Laman

Jumat, 23 Juli 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (92): Mengapa Kebudayaan Dongson? Kebudayaan Jawa dan Batak, Homosapiens hingga Era DNA

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Dalam berbagai tulisan, narasi sejarah awal di Indonesia pada zaman kuno kerap dikaitkan dengan (kebudayaan) Dongson. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana cara menarik relasi kebudayaan Dongson (Vietnam) menyebar ke pulau-pulai di Hindia Timur (baca: Indonesia) seperti Sumatra dan Jawa. Okelah, itu satu hal. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana dengan eksistensi kebudayaan di Indonesia seperti kebudayaan Batak dan kebudayaan Jawa. Lalu setelah itu baru direlasikan apakah ada relasinya dengan kebudayaan Dongson

Sebuah tulisan di detikTravel berjudl ‘Mengapa Budaya Batak dan Toraja Hampir Sama?’ yang ditulis oleh Ivonesuryani (Sabtu, 27 Jan 2018 10:53 WIB). Berikut isinya: Sang penulis bertanya ‘pernahkah traveler memperhatikan bahwa ada kemiripan budaya antara suku Toraja dan suku Batak? Jawaban ditemui di TB Silalahi Center, Balige. Pada bentuk tongkonan di Toraja dan rumah bolon di Batak, tarian tortor dan rambu solo, serta penyebutan marga yang mirip, misalnya marga Aritonang, Tobing, Pakpahan dan Pardede pada suku Batak, pada suku Toraja ada marga Aitonam, Toding, Pahan dan Pirade. Saya mengunjungi Museum Batak di dalam Komplek TB Silalahi Center, saya melihat sebuah miniatur tongkonan (rumah adat Toraja) dan rasa penasaran muncul, mengapa ada tongkonan di Museum Batak? Dalam, miniatur tongkonan tersebut ada tulisan menjelaskan bahwa budaya Batak dan Toraja mirip dengan kebudayaan Dongson. Para ahli sejarah berpendapat yang mengembangkan kebudayaan Dongson adalah bangsa Austronesia di kawasan Vietnam (terletak di sepanjang aliran sungai Merah berbatasan langsung Yunan, Cina Selatan). Lalu bangsa Austronesia ada menetap di Filipina dan lainnya di Indonesia bagian barat. Pendatang gelombang pertama disebut Proto Melayu (Melayu Tua) yang berkembang menjadi suku Batak, Toraja, Nias, Mentawai dan Dayak. Dulu saya pikir kesamaan budaya suku Toraja di Sulawesi Selatan dan suku Batak di Sumatera Utara hanya karena sinkronisasi dan akulturasi budaya semata, tapi ternyata kedua suku tersebut memang memiliki garis keturunan yang sama’. Itulah apa yang diketahui penulis dan lalu menyimpulkannya sendiri.

Lantas mengapa kebudayaan Dongson? Seperti disebut di atas, antara budaya Batak dan budaya Toraja disimpulkan relasinya budaya Dongson. Lalu mengapa tidak kebudayaan Jawa? Dalam berbagai tulisan juga disebut Jawa juga memiliki relasi dengan Dongson. Namun yang tetap menjadi pertanyaan mengapa (harus) kebudayaan Dongson? Bukankah ada kebudayaan Jawa? Lalu apakah kebudayaan Jawa kebudayaan baru, padahal manusia Jawa (homosaspiens) sudah ada sejak zaman purba? Lalu bagaimana dengan kebudayaan India? Bagaimana semua itu harus dimengerti? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Penduduk Hindia Timur:  Mengapa Kebudayaan Dongson?

Banyak teori yang sudah kadaluarsa, banyak teori yang dibangun dengan data kosong, banyak teori yang didasarkan pada data yang tidak relevan (tidak terkait) dan banyak teori yang sangat minim data serta banyak teori yang tidak bisa diaplikasikan di tempat lain. Teori tidak bersifat abadi, teori dapat diperbaharui. Demikian seterusnya. Namun tetap ada teori yang abadi dan cenderung bersifat eksak. Intinya bahwa teori-teori itu banyak yang berasal dari era tempo doeloe (belum secanggih sekarang) yang tidak lagi andal pada masa ini. Anehnya teori beda era itu masih banyak yang menerapkannya pada masa ini. Padahal tidak ada logisnya

Dalam teori-teori kebudayaan (sosial) para arkeolog, geolog, antroplog dan ahli linguistik bekerja keras lalu menyimpulkan hipotesisnya berdasarkan data yang ditemukan. Contoh, dengan mengumpulkan data geologi para peneliti menyimpulkan bahwa pada zaman dulu Sumatra, Jawa dan Kalimantan menyatu dengan Asia. Oleh karena itu flora dan fauna serta hasil-hasil kebudayaan zaman kuno bergerak dari China Selatan (Indochina ke pulau-pulua Indonesia yang sekarang. Pernah menyatu atau tidak adalah satu hal dan memiliki kesamanan antar wilayah yang berbeda (pulau) adalah hal lain lagi. Lalu bagaimana menarik relasinya? Oleh karena pernah menyatu maka persamaan itu sebagai konsekuensi (hasil). Mengapa tidak berpikir juga sebaliknya, tanpa pernah bersatu, yang mana persebaran dapat terjadi tanpa adanya penyatuan daratan tetapi dengan dibawa atau direlokasi dengan menggunakan alat transportasi. Pada artikel sebelum ini, para ahli menyebut gambut Indonesia berusia 6.000-4.000 tahun yang lalu. Faktanya banyak wilayah gambut yang sekarang, terutama dekat pantai terbentuk baru belakangan (tidak lebih dari 2.000 tahun). Dalam hal ini, mengukur (data) adalah satu hal, menganalisis untuk menemukan relasi adalah hal lainnya. Bagaimana mengukur (data) benar apa tidak sangat menentukan hasil analisis untuk melihat relasi. Analisis relasi adalah level tertinggi dari suatu analisis. Dalam hal ini tidak hanya tergantung pada data (valid dan reliabel) juga alat (metodologi) analisis (teori atau nalar) apakah sesuai atau tidak. Selanjutnya hasil analisis tentu saja belum selesai (final), masih ada satu tingkat lagi yakni soal interpretasi (bersifat general atau hanya sekadar kasuistik). Dalam artikel sebelum ini tentang peta Taprobana ratusan tahun hanya dibiuktikan bahwa itu peta pulau Ceylon atau pulau Sumatra. Tapi berdasarkan data (peta) dengan metode analisis yang sesuai, menyimpulkan peta Taprobana adalah pulau Kalimantan. Juga pada artikel lain, teori Batak-Toraja yang menghubungkan kebudayaan Dongson tidak relevan, bukti yang ada adalah bahwa Batak dan Toraja memiliki relasi langsung (head to head).

Bagaimana menghubungkan kebudayaan Dongson dengan kebudayaan awal di pulau-pulau di Indonesia (Hindia Timur). Nah, itu tadi. Disebutkan bahwa kebudayaan zaman batu dan zaman perunggu menyebar dari Indochina karena kesamaan. Dalam hal itu (kebudayaa) zaman perunggu Dongson disebut menyebar ke pulau-pulau Indonesia bertarih 1.000 SM hingga 1 M). Lalu bagaimana kebudayaan batu di Jawa Tengah (homopsapiens) dan kebudayaan batu di Jawa Barat (situs gunung Padang). Lalu apakah zaman batu di Vietnam lebih awal baru kemudian di Jawa? Lalu bagaimana relasi zaman batu di Jawa dengan zaman batu di Australia? Seperti halnya dari Vietnam ke Jawa, apakah juga dari Jawa menyebar ke Australia.

Soal nalar, data dan teori sudah berkembang di Eropa atau Timur Tengah pada zaman kuno. Misalnya di Mesir, piramida dibangun 4.500 tahun yang lalu. Dalam hal ini membangun piramida apakah menggunakan teknologi batu? Juga disebutkan pada pengawetan yang terdapat pada piramida telah menggunakan kamperr. Fakta historisnya adalah kamper hanya ditemukan di Sumatra bagian utara. Lalu apakah kita berpikir penduduk Sumatrra yang memproduksi kamper menggunakan alat-alat dari batu? Juga soal emas pada era zaman Solomon (Nabi Sulaiman) yang disebut dalam kitab suci Taurat dan Injil mengenai Ophir sebagai penghasil emas. Orang Eropa lebih percaya bahwa Ophir itu berada di Sumatra. Sementara dalam teori kebudayaan Dongson disebut penyebaran kebudayaan Dongson di Indonesia melalui bangsa Deutro Melayu (Melayu Muda) yang menyebar ke wilayah Indonesia dalam kurun waktu 500 SM hingga 300 SM yang mana jalur yang ditempuh mulai dari teluk Tonkin menyusuri daratan Semenanjung lalu menyebrang selat ke Sumatera dan ada yang meneruskan ke Jawa maupun ke berbagai daerah di Indonesia.. Sedangkan yang lebih awal adalah Proto Melayu (Melayu Tua) yang sekarang adalah suku bangsa Batak, Toraja, Nias, Mentawai dan Dayak. Lalu apakah kita tetap berpikir bahwa semuanya bermula dari Indochina dan kebudayaan Dongson. Dalam hal ini kita tidak perlu lagi mempertanyakan sejak kapan penduduk ada di Sumatra dan Jawa, sementarra diseimpulkan kebudayaan (perunggu) di Sumatra dan Jawa datang dari Indochina (Dongson).

Fakta bahwa penduduk asli (primitif) di Hindia Timur seperti di Sumatra dan Jawa adalah ras negroid yang sudah mengembangkan teknologi batu dan besar dugaan penduduk yang mendukung kebudayaan zaman batu di Jawa (situs gunug Padang). Penduduk asli di Jawa yang lebih awal (homosapien) juga sudah mengembangkan teknologi batu. Lalu bagaimana dengan teknologi zaman batu Dongson menyebar ke Jawa dan teknologi zaman perunggi Dongson menyebar ke Jawa, Faktanya teknologi batu sudah diterapkan di Jawa dan teknologi yang lebih canggih sudah berkembang di zaman Mesin kuno (sudah mengenal produk kamper dan emas). Apakah tidak terpikirkan sebaliknya tentang teori (kebudayaan) Dongson? Kapan dan dimana Dongson?

Dongson adalah suatu wilayah di Vietnam utara yang letaknya berada dekat laut (kawasan pantai) di daerah aliran sungai Merah. Di kawasan inilah disebut kebudayaan Dongson berkembang (hingga meluber ke Indonesia). Kebudayaan Dongson dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Kebudayaan ini sendiri merujuk pada nama situs Dongson di Tanah Hoa. Seperti disebut di atas, kebudayaan (perunggu) Dongson sebagai pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Di kawasan Dongson ini ditemukan segala macam alat-alat perunggu, alat-alat dari besi serta kuburan dari masa itu yang merupakan situs penyelidikan yang pertama, yang mana disebut kebudayaan Dongson ini berlangsung 1.500-500 SM di kawasan sungai Ma (Vietnam).

Lokasi Dongson sebagai pusat kebudayaan kuno tampaknya tidak valid. Mengapa? Dongson di Tanah (Thanh) Hoa di daerah aliran sungai Ma berada di kawasan sekitar muara sungai yang relatif datar. Kawasan Dongson ini jelas kawasan yang relatif muda. Tanah yang ada diduga kuat sedimentasi yang menjadi daratan di muara sungai Ma. Itu sama dengan mangatakan kawasan itu setua tanah kota Jakarta, Semarang dan Surabaya. Bagaimana kita bisa mengatan pusat kebudayaan Jawa bermula di Jakarta, Semarang atay Surabaya. Bahwa ditemukan artefak-artefak kuno di Jakarta, Semarang dan Surabaya bisa jadi tetapi bukan berarti otomatis menjadi pusat kebudayaan awal. Masih lebih mungkin pusat kebndayaan tua misalnya berada di Cibarusa. Bisa jadi artifek itu dibawa atau jatuh di eks perairan. Data lokasi dalam hal ini meragukan, karena kawasan yang lebih tua di pantai timur Indochina berada di Kattigara (Kamboja), Annam dan Hue (Vietnam).

Dalam catatan geografi Ptolomeus pada abad ke-2 terdapat Kattigara. Besar dugaan Kattigara ini adalah kota atau tempat terpenting di kawasan Indochina yang sekarang. Dongsong sebagai pusat kebudayaan kuno, tentulah sudah eksis jauh lebih tua dan lebih penting dari Kattigara. Masih pada abad ke-2 menurut catatan Tiongkok kota (kerajaan) yang lebih awal berada di Yeh-shin (kota Hue yang sekarang). Lalu pada abad ke-3 diketahui tempat (kerajaan) yang kemudian dikenal sebagai Annam. Lalu bagaimana dengan do Dongson di Tanah Ma muara sungai Merah? Pada abad ke-2 bahkan abad ke-3 tentulah belum terbentuk sebagai daratan. Catatan: Kattigara sendiri pada era Ptolomeus (masih) berada di pantai di muara sungai Mekong (sekarang terkesan di pedalaman).

Okelah bahwa artefak ditemukan di Dongson ataupun di sekitarnya. Namun yang dipertanyakan dan yang lebih penting, bukan karena ada kemiripan lalu menyebar dari sana, tetapi bagaimana penyebaran itu sampai di pulau-pulau Hindia Timur? Hal itu berbeda dengan kemiripan bahasa dan aksara yang ditemukan di pulau-pulau Hindia Timur yang memang dapat dibuktikan. Lalu idem dito dengan soal keramik atau gerabah yang oleh para arkeolog yang menjadikannya hanya sebagai ukuran tarih tentang penemuan di suatu tempat di Hindia Timur. Okelah itu masih masuk akal, tetapi bagaimana keramik itu sampai disitu. Apakah dibawa ke tempat itu pada era yang sama dengan pembuatan keramik atau keramik itu ada yang membawanya d ari satu tempat pada era yang berbeda.

Candi di satu sisi dan artefak atau prasasti di sisi lain haruslan dipandang berbeda. Candi tidak bisa dipindahkan, tetapi teknologinya bisa ditransfer. Seementara prasasti apalagi artefak sangat gampang dipindahkan, Soal candi tidak perlu dipertanyakan dimana berada, tetapi untuk prasasti dan artefak harus diklarifikasi dengan bukti atau teori. Hal ini juga dapat dipertanyakan pada semua prasasti di Hindia Timur. Misalnya apakah prasasti Muara Kaman benar-benar dibuat di situ atau direlokasi? Bisa iya bisa tidak. Jika tidak apa hubungannya dengan prasasti-prasasti di Jawa bagian barat (apakah ada hubungan satu sama lain dan bagaimana arah relasinya. Jadi dalam hal ini bukti (fakta) adalah suatu hal tetapi yang lebih penting penjelasannya. Prasasti Mauara Kaman memang ditemukan adalah fakta, tetapi sejak kapan prasasti itu ada disitu dan kemudian kapan prasasti itu dibuat? Hal-hal serupa ini diperlukan bukti tambahan. Tidak cukup satu, dua juga masih kurang, tetapi lebih banyak lebih baik. Ini juga berlaku untup produk kuno kamper bahwa ditemukan di Eropa, tetapi bagaimana produk itu sampai di Eropa. Sebab faktanya produk kamper ditemukan di Eropa dan kamper sendiri hanya diproduksi di Sumatra bagian utara. Jadi harus bisa lebih dijelaskan.

Lantas apakah bisa disimpulkan dengan buru-buru jika ditemukan artefak yang mirip di Dongson dengan di tempat lain lalu disimpulkan (kebudayaan) menyebar dari sana. Tentu saja akan lebih mudah dijelaskan untuk virus Covid-19 yang sekarang dimana bermula lalu menyebar kemana. Nah, seperti yang dikutip di atas, bahwa ada marga yang sama di Batak dan di Toraja lalu dihubungkan keduanya dengan Dongson. Itu jelas sangat naif. Bahwa ada marga Aritonan dan Tongkonan di Toraja dan ada Aritonang dan rumah bolon di Batak lalu disimpulkan sama-sama berasal dari kebudayaan Dongson.

Dalam kasus relasi Batak-Toraja yang dipertanyakan dalam hal ini mengapa harus dihubungkan dengan Dongson (sebagai penghubung). Apakah tidak ada kemungkinan lain bahwa ada hubungan langsung antara Batak dan Toraja (atau sebaliknya). Lagi-lagi itu juga perlu pembuktian. Lalu apakah hal yang sama juga berlaku bahwa ada kosa kata elementer yang sama antara Batak dan Minahasa lalu duhububgkan dengan Dongson pula. Kosa kata elementer itu antara lain ina, inang, ama, amang, empung, ompung dan sebagainya. Bukankah yang lebih bisa dijelaskan bahwa ada hubungan budaya langsung dari Batak ke Toraja dan ke Minahasa (tidak arah sebaliknya). Lalu di Tanah Batak sendiri arahnya budaya itu sendiri dari selatan (Angkola Mandailing) ke utara (Simalungun Toba). Jadi dalam hal ini pula bukan dari utara ke Sulawesi tetapi dari selatan ke Sulawesi. Bagaimana itu dapat dijelaskan? Sudah dibahasa pada artikel-artikel sebelum ini. Yang jelas dalam ‘teori’ pembaca yang dikutip diatas ada berdasarkan bukti yang ada terdapat dua hal yang dilanggar yakni mengabaikan telasi langsung antara Batak dan Toraja dan juga mengabaikan relasi selatan vs utara dengan Toraja.

Soal kebudayaan Dongson zaman kuno (prasejarah) juga kerap diasosiasikan dengan soal pembentukan (asal) bahasa (Melayu). Bahwa pada masa ini pengguna bahasa Melayu di Semenanjung dan Kepulauan Riau, lalu dihubungkan hal itu bermula di sekitar Laut China Selatan (termasuk kawasan Dongson tadi). Dalam hal ini, sekali lagi, pembentukan (asal) bahasa adalah satu hal dan penggunaan bahasa adalah hal lain lagi. Itu ibarat bahasa Betawi mirip bahasa Melayu lalu disimpulkan bahasa Melayu lahir di wilayah Betawi. Benar bahwa di Semenanjung dan Riau digiunakan bahasa Melayu (fakta) tetapi apakah bahasa itu bermula disitu adalah hal lain yang perlu pembuktian. Ini sangat berbeda dengan teori bahasa Jawa di pedalaman Jawa. Bahasa Jawa digunakan di pedalaman Jawa adalah fakta lalu apakah bahasa Jawa bermula di Jawa lebih mudah dijelaskan. Lalu mengapa tidak terpikirkan bahwa itu bisa saja lagir di Betawi, di Aceh, di Pontianak, di Manado, di Ambon dan bahkan di Madagaskar, Tentu saja tidak ada salahnya ada yang berpikir bahwa dimungkinkan di Tanah Batak atau di Tanah Jawa. Di Depok semua orang berbahasa Indonesia itu suatu fakta, tetapi apakah orang Depok (di zaman dulu) awalnya berbahsa Indonesia itu hal lain lagi. Sekali lagi yang lebih penting adalah bagaimana menjelaskannya dengan bukti-bukti untuk mendukung teori yang mana yang lebih valid. Sebab bahasa bisa dipindahkan atau bertransformasi.

Hal yang mirip dengan kasus-kasus di atas, soal bahasa Batak dan bahasa Minangkabau. Pada dasarnya di dua wilayah sudah terbentuk bahasa-bahasa asli. Lalu dalam perkembangannya pada era zaman kuno penduduk menjadi bilingual (bahasa asli dan lingua franca bahasa Sanskerta). Lalu kemudian ada faktor yang membedakan mengapa penduduk Batak bertahan berbahasa Batak sedangkan penduduk Minangkabau mengadopsi bahasa baru (lingua franca). Lalu apakah penduduk Batak sejak awal berbahasa Batak dapat dijelaskan, lalu apakah penduduk Minangkabau pada awalnya memiliki bahasa asli dapat dijelaskan. Bahkan penduduk Minangakabau pada awalnya dengan bahasa asli memiliki aksara sendiri. Oleh karena itu diduga kuat bahwa di wilayah Minangkabau kehilangan (punah) bahasa asli dan aksara asli; sementara di Tanah Batak tidak ada yang hilang, bahasa dan aksara tetap leastri hingga in hari. Analog dengan ini sesungguhnya dapat berlaku sama tentang kasus di Riau dan Semenanjung. Lalu seperti apa bahasa asli penduduk Minangkabau? Telusurilah pada (akar) bahasa itu sendiri.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kebudayaan Jawa dan Batak: Homosapiens hingga Era DNA

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar