Laman

Minggu, 26 September 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (135): Perguruan Tinggi Pertama Indonesia (Hindia Belanda); THS di Bandoeng, RHS dan GHS di Batavia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pada masa ini ribuan perguruan tinggi (akademi/universitas). Namun semua itu bermula dari satu. Pada era Hindia Belanda di Bandoeng didirikan perguruan tinggi yang dibukan pada tahun 1920 yang disebut Technische Bandoeng School (cikal bakal Institut Teknologi Bandung). Soekarno (Presiden RI pertama) adalah angkatan ketiga (lulus 1926). Sebelumnya siswa-siswa pribumi melanjukan studi ke perguruan tinggi di Belanda. Lantas mengapa perguruan tinggi diselanggarakan di Indonesia (baca: Hindia Belanda).

Pada tahun 1924 di Batavia sekolah hukum untuk pribumi (rechtschool) ditingkatkan menjadi perguruan tinggi (Rechhoogeschool=RHS). Seorang siswa lulusan ELS di Medan Amir Sjarifoeddin Harahap melanjutkan sekolah (Gymnasiun) di Belanda untuk memudahkannya memasuki perguruan tinggi dan berhasil diterimaka di sekolah hukum di Belanda tahun 1926. Namun tiba-tiba ada masalah keluarga dan harus kembali ke tanah air. Amir Sjarifoeddin Harahap tidak kembali ke Belanda tetapi transfer ke Rechthoogeschool di Batavia. Pada tahun 1927 sekolah kedokteran yang cikal bakalnya Docter Djawa School yang dibuka tahun 1851, ditingkatkan menjadi perguruan tinggi kedokteran Geneeskundigehoogeschol (GHS) Batavia. Sebagai ganti STOVIA didirikan sekolah kedokteran di Soerabaja (NIAS). Tiga perguruan tinggi (THS, RHS dan GHS) adalah tiga perguruan tinggi setara universitas di Hindia Belanda (baca: Indonesia). RHS dan GHS ini menjadi cikal bakal Universitas Indonesia.

Lantas bagaimana sejarah perguruan tinggi di Indonesia? Seperti disebut di atas, tiga perguruan tinggi setara universitas adalah THS, RHS dan GHS. Lulusan perguruan tinggi seperti STOVIA dan sekolah guru di Poerwokerto dan Bandoeng (HIK) adalah setara akademi. Sebelumnya untuk mendapat gelar sarjana penuh (setara Eropa) harus ditempuh di Eropa/Belanda. Lalu bagaimana asal-usul perguruan tinggi setara universitas diselenggarakan di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Awal Siswa Pribumi Studi ke Belanda: THS Bandoeng Dibuka 1920

Dua pendidikan tinggi bagi pribumi pada awal era Hindia Belanda adalah pendidikan guru dan pendidikan kedokteran. Untuk tujuan itu mulai didirikan sekolah guru (kweekschool) pertama di Soeracarta tahun 1850 dan mendirikan sekolah kedokteran di Batavia tahun 1851. Persyaratan untuk diterima pada dua pendidikan tinggi itu adalah lulusan terbaik dari sekolah dasar tiga tahun, Lama pendidikan di dua pendidikan tinggi itu selama dua tahun. Lulusan sekolah guru menjadi guru dan lulusan sekolah kedokteran untuk membantu para dokter (sarjana lulusa perguruan tinggi) asal Eropa/Belanda. Saat yang bersamaan pendidikan untuk anak-anak Eropa/Belanda di Hindia Belanda juga masih setingkat sekolah dasar (ELS), tetapi dengan lama studi lima tahun. Baru pada tahun 1860 diselenggarakan pendidikan HBS (di Batavia) yang dapat melanjutkan ke perguruan tinggi (universitas) di Belanda.

Sekolah dasar Eropa (ELS) dimulai sekitar tahun 1820 di kota-kota seperti Batavia, Soerabaja, Semarang dan Padang. Lama studi ELS yang lama tahun kira-kira sama dengan lama sekolah bagi anak-anak pribumi, yakni lama studi di sekolah dasar (3 tahun) ditambah lama studi di sekolah guru dan sekolah kedokteran yang dua tahun. Oleh karena itu lulusan sekolah guru dan sekolah kedokteran kurang lebih setara dengan ELS (lama studi lima tahun, ceteris paribus). Beberapa tahun kemudian sekolah kedokteran (yang hanya di Batavia) ditingkatkan menjadi lama studi tiga tahun, yang kemudian dikenal sebagai Docter Djawa School. Dua siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran ini dari luar (pulau) Jawa adalah Si Asta dan Si Angan dari Afdeeling Angkola Mandailing, Residentie Tapanoeli tahun 1854. Sekolah kedokteran ini mutunya terus ditingkatkan dengan lama studi menjadi lima tahun (sejak 1875) dan kemudian menjadi tujuh tahun (sejak 1885). Pada tahun 1902 sekolah kedokteran Docter Djawa School ini ditingkatkan lagi dengan lama studi sembilan tahun yang disebut STOVIA. Sementara itu lulusan ELS, anak-anak Eropa/Belanda tidak perlu lagi melanjutkan studi ke Belanda, karena sejak 1860 dibuka sekolah KWS di Batavia yang menyelenggarakan pendidikan HBS (tiga tahun setara MULO/SMP dan lima tahun setara AMS/SMA). Satu diantara lulusan sekolah dasar pribumi, Sati Nasution alias Willem Iskander melanjutkan pendidikan ke Belanda tahun 1957 dan lulus dengan mendapat akta guru tahun 1860. Pada tahun 1861 Willem Iskander kembali ke tanah air dan pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru (kweekschool) di kampungnya di Tanobato (Afdeeling Angkola Mandailing). Selanjutnya, seiring dengan semakin banyaknya dan meluasnya ELS di Hindia Belanda, anak-anak pribumi dimungkinkan memasuki ELS (sejak 1875). Lulusan ELS inilah yang menjadi persyaratan masuk sekolah Docter Djawa School/STOVIA). Dengan demikian, mutu (lama studi) lulusan STOVIA lebih tinggi dari sekolah untuk siswa-siswa Eropa/Belanda (yang tertinggi hanya sampau HBS). Anak-anak Eropa.Belanda lulusan HBS melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Belanda. Salah satu lulusan HBS (Semarang) berasal dari pribumi adalah Raden Kartono (abang dari RA Kartini) melanjutkan studi ke Belanda tahun 1896. Para lulusan sekolah guru kwekeschool dan sekolah kedokteran Docter Djawa School setelah mereka mengabdi menjadi guru dan dokter, mulai ada yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Belanda tahun 1905. Guru yang pertama adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Rijkkweekschool) dan Dr Abdul Rivai di Universiteit te Amsterdanam. Dr Abdul Rivai meraih gelar dokter penuh (setara Eropa) tahun 1908 dan Soetan Casajangan meraih gelar sarjana pendidikan tahun 1911. Mereka berdua inilah yang dapat dikatakan sarjana pribumi (Indonesia) pertama dari jalur non HBS. Raden Kartono (dari jalur HBS) menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 1906    

Sejak Raden Kartono, Abdoel Rivai dan Soetan Casajangan menempuh pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi/universitas) di Belanda (yang kemudian berhasil meraih gelar sarjana), semakin banyak siswa-siswa pribumi yang melanjutkan pendidikan ke Belanda (terutama lulusan HBS). Mereka itu antara lain Hussein Djajadiningrat (HBS Batavia), Raden Soemitro (HBS Semarang), Pribumi yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi di Belanda via non HBS juga tetap banyak, meski dengan beberapa penyesuaian di Belanda, seperti dari kweekschool dan HIK, rechtschool, STOVIA, Veeartsenschool dan Landbouwschool.

Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sudah ada sekitar 20 orang. Soetan Casajangan, seorang guru yang tengah menempuh pendidikan keguruan, yang terbilang senior (dari segi umur) menginisiasi pendirian organisasi (mahasiswa pribumi) dengan nama Indische Vereeniging yang mana Soetan Casajangan sendiri didaulat untuk menjadi presiden (pertama). Melalui organisasi mahasiswa ini, Indische Vereeniging terutama Soetan Casajangan berjuang untuk meningkatkan dan memperluas akses (hak) siswa pribumi untuk meningkatkan pendidikannya. Perjuangan Soetan Casajangan ini, seperti kita lihat nanti, langsung tidak langsung menjadi salah satu faktor pemicu gagasan penyelenggaran pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi/universitas) di Indonesia (baca: Hindia Belanda), yakni THS di Bandoeng (yang mulai dibuka tahun 1920).

Tunggu deskripsi lengkapnya

THS, RHS dan GHS: Tiga Perguruan Tinggi Pertama di Indonesia

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar