Laman

Selasa, 05 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (152): Pemulihan Hubungan Belanda-Indonesia; ‘Tak Kenal Maka Tak Sayang hingga Benci Tapi Rindu’

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Tak ada kerinduan orang Indonesia kepada orang Belanda. Sebaliknya yang ada adalah kerinduan orang Belanda terhadap Indonesia. Yang dirindukan bukan orang Indonesia, tetapi wilayah Indonesianya. Pada masa ini frase ‘benci tapi rindu’ bagai judul lagu, diartikan bahwa orang Belanda benci kepada orang Indonesia tetapi rindu terhadap tanah airnya. Sedangkan orang Indonesia kini tidak peduli orang Belanda maupun tanah airnya. Banyak negara yang menjadi tujuan orang Indonesia di luar negeri. Mungkin orang Indonesia lebih suka ke Inggris atau Amerika Serikat daripada ke Belanda. Hubungan Indonesia dan Belanda dalam arti kultural berakhir saat terjadi perang kemerdekaan (1945-1949).

 

Secara umum, orang Belanda sejak tempo doeloe tidak sepenuhnya percaya kepada orang Belanda. Ini bermula ketika pelaut-pelaut Belanda datang di Indonesia (baca: Banten, Hindia Timur), sudah menunjukkan arogan. Akibatnya mereka terusir dari (pelabuhan) Banten. Tapi mereka diterima dengan baik di Bali karena sudah bersikap baik (setelah menyadari melakukan kesalahan di Banten). Pada era VOC sikap arogansi itu tetap terjadi seiring dengan semakin menguatnya pelaut-pelaut Belanfa yang berpusat di Maluku yang kemudian relokasi ke Batavia (VOC). Selain arogan, diantara orang-orang Belanda banyak yang bersifat rasialis bahkan hingga era Pemerintah Hindia Belanda. Sikap rasialis itu ditunjukkan dengan pembagian warga dimana orang Eropa/Belanda di atas, orang Timur Asing di tengah dan orang pribumi (Indonesia) di strata paling bawah. Dalam berbagai hal, orang Indonesia dianggap tidak penting (dan hanya sebagai subjek).

Lantas bagaimana sejarah pemulihan hubungan Belanda dengan Indonesia? Seperti disebut di atas, hubungan itu terputus sejak Belanda ‘ingkar’ terhadap isi perjanjian hasil KMB 1949 terkait dengan masalah Irian Barat. Perjuangan merebut Irian Barat dimulai Presiden Soekarno. Lalu bagaimana sejarah pemulihan hubungan Belanda dengan Indonesia?.Itu baru dimulai pada era Presiden Soeharto. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pemulihan Hubungan Belanda-Indonesia

Pada tanggal 27 Desember 1949 pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Namun ada satu hal dalam perjanjian ini yang tetap menjadi masalah yakni soal Papua bagian barat. Dalam konteks ini, eskalasi politik yang terjadi dalam negeri, akhirnya RIS dibubarkan dan kembali ke NKRI pada tanggal 18 Agustus 1950. Eskalasi politik yang terus terjadi akhirnya dilakukan nasionalisasi (terkait dengan orang-orang Belanda). Orang-orang Belanda akhirnya semua ‘terusir’ dari Indonesia. Namun masalah Papua barat tetap belum terselesaikan yang mana Pemerintah Republik Indonesia terus memperjuangkannya baik secara diplomati ke luar maupun kampenye semangat di dalam negeri.

Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut: (1) Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat; (2)     Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland; (3) Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949. Bahwa penyerahan itu tidak termasuk Papua bagian barat dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun. Juga dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan pemimpin kerajaan Belanda sebagai kepala negara dan pengambilalihan utang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.

Setelah sekian lama masalah Papua barat ‘status quo’ bagi Indonesia, upaya negosiasi dimulai dengan membuka kontak antara perwakilan Belanda dan perwakilan Indonesia di luar negeri di Amerika Serikat. Kontak ini di satu sisi dilakukan secara diam-diam dan di sisi lain oleh masing-masing negara menginginkan partisipasi Amerika Serikat.

Pada tahun 1962 mulai dirintis (kontak) hubungan Indonesia dan Belanda dengan pertemuan diadaka di lapangan terbang persahabatan di Baltimore, Maryland yang mana ditugaskan untuk itu adalah Adam Malik (lihat Nieuw Guinea koerier : de groene : onafhankelijk dagblad voor Ned. Nieuw Guinea, 16-07-1962). Dalam pertemuan itu Adam Malik (duta besar RI yang datang dari Moskow) didampingi oleh konsul jendeal di Washington Surjotjondro dengan asistennya. Kontak inilah yang dapat dikatakan kontak pertama hubungan Indonesis-Belanda sejak terusirnya orang-orang Belanda dari Indonesia.

Kontak antara perwakilan Indonesia dan Belanda di Amerika  Serikat tahun 1962 berlanjut terus (lihat Wikipedia). Kontak ini semacam respon Belanda terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di wilayah perbatasan konflik yang bermula dari pengumuman Presiden Soekarno dalam pembentukan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Irian Barat (Papua) pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Presiden Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia. Operasi ini dimulai pada tanggal 12 Januari 1962 yang kemudian terjadi Pertempuran Laut Aru pada tanggal 15 Januari 1962, Pada tanggal 19 Mei 1962 dikerahkan penerjun payung terbang dari Bandar Udara Pattimura, Ambon, dengan menaiki pesawat Hercules. TNI Angkatan Laut kemudian mempersiapkan Operasi Jayawijaya yang merupakan operasi amfibi terbesar dalam sejarah operasi militer Indonesia. Lebih dari 100 kapal perang dan 16.000 prajurit disiapkan dalam operasi tersebut.

Disebutkan karena kekhawatiran bahwa pihak komunis akan mengambil keuntungan dalam konfik ini, Amerika Serikat mendesak Belanda untuk berunding dengan Indonesia. Karena usaha ini, tercapailah persetujuan New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Pemerintah Australia yang awalnya mendukung kemerdekaan Papua, juga mengubah pendiriannya, dan mendukung penggabungan dengan Indonesia atas desakan AS. Pada tanggal 15 Agustus 1962, perundingan antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan di Markas Besar PBB di New York.

Isi dari Persetujuan New York adalah: (1) Belanda akan menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), yang didirikan oleh Sekretaris Jenderal PBB. UNTEA kemudian akan menyerahkan pemerintahan kepada Indonesia. (2) Bendera PBB akan dikibarkan selama masa peralihan. (3) Pengibaran bendera Indonesia dan Belanda akan diatur oleh perjanjian antara Sekretaris Jenderal PBB dan masing-masing pemerintah. (4) UNTEA akan membantu polisi Papua dalam menangani keamanan. Tentara Belanda dan Indonesia berada di bawah Sekjen PBB dalam masa peralihan. (5) Indonesia, dengan bantuan PBB, akan memberikan kesempatan bagi penduduk Irian Barat untuk mengambil keputusan secara bebas.(6) Penentuan pendapat akan diadakan sebelum akhir tahun 1969.

Pada tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia. Ibu kota Hollandia dinamai Kota Baru, dan pada 5 September 1963, Irian Barat dinyatakan sebagai "daerah karantina". Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua dan melarang bendera Papua dan lagu kebangsaan Papua.

Pada tahun 1969, diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Pepera ini disaksikan oleh dua utusan PBB. Hasilnya adalah Papua bergabung dengan Indonesia. Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia bergabung dengan pihak komunis Uni Soviet, mendukung hasil ini, dan Irian Barat menjadi provinsi ke-26 Indonesia, dengan nama Irian Jaya.

Dalam fase peraliahan yang cukup panjang tersebut hubungan Indonesoa-Belanda tetap renggang. Upaya pemulihan baru kembali dilakukan, seperti kita lihat nanti dengan dibentuknya IGGI..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Hubungan Indonesia-Belanda Berawal dan Berakhir: ‘Tak Kenal Maka Tak Sayang’ hingga ‘Benci Tapi Rindu’

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar