalam perkembangan baru inilah mulai muncul pembangunan candi-candi dan pasang surutnya kerajaan-kerajaan di pulau Sumatra (Aru Padang Lawas di utara, Sriwijaya Palembang di selatan dan Mauli Dharmasraya di tengah).

Data tertulis paling tua di Sumatra adalah prasasti Kedukan Bukit (682) yang mengindikasikan adanya dua nama tempat Minana[tamvan] dan Srivijaya. Nama Minana ini diduga kuat nama Binanga yang sekarang di muara sungai Barumun (Padang Lawas) dan Srivijaya diduga kuat nama raja atau nama tempat Palembang yang sekarang (tempat ditemukan prasasti).

 

Nama Minana atau Minanga atau Binanga disebutkan ditemukan bada sumber Tiongkok, T'ang-Hui-Yao yang ditulis oleh Wang p'u pada tahun 961 pada era dinasti Tang, yang mana Minana atau Minanga atau Binanga mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 M untuk pertama kalinya. Dalam berbagai tulisan nama Minana dalam teks prasasti Kedukan Bukit dianggap masih simpang siur. Ada yang menyebut Poerbatjaraka dan Soekmono pernah berpendapat bahwa Minana terletak di hulu Sungai Kampar (pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang oleh Poerbatjaraka menyimpulkan Minana[tamvan] merupakan nama lama dari Minangkabau. Buchari mengemukakan bahwa Minana berada di hulu Batang Kuantan, sedangkan Slamet Muljana menyatakan bahwa Minana berada di hulu Sungai Batanghari. Yang jelas (hingga) pada masa kini, nama Minana yang mirip, satu-satunya, adalah nama Binanga di hulu sungai Barumun, Padang Lawas.

Jika Minana adalah Binanga (di hulu sungai Barumun) dan Srivijaya berada di sungai Musi maka terdapat paling tidak dua kerajaan (Kerajaan Aru di Binanga Padang Lawas di sungai Barumun) dan Kerajaan Sriwijaya di sungai Musi. Keberangkatan raja Jyestha Dapunta Hiyam (Kerajaan Aru) dengan 20.000 tentara hingga tiba di tempat Raja  Sriwijaya (Pelembang) dengan berlayar (perahu) menempuh perjalanan selama kurang lebih dua bulan dari April hingga Juni yang mana separuh waktu pelayaran sungai dan separuh waktu yang lain pelayaran pantai. Lama perjalaan ini masuk akal.

Dalam teks itu (raja) Dapunta Hiyang mengawali perjalanan awal (sungai) April sebelum memulai pelayaran (perairan pantai) dari Minana (awal Mei). Lalu sebulan kemudian (pertengahan Juni) tiba di tempat tujuan muara sungai (Sriwijaya). Tujuannya adalah untuk meresmikan Sriwijaya. Minana dalam hal ini besar dugaan adalah kota pelabuhan dari Kerajan Aru (Angkola Mandailing). Seperti disebut di atas, teks yang digunakan Sanskerta (pra Melayu Kuno, Jawa Kuno) terdapat kosa kata yang khas seperti awalan ‘mar’ pada ‘marlapas’ dan bilangan ‘sapulu dua’ yang diartikan belasan (12) secara histo-linguistik hanya ditemukan pada Bahasa Batak (hingga ini hari). Dengan demikian, tiga kata dalam teks prasasti Kedukan Bukit (Minana, marlapas dan sapulu dua) terhubung dengan nama tempat di daerah aliran sungai Baroemoen. Catatan tambahan: Aroe dalam bahasa India Selatan (Ceylon) adalah air, jadi Kerajaan Aroe adalah Kerajaan Sungai. Nama sungai B-aroe-moen diduga merujuk pada arti sungai (aru). Dimana posisi GPS kerajaan Aru ini pada saat itu kira-kira berada di Batang Onang (onang atau inang=ibu) dan Binanga adalah pelabuhannya.

Pada era invasi Kerajaan Chola ke selat Malaka pada tahun 1030 Schnitger (1935) menyatakan ada tiga kerajaan yang ditaklukkan, yakni Kedah (di Semenanjung Malaya), Panai (sungai Barumun) dan Sriwujaya (sungai Musi). Panai ini diduga kuat adalah Kerajaan Aru yang berpusat di Padang Lawas yang mana sungai Panai bermuara di sungai Barumun di Binanga. Informasi ini mengidikasikan hanya ada dua kerajaan di (pantai timur) Sumatra dan satu kerajaan (di pantai barat) Semenanjung Malaya. Untuk sekadar catatan: di wilayah Tapanuli Sealatan yang sekarang, sungai Barumun berhulu di pegunungan Bukit Barisan mengalir ke arah pantai timur, sedang hulu sungai Angkola di pegunungan Bukit Barisan dan mengalir ke arah pantai barat. Nama Angkola diduga kuat merujuk pada nama (kerajaan) Chola.

Dalam literatur Eropa terdapat keterangan bahwa sejak abad ke-2 M, lewat tulisan Ptolemaeus yang menyebutkan (pulau) Sumatra bagian utara dianggap sebagai daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal, tetapi wilayah itu kaya dengan kamper, khususnya yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 M melalui sebuah tempat yang bernama Barus. Keterangan ini sedikit membantu bahwa paling tidak nama Barus sudah diketahui (di Eropa) sejak abad ke-5. Artinya apa? Prasasti Kedukan Bukit bertarih 682 (awal Sriwijaya) mengindikasikan Barus sudah dikenal jauh sebelum dikenal nama Sriwijaya (Palembang). Barus adalah pelabuhan Kerajaan Aru di pantai barat. Jika memperhatikan isi teks prasasti itu mengindikasikan nama Minana jauh lebih besar (kuat) jika dibanding Srivijaya yang besar dugaan Binanga yang sekarang sebagai pelabuhan di pantai timur (pelabuhan Kerajaan Aru). Dalam teks itu mengindikasikan Minana atau Binanga sebagai kerajaan yang jauh lebih kuat dari Sriwijaya. Dalam hal ini, Kerajaan Aru (berpusat di Angkola Mandailing) terhubung dengan pelabuhan di pantai timur (Binanga) dan pelabuhan di pantai barat (Baroes). Sebagai catatan tambahan: Jika Sumatra bagian utara pada abad ke-2 sebagai kaya kamper, maka masuk akal jika pelabuhan Barus jauh lebih awal jika dibandingkan dengan pelabuhan Soenda di Jawa (prasasti Tugu, Cilincing abad ke-5) dan pelabuhan Koetai di Borneo (prasasti Mulawarman di Muara Kaman, awal abad ke-6).

Pasca invasi Chola di Selat Malaka, terbentuk dua kerajaan baru yakni kerajaan di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli) dan kerajaan di hulu sungai Kampar. Situs Kerajaan Mauli ini kini ditemukan candi Padang Roco (di Dharmasraya) dan situs kerajaan di hulu sungai Kampar ditemukan candi Muara Takus. Kerajaan Aru (Panai) tetap berada di hulu sungai Barumun di Binanga (muara sungai Batang Pane) yang kini ditemukan banyak candi-candi. Kerajaan di candi Muara Takus diduga kuat sukses Kerajaan Kedah, sedangkan Kerajaan Mauli adalah suksesi Kerajaan Sriwijaya.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerajaan-Kerajaan di Kawasan Daerah Aliran Sungai Batanghari

Pertanyaan kedua yang juga penting adalah situs candi mana yang lebih dulu ada, situs candi Padang Roco (Kerajaan Mauli) di hulu sungai Batanghari atau situs candi Muara Sebo (Kerajaan Telainapura) di hilir sungai Batanghari? Jawaban pertanyaan ini akan menjadi penting untuk menjelaskan mengapa Kerajaan Sriwijaya bisa bangkit kembali, dan Kerajaan Mauli relokasi ke hulu sungai Indragiri pada era Radja Adityawarman (Kerajaan Pagaroejoeng). Lalu apakah relokasi itu di satu sisi adalah hal lain, dan munculnya kerajaan baru (Kerajaan Telainapura) di hilir sungai Batanghari (dengan situs candi Muara Sebo)?

Pada tahun 1286 Radja Jawa Singhasari, Kertanegara menghadiahkan patung Boedha  (Arca Amoghapasa) kepeda raja kerajaan di hulu sungai Batanghari (Kerajaan Mauli). Dalam prasasti inilah disebutkan nama Mauli dan Dharmasraya. Tentu saja tidak ada kerajaan waktu itu di hilir sungai Batanghari. Kalaupun ada mungkin kerajaan kecil (vassal dari Kerajaan Mauli Dharmasraya).

Schnitger (1935) melakukan ekskavasi di candi-candi Padang Lawas (di sekitar Binanga). Beberapa candi dibangun lebih awal dan beberapa candi yang lain ada yang dibangun relatif bersamaan dengan candi hulu sungai Kampar (candi Muara Takus) dan candi di hulu sungai Batanghari (candi Padang Roco Dharmasraya). Menurut Schnitger candi Padang Lawas, candi Muara Takus dan candi sungai Langsat (Padang Roco) memiliki karakteristik yang sama.

Pada era invasi Chola, diduga kuat Kerajaan Aru telah menjadi Hindoe. Schnitger menyimpulkan Padang Lawas (Kerajaan Aru) telah menghianati (keluar) agama Hindoe dan beralih menjadi agama Boedha tetapi dengan sekte (yang baru) Bhairawa (dewa-dewa yang menyeramkan). Beberapa penulis Belanda menyatakan bahwa sekte Bhairawa ini adalah gabungan praktek Boedha dan praktek agama Batak (Hindoe) yang menghasilkan sekte baru dalam agama Boedha. Schnitger membandingkan dengan candi di Indo China menyimpulkan bahwa sekte Bhairawa di Padang Lawas terbentuk dengan masuknya Boedha dari Indo China tersebut. Pada prasasti di candi Sitopayan (Padang Lawas) Schnitger menemukan ada beberapa nama yang terlibat dalam pembangunan candi Sitopayan yang mengindikasikan nama gelar di Batak dan di Jawa. Schnitger juga menemukan candi yang lain di Rokan (candi Manggis) yang menyimpulkan ada jalur komunikasi (transportasi darat) dari Candi Padang Lawas dengan candi Muara Takus dan menurut cerita rakyat (legenda) saat melakukan penelitian di Muara Takus, bahwa orang Batak (Kerajaan Aru Padang Lawas) menyerang ke wilayah dimana terdapat candi Muara Takus. Satu hal yang membuat Schnitger tercengang, dalam studinya menyipulkan bahwa Radja Kertanegara adalah salah satu pendukung fanatik sekte Bhairawa. Satu lagi radja tekernal lainnya yakni Radja Adityawarman juga pendukung fanatik sekte Bhairawa. Radja Kertanegara adalah radja terakhir Singhasari (meninggal 1298) dan Radja Adityawarman dari Kerajaan Mauli adalah radja pertama Kerajaan Pagaroejoeng (di hulu sungai Indragiri). Radja Adityawarman meninggal tahun 1375). Atas dasar keyakinan inilah diduga menjadi alasan Radja Kertnanegara mengirim patung Boedha (sekte Bhairawa) kepada Kerajaan Mauli di hulu sungai Batanghari. Kerajaan Sriwijaya yang mulai bangkit (pasca invasi Chola) disebutkan pernah diserang Singhasari (diduga karena berbeda, meski sama-sama Boedha, tetapi Singhasari di era Kertanegara penganut agama (Boedha) Batak sekte Bhairawa. Alasan lainnya karena Kerajaan Srwijaya yang mulai bangkit diduga menjadi ancaman bagi Kerajaan Mauli (sekte Bhairawa) sehingga harus dilumpuhkan. Sejak itu Kerajaan Sriwijaya benar-benar mengalami kemunduran (hingga kelak muncul Kerajaan Palembang).

Kerajaan Padang Lawas (Kerajaan Aru) semakin berkembang. Ini mengingatkan Kerajaan Sriwijaya yang pernah diperkuat Kerajaan Aru di Binanga (lihat lagi prasasti Kedukan Bukit 682) telah menurun, sementara Kerajaan Aru di Binangan (Padang Lawas) justru makin berkembang pesat (meski pernah sama-sama diinvasi oleh Kerajaabn Chola dari India Selatan).

Setelah meninggalkanya Radja Kertanegara (1298) Kerajaan Singhasari di hulu (wilayah Malang yang sekarang) mengalami kemunduran dan muncul kerajaan Majapahit di wilayah hilirnya (wilayah Mojokerto yang sekarang). Kerajaan Majapahir adalah penganut (agama) Hindoe. Dalam fase kejayaan Kerajaan Majapahit (yang Hindoe) berhadapan dengan kerajaan-kerajaan di Sumatra (yang Boedha) yang mana di Kerajaan Mauli dan Kerajaan Aru (Boedha sekte Bhairawa),

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar