Laman

Senin, 04 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (150): Baca Tulis Hitung dalam Belajar Sejarah Zaman Now; Sejarawan Asing vs Sejarawan Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada seorang sejarawan Indonesia bergelar profesor manyatakan di suatu talk show bahwa orang Indonesia tidak perlu terlalu percaya kepada para sejarawan asing tentang topik Indonesia, apakah mereka itu orang Australia, Amerika Serikat dan sebagainya. Sang Profesor saya lebih memahami dan kita lebih mengetahui dari mereka. Sang profesor juga juga menuding para sejarawan asing itu datang ke Indonesia hanya jalan-jalan dan bagaimana mereka bisa memahami secara mendalam. Bisa jadi sang Profesor kita itu bisa benar dan juga bisa salah. Mengapa?

 

Sang Profesor kita menamakan dirinya sejarawan Indonesia. Memang betul dia lulusan Amerika Serikat dan mendapat gelar doktor dalam bidang sejarah. Namun dalam biodatanya dan berbagai tulisan yang menyangkut dirinya tidak ada indikasi beliau bisa berbahasa Belanda (mungkin hanya bisa berbahasa Inggris saja). Nah, pertanyaanya: Apakah seorang sejarawan Indonesia bisa lebih memahami sejarah Indonesia daripada orang asing? Mungkin para sejarawan asing itu datang ke Indonesia tidak lama di lapangan karena mereka hanya melakukan observasi dan wawancara yang benar-benar diperlukannya (dan itu bisa berarti tidak lama). Saya yakin, sejarawan asing yang dituding sejarawan kita itu meski orang Australia dan orang Amerika Serikat mereka bisa berbahasa Belanda, paling tidak bisa membaca bahasa Belanda (seperti saya). Sebagaimana diketahui bahwa berbagai dokumen sejarah Indonesia terdapat dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Bahkan sumber koran dan jurnal/majalah dalam bahasa Belanda sangat begitu banyak tentang pemberitaan di Indonesia dari hari ke hari dan dari minggu ke minggu. Sumber-sumber pertama berbhasa Belanda inilah yang dianlisis sejarawan asing itu terlebih dahulu sebelum mereka datang ke Indonesia. Apakah sang profesor kita itu telah melakukan yang sama?  

Lantas bagaimana sejarah sejarawan mempelajari sejarah di Indonesia? Seperti disebut di atas, para sejarawan asing yang datang ke Indonesia pada dasarnya sudah mempelajari terlebih dahulu sumber-sumber koran dan majalah yang datanya dapat dikompilasi (analisis) sebagai penemuan awal. Oleh karena itulah mereka tidak lama di Indonesia (dibatasi oleh dana beasiswa/hibah yang mereka peroleh). Lalu bagaimana dengan sejarawan kita dalam mempelajari sejarah Indonesia. Ada sejarawan kita mengacu pada pendapat/penemuaan sejarawan asing dan ada juga yang menolaknya seperti sejarawan kita di atas. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Sejarawan Asing vs Sejarawan Indonesia

Sejarawan Indonesia dari waktu ke waktu semakin banyak. Itu bagus untuk perkembangan penulisan sejarah Indonesia. Diantara para sejarawan Indonesia ada yang genit, seperti contoh yang disebutkan di atas (sang profesor). Namun ada juga sejarawan Indonesia yang ‘mengkultuskan’ sejarawan asing. Celakanya mereka ini selalu mengutip pendapat sejarawan asing dan nyaris tidak pernah mempromosikan pendapat sendiri (karena tidak pernah meneliti lagi, hanya membaca buku-buku yang diterbitkan oleh penulis asing). Sejarawan Indonesia semacam ini dapat dikatakan bersifat inferior (yang berbeda dengan sang Profesor yang merasa superior).

Dalam dunia akademik, soal salah adalah normal. Salah bisa diperbaiki. Para sejarawan asing bisa juga salah. Oleh karena itu menjadi salah jika ada sejarawan Indonesia yang tetap bersifat inferior dan munculnya sejarawan Indonesia yang merasa superior. Dalam dunia akademik, pengajaran, penelitian dan publikasi haruslah tetap pada tata aturan akademik: kejujuran, kebenaran dan keadilan. Itu berarti setiap sejarawan seharusnya mengacu pada standar profesi (profesional). Namun yang terjadi kini, banyak sejarawan Indonesia yang tergolong genit, apalagi jika sudah tampil di publik (seperti televisi atau podcast). Mereka kerap berperilaku layaknya selebriti. Bahkan banyak sejarawan Indonesia yang kerjanya hanya nge-twitt saja. Para sejarawan ini telah bergeser dari pakem banyaknya publikasi menjadi banyaknya follower (subscriber). Dalam hal ini belum termasuk orang-orang yang menganggap dirinya sejarawan (faktanya tidak karena tidak memiliki latar pendidikan sejarah, hanya sekadar peminat sejarah seperti saya).    

Sejarawan inferior dan sejarawan superior sesungguhnya sama buruknya. Sejarawan yang sesungguhnya adalah sejarawan yang terus menekuni bidangnya dengan tetap menjaga etika akademik yang baik. Suatu etika untuk menemukan kebenaran sejarah, bukan semata-mata tujuan untuk popularitas, Diantara sejarawan Indonesia yang sesungguhnya benar-benar sejarawan Indonesia terdapat sejarawan inferior dan sejarawan superior. Ciri-ciri sejarah inferior kerap menyarankan ‘Anda harus baca buku Si Anu’, sementara ciri-ciri sejarawan superior kerap menyarankan ‘Anda harus baca buku Saya’.

Sejarawan yang sesungguhnya adalah sejarawan yang mampu secara adil mempertimbangkan isu buku sejarawan yang lain dan juga menyandingkan secara yakin pendapat sendiri yang sudah ditulis apakah yang masih dalam proses maupun yang sudah dipublikasi dalam bentuk artikel di jurnal atau buku. Sejarawan yang sesungguhnya yakin dengan pendapat sendiri tetapi terbuka untuk kritik (untuk meratakan jalan kepada kebenaran) dan bersedia melakukan perbaikan .Sementara sejarawan inferior cenderung mati-matian meyakini pendapat sejarawan asing, sedangkan sejarawan superior cenderung mati-matian untuk mempertahankan diri. Sejarawan sesungguhnya jauh dari sifat korup (membesa-besarkan atau mengerdilkan).  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Baca, Tulis dan Hitung dalam Mempelajari Sejarah Indonesia

Pada masa ini topik sejarah tidak hanya disajikan dalam bentuk tulisan (buku, jurnal, koran atau blog) tetapi juga sudah disajikan dalam bentuk rekaman audio-visual (konten Instagram atau Youtube). Generasi masa kini, milenial, lebih suka audio-visual daripada teks. Oleh karena generasi mileniel terkesan mulai jarang membaca teks, suatu teks dimana narasi sejarah dibicarakan, lebih detail dan lebih lengkap. Ruang kosong yang luas ini seharunya diisi atau terisi oleh seluruh para sejarawan yang benar-benar peneliti dan penulis sejarah. Tapi kecenderungannya tidak seperti itu, Yang terjadi adalah para peneliti dan penulis sejarah entah dimana dan yang hadir adalah para peminat sejarah dan para pembaca buku-buku sejarah yang ada diantaranya yang seolah-olah berperilku seperti sejarawan atau lebih dari sejarawan,

Dalam dunia penyiaran audio-visual yang kini era penggunaan platform Youtube, di satu sisi topik sejarah memang mendapat tempat, seperti topik lain, tetapi yang banyak mengisinya adalah para peminat sejarah dan pembaca sejarah yang kebetulan mereka itu memiliki kemampuan naratif dalam wujud audio visual. Celakanya, podcast atau konten-konten itu yang menjadi daya tarik para golongan milenial. Akibatnya yang muncul adalah banyakbya konten-konten palsu dalam sejarah, yang bahkan dapat mengaburkan esensi sejarahnya senidiro.

Dunia sejarah, sadar tidak sadar telah berubah seiring dengan perkembangan dunia teknologi informasi, termasuk dalam hal ini dunia medsos. Satu yang jelas, bahwa penyiaran konten sejarah seakan kembali ke masa lampau dimana para tukang cerita yang eksis. Para tukang cerita yang mendapat panggung di mata publik. Lebih-lebih dunia sejarah baru yang sekarang lebih bersifat entertaintment daripada bersifat seminari. Cara teatrikal lebih menonjol daripada gaya teoritikal. Jadi yang muncul adalah heboh sejarah, bukan sejarah yang heboh. Oleh karena itu tidak aneh bahwa dalam narasi sejarah judul-judul dibuat bombastis yang adakalanya antara judul dan isi tidak ‘nyambung’. Lalu, dimana para sejarawan?

Saya sendiri bukan sejarawan, hanya sebagai peminat sejarah. Peminat sejarah yang coba kontribusi untuk sekadar membantu para sejarawan. Dalam hubungan ini, baru-baru ini ada beberapa konten sejarah heboh di berbagai kota, doantaranya penemuan suatu terowongan di kota Bogor. Cerita penemuan ini telah menjadi heboh dan viral. Ada dua wartawan yang menghubungi saya yang ingin mendapatkan gambaran sejarah tentang sisi penemuan tersebut. Yang pertama saya tanyakan kepada dua wartawan itu adalah mengapa harus saya? Mereka hanya dengan enteng menjawab karena para pembaca telah mengarah kepada blog saya. Dalam hati saya berpikir dimana para sejawaran?. Okelah itu satu hal. Yang jelas, pertanyaan wartawan itu dapat saya jelaskan. Dalam situasi itu saya hanya membantu para sejarawan, ketika para sejarawan tidak hadir pada dunia baru.

Dalam dunia sejarah, sejarah adalah ruang penelitian dan publikasi. Penelotian sejarah adalah keseluruhan sejarah. Penyiaran sejarah hanya satu bagian dari rangkaian itu, suatu rangkaian yang paling ujung yang bersinggungan dengan para pembaca atau pndengar atau para penonton.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar