Laman

Senin, 05 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (74): LIPI dan Radermacher; Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen di Batavia 1778

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Apa itu LIPI? Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Suatu institusi (kantor) tentang ilmu dan pengetahuan di Indonesia, Oleh karena itu tentang ilmu dan pengetahuan di luar Indonesia bisa diurus oleh institusi lainnya seperti institusi ilmu dan pengetahuan di perguruan tinggi. Institusi LIPI ini dikoordinasikan oleh Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN). LIPI berkiprah dalam bidang riset terkait penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Maksudnya, lembaga Indonesia ini menerapkan ilmu dengan melakukan riset untuk menghasilkan pengetahuan baru tentang Indonesia atau terkait dengan Indonesia. Serupa itulah yang dilakukan Bataviaasch Genootschap der Wetenschappen yang digagas Radermacher tahun 1778.

Disebutkan kegiatan ilmiah di Hindia Timur sudah dimulai abad ke-16 oleh Jacob Bontius yang mempelajari flora dan Rumphius (Herbarium Amboinese). Pada tahun 1778 dibentuk Bataviaasch Genotschap van Wetenschappen dan pada tahun 1817 Reinwardt mendirikan S'land Plantentuin di Buitenzorg (kini Bogor). Pada tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Natuurwetenschappelijk Raad voor Nederlandsch Indie yang mana pada tahun 1948 diubah namanya menjadi Organisatie voor Natuurwetenschappelijk onderzoek (Organisasi untuk Penyelidikan dalam Ilmu Pengetahuan Alam). Badan ini menjalankan tugasnya hingga terbitya UU No. 6 tahun 1956 tentang Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Pada tahun 1962 pemerintah membentuk Departemen Urusan Riset Nasional (DURENAS) dan menempatkan MIPI didalamnya. Lalu pada tahun 1966 pemerintah mengubah status DURENAS menjadi Lembaga Riset Nasional (LEMRENAS). Pada bulan Agustus 1967 pemerintah membubarkan LEMRENAS dan MIPI dengan SK Presiden RI No. 128 tahun 1967. Berdasarkan Keputusan MPRS No. 18/B/1967 pemerintah membentuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan menampung seluruh tugas LEMRENAS dan MIPI. Berdasarkan Keppres No. 128 tahun 1967 diubah dengan Keppres No. 43 tahun 1985. Untuk penyempurnaan lebih lanjut, ditetapkan Keppres No. 1 tahun 1986 tentang Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Pedoman yang digunakan saat ini adalah Keppres No. 103 tahun 2001).

Lantas bagaimana sejarah lembaga ilmu dan pengetahuan Indonesia? Seperti disebut di atas itu sudah ada sejak lama pada era Hindia Belanda yang disebut Bataviaasch Genotschap van Wetenschappen tahun 1778. Tentu saja lembaga baru ini diperlukan sesuai kebutuhan para pegiat ilmu dan pengerahuan yang boleh jadi terisnpirasi dari para pendahulu mereka seperti Rumphius, Saint Martin dan Cornelis Chastelein. Juga terinspirasi dari inisiatif para penulsi sejaman seperti Francois Valentijn. Lalu bagaimana dengan (sejarah) LIPI RI? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bataviaasch Genotschap van Wetenschappen, 1778: Rumphius, Martin dan Chastelein

Seperti halnya orang-orang Belanda, orang-orang Inggris juga menyukai ilmu pengetahuan tentang Hindia Timur. Ini terbukti ketika terjadi pendudukan Inggris (1811-1816), lembaga LIPI Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen yang berada di Batavia (kini Jakarta) tetap dipertahankan tanpa mengubah namanya (lihat Java government gazette, 03-04-1813), bahkan ketuanya Letnan Gub Raffles sendiri. Ini menggambarkan saat itu bahwa ilmu pengetahuan tidak terkait dengan (perbedaan) bangsa apakah negeri asal maupun di negeri jajahan (kolioni). Ibarat musik, ilmu pengetahuan bersifat universal.

Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen digagas oleh Radermacher dan didirikan di Batavia pada tahun 1778. Boleh jadi itu, karena Radermacher berasal dari (provinsi) Zealand, suatu wilayah perbatasan Belanda dan Jerman di pantai utara. (salah satu wilayah dari tujuh wilayah federasi Belanda). Perhimpunan (Genootschap) sejenis sudah sejak lama ada di Vlissingen (ibu kota Zealand) dengan nama Zeeuwsche Genootschap der Kunsten en Wetenschappen. Genootschap di Zealand mulai peduli dan perhatian terhadap Hindia Timur pada tahun 1781 sehubungan dengan adanya upaya untuk menghimpun ilmu pengetahuan tentang Hindia Timur dalam kaitannya dengan (keselamatan) orang-orang Zealand di Hindia Timur seperti pelaut, dokter dan sebagainya yang berada di Hindia Timur (karena perbedaam situasi kondisi alam dan iklim dalam upaya peningkatan teknologi kapal dan volume perdagangan Zealand dari Hindia Timur (lihat Middelburgsche courant, 13-09-1781). Itulah arti penting Genootschap der Kunsten en Wetenschappen di Zealand. Tampaknya Radermacher yang sudah lama di Hindia Timur menyadari itu. Tampaknya terminologi Kunsten en Wetenschappen masih tergolong baru (lihat Johannes Swammerdam, 1675); sejak era Portugis hanya disebut wetenschappen saja atau kunsten, dua kata yang terpisah. Sementara Genootschap sendiri juga tampaknya masih terbilang baru, karena selama ini urusan seperti itu hanya ada di lingkungan kerajaan dan lingkungan gereja. Genootschap atau kelak lebih sering disebut Societeit didirikan untuk semua orang yang memiliki perhatian yang sama (ilmu dan pengetahuan).

Pasca pendudukan Inggris, nama Genootschap ini tetap dipertahankan. Tampaknya untuk membedakan Genootschap secara khusus untuk ilmu dan pengetahuan ini untuk yang bersifat umum digunakan terminologi yang berbeda yakni societeit seperti pendirian dan penamaan Societeit Harmonie. Dalam perkembangannya societeit didirikan di berbagai kota dan terus meluas hingga ke kota-kota kecil di Hindia Belanda, tetapi nama genootschap ini tetap dipertahankan untuk ilmu dan pengetahuan. Dalam hal ini nama Mr Jacob Cornelis Matthieu Radermacher harus ditempatkan pada posisi pionier pada awal pembentukan lembaga ilmu dan pengetahuan di Hindia Timur (Hindia Belanda). Sejak pendirian Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen 1778 yang juga menerbitkan jurnal triwulanan dimana banyak kontribusi Radermacher di dalamnya menjadi salah satu sumber yang kerap digunakan dalam berbagai artikel dalam blog ini.

Jauh sebelum Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen dibentuk di Batavia, upaya pengembangan pengetahuan sudah pernah dirintis oleh Saint Martin di Batavia sebelum kematiannya pada tahun 1698. Kemampuan dan minat yang tinggi dari Majoor St Martin dalam pengetahuan, terutama pengetahuan penduduk asli, dimiuta oleh Gubernur Jenderal VOC kelahiran Amboina van Hoorn untuk mendampingi Rumphius yang mengalami sakit dan telah lama bekerja di Amboina dalam bidang botani. Pekerjaan Rumphius ini diteruskan Saint Martin, namun karena Saint Martin meninggal muda tahun 1698 tugas yang belim selesai itu diteruskan oleh Cornelis Chastelein di Sering Sing. Georg Eberhard Rumphius meningal tahun 1702 di Amboina. Pejabat VOC yang tertarik dengan dunia ilmu pengetahuan ini, selain Chastelein adalah Abraham van Riebeeck. Entah bagaimana Rumphius, Martin dan Chastelein sama-sama berdarah Francis, sedangkan Riebeeck berdarah Belanda. Tiga yang terakhir inilah petani-petani pertama di Hindia Timur, Di hulu daerah aliran sungai Tjiliwong Saint Martin membuka lahan di Tjinere dan Pondok Terong, Cornelis Chastelein di Seringsing dan Depok serta Abrahan van Riebeeck di Bodjing Manggis dan Bosjong Gede. Van Hoorn sendiri juga adalah seorang petani di land van Hoorn (kini wilayah Pasar Baru), yang bertetangga dengan land Chastelein di land Briel atau land Anthonij (kini wilayah Gambir dan Senen) dan land Saint Martin di kawawan Kemayoran yang sekarang (nama Kemayoran merujuk pada nama Majoor St Martin). Para pendahulu ilmu dan pengetahuan Hindia Timur ini masih terpokus pada penghimpunan pengetahuan botani, sedangkan Radermacher dkk lebih pada penghimpunan pengetahuan tentang geografi yang terkait dengan politik (peran pemerintah dan eksistensi kerajaan-kerajaan) yang dihubungkan dengan pengembangan pertanian dan perdagangan.

Nama Radermacher menjadi identik dengan nama Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen. Radermacher yang mendapat pendidikan tinggi dengan gelar Mr memiliki kemampuan menulis yang baik dan tentu saja kepedulian tentang penghimpunan berbagai pengetahuan di Hindia Timur. Apa yang dilakukan oleh Radermacher dkk ini sudah pernah dirintis oleh seorang penulis dari Amboina (yang masih pernah bersua dengan Rumphius) yakni Francois Valentijn dengan bukunya yang terkenal Oud en Nieuw Oost Indisch yang diterbitkan tahun 1726.

Satu keutamaan Francois Valentijn adalah banyaknya kunjungan yang dilakukannya ke berbagai wilayah di Hindia Timur sehingga isi bukunya tidak hanya dari sumber sekunder tetapi juga sumber primer (observasi dan wawancara). Keutamaan lainnya adalah Francois Valentijn terbilang orang Belanda yang memanfaatkan sumber Daghregister (catatan harian Kasteel Batavia) dan juga upayanya yang tidak terduga menggali data terkait Hindia Timur dari sumber-sumber Portugis (dan sumber-sumber Spanyol). Francois Valentijn meninggal di Belanda tahun 1727 setahun setelah bukunya diterbitkan. Setelah era Francois Valentijn ini tidak ada lagi penulis-penulis hebat hingga munculnya nama Radermacher.

Tunggu deskripsi lengkapnya

LIPI Masa Kini: Radermacher dan Para Penerus

Saya pernah melamar ke LIPI tahun 1890 tapi ditolak, kurang memenuhi syarat. Namun tanpa persyaratan itu lamaran sayan diterima di Harian Kompas dan diundang untuk mengikuti test. Saya gagal ke tahap ke dua karena persaingan yang ketat, seingat saya yang mengikuti test 1000an orang yang akan diterima nantinya mengerucut hanya tujuh orang yang akan diangkat kandidat jurnalis. Setelah saya penuhi persyaratan (yakni ijazah dan transkrif nilai), sebagaimana ditolak di LIPI dan diterima di Kompas dengan hanya melampirkan surat keterangan lulus ujian skripsi, saya melamar ke LP3ES dan lembaga riset di UI, keduanya lulus. Saya memilih di UI saja meski gajinya lebih kecil. Sebab saya akan gratis satu kamar kontrakan dari uda saya di Rawasari (hanya cukup keluar ongkos bemo ke kantor). Itulah sejarah LIPI dalam pengetahuan saya: Dekat Di Hati, Jauh Di Mata. Entah mengapa pula saya pada gilirannya harus menulis Sejarah LIPI (pada artikel) ini.

Pada tahun 1990 usia LIPI sesungguhnya baru 23 tahun (mengacu pada pendiriannya dengan nama LIPI, 1967). Saya sendiri melamar ke LIPI pada usia 26 tahun. Itu berarti usia saya lebih tua dari LIPI. Apa yang membaut saya tertarik melamar ke LIPI dan LP3ES karena pada waktu itu keduanya sangat terkenal di bidang penelitian dan publikasi. Nyaris saya menjadi jurnalis, meski akhirnya tetap ingin meneliti. Namun ketika mulai bekerja di lembaga riset di UI, entah mengapa saya tertarik (fokus) pada bidang metodologi. Padahal hampir tidak ada yang tertarik pada aspek ini karena semua orang ingin jadi analis, lebih-lebih software mulai diterapkan dalam penelitian seperti software database (ISSA) dan software analisis (SAS). Buku metodologinya yang terkenal, mungkin satu-satunya, karya anak bangsa, adalah karangan Masri Singarimbun (yang juga selagi masih mahasiswa saya gunakan dalam mata kuliah Metode Penelitian). Kebetulan pada saat permulaan bekerja saya ditempatkan pada project multi-years kolaborasi dengan Rand Corporation. Saya pendengar yang baik, setiap ahli-ahli Rand berbicara apakah dalam suatu rapat atau sutau presentasi saya simak dan saya tulis. Bahkan setiap habis rapat atau presentasi saya menulis satu artikel tentang aspek metodologi. Judul-judul artikel saya sebenarnya terkesan remeh temeh seperti, cara wawancara yang baik, taktik membuat Question dan Answer, teknik membuat coding, cara mengorganisir tim survey di lapangan, cara membuat tabel dan grafik (pakai softaware HP) dan taktik membuat judul, berbagai teknik  sampling dan cara menganalisi data untuk menyiapkan dataset (data yang siap dianalisis dengan menggunakan tools statistik) dan sebagainya. Jumlah artikel (yang sebenarnya hanya semacam log bagi saya) jumlahnya bahkan sudah lebih dari 50 artikel yang kebetulan saya satukan menjadi terkesan satu buku. Pada suatu waktu di tahun 1995 seorang ahli statistik Rand melihat buku itu di meja saya dan kaget dengan membolak-balik buku itu meski ditulis dalam bahasa Indonesia tampaknya dia paham isinya. Pak Harahap, saya akan cari Anda tempat kursus yang tepat. Beberapa bulan kemudian saya direkomendasikan untuk mengikuti training metodologi riset di East-West Center, Hawaii 1996. Sepulang dari Hawaii, saya banyak diberi kesempatan terlibat dalam pembuatan kuesioner mereka. Seorang pakar metodologi dari Rand berkomentar dalam suatu rapat, ‘Saudara Akhir, kami tidak selalu bisa membuat kuesioner yang baik (sesuai kebutuhan), Anda ahli di negaramu’. Saya kaget! Saya balik merespon: ‘maksudnya bagaimana?’. Jawabnya ringkas: ‘kami hanya bisa menganalisi, tetapi kurang begitu memahami bagaimana mengumpulkan data yang baik. Saya mulai paham. Dari penjelasan ini baru saya paham mengapa saya pernah diminta membuat kuesioner tentang topik kebiasaan merokok yang akan disubmit pada kuesioner mereka. Ternyata kuesioner saya itu diterima dengan senang hati dengan beberapa modifikasi dan editing. Pada tahun berikutnya 1997 saya diminta mereka ikut ke Rand Corporation di Santa Monica, LA, California. Saya tidak tahu ada apa mau tugas apa disana. Setelah beberapa hari ngantor di Rand, bagaikan orang kampong bengong tidak tahu mau apa tetapi diberikan fasilitas kantor, komputer dan kartu perpustakaan. Setelah memiliki kartu perpustakaan saya diminta seorang ahli lain di Rand untuk membuat laporan tentang semua survei di seluruh dunia dalam tahun-tahun terakhir. Sederhana saja tugas itu bagi saya dan juga hanya dibuat dalam bahasa Indonesia saja (tidak ada petunjuk teknis yang diberikan, hanya diminta membuat laporan tentang metodologi survei di seluruh dunia itu). Tugas itu selesai dalam satu bulan sekitar 60 halaman. Laporan saya diterima dan bahkan dikasih bonus kecil 1.000 dollar (selain sudah ada tiket pp, kamar kontrakan dan perdiem per hari 30 dollar plus mengikuti PAA Meeting di Washington DC selama tiga hari). Pada tahun 1997 ketika mereka mengembangkan survei mereka di Indonesia dari survei 1993 menjadi p         anel survei 1997 saya diminta mereka untuk tugas khusus, menyusun (buku) pedoman tracking survei (setahu saya inilah survei panel pertama di negara sedang berkembang). Kali ini juga dapat bonus 900 dollar. Tidak lama kemudian, 1999, orang yang kerap berdiskusi dengan saya soal survei di Indonesia (Prof di UCLA, orang yang meminta saya membuat buku pedoman tracking), ketika kembali ke Indonesia membawa oleh-oleh sebuah jurnal ilmiah yang mana didalamnya terdapat satu tulisannya tentang yang langka, analisis data kuesioner berbasis data di Indonesia (1993 dan 1997) yang dapat dikatakan masuk bidang metodoligis (data collecting). Lalu saya mulai tertegun dan pesimis apa yang telah dilakukan oleh BPS selama ini.

Sejarah LIPI sesungguhnya tidaklah harus dipandang sejak 1967. Narasi sejarah LIPI terlalu ringkas dan simpel (lihat http://lipi.go.id/tentang/sejarahlipi). Tidak menginspirasi bagi generasi penerus. Memang ada disebut sebaris pada awal paragraf ‘Pembentukan LIPI memiliki sejarah yang panjang. Setelah melewati beberapa fase kegiatan ilmiah sejak abad ke-16 hingga tahun 1956, pemerintah Indonesia membentuk Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Satu baris itu ingin menunjukkan sesuatu yang berkesan di masa lampau tetapi dengan sebaris itu tidak memiliki makna apa-apa.

Saya ada beberapa membaca laporan penelitian atas nama LIPI, namun anehnya, hanya mengutip sejarah (topik yang diteliti) di negara lain, tetapi abai dengan yang telah (pernah) dilakukan pada era sejaman di Indonesia (baca: Hindia Timur dan Hindia Belanda). Saya kurang tahu mengapa demikian, apakah karena tidak mengetahuinya (paling tidak pada sumber-sumber Belanda) atau memang sengaja diabaikan seakan kita masa ini yang pertama kali melakukan penelitian topik itu. Mengabaikan hal semacam ini sesungguhnya kita tidak melihat garis continuum, padahal bidang keilmuan (ilmu dan pengetahuan) bersifat akumulatif. Hal-hal serupa ini juga ditemukan dalam tulisan-tulisan ilmiah yang berasal dari perguruan tinggi di Indonesia. Kalimat sebaris ‘Setelah melewati beberapa fase kegiatan ilmiah sejak abad ke-16 hingga tahun 1956’ pada mukaddimah Sejarah LIPI sudah sebaiknya diperkaya agar lebih inspiratif dalam bidang (kajian) penelitian.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar