Laman

Minggu, 21 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (246): Pahlawan Nasional KH Zainal Mustofa (Jabar); Lahir di Tasikmalaya dan Meninggal di Jakarta

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pahlawan Indonesia KH Zainal Mustofa lahir di Tasikmalaya, provinsi Jawa Barat dan meninggal di Ancol, Jakarta. Nama KH Zainal Mustofa mungkin belum dikenal luas di daerah lain tetapi sangat dikenal di Jawa Barat khusus di Tasikmalaya. Namun demikian, sejarah KH Zainal Mustofa sangat heboh pada era pendudukan militer Jepang. Perlawanan Tasikmalaya yang dipimpin oleh KH Zainal Mustofa tidak kalah hebatnya dengan perlawanan Madiun yang dipimpin oleh Soeprijadi (kandidat Panglima Tentara Indonesia Pertama).

 

KH Zainal Mustafa dlahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meninggal di Jakarta, 28 Oktober 1944 adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya. Zainal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaemi. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, desa Cimerah, kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah desa Sukarapih, kecamatan Sukarame) kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zainal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional KH Zainal Mustofa? Seperti disebut di atas, KH Zainal Mustofa melakukan perlawanan pada era pendudukan militer Jepang. Pada era belanda/NICA, perlawanan KH Zainal Mustofa diperbandingkan dengan perlawanan Soperijadi dkk di Madiun. Lalu bagaimana sejarah KH Zainal Mustofa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Nasional KH Zainal Mustofa di Singaparna: Era Pendudukan Militer Jepang

Singaparna bukan kota pulau Singapura, Tasikmalaya bukan pula tasik di Malaya (semenanjung). Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda Singaparna dan Tasikmalaya adalah dua diantara distrik-distrik yang ada di Afdeeling Soemedang. Meski Singaparna sebagai kota utama, namun ibu kota pemerintah tidak di Singaparna tetapi di Tasikmalaya. Ibu kota Residentie Prengaer di Tjiandjoer, sementara satu Asisten Residen ditempatkan di Sumedang dimana dua diantaranya ditempatkan Controleur di Tasikmalaya dan di Bandjar. Kota Bandoeng yang sekarang belum ada.

Pada awal permulaan Pemerintahan Hindia Belanda ini pada tahun 1822 terjadi letusan gunung Galunggung (lihat Bataviasche courant, 09-11-1822). Disebutkan terjadi letusan pada akhir bulan lalu yang mana letusan kedua terjadi mulai pukul tujuh malam hingga tengah malam telah mengeluarkan lava yang sangat hebat yang mengalir hingga sungai-sungai di Singaparna. Lumpur mendidih, bercampur dengan belerang yang terbakar, telah membanjiri sebagian besar dataran Singaparna, Sebagian penduduk berhasil menyelamatkan diri ke gunung-gunung sementara sebagian ada penduduk yang terkena aliran lava yang panas dan terbakar dan banyak yang meninggal, Diperkirakan letusan kedua ini menghancurkan 24 kampung lagi, dan tidak kurang dari 1.000 jiwa terbunuh. Seorang ahli bedah Bruijninga, dari Tasikmalaja segera berangkat ke Singaparna, untuk memberikan bantuan bedah yang diperlukan kepada pasien yang berkumpul disana, Sebanyak 86 dari 195 yang terluka telah meninggalkan rumah sakit. Beberapa telah meninggal. Di Radjapolla juga, sebanyak 31 orang sembuh dari total 58 pasien. Di Tasik Malaija masih ada 43 orang yang terkena lava, sebagian besar terluka parah atau terbakar yang tengah pemulihan. Yang juga patut dipuji adalah semangat para imam (pemimpim Islam) di Singaparna untuk memberikan bantuan kepada penduduk yang sakit. Ketika saya mau pulang di jalan utama di Radjapolln, orang Cherebon juga datang kesana berniat untuk meringankan bencana penduduk. Hadji dari Manondjaja, Soekapoera di Mekkah, 1887

Para pemimpin Islam (imam) sudah sejak lama dikenal di Singaparna. Hingga tahun 1856 kota Singaparna masih merupakan kota utama dimana terdapat gudang logistik yang besar yang menjadi pusat distribusi baik ke Garoet maupun ke Bandjar (Tjiamis). Di kota ini terdapat pasar besar. Setelah kota Bandoeng terbentuk (1846) pada tahun 1860an jalur utama ke Singaparna sudah lebih intens dari arah Bandoeng melalui Garut (tidak lagi Cirebon via Sumedang). Boleh jadi itu setelah kunjungan pertama GG pada tahun 1861 yang datang dari Tjiandjoer melalui Garut ke Singaparna terus ke Bandjar (lihat Rotterdamsche courant, 01-10-1860). Kantor Residen sendiri masih di Tjiandjoer (baru dipindahkan ke Bandoeng pada tahun 1970). Demikianlah situasi dan kondisi di wilayah Galuh dari masa ke masa, dimana kota Singaparna tetap sebagai tempat strategis.

Berdasarkan keputusan pemerintah 10 September dilakukan reorganisasi di Residetie Preanger (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-09-1870). Dalam hal ini ibu kota Residentie dipindahkan ke Bandoeng dimana Rasiden berkedudukan. Sementara itu terdapat pemekaran afdeeling dimana masing-masing ditempatkan seorang asisten residen. Afdeeling tersebut adalah Tjiandjoer, Soekaboemi, Tjiatalengka, Soemedang, Tasik Malaja, Limbangan, Soekapoera dan Soekapoera Kolot. Untuk afdeeling Tasik Malaja terdiri dari distrik-distrik Tasik Malaya, Malambong, Tjiawi, Indihiang dan Singaparna dengan ibu kota di Tasik Malaya

Tunggu deskripsi lengkapnya

KH Zainal Mustofa: Lahir di Tasikmalaya dan Meninggal di Jakarta

Hingga berakhirnya kolonial Belanda (Pemerintah Hindia Belanda), kota Singaparna tetap terbilang penting. Tidak hanya orang Cina yang sudah bermukim di kota ini, bahkan seorang Padang Sidempoean bernama Rahman Poeloengan tinggal di Singaparna (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-05-1940). Juga organisasi Nahdlatoel Oelama sudah sejak lama ada di kota ini hingga terjadi penangkapan anggota NU di Siangaparna bulan September 1941.

Bataviaasch nieuwsblad, 30-09-1941: ‘Kekebalan hukum dipertanyakan. Beberapa anggota organisasi Nahdatoel Oelama di Singaparna telah ditangkap karena berkhotbah tentang kekebalan hukum. Investigasi atas masalah ini sedang berjalan lancar, kata Aneta dari Tasikmalaja’.

Pada bulan September 1941 sudah memasuki fase Perang Pasifik (masih sampai di sekitar pantai Timur Tiongkok). Pada pertengahan bulan Desember 1941 pasukan militer Jepang sudah menjatuhkan bom di kota Tarempa (Natuna). Protes para pemimpin Islam di Singaprna pada bulan September adalah bagian gerakan kemerdekaan Indonesia yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun hingga pembentukan Majelis Rakyat Indonesia pada tanggal 14 September 1941.

Tampaknya pejabat Pemerintah Hindia Belanda masih bersifat arogon ketika situasi politik dunia yang sudah diambang perang. Masih sempat-sempatnya mematai warga. Pada tangga 11 Januari 1942 Hindia Belanda (baca: Indonesia) sudah masuk zona perang sete;lah bom militer Jepang dijatuhkan di Tarakan, Kakas dan Soeong. Akhirnya serangan Jepang semakin masif hingga Pemerintah Hindia Belanda menyerang di Klaijati, Subang pada tanggal 8 Maret 1942.

Pada saat orang-orang Belanda menyerah kepada militer Jepang 1942 orang Indonesia dalam posisi tidak memiliki senjata. Tentu saja ada pribumi yang menjadi anggota militer Hindia Belanda (KNIL) tetapi dalam penyerahan Hindia Belanda kepada Jepang, termasuk militer yang katif. Semua senjata yang ada disita militer Jepang. Penduduk Indonesia yang tidak memiliki senjata, seakan Pemerintah Hindia Belanda juga menyerahkan penduduk Indonesia dalam posisi tidak berdaya (tidak memiliki senjata).

Selama pendudukan militer Jepang, tidak banyak hal yang terinformasikan. Ketika kemerdekaaan Indonesia diproklamsikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda/NICA kembali (ingin menjajah lagi). Sebuah tulisan yang dimuat pada majalah Perdjoeangan Rakjat berisi sebagai berikut: ‘Belanda di Indonesia menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada bulan Maret 1942, dan pada hari itu kami orang Indonesia diserahkan ke Jepang sama sekali tidak berdaya tanpa senjata, seperti halnya kepada Jepang yang biadab. militerisme disajikan sebagai semacam kelezatan. Selama periode itu kami dan juga warga Belanda secara bersama-sama oleh tentara Jepang. diinjak-injak, Belanda umumnya lebih suka membantu Jepang, sedangkan Indonesia berulang kali bangkit melawan Jepang, seperti di Blitar, Indramajoe, Singaparna dan di Sumatera, Kalimantan Barat dan di tempat lain; pemberontakan ini berlanjut sampai akhirnya kami memproklamirkan kemerdekaan kami tanpa menghindar dari pengorbanan diri. Mengingat hal ini, kami bertanya-tanya bagaimana sangat antusias bahwa orang Belanda masih terus menginginkan republik kami sebagai produksi seperti halnya Jepang (lihat Overijsselsch dagblad, 02-01-1947).  

Dalam tulisan pada majalah Perdjoeangan Rakjat (1946) disebut telah terjadi perlawanan penduduk terhadap (militer) Jepang di Singaparna.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar