Laman

Minggu, 14 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (233): Pahlawan Nasional Supriyadi; Apakah Benar-Benar Hilang atau Hanya Menghilangkan Diri?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Supriyadi ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 Agustus 1975. Dalam berbagai tulisan disebutkan mantan perwira PETA pada era pendudukan Jepang menghilang (dan tidak pernah kembali). Mengapa? Lantas apakah Supriyadi benar-benar hilang atau hanya (sekadar) menghilangkan diri? Nieuwe courant, 12-10-1949 melaporkan Supriyadi masih hidup dan sehat. Lalu, mana yang benar?

Soeprijadi atau dikenal dengan nama Sodancoh Soeprijadi (lahir di Trenggalek, 13 April 1923 – menghilang 14 Februari 1945, dinyatakan meninggal 9 Agustus 1975) adalah pahlawan nasional Indonesia dan pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet Presidensial, tetapi tidak pernah muncul. Bagaimana dan di mana Supriyadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional Supriyadi? Seperti disebut di atas, terdapat kontroversi terhadap apakah dia masih hidup atau hilang selamanya. Yang jelas hingga ini hari kisah Supriyadi masih dianggap menghilang. Lalu bagaimana duduk yang sebenarnya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Nasional Supriyadi: Perang Kemerdekaan

Supriyadi lulus ujian naik dari kelas satu ke kelas dua di MULO Afd B Madiun (lihat De Indische courant, 30-06-1937). Ini berarti Supriyadi lulus sekolah dasar ELS tahun 1936. Jika Supriyadi disebut lahir April 1923 maka usianya masuk sekolah MULO sekitar 14 tahun. Lalu naik ke kelas tiga (lihat Soerabaijasch handelsblad, 02-07-1938). Supriyadi tidak melanjukan ke sekolah yang tinggi.

Supriyadi mengikuti ujian pegawai negeri sipil Klein-Ambtenaars (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 21-06-1939). Sebanyak 99 kandidat Supriyadi termasuk yang lulus dari 42 orang yang akan mengikuti ujian berikutnya di Semarang. Bagaimana hasilnya tidak diketahui.

Pada bulan Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada militer Jepang di Kalijati, Soebang. Gubernur Jenderal ditahan, sementara Letnan Gubernur Jenderal HJ van Mook sedang ke Inggris untuk menerima jabatan baru sebagai Menteri Koloni yang merangkap sebagai Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Di semua wilayah Indonesia, militer Jepang melakukan razia dan menangkap semua orang Eropa/Belanda laki-laki atau perempuan maupun anak-anak. Mereka yang ditangkap ini kemudian diamankan di kamp-kamp konsentrasi.

Pada tahun 1943 Pemerintah Pendudukan Militer Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) untuk tujuan menghadapi perang Asia-Pasifik dari serangan Sekutu. Banyak pemuda pelajar tertarik dan mendaftar yang akan mendapat pelatihan dari instruktur militer Jepang. Disebutkan di Jawa dan Bali dibentuk 69 batalion dan sekitar 20.000 personel di Sumatera. Markas PETA di Bogor.

Dalam situasi inilah, di beberapa kantong penduduk dan anggota PETA mulai ada perlawanan karena berbagai sebab. Pada tanggal 25 September 1944 sebanyak 2.000 penduduk desa Sukamanah bersenjatakan tombak bambu menyerang markas staf militer Jepang setempat untuk menangkap salah satu pemimpin mereka. KH Zainal Mustafa. Pada tanggal 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh perwira PETA yang dipimpin oleh Suprijadi, Musadi dan Sunanto melakukan pemberontakan di Blitar,

Kerajaan Jepang menyatakan takluk kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Dalam situasi wait en see ini para pemuda mendesak Ir Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Lalu kemudian setelah UUD disiapkan maka Ir Soekarno diangkat menjadi presiden dan sebagai wakil presiden Mohamad Hatta. Pada tanggal 2 September 1945 diumumkan nama-nama anggota kabinet.

Dalam daftar kabinet yang diumumkan tidak ada jabatan Menteri Pertahanan. Pers memproyeksikan nama jabatan ini tetapi memberi keterangan nog niet aangewezen (belum ditunjuk). Juru bicara Republik mengatakan Kabinet Sukarno tidak memiliki menteri perang atau menteri pertahanan, bahwa Sukarno secara pribadi mengendalikan aspek politik urusan tentara. Sementara itu nama Mr Amir Sjarifoeddin Harahap sudah disebutkan sebagai Menteri Penerangan, meski Mr Amir Sjarifoeddin Harahap masih berada di penjara militer Jepang di Malang (dan baru dibebaskan dan tiba tanggal 1 Oktober di Djakarta).

Menteri Penerangan, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang secara defacto menangani keamanan rakyat telah meminta Oerip Soemohardjo (yang pernah di akademi militer Breda) untuk mulai membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TRI). Pada tanggal 1 Oktober 1945 sebagai Menteri Penerangan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap menerbitkan surat kabar Indonesia dengan nama Merdeka yang digawangi oleh BM Diah Harahap.

Langkah pertama yang dilakukan Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo adalah merekrut 17 pemuda cemerlang yang dipusatkan di Jogjakarta dengan kualifikasi tertentu dalam satu akademi militer, antara lain Dr. Ibnoe Soetowo, Ir. MO Parlindungan, Dr. Irsan Radjamin (anak Wali Kota Surabaya), Dr. W Hutagalung, Mr. Arifin Harahap. Dr Arie Soedewo, Mr. Kasman Singodimedjo  dan Ir. Tarip Abdullah Harahap. Secara dejure, mereka inilah tentara Indonesia pertama masing-masing dengan pangkat Overste (Letnan Kolonel). Dr. Irsan Radjamin ditempatkan di SoerabajaIr. Mr. Arifin Harahap ditempatkan di Djakarta, Dr. Ibnoe Soetowo untuk mengamankan pertambangan minyak di Tjepoe dan Ir. MO Parlindungan di Bandoeng untuk menangani pabrik senjata dan mesiu.

Pada tanggal 5 Oktober 1945, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan maklumat pembentukan tentara nasional yang diberi nama Tentara Keamanan Rakyat (TRI). Alumni Akademi Militer di Djogjakarta ini menjadi inti tentara Republik (tentara resmi) yang secara dejure dipimpin oleh Overste Mr Kasman Singodimedjo. Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 06-11-1945 memberitakan bahwa baru-baru ini beberapa perwakilan tentara yang bermarkas di Djokjakarta berkunjung ke kantor Presiden Soekarno di Batavia.

Lebih lanjut disebutkan setelah kunjungan ini, kata Menteri Penerangan Republik, diharapkan tentara ini akan diperlengkapi dan diperkuat dengan lebih baik dalam waktu singkat. Juga diketahui dari sumber-sumber republik lainnya bahwa utusan Soekarno telah mengunjungi markas besar Inggris dengan tujuan memperoleh perlengkapan untuk tentara ini. Menteri Penerangan menyatakan ‘Kami ingin tentara sebanyak 250.000 orang’. ‘Kabinet Sukarno tidak memiliki menteri perang, atau menteri pertahanan. Menteri Penerangan mengatakan bahwa Soekarno secara pribadi mengendalikan aspek politik urusan tentara. Namun diketahui bahwa baru-baru ini banyak nasionalis telah bergabung dengan tentara ini, yang sebelumnya bergantung pada penasihat Jepang dan Jerman. Sedapat mungkin, tentara ini berusaha untuk berkembang’. Menteri Penerangan menyebut saat ini ada tentara Indonesia 60.000 sampai 70.000 orang. Panglimanya adalah Jenderal Soepriadi, Kepala Staf  Oerip yang berpangkat letnan jenderal, namun diyakini bahwa pemimpin tentara yang sebenarnya adalah Kasman yang sekarang memiliki fungsi non-militer di Jawa Tengah, tetapi dianggap sebagai kekuatan di belakang layar’.

Berdasarkan berita, dalam hubungan ini, Menteri Pertahanan adalah satu hal, Panglima dan Kepalas Staf adalah hal lain lagi. Menteri Pertahanan secara resmi tidak ada dan urusan tentara langsung di bawah kendali Presiden Soekarno. Menteri Penerangan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap memproyeksikan sebagai Panglima adalah Soeprijadi dan Kepala Staf Oerip Soemohardjo.

Pada masa ini nama Soeprijadi dihubungkan dengan posisi jabatan Menteri Pertahanan. Tampaknya itu adalah keliru. Namun yang tetap menjadi pertanyaan mengapa Menteri Penerangan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap mengidentifikasi nama Soepriadi sebagai Panglima dengan pangkat Jenderal dan Oerp sebagai Kepala Staf dengan pangkat Letnan Jenderal. Sudah barang tentu Mr Amir Sjarifoeddin Harahap sudah kenal lama dengan Oerip yang pada era Hindia Belanda sebagai KNIL dengan pangkat Kapten (lulusan Akademi Militer Belanda di Breda). Lantas bagaimana hubungan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dengan Soeprijadi? Apakah Soeprijadi adalah anak buah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dalam perang bawah tanah di Jawa Timur melawan pemerintah pendudukan militer Jepang? Lalu pertanyaan berikutnya apakah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap mengetahui Soeprijadi masih hidup?   

Dalam situasi dan kondisi awal dan masih banyak yang harus dikonsolidasikan, lebih-lebih baru dibebaskan dari penjara militer Jepang di Malang, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap tidak mengetahui keadaan lapangan pada akhir-akhir ini. Yang jelas, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap telah memainkan peran sebagai Menteri Pertahanan/Menteri Keamanan Rakyat.

Telex, 08-11-1945: ‘Akademi Militer.  Belum banyak relaksasi situasi di Jawa setelah janji-janji Letnan. GG Dr. van Mook. Tidak banyak insiden saat ini, tetapi kaum Nasionalis semakin hari semakin berani. Sebagai contoh, Jenderal Soemokardjo telah menyampaikan seruan di semua surat kabar di Jawa, termasuk corong pemerintah surat kabar Merdeka kepada semua pimpinan tentara untuk mendaftar ke Akademi Militer Djokjakarta. Jenderal Soemohardjo adalah Kepala Staf Umum TKR, nama baru untuk BKR lama yang dibentuk setelah penyerahan Jepang oleh anggota lama organisasi militer Jepang dan agen-agen khusus Indonesia dari Gestapo Jepang: Kempeitai. Jenderal Soemohardjo adalah seorang kapten tentara Belanda dan dilatih di KMA Breda Komandan pemberontak Soepriadi juga dilatih oleh Jepang’.

Pada tanggal tanggal 14 November 1945 kabinet baru dibentuk yang mana sebagai Perdana Menteri Soetan Sjahrir. Dalam kabinet baru ini hanya Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang tetap bertahan. Posisinya tetap sebagaiu Menteri Penerangan dan juga secara definitif merangkap sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan Rakyat.

Sebelumnya Mr. Amir Sjarifoeddin meminta Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk mengadakan konferensi diantara para pimpin militer untuk menentukan pimpinannya sebagai Panglima untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin akan fokus pada fungsi manajemen keamanan dan pertahanan, dan Panglima yang memimpin pertempuran di lapangan. Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer tertinggi sebagai panglima. Yang terpilih adalah Soedirman salah satu pimpinan TKR/TRI dengan pangkat Jenderal. Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima). Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin mengangkat Kolonel Soedirman menjadi Panglima pada tanggal 18 Desember 1945. Dengan demikian fungsi perencanan dan pengaturan (anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin dan pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima Soedirman. Sebagai panglima yang baru, Mr. Amir Sjarifoeddin memberi layanan tersendiri bagi Jenderal Soedirman dengan menunjuk dokter berbakat Overste Dr. Willer Hutagalung sebagai dokter pribadi Jenderal Soedirman.

Sejak ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Dengan struktur baru ini, Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi Panglima Divisi-3/Siliwangi.

Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soeyo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibyo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). 'Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Supriyadi: Apakah Benar-Benar Hilang atau Hanya Menghilangkan Diri?

Publik sudah lama melupakan nama Jenderal Soeprijadi. Sebab nama Soeprijadi kenyataannya tidak pernah muncul di tengah publik. Yang berkembang adalah yang menjadi Panglima adalah Jenderal Soedirman dan Kepala Staf :Letnan Oerip Soemohardjo. Setelah banyak hal terjadi selama perang kemerdekaan, publik benar-benar telah melupakan Soeprijadi hingga seorang wartawan Belanda memberitakan tentang kisah Soeprijadi.

Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-07-1947: ‘Menurut majalah Ra'jat, Soepriadi saat ini, menurut ayahnya, di Ngandjuk. (Soepriadi adalah pemuda 24 tahun yang, pada masa pendudukan Jepang, menjabat sebagai PETA (Pembela Tanah Air), yang disebut pemberontakan Home Guard melawan Jepang dan dijatuhi hukuman mati karena itu. Namun, ia berhasil menghilang tanpa jejak--red. Aneta).

Berita ini juga dilansir surat kabar yang terbit di Surabaya Nieuwe courant, 03-07-1947. Namun yang menjadi pertanyaan apakah berita itu hoax? Tentu saja sulit dikonfrimasi. Hal ini karena wilayah Nganjuk masih wilayah Republik yang sulit dimasuki oleh orang asing (Belanda). Akan tetapi itu jelas isu menarik bagi seorang jurnalistik Belanda karena mereka anggap Jepang adalah musuh bersama.

Yang jelas semua orang Jepang telah dievakuasi dari Indonesia oleh pasukan Sekutu/Inggris. Tugas Sekutu/Inggris juga telah lama usai. Yang tengah terjadi adalah perang kemerdekaan antara Belanda/NICA dengan Republiken. Tampaknya jurnalis Belanda harus lebih bersabar lagi.

Akhirnya antara militer Belanda/NICA (KNIL) dengan pasukan Indonesia dilakukan gencatatan senjata pada bulan Agustus 1949 yang akan dilanjutkan ke perundingan KMB di Den Haag. Sejak agresi militer Belanda kedua bulan Desember 1948 semua wilayah Republik di Jawa Timur sudah jatuh ke tangan NICA/Belanda. Hanya pada fase genjatan senjata ini yang dipulihkan terbatas di wilayah Djogjakarta. Lalu surat kabar Nieuwe courant, 12-10-1949 menurunkan laporan tentang kisah Soepriadi.

Nieuwe courant, 12-10-1949: ‘Hari-hari ini sebuah laporan dari Blitar beredar di surat kabar harian Indonesia bahwa Soeprijadi telah kembali ke rumah orang tuanya setelah absen lebih dari 5 tahun. Laporan sederhana ini diikuti dan dibahas dengan minat terbesar oleh sebagian besar pembaca Indonesia. memahami hal ini, kita harus kembali ke masa pemerintahan Jepang di Indonesia. Pada awal 1944, penjajah mendirikan korps pertahanan Indonesia, yang disebut Tentara Peta (tentara pertahanan tanah air), yang seluruhnya terdiri dari orang Indonesia, sedangkan perwira Jepang hanya bertindak sebagai Instruktur dan petugas penghubung. Di Blitar pada pertengahan tahun 1944 korps pertahanan seperti itu ditempatkan dan salah satu perwiranya adalah Soeprijadi, putra seorang pegawai negeri Jawa tradisional, seorang priaji sejati dari garis keturunan tua dan bangsawan. Pada paruh kedua tahun 1944, sebagai akibat dari dugaan, atau perlakuan tidak adil yang tulus dari pihak Jepang terhadap Soeprijadi dan anak buahnya, Soeprijadi dan pasukannya di Blitar melancarkan kerusuhan militer yang mengakibatkan sejumlah orang Jepang dan orang lain kehilangan nyawanya dari para pemberontak ditundukkan oleh Jepang. Sejumlah perwira dan anak buah pasukan pemberontak akhirnya dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi oleh Mahkamah Agung Militer Jepang di Batavia. Namun, Soeprijadi berhasil menyelamatkan nyawanya dengan melarikan diri. patroli di wilayah yang luas di Blitar. terlepas dari pencarian yang intens dan tak kenal lelah dan menjanjikan hadiah tinggi untuk penangkapan dari buronan Soeprijadi, hidup atau mati, tetapi buronan itu selalu tidak dapat dilacak, penduduk diam seperti kuburan dan tidak tahu apa-apa! Sebagai akibat dari keadaan ini, desas-desus menyebar seperti api bahwa Soeprijadi memiliki kekuatan gaib yang dengannya ia dapat membuat dirinya tidak terlihat dan karenanya tidak dapat ditemukan! bahwa nama Soeprijadi tidak disebutkan tanpa rasa hormat yang besar dan akhirnya menjadi hampir tabu, masih ada lagi yang harus dia sembunyikan lebih lama lagi, karena Jepang sudah pergi kelaparan di hutan tempat dia bersembunyi. Pada tahun 1946, ketika kami mengunjungi Blitar, seorang pejabat Indonesia di tempat mengatakan kepada kami bahwa kepercayaan terhadap Soeprijadi di Blitar terbagi menjadi dua kubu. Kalangan intelektual penduduk berpendapat bahwa Soeprijadi sudah meninggal. Namun, bagian yang kurang sadar masih sama kuatnya dengan keyakinannya bahwa pelarian legendaris itu masih hidup! Saat itu kami juga berbicara dengan ayah Soeprijadi, yang saat itu seorang perwira tinggi di Blitar. Sambil tertawa, dia meyakinkan kami. bahwa putranya masih hidup, masih hidup, tetapi dia tidak tahu persis dimana bocah itu berada. Seorang jurnalis Belanda, yang pada waktu itu milik perusahaan dan kepada siapa kami telah menceritakan seluruh cerita tentang Soeprijadi, skeptis dan karena kesopanan yang tulus ia menyebut Indonesia sebagai tanah misterius. Sekarang harus saya akui bahwa baik ayah Soeprijadi maupun rekan Belanda kami sama-sama benar! Sekarang kesimpulannya: Soeprijadi itu baru hari-hari ini telah kembali ke rumah orang tuanya, penyebabnya adalah, pada titik melarikan diri, dia bersumpah kepada ibunya bahwa dia tidak akan pulang dalam lima tahun! Dan ketika orang tahu bahwa Jawa adalah pulau yang cukup besar, yang penduduknya bisa tertutup dan diam. maka tidak mengherankan. bahwa Soeprijadi mampu tetap tidak terlihat selama lima tahun Dalam terminologi yang lebih modern, kita akan mengatakan: ‘Dia telah bersembunyi’.

 

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar