Laman

Senin, 22 November 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (249): Pahlawan Nasional Otto Iskandardinata (1897-1945); RA Atmadinata dan Organisasi Pasoendan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Pahlawan Nasional Raden Otto Iskandar di Nata adalah seorang guru. Otto Iskandar di Nata dapat dikatakan sebagai penerus guru RA Atmadinata; Otto Iskandar di Nata dijuluki sebagai Si Jalak Harupat. Mengapa? Yang jelas RA Atma di Nata bukan maung Bandoeng. Keduanya memulai karir politik di dewan kota (gemeenteraad). Yang membedakanannya Otto Iskandar di Nata berhasil mencapai dewan pusat (Volksraad). Guru RA Atmadinata adalah Wali Kota Bandung pertama,

 

Raden Otto Iskandardinata (31 Maret 1897 – 20 Desember 1945) merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. Raden Otto Iskandardinata mendapat julukan si Jalak Harupat. Otto Iskandardinata lahir di Bodjongsoang, Bandoeng. Ayah Otto merupakan keturunan bangsawan Sunda bernama Nataatmadja dan Otto merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara. Otto menempuh pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, kemudian melanjutkan pendidikan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo. Setelah selesai, Otto menjadi guru HIS di Banjarnegara. Pada Juli 1920, Otto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat.

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional Raden Otto Iskandar di Nata? Seperti disebut di atas, Raden Otto Iskandar di Nata adalah penerus guru RA Atmadinata di kancah politik yang sama-sama memulai karir politik di dewan kota (gemeenteraad). Bagaimana bisa? Lalu bagaimana sejarah Mr Koesoemaatmadja, Ph.D? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Nasional Raden Otto Iskandar di Nata: Boedi Oetomo dan Organisasi Kebangsaan Pasoendan

Nama Otto hanya ditemukan di wilayah Pasundan. Ada dua tokoh yang Soenda yang menggunakan nama Otto pada tahun 1925 yakni Otto Soebrata dan Otto Iskandardinata. Keduanya kebetulan terkait dalam hubungannya dengan kepengurusan di badan pusat Boedi Oetomo (lihat De locomotief, 27-07-1925). Dalam rapat pengurus inti yang mana nama Otto Iskandardinata dan Dr Sardjito tidak hadir dalam membahas masalah Dwidjosewojo di Volksraad. Dalam proses nominasi pengganti di Volksraad, Otto Soebrata dari Bandoeng yang mengundurkan diri akan diganttikan oleh Otto Iskandardinata dari Pekalongan.

Otto Iskandardinata dalam hal ini adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) di Pekalongan. Dwidjosewojo selama ini di Volksraad terbilang orang yang vokal. Besar dugaan yang menekan Dwidjosewojo bukan hanya pemerintah tetapi juga dari kalangan yang berseberangan di Boedi Oetomo. Kebijakan Boedi Oetomo selama ini lebih cooperative (kepada pemerintah). Lantas apakah Dr Sardjito dan Otto Iskandardinata yang tidak hadir dalam rapat pengurus Boedi Oetomo semacam reaksi terhadap pengurus Boedi Oetomo yang lain.Lantas mengapa Otto Soebrata menolak dinominasikan ke Volksraad? Sebagaimana diketahui Dr Sardjito yang pernah menjadi ketua Boedi Oetomo cabang Batavia sudah lama tidak sejalan dengan visi misi badan pusat di Djogjakarta. Masalah Dwidjosewojo disebut bahwa Bpk Dwidjosewojo tidak lagi mewakili BO di Volksraad (lihat De Indische courant, 30-09-1925). Dr Sadjito dan Dwidjosewojo sudah berhaluan nasional. Sebagaimana diketahui hingga saat ini Boedi Oetomo masih bersifat kedaerahan (terbatas di Jawa dan Madoera) kurang memperhatikan masalah nasional. Sejak inilah nama Otto Iskandardinata mulai dikenal luas.

Nama Otto Iskandardinata sendiri sudah beberapa waktu yang lalu dikenal sebagai salah tokoh di Bandoeng dalam hubungannya dalam rapat umum yang dilakukan di aloen-aloen Bandoeng sehubungan dengan penahanan sejumlah pemimpin politik (lihat De Preanger-bode, 12-09-1921). Dalam rapat umum itu dihadiri PSI, PKI, Boedi Oetomo, Pasoendan, Persatuan Guru, sarikat pegadaian dan ISDP. Pada intinya massa protes mendesak pemerintah untuk mencabut hak-hak politik pada Pasal 155 dan 156. Dalam rapat umum ini juga Otto Iskandardinata berbicara yang menyindir surat kabar Preangerbode yang telah mengatakan bahwa kita belum memiliki pemimpin seperti Gandhi disini. Pada masa ini Otto Iskandardinata adalah anggota dewan kota (gemeenteraad) Bandoeng.

Otto Iskandardinata dalam hal ini adalah anggota Boedi Oetomo. Ini dapat diketahui dari rapat umum yang diadakan di Bandoeng pada tahun 1922 yang dihadiri Djagabaja, Boedi Oetomo dan Pasoendan (lihat De Preanger-bode, 30-01-1922). Dalam rapat umum ini Otto Iskandardinata sebagai ketua panitia yang mewakili Boedi Oetomo. Dalam rapat umum dibahas tetang soal otonomi Hindia. Dalam rapat ini juga berbicara Dr Tjipto. Dalam rapat ini disebut Otto Iskandardinata yang mewakili Boedi Oetomo lebih moderat. bahwa Boedi Oetomo mengambil sikap kebapakan terhadap aksi mogok yaitu bahwa perkumpulan ini, meskipun mogok tidak disetujui, namun para korban dari pemogokan harus menjadi perhatian. Lantas bagaimana hubungan Otto Iskandardinata dengan Pasoendan? Ini mirip dengan kasus Sumatra nanti. Pada awalnya di Jawa hanya satu organisasi kebangsaan yakni Boedi Oetomo yang didirikan tahun 1908. Pada tahun 1915 paguyuban Pasoendan didirikan. Hal serupa ini nanti terjadi ketika hanya satu organisasi kebangsaan yakni Sumetaranen Bond yang didirikan pada tahun 1917. Lalu unntuk mengakomodasi pihak-pihak terutama yang beragama Kristen lalu didirikan Bataksche Bond. Meski demikian masih banyak orang Batak yang menjadi anggota Sumatranen Bond meski sudah dibentuk Bataksche Bond. Hal itulah yang terjadi Jawa Barat meski sudah terbentuk Pasioendan namun orang Jawa Barat masih banyak yang tetap Boedi Oetomo termasuk Otto Iskandardinata. Tampaknya Pasoendan terbentuk pada tahun 1915 sehubungan dengan munculnya organisasi pemuda di bawah Boedi Oetomo yang disebut Jong Java (didirikan tahun 1915).

Otto Iskandardinata berada di dalam organisasi besar (Boedi Oetomo), organisasi Pasoendan baru tumbuh dan masih kecil. Ketika Otto Iskandardinata dipindahkan menjadi guru ke Pakalongan, kesempatan Otto Iskandardinata untuk di dewan tetap terbuka dan menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Pekalongan dari Boedi Oetomo. Hal itulah mengapa Ottos Iskandardinata ketika ada rapat pengurus Boedi Oetomo tahun 1925 seperti yang disebut di atas, Otto Iskandardinata adalah anggota dewan di Peklongan yang juga pengurus pusat Boedi Oetomo.

Tidak diketahui sejak kapan Otto Iskandardinata menjadi anggota dewan kota Pekalongan. Namun yang jelas pada pemilihan dewan kota Pekalongan pada tahun 1926, nama Otto Iskandardinata masuk lagi sebagai kandidata (lihat De locomotief, 17-06-1926). Otto Iskandardinata juga diketahui sebagai pimpinan Persatoean Sepabola Pekalongan atau Pekalongausche voetbalbond (lihat De locomotief, 19-07-1926). Dalam satu ceramah umum yang dilakukan Singgih di Pekalongan terjafi tanya jawab antara ahli hukum Singgih dengan Otto Iskandardinata (lihat De locomotief, 12-08-1926). Disebutkan Otto bertanya bagaimana cara menjalankan prosedur non-kooperative yang laliu dijawab Singgih non koopetative adalah senjata yang ampuh namun perlu persyaratan seperti kekuatan moral dan intelektual, finansial yang kuat dan slidaritas dan sangat kurang di masyarakat kita. Otto merspon dengan menyatakan bahwa non koperative akan merugikan dan dampaknya kecil, Otto menganggap ide pro-nonkooperasi kurang untuk kepentingan mengatasi masalah, kebaikan non-kerja sama itu bagus tapi untuk bagian praktis sebagai sarana tindakan adalah kecil. Jadi apa yang direkomendasikan?  Propaganda gagasan kedaulatan. Biarlah setiap orang Indonesia merasakan kewajiban untuk melayani sendiri keadilan. Untuk menegakkan keadilan, tidak peduli di mana Anda melakukannya dan dalam situasi apa gq menemukan dirinya. Akhirnya, Pak Oto bertanya bagaimana prosedur untuk politisi yang dimaksud oleh pembicara. Pak Singgih menjawab: Pak Otto adalah anggapan bahwa saya telah merekomendasikan non-kerja sama, yang tidak benar. Adapun faktor-faktor itu, saya akui secara umum diperlukan. Selanjutnya, Pak Otto telah merekomendasikan untuk mempromosikan kedaulatan yang kooperative, tapi Singgih menjawab itu memang luar biasa berarti, tapi saya yakinkan Pak Otto bahwa siapa pun yang menyebarkan ide itu disini tidak memiliki kehidupan. Dalam dialog ini tampak bahwa Otto masih pro kooperative, tetapi setelah mendengar uraian ahli hukum Singgih mungkin Otto akan berubah? Catatan: Singgih adalah sekretaris badan pusat Boedi Oetomo.

Otto Iskandardinata kembali terpilih menjadi anggota dewan kota di Pekalongan. Dalam pemilihan anggota Volksraad yang dimulai pada tahun 1926, Otto termasuk salah satu kandidat yang muncul (lihat De locomotief, 06-10-1926). Apakah Otto Iskanadinata anak Pasoendan dari Pekalongan yang menjadi pemimpin sepak bola yang yang juga merangkap sebagai pemain (THOR Pekalongan) serta guru di HIS Pekalongan akan dapat meraih tiket ke Pedjambon?

Boedi Oetomo sejak 1927 mulai memperkenalkan program baru di dalam organisasi skema kontribusi baru bagi para anggotanya. Pembayaran harus dilakukan sesuai dengan sarana keuangan, berdasarkan pendapatan anggota. Semua ini tentu masih perlu dibicarakan, tetapi dengan usulan tersebut telah dijelaskan bahwa pembentukan modal dalam gerakan pribumi sekarang ini sangat diperlukan, sehingga tidak hanya mungkin untuk berbicara, tetapi juga untuk bertindak (lihat De Indische courant, 10-11-1927). Disebutkan bersamaan dengan usulan ini, bagi pihak cabang Pekalongan, Pak Oto Iskandar yang terkenal dari Bandoeng, kini menjadi anggota dewan kota di sana, akan membahas pasal-pasal tentang hak untuk bertemu. Ini juga perlu agar Boedi Oetomo bisa melebarkan sayapnya lebar-lebar.

Guru Otto Iskandardinata dari Pekalongan akan dipindahkan ke Madioen (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 02-11-1928). Disebutkan diangkat anggota dewan Otto Wiratmadja Iskandar alias Otto Iskandar Dinata, guru di Hollandsch Inlandsche School der Vereeniging Mohamadyah menjadi guru di sekolah guru pribumi Normaalschool di Madioen. Otto sebelumnya telah dicalonkan melalui PGHB untuk menjadi anggota dewan pendidikan kemernterian pendidikan, agama dan industri (lihat De koeriee, 20-10-1928). Namun Otto Iskandardinata tampaknya tidak jadi ke Madioen. Yang jelas pada bulan Meret 1929 Otto diketahui sudah berada di Batavia (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 12-03-1929). Disebutkan Otto Iskandardinata, guru di sekolah Muhammadiyah di Batavia. Pada tanggal 31 Maret 1929 akan diadakan Kongres Pasoendan (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 26-02-1929). Ketua Pasoendan adalah Otto Koesoema Soebrata.

Pada saat Otto Iskandardinata di Batavia suhu politik mulai mengingat setelah Kongres PPPKI dan Kongres Pemuda pada tahun 1928. Pasca Kongres PPPKI 1929 di Solo, Ir Soekarno dkk ditangkap dan kantor PNI di Bandoeng diselidiki. Sebuah manifesto hari ini dari Batavia telah diterbitkan manifesto yang ditandatangani oleh Dr. Soetomo, Koesoemo Oetoyo, Tjokroaminoto, Otto Iskandar, Dachlan, Abdullah dan MH Thamrin yang berisi sebagai berikut: ‘Warga Indonesia, Banyaknya penangkapan dan penahanan berbagai pemimpin, penggeledahan di seluruh Indonesia, serta kunjungan ke tubuh berbagai orang yang terlibat dalam politik menunjukkan situasi politik yang serius…dst’. (lihat De locomotief, 02-01-1930).

Satu yang penting dalam Kongres Pasoedan yang terakhir ini ada keputusan yang ingin mengeluarkan bahasa Melayu dari sekolah HIS. Bagaimana usulan itu muncul tidak diketahui secara pasti dan faktor apa yang menyebabkan demikian.

De koerier, 22-05-1929: ‘Melayu. Ada banyak penentangan di kalangan Sunda terhadap pengajaran bahasa Melayu di sekolah-sekolah HIS, dan pada kongres terakhir Pasoendan diputuskan untuk meminta pemerintah menghapusnya sebagai mata pelajaran. Seorang kepala sekolah swasta bersubsidi mengajukan proposal kepada inspektorat untuk mengeluarkan bahasa Melayu dari sekolahnya pada awal kursus baru, pada tanggal 1 Juli. Keputusan departemen, yang menemukan dirinya ditempatkan di antara keinginan kelompok penting dan keputusan Volksraad, ditunggu dengan penuh minat’.

Sudah barang tentu guru Otto Iskandardinata dan guru RA Atmadinata mungkin tidak sependapat dengan itu. Keduanya sama-sama pernah mengajar di sekolah HIS di luar wilayah Pasoendan (Otto Iskandardinata di Pekalongan dan RA Atmadinata di Pariaman). Sebab bahasa Melayu akan menolong sebagai bahasa lintas antar daerah. Apalagi bahasa Melayu sebagai lingua franca sejak zaman kuno telah disepakati pada Kongres Pemuda belum lama ini (28 Oktober 1928).

Satu yang pasti ronggeog di Priangan Tengah, ada larangan, akibatnya jenis tarian rakyat asli lama akan menghilang dari tempat-tempat umum. Tidak ada lagi izin yang akan diberikan kepada ronggeng atau tarian umum, untuk tampil di tempat umum Ini adalah keberhasilan Paguyuban Sunda Pasoendan, yang telah diberitakan sebelumnya, telah mengajukan petisi kepada Residen yang meminta baik untuk kepentingan moralitas umum maupun kepentingan kaum muda, untuk melarang penari-penari semacam itu dari jalanan. dan tempat-tempat umum lainnya (lihat Sumatra-bode, 30-05-1929), Sebagaimana diketahui di wilayah Preanger sejak VOC sudah diketahui adanya ronggeng ini.

Dalam Kongres Pasoendan tampaknya yang terpilih menjadi ketua adalah Otto Koesoema Brata. Ini dapat diketahui dari berita dimana Otto Brata berbicara di Pasoendan cabang Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 03-06-1929). Disebutkan kemarin pagi, di tengah minat yang cukup besar, bapak Otto Koesoema Soebrata, Ketua Pengurus Pusat Paguyuban Pasoendan, berbicara tentang ‘Kedudukan Bupati dan Reformasi Pemerintahan’ dalam rapat umum departemen Batavia asosiasi tersebut. Diantara yang hadir kami mencatat, antara lain , Tuan van der Plas, Wakil Penasehat Pribumi.

Disebutkan Tuan Soebrata membawakan tesis sebagai berikut: 1. Bupati adalah pejabat utama, tetapi bukan kepala rakyat; 2. Pasal 126 menetapkan pergantian bupati secara turun temurun, harus ditiadakan. Untuk jabatan bupati, dipilih dari SMA untuk pejabat tinggi 4. Lulusan SMA ini tidak disyaratkan pada jajaran yang lebih rendah, tetapi langsung menduduki jabatan yang bertanggung jawab 5. Bupati langsung di bawah gubernur 6. Bupati tidak boleh menjadi anggota Volksraad; 7. Bupati dicabut kewenangannya untuk mengawasi pendidikan agama. Catatan: perihal bupati ini bukan hal baru, bahkan sudah lama dibicarakan di Volksraad.

Dalam Kongres Pasoedan yang ke-15 di Bandoeng hari Rabu. Kamis dan Jumat tanggal 24, 25 dan 26 Desember dihadiri cukup banyak termasuk dari berbagai pihak organisasi lainya. Bapak Otto Soebrata, Ketua Pengurus Pagoeyuban Pasoendan, membuka acara malam itu dengan pidato singkat (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 27-12-1929). Pada hari Rabu ada ceramah dari Mr Schrieke yang berjudul Kolonieale Politiek. Beberapa anggota kemudian angkat bicara. Hanya mereka yang menyatakan diri menentang aturan kolonial kebijakan Mr Schrieke. Pada hari Kamis dibawah sistem pemilihan dan pemilihan umum. Pada kesempatan ini Pak Atik Soeardi, menyatakan diri mendukung non-kooperatif, antara lain mengatakan bahwa pejabat pribumi adalah mainan kekuasaan. Beberapa anggota kemudian angkat bicara, termasuk Bupati Bandung dan patih. Namun sebaliknya hampir semua setuju dengan apa yang dikatakan penggagas.

Tampaknya gerakan Pasoendan edisi baru (setelah PPPKI terbentuk 1927) era bupati tampaknya akan mulai berakhir (sejak era VOC). Dua tokoh penting di gerakan Pasoendan ini adalah Otto Soebrata ketua dan Otto Iskandardinata ketua Pasoendan afdeeeling Batavia.

Pada awal bulan Januari 1930 di anjungan Sekolah Mochammadijah Kemajoran, diinstal komisi yang baru yang dibentuk oleh pengurus badan pusat Pasoendan telah membentuk komisi-komisi (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-01-1930). Satu diantara empat komisi tersebut adalah Komisi Pendidikan dan Pengajaran/Pengasuha yang mana Loekman Djajadiningrat, ketua; Parma Iskandar sebagai sekretaris dan Poeradiredja sebagai anggota. Dalam hal ini Loekman Djajadinigrat dari Banten pernah menjadi ketua Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) di Belanda. Komisi-komisi tersebut dibentuk diduga sebagai perpanjangan tangan agar organisasi bekerja lebih efektif dalam dalam situasi yang berubah cepat. Orang-orang reformis telah hadir di tubuh Pasoendan (hal serupa ini juga telah terjadi di Boedi Oetomo..

Tunggu deskripsi lengkapnya

Pahlawan Indonesia RA Atma di Nata: Guru Menjadi Wali Kota

Di Bandoeng sudah sejak lama dikenal tokoh dewan kota yang berasal dari guru. RA Atmadinata guru di HIS Tjimahi pada tahun 1917 untuk kali pertama menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad) Bandoeng. Namun tidak lama kemudian RA Atmadinata melanjutkan pendidikan ke Belanda dan mendapat akta LO (lihat De Preanger-bode, 08-11-1921). Pada tahun 1923 RA Atmadinata dipindahkan ke Pariaman, dan kemudian ke Koeningan hingga tahun 1928 kembali dipindahkan ke HIS Bandoeng (Bataviaasch nieuwsblad, 15-06-1928). Padaa tahun ini diketahui guru Otto Iskandardinata sudah berada di Batavia sebagai guru di sekolah Muhammadiyah. Sedangkan RA Armadinata diketahui telah duduk kembali di dewan kota (lihat De locomotief, 31-05-1929).

Setelah cukup lama berdinas sebagai guru, Atmadinata mengajukan permintaan pension. Permohonan itu dikabulkan yang berlaku pada tanggal 1 Februari. Dengan begitu, Atmadinata, guru berlisensi Eropa, berpangkat guru kelas-3 sebagai guru HIS dinyatakan pension (Bataviaasch nieuwsblad, 27-01-1930).

RA Atmadinata setelah pensiun menjadi lebih fokus sebagai anggota dewan kota di Bandoeng. Terpilih. Oleh karena pernah menjadi anggota dewan kota sejak 1917, maka posisi RA Atmadinata di Bandoeng menjadi anggota senior dewan kota (Wwethouder). Pasoendan yang telah didirikan sejak 1915, pada tahun 1930 diketahui ketuanya adalah Otto Iskandardinata (lihat  Bataviaasch nieuwsblad, 12-11-1930). Otto Iskadardinata menggantikan Otto Soebrata. Otto Iskandardinata juga diketahui sebagai anggota Volksraad (dari Pasoendan). Saat ini Otto Iskandardinata tengah dicalonkan untuk Volksraad. Otto Iskandardinata salah satu dari tiga terpilih dari West Java (lihat De locomotief, 09-01-1931).

De standaard, 03-02-1932: ‘Volksraad. Debat krisis. Batavia, 2 Februari (Anita). Volksraad melanjutkan perdebatan krisis. Pak Soangkoepon (no partai) sangat menganjurkan kesetaraan pribumi. Bapak H de Dreu (ISDP.), Iskandar (Pasoendan) dan Soeroso (non partai) mengusulkan pembagian biaya yang lebih menguntungkan bagi angkatan laut,  Pak Hamer (Vad. Cl.) berpendapat bahwa efisiensi yang lebih besar tetap dimungkinkan di Landsdienst. Pak Roep (PEB) memperingatkan agar tidak memperluas pertanian asli karena pasar domestik yang terbatas’. Bataviaasch nieuwsblad, 04-03-1932: ‘Kongres Pasoendan akan diadakan pada tanggal 24-27 Masret di di Gcdong Permocfakatan Nasional di Gang Kenari’. Ini kali pertama Konrgres Pasoendan diadakan selain di Bandoeng. De locomotief, 29-03-1932: “Dalam Kongres Pasoendan di Batavia juga turut hadir dan berbicara Ir Soekarno. Sebelumnya juga Ir Soekarno berbicara di pertemuan tertutup mahasiswa’.

Pada tahun 1933 ketika Kongres Pasoendan di Bandoeng, Otto Iskandardinata juga turut dihadiri Wethouder RA Atnadinara (lihat De koerier, 15-04-1933). Dalam kesempatan inilah dua tokoh dewan kota yang sama-sama berasal dari guru dudurk bersama. RA Atmadinato di dewan menjadi wakil ketua dewan (dari golongan pribumi). Dalam pemilihan anggota dewan 1934 RA Atmadinata kembali terpilih (melalui Pasoendan).

Anggota dewan pribumi yang terpilih adalah sebagai berikut: R Atmadinata (Pasundan), R. Moech. Enoch (Pasundan), Kadmirah Karnadidjaja (Pasundan), RKS. Natawyogja (Pasundan), Ir. Roosseno (Budi Utomo), Ir. Soetoto (Persatoean Bangsa Indonesia), R. Ali Tirtosoewirjo (Budi Utomo), Óetoen Tisnasapoetra (Pasundan) dan Hadji Hasan Wiratmana, serikat Nahdatoel Oelama. Untuk golongan Tionghoa yang terpilih dalam kelompok ini terpilih Bapak Tjen Djin Tjong, Tjoan Tio Tek dan The Goan Tjoan. (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-07-1934).

Tampaknya setelah Otto Iskandardinata pindah ke Batavia (sejak 1929), tidak lagi menjadi anggota Boedi Oetomo tetapi lebih memilih menjadi anggota Pasoendan. Kini, Otto Iskandardinatar telah menjadi ketua pengurus pusat Pasoendan. Lantas apakah yang menyebabkan Otto Iskandardinata beralih ke lain hati (Pasoendan)? Apakah karena terpengaruh kuliah dari Mr Singgih di Pekalongan? Ottto Iskandardinata menjadi ketua Pasoendan cabang Batavia (lihat De locomotief, 05-09-1929).

Sebagaimana diketahui pada tahun-tahun terakhir di tubuh Boedi Oetomo telah muncul kelompok muda dan terpelajar yang sangat reformis termasuk diantaranya Dr Sardjito, Ph.D, Mr Soepomo, Ph.D dan Mr Singgih. Dr Soetomo salah satu pendiri Boedi Oetomo(1908) sudah sejak lama berada di luar Boedi Oetomo, Setelah pulang studi dari Belanda, Dr Soetomo mendirikan stidieclub di Soerabaja yang kemudian naik status menjasi partai yakni Persatoean Bangsa Indonesia disingkat PBI (didirikan 1930). Pada pemilihan dewan kota Bandoeng 1934 terdapat satu orang wakil PBI (wakil Boedi Oetomo hanya mendapat dua kursi).

Dalam kongres Pasoendan yang ke-21 yang diadakan di Bandoeng pada tahun 1936 Otto Iskandardinata kembali terpilih menjadi ketua (lihat De koerier, 16-04-1936). Dalam jajaran pengurus pusat ini terdapat nama-nama Atik Soeardi sebagai wakil dan Ir Djoeanda sebagai sekretaris. Pada barisan komisaris terdapat nama-nama Mohamad Enoch, Loekman Djajajadiningrat dan Erna Poeradiredja. Komposisi ini dapat dikatakan gabungan orang-orang terbaik di tataran Soenda. Dari era inilah gerakan Soenda dimulai dengan tokoh sentral Otto Iskandardinata. Pada pemilihan anggota Volksraad tahun 1938 Otto Iskandar terpilih dan melenggang ke Pedjambon. Otto Iskandardinata mulau tampak galak ( di dewan pusat).

Dalam pertemuan dewan, beberapa anggota sudah mulai berani menggunakan bahasa Melayu. Meski pimnpin meminta dengan bahasa Belanda, tetapi himbauan itu tidak terlalu diindahkan.  Otto Iskandardinata memberi pendapat sudah waktunya bahasa Melayu digunakan di tanah (negara) ini (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 16-07-1938). Disebutkan Otto Iskandardinata yang menggunakan bahasa Melayu membahas ketidaksenangan beberapa anggota tentang penggunaan bahasa ini, dan pertama-tama mempermasalahkan Kerstens, yang menggunakan nama ketika dia berbicara. berpendapat bahwa, setelah 20 tahun berdiri Volksraad, sudah tiba waktunya bagi Volksraad untuk menggunakan bahasa negara dalam dewan, dan menyangkal bahwa penggunaan bahasa Melayu dimaksudkan untuk memperumit tugas pemerintah yang didelegasikan atau untuk mencegah demonstrasi untuk memberi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar