Laman

Minggu, 03 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (148): Ibu Kota Republik Indonesia Pindah ke Jogjakarta 1946; Kini, Ibu Kota Pindah ke Jakarta Baru

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Beberapa hari yang lalu, pemerintah mulai merencanakan secara bertahap pemindahan aparatur negara dari Jakarta ke ibu kota baru negara di Kalimantan Timur (Jakarta Baru). Tahap awal yang dipindahkan adalah aparatur militer dan polisi. Mengapa? Hal itu karena polisi dan militer akan menjadi pondasi dalam bidang pertahanan dan keamanan. Lantas bagaimana dengan proses pemindahan ibu kota Republik Indonesia dari Djakarta ke Jogjakarta.

Soal pemindahan ibu kota negara, juga terjadi di negara lain. Yang pertama adalah Amerika Serikat dari New York ke Washington. Negara Brazil juga telah melakukan pemindahan ibu kota, tentu saja di Malaysia dari Kualalumpur ke Putrajaya. Dalam hal ini, negara Republik Indonesia pertama kali melakukan pemindahan ibu kota tahun 1946 dari Jakarta ke Jogjakarta dan yang kedua sedang proses yang mana persiapannya sedang berlangsung dalam pembangunan infrastruktur. Pemindahan ibu kota Republik Indonesia pada tahun 1946 karena terpaksa dimana Dajakarta telah diduduki oleh NICA/Belanda. Pemindahan ibu kota yang sekarang ke Kalimantan Timur (Jakarta Baru) dilakukan secara sukarela (berdasarkan perencanaan pemerintah).

Lantas bagaimana sejarah pemindahan ibu kota Republik Indonesia pada tahun 1946? Nah, itu dia. Sejauh ini tidak ada yang memperhatikan. Lalu apa pentingnya sejarah pemindahan ibu kota tahun 1946? Itu tadi. Bagaimana pemindahan ibu kota pada masa lalu dan bagaimana pemindahan ibu kota pada masa kini. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Ibu Kota Republik Indonesia Pindah ke Jogjakarta 1946

Pasukan Inggris yang semakin masuk ke pedalaman untuk pembebasan para interniran serta pelucutan dan evakuasi militer Jepang, orang-orang Belanda di bawah bendera NICA yang telah mulai konsolidasi telah terlibat perang dengan para pejuang dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Pertempuran itu sudah sangat masif di wilayag Djakarta dan sekitar. Meski demikian, pemerintah, Presiden dan Wakil Presiden serta para menteri (Kabinet Sjahrir) tetap bekerja mengikuti situasi dan kondisi yang ada. Melihat kekacauan keamanan yang dapat mengancam para pejabat pemerintah, komite nasional di Djokjakarta mendesak Soekarno dan Sjahrir relokasi dari Djakarta (lihat Friesch dagblad, 11-12-1945). Disebutkan Pengurus ‘Komite Nasional’ di Djokjakarta mendesak Soekarno dan Sjahrir untuk segera merelokasi pusat pemerintahan dan pengurus pusat nasional di Djakarta ke suatu tempat di Jawa Tengah, agar dapat bekerja lebih tenang. Berita ini mengindikasikan awal mengapa ibu kota Republik Indonesia dari D-jakarta ke Djok-jakarta.

Tentulah Soekarno dan Sjahrir yang memimpin kabinet untuk berpikir memindahkan ibu kota atau pemerintahan pindah dari Djakarta. Namun demikian, yang sudah dilakukan sebelumnya adalah pusat pertahanan dan keamanan secara defacto sudah sejak lama dipusatkan di Djojakarta. Menteri Pertahanan dan Keamanan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap sudah sejak beberapa waktu bekerja dengan kepala staf Letnan Jendeal Oerip Soemohardjo yang dipusatkan di Djokjakarta. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Penerangan sejak kabinet Presiden Soekarno, karena kekosongan Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkapnya hingga Komite Nasional di Djogjakarta mendesak Soekarno dan Sjahrir relokasi dari Djakarta.  Saat pertama Oerip bekerja di Djogjakarta atas permintaan Menteri Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yakni untuk melatih sejumlah sarjana sebagai bagian militer untuk tugas khusus dengan pangkat Luitenan Kolonel (Overste). Mereka yang telah lulus dan berpangkat Overste itu antara lain adalah Mr. Kasman, Dr. Ibnoe Soetowo, Mr. Arifin Harahap, Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan, Dr. Irsan Radjamin Nasution, Dr Willer Hoetagalung dan Dr Eri Soedewo. Hal itulah mengapa ada sarjana di dalam jajaran militer Indonesia yang baru terbentuk. Dalam hal ini Mr Amir Sjarifoeddin Harahap bertindak sebagai Panglima dan Letjen Oerip sebagai Kepala Staf (tentu saja saaat itu nama Soerdirman dan Nasution belum populer, karena mereka hanya dikenal sebagai para komandan dari badan-badan keamanan rakyat/BKR). Mereka yang sarjana inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Indonesia (TNI) dimana kemudia Tentara Indonesia digabung dengan BKR. Dalam hal ini Tentara Indonesia yang diorganisasikan oleh Letjen Oerip berpusat di Djogjakarta.

Pasca peristiwa jatuhnya pesawat Dakota yang membawa serdadu Inggris/India dari Djakarta ke Semarang yang mendarat darurat di Tjakoeng tanggal 23 November dan kermudian semua serdadu Inggris dibunuh para pejuang, situasi di Djakarta dan sekitar semakin panas. Inggris marah besar dan pasukan NICA semakin banyak di wilayah Djakarta dan sekitar. Situasi dan kondisi inilah yang diduga terus dipantai komite nasional di Djogjakarta. Lebih-lebih HJJ van Mook (Letnan Gubernur Jenderal NICA) sudah mendarat di Djakarta yang telah meminta bertemu dengan Soekarno. Boleh jadi muncul kekhawatiran di Djogja Soekarno dan Sjahriri meladeni negosiasi van Mook yang bisa merugikan Indonesia.

Sementara Djogjakarta meminta pemerintahan (Soekarno dan Sjahrir) relokaso ke Jawa Tengah/Djogjakarta, dari Sumatra di Medan muncul pernyataan dukungan bahwa pemerintah dan rakyat Sumatra berada di belakang Soekarno dan Sjahrir sepenuhnya, tanpa mengikuti keinginan kebijakan kami sendiri. Sumatra Utara menginginkan Indonesia utuh dan kemerdekaan penuh Indonesia. Disebutkan lebih lanjut setiap tindakan yang ditujukan terhadap Jawa dianggap oleh orang Sumatera sebagai melawan dirinya sendiri. Selanjutnya diketahui permintaan van Mook itu tidak digubris oleh Soekarno.  

Diduga atas desakan dari Djogjakarta dan dukungan Sumatra, Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sjahrir melakukan kunjungan ke Jawa Tengah (lihat De West : nieuwsblad uit en voor Suriname, 17-12-1945). Disebutkan Ir. Soekarno melakukan perjalanan melalui Jawa Tengah dan Jawa Timur ditemani Perdana Menteri Sjahrir dan Menteri Penerangan/Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap. Tujuan dari tur ini adalah untuk berunding dengan para pemimpin lokal Indonesia dan dengan demikian memulihkan ketertiban. Diketahui bahwa Ir. Sukarno memiliki otoritas yang besar dalam Gerakan Pemuda Indonesia. Rombongan juga akan mengunjungi antara lain Djogjakarta, pusat Gerakan Nasionalis.

Dalam kunjungan Presiden Soekarno ke Djokjakarta juga turut pejabat lainnya termasuk Mohamad Hatta dan Menteri Kesehatan Putuhena dan Jaksa Agung Overste Mr. Kasman Singodimedjo, salah satu tokoh terkemuka dalam pembentukan tentara Indonesia (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-12-1945). Disebutkan dalam kunjungan ke Djogja ini dibicarakan upaya penggabungan Tentara Indonesi dan TKR dan juga pemindahan markas TKR (di Bandoeng) ke Djokja. Sebagaimana diketahui, di Bandoeng komandan TKR adalah Abdoel Haris Nasution sedangkan Soedirman di Poerwokerto. Seperti kita lihat nanti, baru pada bulan Mei 1946 Mr Amir Sjarifoeddin Harahap (yang dibantu oleh Zoelkifli Lubis dan Soeltan Djogja) membentuk panita organisasi tentara yang diketuai oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap) dan struktur kemiliteran dengan pembagian sejumlah divisi. Dalam pengumuman ini juga Kolonel Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pemindahan Ibu Kota Masa Kini: Jakarta Baru

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar