Laman

Sabtu, 15 Mei 2021

Sejarah Padang Sidempuan (20): Para Tokoh Militer Asal Tapanuli Selatan; Kol. Abdul Haris Nasution - Letkol Ir MO Parlindungan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini 

Sejarah tokoh militer asal Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) terbilang baru. Pada era Pemerintah Hindia Belanda tidak ada yang dilibatkan dalam satu militer, kecuali hanya satu orang, itu pun pada akhir era kolonial yakni Sersan Abdul Haris Nasution. Orang-orang Belanda, kerap menyatakan, entah berkelakar atau serius, ‘jangan sertakan orang Batak menjadi militer’. Tidak disebutkan alasannya. Diterimanya Abdul Haris Nasution sebagai kadet pada akademi militer di Bandoeng, boleh jadi kekeliruan (tidak lazim). Selain Abdul Haris Nasution, satu lagi pemuda Tapanuli yang diterimana adalah TB Simatupang.

Pada awal persiapan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Afdeeling Mandailing en Angkola (kini Tapanuli Selatan) yang digagas pada tahun 1838 (pasca perang) pemerintah pusat menjanjikan pengangkatan seorang bupati (regent) di Afdeeeling Mandailing en Angkola. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tahun 1840 Gubernur Jenderal merekrut Jung Huhn untuk melakukan ekspedisi penelitian botani dan geologi di Afdeeling Mandailing en Angkola dan di Afdeeling Padang Lawas. Namun tidak lama sepulang Jung Huhn dari wilayah itu, pemerintah pusat membatalkan jabatan regent (bupati) untuk pemimpin lokal. Ini tidak lazim karena di seluruh Hindia Belanda diangkat pemimpin lokal dengan jabatan bupati. Sejak janji itu seumur-umur (hingga berakhirnya era kolonial) tidak pernah jabatan bupati diberikan kepada para pemimpin lokal di Residentie Tapanoeli. Yang memimpin langsung adalah pejabat Eropa-Belanda. Apa sebabnya tidak pernah diketahui, hingga muncul kelakar atau serius di surat kabar ‘jangan libatkan orang Batak menjadi militer’. Meski tidak diketahui alasan ‘tutup pintu’ untuk pemimpin lokal dan kadet militer bagi orang Batak (KNIL) tetapi dapat diduga karena orang Belanda beranggapan musuh Belanda yang sebenarnya adalah orang Batak.

Lantas bagaimana sejarah tokoh militer asal Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan)? Seperti disebut di atas, sejarah militer bagi orang Tapnuli Selatan adalah baru, pertama dan satu-satunya pada era kolonial hanyalah Abdul Haris Nasution. Lalu bagaimana sesuah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Situasi dan kondisinya berbeda. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Perang Kemerdekaan: Kolonel Abdul Haris Nasution dan Letkol MO Parlindungan

Persiapan kemerdekaan Indonesia pada era pendudukan Jepang (BPUPKI sempat terhenti. Mengetahui bahwa angkatan udara Amerika Serikat menjatuhkan bom di kota besar Hirosima tanggal 6 Agustus 1945, para pemimpin Indonesia keesokan harinya membentuk panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia yang dibentuk dan diketuai Ir. Soekarno tersebut diantaranya terdapat satu anggota berasal dari Padang Sidempoean, Mr. Abdul Abbas Siregar. Dalam anggota BPUPKI sebelumnya juga terdapat satu anggota berasal dari Padang Sidempoean Parada Harahap.

Belum sempat bersidang PPKI, situasi dan kondisi di Jepang semakin mencekam. Angkatan udara kembali menjatuhkan bom di kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus. Jepang semakin shock. Kaisar Jepang pada tanggal 15 Agustus menyerah kepada Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat. Saat pengumuman kaisar itu pada pagi lewat radia, di seluruh Jawa tiba-tiba terjadi pemadaman listrik sehingga semua stasion radio tidak bisa menyampaikannya kepada penduduk. Namun berita itu cepat menyebar, karena berita itu dapat ditangkap dari radio-radio di kapal yang tengah berlabuh di Tanjung Priok. Keesokan harinya, para pemuda revolusioner di Djakarta menculik Ir Soekarno ke Rengasdengklok dan memaksanya mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dua diantara pemuda revolusioner itu berasal dari Padang Sidempuan yakni Adam Malik dan Chairoel Saleh. Proklamasi kemerdekaan Indonesia benar-benar dibacakan Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi. Siang itu, Adam Malik meminta Mochtar Lubis membawa salinannya ke Bandoeng dengan kereta api untuk disiarkan oleh Radio [Malabar] Bandoeng. Pada malam hari pukul 19, penyiar Radio Bandoeng, Sakti Alamsyah Siregar berulang kali menyiarkan dan membacakan salinan teks proklamasi kemerdekaan. Tidak hanya penduduk Priangan yang mendengat berita dan isi proklamasi itu tetapi juga bisa ditangkap oleh stasion radio Jogjakarta dan radio di Australia. Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamysah Siregar berasal dari Padang Sidempuan. Tentu saja Abdul Haris Nasution (eks Sersan KNIL) yang tinggal di Bandoeng yang satu kampung dengan Mochtar Lubis di Kotanopan (Tapanuli Selatan) mengetahuinya.

PPKI baru benar-benar bersidang pasca proklamasi kemedekaan pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada hari itu UUD disyahkan, memilih Ir Soekarno sebagai Presiden dan Mohamad Hatta sebagai Wakil Presiden serta membentuk komite nasional (semacam pendahului dewan perwakilan dan majelis rakyat). Keesokan harinya lagi sidang PPKI menentukan pembagian wilayah Indonesia yang terdiri atas 8 provinsi, membentuk komite nasional di daerah serta menetapkan 12 departemen dengan menterinya yang mengepalai departemen dan 4 menteri agama. Pada sidang berikutnya 22 Agustus 1945 menghasilkan keputusan: pembentukan Komite Nasional, pembentukan Partai Nasional Indonesia, pembentukan Badan Keamanan Rakyat (semacam pendahulu TNI).

Sejatinya yang dicari para pemuda revolusioner untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia adalah Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Mengapa? Karea situasi dan kondisi saat itu, Amir Sjarifoeddin Harahap adalah pemilik portofolio tertinggi. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap tidak hanya menentang Belanda tetapi juga anti Jepang. Sementara Ir. Soekarno dan Mohamad Hatta berkolaborasi dengan Jepang. Namun para pemuda menyadari sulit mencari Amir Sjarifoeddin karena tidak tahu dimana ditahan militer Jepang di penjara rahasia di Malang. Lalu pada saat penentuan siapa yang menjadi Menteri Penerangan agar terkesan lebih revolusioner, nama Amir Sjarifoeddin Harahap kembali muncul, namun dimana dia. Akhirnya Ir. Soekarno, sebagai Presiden bernegosiasi dengan Jepang sehingga diketahui Mr. Amir berada di penjara Malang dan lalu dilepaskan dan diminta ke Djakarta hingga diangkat menjadi Menteri Penerangan.

Lantas siapa yang menjadi Menteri Pertahanan RI. Lagi-lagi menemukan jalan buntu, bukan soal siapa dari kalangan mana (eks Heiho Jepang atau eks KNIL Belanda). Satu-satunya yang berpengalaman saat itu dengan pangkat tertinggi adalah eks KNIL Majoor Oerip Soemohardjo di Jogjakarta (majoor adalah pangkat tertinggi bagi pribumi pada era Pemerintah Hindia Belanda). Namun Majoor Oerip tidak bersedia karena sudah tua tetapi bersedia sebagai Kepala Staf. Akhirnya posisi Menteri Pertahanan tetap lowong dan Majoor Oerip yang diangkat sebagai kepala staf dengan pangkat Letnan Jenderal berperan sebagai panglima. Menteri Pertahanan dan Panglima kosong. Saat inilah eks Sersan KNIL di Bandoeng, Abdul Haris Nasution bereaksi dengan membentuk pasukan dan menjadikan Bandoeng sebagai Markas Militer Indonesia. Radio Bandoeng lewat penyiarnya yang revolusioner Sakti Alamsyah Siregar terus melaporkan aktivitas yang terjadi di Markas Militer di Bandoeng.

Untuk melucuti senjata dan mengevakuasi militer Jepang di Indonesia, Presiden Soekarno bernegosiasi dengan Panglima Sekutu wilayah Pasifik di Singapoera. Pasukan Sekutu Inggris mendarat pertama di Tanjung Priok tanggal 29 September. Untuk menjaga perairan teluk Djakarta, eks sersan Heiho Madmuin Hasiboean membentuk pasukan di Tjilintjing (cikal bakal angkatan laut). Awalnya kehadiran pasukan sekutu Inggris berjalan lancar. Namun situasi cepat berubah karena diketahui Inggris memberi jalan bagi orang-orang Belanda di Australia (Pemerintahan NICA yang dipimpin HJ van Mook) masuk wilayah Indonesia. Lalu itu menjadi pemicu terjadinya peristiwa berdarah di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945 yang terkesan sebagai respon terhadap pasukan sekutu Inggris dan NICA yang tidak peduli terhadap Proklamasi Kmerdekaan Indonesia, lalu Markas Tentara Rakjat Indonesia di Bandoeng mengumumkan Proklamasi Perang pada tanggal 13 Oktober 1945. Hal yang sama juga dilakukan Oemat Islam sebagaimana dilaporkan Keesings historisch archief: 14-10-1945.  Salah satu pasukan Oemat Islam ini yang terorganisir adalah Hizbullah yang dipimpin oleh Zainoel Arifin Pohan (satu kampung dengan Abdul Haris Nasution di Kotanopan). Pasukan Inggris tiba di Buitenzorg tanggal 15 Oktober 1945 untuk pembebasan interniran, sekaligus mengevakuasi sandera di Depok. Dari hari ke hari, tanda-tanda suhu perang semakin menguat. Presiden Soekarno dalam dilema. Sebagian menginginkan dengan jalan tertib dan damai dan sebagian yang lain (terutama dari kalangan pemuda) menginginkan perang. Radio Bandoeng yang dilansir surat kabar berbahasa Belanda melaporkan bahwa Markas Barisan Rakjat di Bandoeng tidak bisa menerima situasi yang terus memburuk apalagi kehadiran NICA, Soekarno harus disalahkan (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 17-10-1945). Dalam permulaan perang ini terindikasi hanya satu saluran pemberitaan di kalangan nasionalis Indonesia yakni Radio Indonesia Bandoeng (lihat De patriot, 18-10-1945). Pada tanggal 16 Oktober 1945 pasukan Belanda/NICA mengambil kendali lapangan terbang Tjililitan. Pada tanggal 17 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Indonesia di sekitar lapangan terbang Tjililitan. Lalu pada tanggal 18 Oktober 1945 pasukan Sekutu-Inggris memasuki Bandoeng. Pasukan Indonesia di Bandoeng yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution masih mampu mengatasi situasi dan keadaan ketika pasukan Sekutu-Inggris sejak kedatanggannya di Bandoeng pada tanggal 18 Oktober 1945. Proses pembebasan para interniran dan pelucutan senjata militer Jepang masih berjalan normal di bawah pengawalan pasukan Indonesia.

Kekosongan Menteri Pertahanan (Menteri Keanaman Rakyat) dan panglima kemudian diperankan (diambil alih Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dengan tetap merangkap sebagai Menteri Penerangan. Mr Amir Sjarifoeddin Harahap terus berkoordinasi dengan Markas Tentara Rakyat di Bandoeng yang dipimpin Abdul Haris Nasution dan Madmuin Hasiboean di Tjilintjing serta Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo di Jogjakarta.

Sebelumnya, pada saat situasi dan kondisi mulai tidak menentu, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap meminta Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo di Jogjakarta untuk merekrut sejumlah sarjana pintar yang masih muda-muda untuk difungsikan pada bidang strategis dengan pangkat Overste (Letnan Kolonel). Jumlahnya ada 17 orang diantaranya Ir, AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan (sarjana teknik kimia); sejumlah dokter (Dr. Ibnoe Soetowo, Dr. Irsan Radjamin Nasution, Dr Willer Hoetagaloeng) dan sejumlah sarjana hukum (Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr Arifin Harahap). Overste Ir. AFP Siregar ditugaskan ke Bandoeng untuk urusan produksi senjata dan mesiu, Overste Ibnoe Soetowo untuk urusan produksi pertambangan minyak di Tjepoe dan Ovesrte Mr Arifin Harahap (adik Mr Amir Sjarifoeddin Harahap) di Djakarta sebagai urusan dengan pihak Sekutu-Inggris (sebagai pejabat militer penghubung). Namun Overste Siregar belum berbuat banyak di Bandoeng untuk mendampingi Kolonel Abdoel Haris Nasution, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap memerintahkan Siregar segera ke Soerabaja untuk membantu perjuangan penduduk Soerabaja melawan Inggris. Sebagaimana diketahui pasukan Sekutu-Inggris pada tanggal 20 Oktober 1945 mendarat di Semarang dan pada tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya. Lalu pada tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Soerabaja. Perintah kepada Overste Siregar dari Bandoeng ke Soerabaja karena satu-satu sarjana teknik kimia Indonesia yang memahami urusan mesiu dan bom  adalah Ir AFP Siregar (lulusan teknik kimia Universiteit te Delft 1942). Di Soerabaja kemudian perang semakin menjadi-jadi yang puncaknya pada tanggal 10 Novermber 1945.

Lalu diadakan konferensi pada tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta yang turut dihadiri Menteri ad interim Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip membacakan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer tertinggi sebagai Panglima di masing-masing wilayah antara lain pimpinan TKR/TRI di wilayah barat Jawa Tengah Kolonel Soedirman dan wilayah Jawa Barat Kolonel Abdul Haris Nasution.

Pasca terjadinya perang hebat di Soerabaja yang puncaknya pada tanggal 10 November 1945, Presiden Soekarno membubarkan kabinetnya dan meminta Soetan Sjahrir untuk memimpin kabinet baru (yang diresmikan pada tanggal 14 November). Mr.Amir Sjarifoeddin tetap sebagai Menteri Penerangan dan posisinya di Menteri Pertahanan diformalkan (rangkap jabatan). Seperti halnya Mr. Amir Sajrifoeddin Harahap, Soetan Sjahrir juga anti Jepang. Duo anti Jepang inilah yang menjalankan kendali (pemerintahan) baru dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap juga bertindak sebagai Panglima dengan kepala staf Letnan Jenderal Oerip dimana dua mataharinya adalah Kolonel Abdul Haris Nasution di barat, Kolonel Soedirman di tengah. Di timur mataharinya adalah Kolonel Soengkono yang dibantu dua Letnan Kolonel fungsional: Overste AFP Siregar untuk urusan logistik senjata dan Overste Dr. Irsan Radjamin (anak Wali Kota Soerabaja Dr Radjamin Nasoetuion) untuk urusan kesehatan militer.

Eskalasi perang yang suhunya terus meningkat dan untuk mengorganisasikan pasukan pemerintah (TRI) dan para laskar rakyat, lalu pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa yang berpusat di Poerwakarta yang mana Kolonel Abdul Haris Nasution diangkat sebagai Panglima (untuk urusan laut tetap dijabat oleh Majoor Madmuin Hasiboean di Tjilinting). Namun beberapa hari kemudian Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap mengumumkan dan menetapkan dan mengangkat Kolonel Soedirman menjadi Panglima tertinggi militer Indonesia pada tanggal 18 Desember 1945 (dengan tetap berpangkat Kolonel). Uniknya kepala Staf adalah Oerip dengan tetap dengan pangkat Letnan Jenderal (itulah arti senioritas ala Mr Amir Sjarifoeddin Harahap). Dengan demikian fungsi perencanaan dan pengaturan (anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima [Kolonel] Soedirman. Untuk menjaga kesehatan Soedirman, Mr Amir Sjarifoeddin meminta Overste Dr. Willer Hoetagaloeng diperbantukan kepada panglima baru.

Ibukota RI akhirnya dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946. Lalu di Jogjakarta TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Sementara itu pasukan Sekutu-Inggris tidak lagi sekadar untuk dua tugas utama, tetapi sudah ada tugas tambahan untuk menyiapkan kebutuhan Belanda-NICA.

Di ibu kota Republik Indonesia di pengungsian di Jogjakarta Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap mengajak Soeltan Djogja dan Zulkifli Lubis sebagai bagian dari stafnya. Mereka bertiga mulai menyusun desain struktur militer (TRI) dan Departemen Pertahanan RI pada tanggal 12 Maret 1946 di Djogja (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 20-07-1948). Disebutkan satu cabang utama Departemen Pertahanan ini berada di Poerwakarta-Tjikampek. Salah satu divisi (divisi ke-5) Departemen Pertahanan ini adalah agitasi dan propaganda (Agitprop).

Zulkifli Lubis, yang di masa pendudukan Jepang membantu militer Jepang di Singapoera dalam urusan intelijen, di dalam struktur baru TRI fungsi intelijen dengan membentuk badan intelijen negara dengan mengangkat Zulkifli Lubis dengan pangkat Kolonel sebagai komandannya. Zulkifli Lubis fasih berbahasa Jawa karena sudah lama tinggal di Jogjakarta yang sebelum pendudukan Jepang telah menamatkan pendidikannya di AMS Jogjakarta (saya pernah ngobral lama dengan beliau di Bogor pada tahun 1983). Untuk menjaga keamanan Soeltan Djogja (Hamengkoeboewono IX) Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap juga menyediakan ajudan pribadi bagi Soeltan Djogja yakni Kapten M Karim Loebis (yang menguasai bahasa Belanda dan Inggris). Sebagaimana Overste Dr Irsan Radjamin di Jawa Timur, di wilayah Jogjakarta diangkat sebagai kepala kesehatan Dr. Parlindungan Lubis (yang belum lama kembali di tanah air dari Belanda. Dr. Parlindunga Lubis adalah lulusan Universiteit Amsterdam yang anti fasis. Pada saat militer Jerman menduduki Belanda tahun 1940, Dr Parlindungan Lubis mantan Ketua Perhimpoenan Indonesia itu ditangkap militer Jerman dan dijebloskan ke tahanan konsentrasi militer NAZI Jerman (pasca Sekutu menang atas Jepang, Jerman dan Itali, Dr Parlindungan Lubis melarikan diri dari kamp NAZI. Dr. Parlindungan Lubis adalah satu-satunya orang Indonesia di kamp NAZI.

Lengkap sudah struktur militer Indonesia (TRI). Oleh karena Pemerintah Belanda NICA sudah menguasai seluruh Indonesia Timur (Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua) plus Borneo maka perlawanan terhadap Sekutu Inggris dan Belanda NICA hanya praktis di Jawa dan Sumatra. Di wilayah Sumatra Menteri Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin telah menetapkan dan mengangkat komandan wilayah: Kolonel Maludin Simbolon di Sumatra Utara, Kolonel Djambek di Sumatra Tengah dan Kolonel Hidayat di Sumatra Selatan.

Dalam perkembangan selanjutnya, di Bandoeng, Sekutu/Inggris sudah nekad. Komandan Sekutu/Inggris di Bandoeng telah memberi ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya. Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap lantas bergegas dari Jogjakarta dengan menggunakan kereta api ke Bandung dan mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi. Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi III Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota. Ultimatim tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada tanggal 21 November 1945 yang mana tentara Sekutu/Inggris meminta Bandung Utara dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah insiden. Pasukan Sekutu/Inggris sendiri mendarat di Bandoeng sejak 17 Oktober 1945. Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946). Terjadinya kobaran api yang besar ini yang kelak dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’. Politik bumi hangus di Bandung terjadi di Bandung Selatan. Tindakan bumi hangus ini bersamaan dengan serangkan mortir yang dilancarkan oleh republic ke Bandung Utara tempat dimana pasukan Sekutu/Inggris berada. Tindakan ini telah memicu kemarahan Sekutu/ Inggris. Ini bukan provokasi tetapi tindakan patriot antara TRI dan penduduk di Bandung. Dalam aksi bumi hangus ini sejumlah properti eks Belanda dibakar, juga sejumlah bangunan warga rela dikorban untuk dibakar karena khawatir akan digunakan oleh Belanda-NICA. Aksi pembakaran ini di satu sisi suatu pengorbanan di sisi lain suatu tindakan untuk mencegah Belanda-NICA menggunakannya.

Sehubungan dengan semakin menguatnya Belanda/NICA yang telah menggantikan Sekutu/Inggris, wilayah pertahanan Indonesia kembali dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Pemerintah RI melalui Menteri Pertahanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap) dan struktur kemiliteran yang akan dipimpin Soedirman. Dalam pengumuman ini Soedirman telah dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Nama-nama para pimpinan TRI ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.

Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soerjo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibijo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni Kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.

Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut Jenderal (Soedirman, sebagai Panglima). Pangkat dibawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo, sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel (belum digunakan pangkat Brigadir Jenderal). Satu fungsi strategis adalah Kolonel Zulkifli Loebis sebagai kepala intelijen negara (di luar struktur militer). Dalam struktur baru kabinet yang diresmikan pada 2 Oktober 1946 Soeltan Hamengkoeboeono diangkat sebagai Menteri Nagara urusan pertahanan untuk membantu Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap.

Setelah reorganisasi ketentaraan ini, struktur TRI/TNI semakin rapih dan solid dalam menghadapi pasukan Belanda/NICA. Pertempuran yang tidak berkesudahan lalu kemudian terjadi proses diplomatik yang ditindaklanjuti dengan gencatan senjata (sejak 14 Oktober) dan dilanjutkan dengan suatu perundingan antara pemerintah Indonesia (PM Soetan Sjahrir) dengan pajabat Belanda/NICA di Linggarjati, Jawa Barat pada tanggal 11 November 1946. Namun hasil perjanjian ini tidak diterima semua pihak, Perdana Menteri Soetan Sjahrir dalam dilema. Pada tanggal 3 Juli Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dilantik menjadi Perdana Menteri untuk menggantikan Soetan Sjahrir.

Meski sudah menjabat posisi Perdana Menteri, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap masih merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Soeltan Hamengkoeboewon tetap menjadi Menteri Negara urusan Pertahanan. Itu berarti Kolonel Zulkifli Loebis tetap di posisinya sebagai kepala intelijen negara. Namun baru dua minggu Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap memimpin kabinet, Belanda/NICA pada tanggal 20 Juli 1947 melancarkan serangan militer yang kemudian disebut Agresi Militer Belanda. Belanda/NICA berdalih bahwa TNI dan pejuang (laskar dan rakayat) melakukan gangguan dan kemudian melakukan serangan dan pendudukan di wilayah-wilayah yang dikuasi oleh Republik. Padahal agresi ini jelas-jelas untuk merebut wilayah-wilayah yang potensial dimana banyak perkebunan-perkebunan besar seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Timur dan Jawa Barat dan tentu saja perkebunan-perkebunan di Tapanoeli dan Sumatera Barat (khususnya di Air Bangis dan Ophir).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Presiden Soekarno: Kolonel Abdul Haris Nasution vs Kolonel Zulkifli Lubis

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar