Laman

Rabu, 21 April 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (50): Kamus Sejarah Indonesia, Seberapa Lengkap dan Akurat; Jangan Sampai Ada Terlewatkan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog Klik Disini 

Beberapa hari ini heboh soal buku Kamus Sejarah Indonesia. Apa pasal? Nama Hasyim Asy'ari, tokoh NU tidak ada dalam konteks yang proporsional (dalam berbagai laman). Bahkan nama (presiden) Soekarno juga tidak ada. Padahal bukunya berjudul kamus tentang sejarah Indonesia. Celakanya, buku ini sudah dicetak dan didistribusikan (sudah bisa dibaca publik). Heboh ini lalu ditanggapi oleh berbagai pihak termasuk dari kementerian (Pendidikan dan Kebudayaan). Satu alasan yang disebutkan tidak adanya nama tokoh Hasyim Asy'ari karena buku itu masih (bersifat) draf. Tapi, anehnya draft yang belum final sudah dipublikasikan. Kacau!

Sejarah ‘Kamus Sejarah Indonesia’ sebenarnya sudah beberapa buku ditulis pada era Pemerintah Hindia Belanda dalam berbagai versi yang dikemas sebagai kamus geografi, kamus sejarah dan sebagainya. Tentu saja dalam kamus-kamus era Hindia Belanda itu lebih menonjol peran orang-orang Belanda daripada orang-orang pribumi. Meski demikian, buku-buku itu, meski minim narasinya, tetapi juga mencatat nama-nama pribumi yang pernah berselisih atau secara terang-terangan melawan pemerintah VOC maupun Pemerintah Hindia Belanda. Buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ yang kini dipersoalkan, pada era Republik Indonesia, baru kali ini ditulis, sebagai buku pertama. Namun seperti disebut di atas, buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ menjadi heboh.

Lantas bagaimana sejarah ‘Kamus Sejarah Indonesia’ versi era Pemerintah Hindia Belanda? Nah, seperti disebut di atas, sejarah ‘Kamus Sejarah Indonesia’ yang menjadi heboh, lalu seperti apa sejarah penulisan buku atau kamus sejarah pada era Pemerintah Hindia Belanda. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Filipina (14): Sejarah Awal Agama di Hindia Timur; Islam, Katolik di Filipina, di Manado Katolik Digantikan Protestan?

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini 

Penyebaran agama-agama besar (dunia) terjadi di seluruh penjuru bumi. Itu terjadi sejak zaman kuno. Agama Hindoe dan agama Boedha oleh pedagang-pedagang India diperkenalkan di Hindia Timur yang menggantikan agama atau kepecayaan penduduk asli (animisme dan dinamisme). Sejak kehadiran pedagang-pedagang Islam (Arab, Persia, Moor, Tiongkok) penganut agama Hindoe dan agama Boedha berkurang drastis. Dapat di bilang penganut agama Hindoe yang tersisa di Hindia Timur (terbatas) di Bali. Lalu kemudian sejak kehadiran pelaut-pelaut Eropa (Portgus dan Spanyol) penduduk yang masih pagan menjadi Katolik (penyiar Agama Islam juga masih bekerja untuk penduduk yang masih pagan). Lalu agama Protestan (sejak era VOC) para misionaris Belanda dan belakangan Jerman sangat aktif menyiarkan agama Protestan.

Pada masa ini penduduk Indonesia yang berjumlah 270 Juta jiwa yang beragama Islam sebesar 86, 7 petrsen. Sebesar 7.6 persen agama Protestan terkonsentrasi di Tapanuli, Minahasa, Maluku bagian selatan dan Papua dan agama Katolig sebesar 3,1 persen terkonsentrasi di Nusa Tenggara Timur dan Pupua. Agama lainnya masing-masing kurang dari satu persen. Filipina yang berjumlah penduduk 100 Juta jiwa sebesar 79.5 persen menganut agama Katolik, sebanyak 9.1 persen Protestan dan agama Islam sebesar 6,1 persen. Penganut agama Islam di Filipina terkonsentrasi di provinsi-provinsi Bangsa Moro (pulau Mindanao sebelah barat dan pulau-pulau di barat daya dekat Indonesia dan Sabah (Malaysia). Di Timor Leste (bagian timur Pulau Timor) berjumlah penduduk sebanyak 1.2 Juta jiwa yang mana sebesar 97.6 persen agama Katolik. Tetangga negara kecil ini yakni provinsi Nusa Tenggara Timur (Indonesia) memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.3 Juta jiwa yang mana penganut agama Katolik sebesar 53,6 persen, agama Protestan sebesar 36,2 persen dan agama Isla sebesar 9,5 persen.

Lantas bagaimana sejarah awal penyebaran agama di Filipina? Tentu saja sudah ada yang menulis, namun sejauh data baru ditemukan narasi sejarah awal agama di Filipina perlu diperkaya. Yang jelas bahwa sebelum masuknya agama Katolik di Filipina, sebagian penduduk asli sudah beragama Islam (dan masih banyak yang pagan). Agama Protestan juga menysul ke Filipina. Sementara di wilayah tetangganya (Residentie Manado) awalnya sudah ada penduduk yang beragama Katolik, tetapi kemudian beralih menjadi Protestan. Mengapa? Lalu mengapa perkembangan agama Islam di Filipina hanya terbatas di provinsi-provinsi Bangsa Moro? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Filipina (13): Bahasa Tagalog dan Lingua Franca Nusantara (Bahasa Melayu); Bahasa Tagalog Jadi Bahasa Resmi Filipina

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Filipina dalam blog ini Klik Disini 

Di Hindia Timur seperti di Indonesia dan Filipina eksis berbagai bahasa. Penutur bahasa Jawa terbanyak di Indonesia dan bahasa Tagalog di Filipina. Namun yang menjadi lingua franca di Hindia Timur (Indonesia, Malaysia dan Filipina), terutama awalnya dalam dunia navigasi pelayaran (perdagangan) adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Bahasa Indonesia yang sekarang. Sedangkan lingua franca di Filipina yang awalnya bahasa Melayu bergeser menjadi Bahasa Tagalog (kini lebih dikenal sebagai bahasa Filipino). Mengapa bisa?

Sejak zaman kuno, sudah terbentuk berbagai bahasa di Hindia Timur. Sehubungan dengan kehadiran pedagang-pedagang India (pada era Hindoe-Boedha) yang menjadi lingua franca adalah bahasa Sanskerta. Penggunaan bahasa Sanskerta ini dapat diperhatikan pada berbagai prasasti, seperti prasasti Kedukan Bukit (682 M). Lalu bahasa Sanskerta ini terus berkembang (seiring dengan penyerapan bahasa lainnya), maka lingua franca ini digunakan di berbagai kota pelabuhan seperti di Tapanuli (Barus), di Atjeh (Pasai) di Semenanjung Malaya (Malaka), di Palembang, Banten, Demak, Banjarmasin, Makassar, Ternate, Amboina, Brunai, Manado, Mindanao, Manila dan sebagainya. Penggunaan lingua franca ini mencapai Madagaskar di barat, Makao di utara, Papua di timur dan Maori (Selandia Baru) di selatan. Wilayah-wilayah atau kota-kota yang tidak memiliki bahasa sendiri (atau awalnya memiliki tetapi tergerus oleh lingua franca), bahasa lingua franca ini disebut Bahasa Melayu. Bahasa Melayu menjadi bahasa internasional (ibarat bahasa Inggris masa kini). Sebagai bahasa internasional, banyak kosa kata bahasa Melayu diserap ke dalam bahasa etnik seperti bahasa Jawa dan bahasa Batak. Baru dalam perkembangannya masuk unsur bahasa asing dari Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris) ke dalam bahasa Melayu yang menjadi cikal bahasa Indonesia (sejak diproklamirkan tahun 1928). Pada masa kini, selain bahasa asing, bahasa-bahasa etnik juga banyak diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Sejarah bahasa Tagalog menjadi lingua franca di Filipina pada masa ini tentulah sangat menarik diperhatikan. Sebab mengapa lingua franca bahasa Melayu menghilang (terdegradasi) di Filipina, yang lalu kemudian muncul (promosi) bahasa Tagalog. Yang jelas bahasa Melayu menjadi bahasa resmi (dan juga bahasa nasional) di Brunai dan Federasi (negara) Malaysia. Sedangkan di Filipina yang menjadi bahasa resmi tidak hanya bahasa Filipino tetapi juga bahasa Inggris. Lain lagi di Singapoera, bahasa resmi adalah Inggris, Melayu, Mandarin dan Tamil tetapi yang diakui sebagai bahasa nasional adalah bahasa Melayu. Lain pula di Timor Leste yang sekarang, bahasa resmi bahasa Tetum dan Portugis (mirip dengan di Filipina). Lalu apa yang menyebabkan bahasa Tagalog sebagai bahasa resmi di Filipina? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.