Laman

Jumat, 14 Mei 2021

Sejarah Padang Sidempuan (19): Para Tokoh Politik Asal Padang Sidempuan; PM Amir Sjarifoeddin sd Wakil Presiden Adam Malik

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Jenjang tertinggi karir politisi adalah menjadi Presiden atau Perdana Menteri. Karena posisi inilah puncak keputusan pengaturan negara. Nama-nama presiden semuanya Jawa kecuali Habibie (campuran). Nama-nama perdana menteri lebih beragam: 3 Jawa, 2 Batak. 2 Minangkabau, 1 Sunda plus satu campuran. Pada deretan wakil presiden sebagian besar Jawa dengan masing-masing satu nama Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Sunda, Banten dan satu nama campuran. Itulah gambaran umum tokoh politik tertinggi di Indonesia dari masa ke masa.

Dua orang perdana menteri dan satu wakil presiden asli Batak sama-sama berasal dari Padang Sidempuan. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menjabat perdana menteri 1947-1948,   sementara Mr. Boerhanoeddin Harahap menjabat 1955-1956, sedangkan Adam Malik menjabat Wakil Presiden 1978-1983. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap mengawali karir politik sejak era kolonial Belanda (Partai Indonesia 1931), sementara Mr. Boerhanoeddin pada era Republik Indonesia (Partai Masyumi). Adam Malik memulai karir politik pada usia belia pada tahun 1931 era Hindia Belanda (Partai Indonesia) di Sipirok dan Padang Sidempuan. Selepas dari penjara Padang Sidempuan, Adam Malik hijrah ke Batavia. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap adalag senior dari Adam Malik.

Lantas bagaimana sejarah tokoh politik asal Padang Sidempuan? Seperti disebut di atas, cenderung beragama tetapi lebih dominan Jawa. Beberapa diantaranya berasal dari Padang Sidempuan yakni perdana menteri Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan Boerhanoeddin Harahap serta Wakil Presiden Adam Malik. Lalu bagaimana sejarah politisi bermula? Jauh sebelu era Perdana Menteri dan Presiden, pada era Pemerintah Hindia Belanda para politisi memulai karir politik di dewan kota (gemeenteraad) dan dewan pusat (Volksraad). Lalu apakah para politisi asal Padang Sidempuan sudah eksis saat itu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Era Hindia Belanda: Gemeenteraad hingga Volksraad

Hingga tahun 1920, di Hindia Belanda hanya ada 52 buah dewan. Sebagian besar dewan kota (gemeenteraad) dan sebagian kecil yang lain dewan pada tingkat residentie. Uniknya dari 52 buah dewan itu ada satu dewan setingkat kecamatan (Controleur Angkola en Sipirok, Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli). Dewan Angkola en Sipirok ini bersidang di kota Padang Sidempoean. Sementara itu di pusat (Batavia) sudah dibentuk Dewan Pusat (Volksraad) sejak 1918.

Pembentukan dewan bermula sehubungan dengan dibentuknya Batavia sebagai Kota (Gemeente) pada tahun 1901, Untuk menyusun peraturan (perda) dan mengawasi jalannya pemerintahan di bawah wali kota (Burgemeester) dibentuk dewan kota (gemeenteraad). Pada tahun-tahun berikutnya dibentuk kota-kota lain, Soerabaja dan Buitenzorg (1902), Semarang (1904), Bandoeng, Palembang, Padang dan Chirebon 1906. Demikian seterusnya, Kota Medan dibentuk tahun 1909. Meski sudah ada dewan kota, beberapa kota belum diangkat Wali Kota (burgemeester) tetapi dijabat oleh Asisten Residen atau Residen. Kota Padang Sidempuan tidak pernah menjadi Kota (Gemeente), tetapi tetap sebagai ibu kota kecamatan dan juga sekaligus ibn kota kabupaten. Kota Padang Sidempuan baru statusnya ditingkatkan Kota pada era Republik Indonesia tahun 2001 (satu abad setelah pembentukan Kota Batavia, kini Jakarta).

Dewan kecamatan (Angkola en Sipirok) yang dibentuk tahun 1918 tentulah sangat menarik, ketika masih banyak provinsi (residentie) di Hindia Belanda belum memiliki dewan. Perlunya dewan saat itu (seiring dengan Politik Etik) karena perlunya orang-orang yang menyuarkan masyarakat banyak di tingkat pemerintahan. Baik dewan kota maupun dewan provinsi jumlahnya berbeda-beda demikian juga komposisinya yang terdiri orang Eropa-Belanda, Cina dan pribumi. Pada kota-kota tertentu terdapat Arab. Komposisi serupa ini juga di pusat (Volksraad). Jumlah anggota dewan kecamatan Angkola en Sipirok di Padang Sidempuan saat itu sebanyak 23 orang (jumlah yang tinggi, di atas rata-rata anggota dewan Kota).

Saya teringat pada komposisi anggota dewan pusat DPR Pusat pada periode lalu yang mencerminkan pada masa lampau. Pada masa ini jejak masa lampau anggota dewan asal Padang Sidempuan terlihat di Senayan: Dari sebelas komisi di DPR, empat komisi pimpinannya berasal dari Padang Sidempuan: Rambe Kamaruzaman (Komisi II/Golkar); Gus Irawan Pasaribu (Komisi VII/Gerindra); Saleh Partaonan Daulay (Komisi VIII/PAN) dan Marwan Dasopang (Komisi IX/PKB). Nama Gus Irawan saya teringat, beliau adalah teman satu kelas waktu SMP di Padang Sidempuan.

Pada tahun 1918 sehubungan dengan dibentuknya dewan pusat (Volksraad), pada dewan tingkat kota atau provinsi (plus kecamatan Angkola en Sipirok), anggota dewan untuk pribumi diangkat melalui pemilihan (pemilu). Namun untuk dewan pusat masih ditunjuk oleh Pemerintah Pusat (Gubernur Jenderal). Sebelum tahun 1918 anggota dewan kota atau provinsi untuk golongan pribumi masih ditunjuk yang umumnya dari kalangan kraton atau bupati (regent). Tidak ada kesepatan dari orang biasa dan baru terjadi pada tahun 1918 (melalui pemilu).

Di Kota (Gemeente) Medan pada tahun 1918 dari dua kursi yang disediakan untuk pribumi, satu anggota yang terpilih adalah Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng. Satu kursi disediakan untuk golongan Cina yang juga dengan melalui pemilihan (sendiri). Masih pada tahun yang sama komposisi di Kota Medan ini sama dengan di Kota Padang. Satu kursi untuk Cina, dan dari dua kursi untuk pribumi satu anggota dewan yang terpilih adalah Dr. Abdul Hakim Nasution gelar Soetan Irsinsyah. Radja Goenoeng alumni Kweekschool Padang Sidempuan yang saat itu menjadi penilik sekolah di Kota Medan. Dr. Abdoel Hakim Nasution setelah menyelesaikan pendidikan ELS di Padang Sidempuan tahun 1898 melanjutkan studi di Batavia (Docter Djawa School). Dr Abdoel Hakim Nasution dan Dr Abdoel Karim Harahap adalah teman satu kelas dengan Dr Tjipto Mangoenkoesomo yang ketiganya sama-sama lulus menapat gelar dokter tahun 1905. Pada tahun 1918, Dr Abdoel Hakim Nasution adalah ketua Indisch Party untuk wilayah Province Sumatra’s Westkust. Indische Party didirikan tiga serangkai yang diketuai oleh Dr Tjipto.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Era Republik Indonesia: Parlementer hingga Presidensial

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar