Laman

Sabtu, 01 Januari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (329): Pahlawan Nasional Hasan Basri di Borneo; Proklamasi Kalimantan Selatan Tanggal 17 Mei 1949


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Hasan Basri adalah salah satu pahlawan Indonesia asal Kalimantan yang telah ditabalkan menjadi Pahlawan Nasional (2001). Sjarif Abdoel Hamid di Kalimantan Barat, tentara KNIL lulusan KMA Breda dipromoasikan menjadi Overste. Setelah dikukuhkan oleh Belanda/NICA sebagai Sultan Pontianak (Sultan Hamid II) lalu mengklaim seluruh wilayah West Borneo (Kalimantan Barat). Tidak demikian dengan Hasan Basri, sepulang dari Jawa (setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945) membentuk pasukan untuk menentang kehadiran Belanda/NICA di Zuid Borneo (Kalimantan Selatan) dan pada tanggal 17 Mei 1949 memproklamasikan Kalimantan Selatan sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Hasan Basry (17 Juni 1923 – 15 Juli 1984) adalah tokoh militer dan Pahlawan Nasional. Hasan Basry sekolah di HIS kemudian pendidikan Islam di Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan kemudian di Kweekschool Islam Pondok Modern di Ponorogo. Hasan Basry aktif dalam organisasi pemuda Kalimantan yang berpusat di Surabaya. Tanggal 30 Oktober 1945, Hasan Basry kembali ke Kalimantan Selatan dan kemudia menemui H. Abdurrahman Sidik di Pekapuran, untuk mengirimkan pamflet dan poster tentang kemerdekaan Indonesia dan juga melalui AA Hamidhan dikirim pamflet ke Amuntai dengan Ahmad Kaderi, sedangkan yang ke Kandangan dikirim lewat H Ismail. Di Haruyan pada tanggal 5 Mei 1946 para pejuang mendirikan Lasykar Syaifullah. sebagai pemimpin Hassan Basry. Pada tanggal 24 September 1946 saat acara pasar malam amal banyak tokoh Lasykar Syaifullah yang ditangkap dan dipenjarakan. Hassan Basry mereorganisir anggota yang tersisa dengan membentuk Benteng Indonesia. Pada tanggal 15 Nopember 1946, Letnan Asli Zuchri dan Letnan Muda M.Mursid anggota ALRI Divisi IV yang berada di Mojokerto, menghubungi Hassan Basry untuk menyampaikan tugas yaitu mendirikan satu batalyon ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan. Dengan pasukan Banteng Indonesia Hassan Basry berhasil membentuk batalyon ALRI. Ia menempatkan markasnya di Haruyan. Selanjutnya ia berusaha menggabungkan semua kekuatan bersenjata di Kalimantan Selatan ke dalam kesatuan. Situasi menjadi sulit, sesuai dengan Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947), Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura dan Sumatra. Akan tetapi, Hasan Basry tetap melanjutkan perjuangan melawan Belanda (juga menentang Perjanjian Renville 17 Januari 1948). Ia menolak memindahkan pasukan ke daerah yang dikuasai RI (terdekat di Jawa). Hasan Basri memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia yang dikenal dengan Proklamasi 17 Mei 1949 atau Proklamasi Kalimantan. Pada tanggal 2 September 1949 dilakukan perundingan antara ALRI DIVISI (A) dengan Belanda, beserta penengah UNCI. Pada kesempatan ini, Jenderal Mayor Suharjo atas nama pemerintah mengakui keberadaan ALRI DIVISI (A) sebagai bagian dari Angkatan Perang Indonesia, dengan pemimpin Hassan Basry dengan pangkat Letnan Kolonel. Kemudian pada 1 November 1949, ALRI DIVISI (A) dilebur ke dalam TNI Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat, dengan panglima Letkol Hassan Basry (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Pahlawan Nasional Hasan Basri? Seperti disebut di atas, Hasan Basri berjuang untuk mengekalkan Kalimantan Selatan sebagai bagian dari Republik Indonesia dengan proklamasi yang terkenal pada tanggal 17 Mei 1949. Lalu bagaimana sejarah Hasan Basri? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Nasional Hasan Basri asal Borneo: Proklamasi Kalimantan Selatan Tanggal 17 Mei 1949

Hasan Basri pada tanggal 16 Mei 1949 di Borneo memproklamasikan bahwa Zuid Borneo (Kalimantan Selatan) menjadi bagian dari Republik Indonesia (RI). Apakah itu berita besar? Tentu saja berita besar di Borneo.

Pada Sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 menetapkan Ir Mohamad Noor sebagai gubernur (provinsi Borneo). Namun dalam perkembangannya kembali kehadiran Belanda/NICA. Sehubungan dengan mangkatnya Sultan Hamid I, pemerintah Belanda/NICA mengangkat sang putra mahkota menjadi sultan dengan gelar Soeltan Pangeran Adipati Anoem Soeria Maharadja Sjarif Hamid Alkadrie (Sultan Hami II) terhitung sejak tanggal 16 Oktober 1945 sebagai Pjs Administrator Lanskap Pontianak (waarnemend bestuurder van het landschap Pontianak) dan kemudian menjadi penguasa (seluruh) Kalimantan Barat (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 09-04-1946). Pososi Sultan Hamid II ini mengambil hak yang sebelumnya di tangan Soeltan Taha (Republik Indonesia) sejak Maret 1946 yang lalu kemudian Sultan Hamid II mendukung penuh usulan pemerintah Belanda, sebaliknya menentang Pemerintah RI. Demikian seterusnya pemerintah Belanda/NICA melakukan yang sama di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Setelah itu sepi sendiri di Borneo, sementara perang terus berlangsung di daerah lain terutama di Jawa dan Sumatra. Dalam Konferensi Malino, Sultan Hamid II telah menganggap dirinya mewakili (pulau) Borneo. Pada bulan Agustus 1946 mewakili konferensi Malino (Negara Indonesia Timur dan Borneo) Soekowati dari Bali dan Sultan Hamid dari Pontionak sudah berada di Belanda untuk membicarakan dengan HJ van Mook dan pihak pemerintah Kerajaan Belanda (lihat De Maasbode, 29-08-1946).

Sejak konferensi Malino (1946) tidak ada peristiwa politik yang penting di Borneo hingga munculnya proklamasi Kalimantan Selatan sebagai bagian RI yang dilakukan oleh seorang heroik Hasan Basri (Divisi-IV/Jawa Timur-ALRI) pada tanggal 16 Mei 1949. Proklamasi Hasan Basri dkk ini dilakukan beberapa hari setelah Perjanjian Roem-Roeyen ditandatangani.

Perjanjian Roem-Roeyen yang dimulai pada tanggal 17 April 1949 dan  ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Djakarta/Batavia. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun ini (1949). Isi dari perjanjian pernyataan kesediaan berdamai antara kedua belah pihak. Dalam perjanjian itu, pihak delegasi Republik Indonesia menyatakan kesediaannya untuk: (1) Mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya, (2) Bekerjasama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan, (3)  Turut serta dalam KMB di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat. Sedangkan pihak delegasi Pemerintah Belanda saat itu menyatakan kesediaannya untuk: (1) Menyetujui kembalinya pemerintahan Indonesia ke Yogyakarta, (2) Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik, (3) Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1949, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik. (4) Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat, (5) Berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.

Berita proklamasi Hasan Basri 16 Mei 1949 sudah barang tentu berita baik buat para pemimpin Pemerintah Republik Indonesia yang tengah menunggu pemulangan para pemimpin RI dari pengasingan kembali ke ibu kota RI di Djogjakarta seperti Presiden Soekarno dkk dari Parapat dan Perdana Menteri Mohamad Hatta dkk dari Bangka. Sebaliknya proklamasi Hasan Basri dkk di Borneo membuat geram para pejabat pemerintahan Belanda/NICA. Sudah beberapa waktu wilayah Kalimantan Selatan masuk wilayah otoritas pemerintah Belanda/NICA, saat proklamasi dilakukan di Bandjarmasin sudah lama eksis otoritas pemerintahan Belanda/NICA dengan kekuatan militer (KNIL) dan para pengusaha Belanda—proklamasi dilakukan bukan di tempat sepi.

Pada tanggal 17 Agustus, Gubernur Militer (Republik Indonesia) Kalimantan Selatan yang diangkat secara tidak resmi, Hassan Basri mengumumkan yang mengundang Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat untuk bergabung dengan Kalimantan Selatan untuk membentuk kesatuan Kalimantan sebagai bagian dari Republik [Indonesia]. Pada saat yang sama, para Dewan Bandjar, Dewan Dayak Besar dan Tenggara dinyatakan dihapuskan dan sebuah 'Komite Nasional Indonesia' didirikan di tempat masing-masing (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-08-1949). Disebutkan bahwa panitia pembentukan KNI tersebut termasuk panitia ini termasuk Wali Daerali dan pejabat pemerintah lainnya yang sempat menghilang dari Bandjemiasin sejak 15 Agustus dan polisi Suroto dan 21 anak buahnya akan mengkoordinasikan polisi. Dalam pengumuman Hasan Basri ini juga dinyatakan bahwa wilayah yang diduduki ALRI berada di bawah pemerintahan yang demokratis. Pencurian dan kejahatan lainnya tidak lagi terjadi. Perekonomian diarahkan untuk kebutuhan rakyat: orang kaya memberikan dukungan moneter kepada orang miskin, sehingga banyak uang yang disimpan dan tidak digunakan dimasukkan ke dalam sirkulasi.

Dalam menyikapi perkembangan terbaru di Kalimantan Selatan Sekretaris Negara Dalam Negeri H van der Wal dan Kepala Staf Umum Kolonel Pereira berangkat ke Bandjermassin pada hari Jumat pagi yang juga berharap Major Jenderal Soehardjo yang didampingi pengamat militer Australia dari UNCI, Kolonel Neals dan dua perwira dari stafnya berangkat ke Bandjarmasin pada Minggu pagi dapat mengubah situasi (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 30-08-1949). Di bandara (yang jaraknya 26 Km dari kota) Major Jenderal Suhardjo dan rombongan dihadiri beberapa ribu orang.

Pasca Perjanjian Roem-Roeyen sembari persiapan ke perundingan KMB di Den Haag, di Djogjakarta pemerintahan RI dipulihkan dimana pada bulan Juni yang pertama Soeltan Djogja mencari Kolonel TB Simatoepang yang tengah bergerilya di Banaran untiuk kembali ke Djogjakarta untuk penanganan keamanabn sehubungan dengan akan dievakuasinya militer Belanda/NICA dari dalam kota. Setelah evakuasi dan dilakukan persiapan maka yang datang pertama adalah rombongan Mohamad Hatta dari pengasingan di Bangka, yang lalu kemudian disusul rombongan Sokarno dari Parapat. Setelah Soeltan Djogja dan Kolonel TB Simatoepang menemukan kontak dengan Jenderal Soedirman yang bergerilya di selatan Kediri akhirnya tiba di perbatasan Djogja. Jenderal Soedirman tidak bersedia ke kota apalagi bertemu dengan Soekarno dan Mohamad Hatta. Yang menyambut Jenderal Soedirman di perbatasan kota adalah Kolonel TB Simatoepang. Kegeraman Jenderal Soedirman belum hilang sejak Agresi Militer Belanda tanggal 19 Desember 1948. Saat itu, pasukan Belanda/NICA sudah mendarat di lapangan terbang Magoewo dan kemudian Jenderal Soedirman meminta Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta mengungsi ke luar kota daripada menyerah. Permintaan itu tidak digubris. Lalu Jenderal Soedirman meminta Majoor Jenderal Abdoel Haris Nasoetion membawa pasukannya bergerilya di Jawa Barat, demikian juga Kolonel TB Simatoepan untuk bergerilya di Jawa Tengah dan baru kemudian Jenderal Soedirman dengan pasukannya berangkat ke selatan Djogjakarta. Sebelum berangkat, Jenderal Soedirman sempat memberi pengumuman di Radio Djogjakarta agar pasukan dimana pun berada tetap semangat dan memberitahu bahwa komando mulai sekarang berada di bawah Kolonel Hidayat di Sumatra (Jenderal Soedirman mendelegasikan kepada bawahannya yang masih berada di wilayah RI lainnya yang masih aman; sementara wilayah RI di Djogjakarta sudah dianggap DOM). Sejak Jenderal Soedirman kembali ke Djogja divisi militer yang ada di Jawa masih terbagi empat (Divisi I Jawa Barat/Siliwangi; Divisi II Jawa Tengah; Divisi III Djogjakarta dan sekitar; Divisi IV Jawa Timur). Kesatuan militer (RI) yang terbentuk di Kalimantan Selatan oleh Hasan Basri disebut Divisi IV/ALRI. Catatan: Mayjen Suhardjo, mantan Panglima Tentara Republik di Sumatera yang sudah kembali ke Jawa dan sekarang dan sekarang sebagai Inspektur Jenderal Infanteri  (lihat Nieuwe courant, 06-07-1949), Lalu kemudian diangkat menjadi kepala staf (lihat Overijsselsch dagblad, 19-08-1949). Disebutkan pada Kamis malam, Sultan Djogja (Letnan Jenderal Hamengkoeboewono IX) tiba-tiba berada di Batavia dengan pesawat UNCL selaku Menteri Pertahanan yang didampingi oleh Mayor Jenderal Suhardjo, Kepala Staf dan Kolonel Simatoepang, dan anggota republik dari komisi bersama yang didesentralisasi. Sebelum keberangkatannya, Sultan menyatakan bahwa tujuan kunjungannya adalah untuk mengadakan pembicaraan dengan HVK dan Ketua Delegasi Republik tentang Eksekusi Perintah Penghentian Permusuhan. Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-08-1949 [menambahkan] bahwa Susanto Tirtoprodjo, tentang pelaksanaan gencatan senjata. Sultan akan kembali ke Djokja pada hari Sabtu, karena ia akan memimpin rapat kabinet yang akan diadakan. Kolonel Simatoepang akan berangkat ke Den Haag untuk mengikuti RTC. Mayor Jenderal Suhardjo akan segera berangkat ke Kalimantan untuk melaksanakan gencatan senjata disana. Algemeen Handelsblad, 26-08-1949 memberitakan bahwa Suhardjo mengklarifikasi bahwa dia telah menunda keberangkatannya karena alasan militer, teknis dan bahwa dia hanya ingin pergi dengan ditemani pengamat militer dari UNCL. Di pihak republik, komisi gabungan lokal keempat belas telah diproyeksikan untuk Zuid Bomeo.

Di Bandjermasin dalam pembicaraan informal yang diadakan antara pemerintah daerah dan Mayor Jenderal Suhardjo yang mana Suhardjo berjanji akan melakukan kontak dengan Gubernur Militer Republik Kalimantan Selatan yang diangkat secara tidak resmi, Hassan Basri untuk memerintahkan dilakukan penghentian menembak (lihat Twentsch dagblad Tubantia en Enschedesche courant en Vrije Twentsche courant, 30-08-1949). Suhardjo mengatakan kedatangannya bahwa kunjungannya ke Kalimantan Selatan adalah resmi seperti dikatakannya ‘Saya diutus Panglima  Soedirman’.

Lebih lanjut, Suhardjo mengatakan bahwa akan setia mengikuti perintah negara, tetapi- berdasarkan pengalaman masa lalu-dia ingin mendapatkan bukti dari pihak Belanda tentang kejujuran Belanda dalam melaksanakan perintah untuk menghentikan permusuhan. Dia mencatat bahwa semua tokoh republik, termasuk militer, sedang melakukan upaya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat kepada rakyat Belanda, tetapi Belanda sejauh ini gagal menunjukkan niat baik mereka. Ia mencontohkan, panitia gabungan lokal mengalami kesulitan dalam melaksanakan perintah gencatan senjata, karena pihak Belanda menghalangi kepergian orang-orang yang bersangkutan. Ia juga mengatakan, dengan kesepakatan, lalu lintas ekonomi antara Djokja dan daerah sekitarnya harus dibuka, tetapi ini juga dipersulit, sehingga banyak barang tujuan Djokja yang masih menunggu di Semarang. Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad, 31-08-1949 menyebutkan Soehardjo menyalahkan Belanda karena belum menunjukkan niat baik mereka. TNI bagaimanapun akan menyetujui keputusan pemerintah, asalkan penyerahan kedaulatan akan sebenarnya berlangsung dan didasarkan pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Ketika TNI di Jawa dan Sumatra sudah sangat kelelahan berperang sejak kehadiran Sekutu/Inggris yang disusul Belanda/NICA dan kemudian baru dapat dikatakan berakhir dengan gencatan senjata pasca Perjanjain Roem-Roeyen, munculnya gerakan perlawanan yang frontal di Kalimantan Selatan dapat dikatakan estafet perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda/NICA.

Soal proklamasi dan memproklamasikan ini sudah kerap terjadi, dan akan terus terjadi. Proklamasi pertama adalah Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia yang dibacakan Ir Soekarno 17 Agustus 1945 di Djakarta. Proklamasi ini proklamasi kebebasan Indonesia dari semua penjajah(an). Proklamasi penting lainnya diumumkan melalui Radio Bandoeng sebagai respon terhadap pasukan Sekutu/Inggris dan NICA yang tidak peduli terhadap Proklamasi Kmerdekaan Indonesia, lalu Tentara Rakjat Indonesia mengumumkan Proklamasi Perang pada tanggal 13 Oktober 1945 dan segera menyusul proklamasi dilakukan Oemat Islam (lihat Keesings historisch archief: 14-10-1945). Disebutkan Tentara Rakyat Indonesia mengeluarkan proklamasi yang menyatakan perang terhadap Belanda, Indo, dan yang berafiliasi. Proklamasi merekomendasikan Indonesia untuk memulai perang gerilya, mengatakan: ‘Ketika matahari terbenam kita, masyarakat Indonesia, berperang dengan Belanda. Dalam pernyataan ini kami sarankan semua orang Indonesia untuk mencari musuh - Belanda, Indo-Eropa atau yang berafiliasi. Senjata militer adalah semua jenis senjata api, juga racun, panah beracun, pembakaran, dan semua spesies hewan liar - seperti ular. Perang gerilya akan disandingkan dengan perang ekonomi: tidak akan diizinkan untuk menjual makanan kepada musuh. Pasar harus dimonitor dan yang menjual makanan kepada musuh-musuh kita, akan dihukum berat. Semenetara itu juga dilaporkan bahwa Oemat Islam, yang berarti semua pengikut Muhammad, juga telah membuat deklarasi perang. Semua ulama Islam di Batavia untuk mengadakan pertemuan doa bagi semua Muslim di Batavia dan sekitarnya telah diadakan, sebagai awal dari sebuah perang suci melawan ‘orang kafir’ Belanda. Selanjutnya, semua ulama dari Islam diminta untuk menyampaikan kepada umatnya untuk menaikkan bendera merah-putih setengah tiang dan juga semua lalu lintas, termasuk trem, sepeda, taksi dan kereta kuda dihentikan sepenuhnya’. Proklamasi berikutnya yang membuat sebagai besar orang Soenda molohok tahun 1946 saat mana Kartalegawa memproklamasikan berdirinya Negara Pasoendan yang didukung oleh Belanda/NICA. Setelah itu, yang terpenting baru-baru ini tahun 1949 adalah proklamasi Hasan Basri dkk di Borneo yang menyatakan Zuid Borneo sebagai bagian Republik Indonesia. Pada tahun-tahun kemudian masih muncul proklamasi-proklamasi yang terkenal diantaranya Peoklamasi Abdi Azis (1950) yang intinya memisahkan Negara Indonesia Timur dari Republik Indonesia Serikat (RIS); Prohlamasi RMS (1950) yang intinya merdeka dan membentuk negara sendiri RMS); dan yang terakhir Proklamasi Achmad Husin di Padang 1956 (PRRI) dan Proklamasi Sumual di Makassar 1957 (awal dari Permesta). Meski banyak proklamasi-proklamasi yang menyatakan bagian dari RI, tetapi Proklamasi Hasan Basri yang dianggap unik dan terpenting—terjadi apda fase gencatan senjata.

Memang sudah sangat telat, tetapi gerakan di Kalimatan Selatan menunjukkan para Republiken masih ada di Kalimantan Selatan. Sayangnya jabatan Hasan Basri sebagai Gubernur Militer (Borneo) tidak resmi, Meski Major Jenderal Soehardjo datang secara resmi ke Bandjarmasin, tetapi pemerintah RI di Djogjakarta tidak/belum mengeluarkan keputusan pengangkatan Gubenur Militer Hasan Basri karena boleh jadi hasil Perjanjian Roem-Roeyen secara tidak langsung menghalanginya.

Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 02-09-1949: ‘Di Kalimantan Selatan, dimana pertempuran telah berlangsung selama beberapa waktu, kesepakatan telah dicapai antara Republik dan Belanda untuk menghentikan tembakan. Perintah untuk itu akan dikeluarkan sesegera mungkin. Pembahasan masih perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menghasilkan kesepakatan, sementara kehidupan publik di dalam dan sekitar Bandjarmasin telah terhenti secara virtual. Itu sedang dihentikan dalam skala besar. Buruh dan pekerja kantoran menuntut agar segera dicapai kesepakatan antara pihak Indonesia dan Belanda. Para pemogok bersimpati dengan Kerlompok  Republik. Warga Belanda mengancam akan memotong gaji jika pekerjaan tidak segera dilanjutkan. Persetujuan untuk gencatan senjata diumumkan dalam pers lokal dalam komunike bersama yang ditandatangani untuk Kelompok Republik oleh Mayor Jenderal Suhardjo dan untuk Belanda oleh Residen dan komandan pasukan untuk Kalimantan Selatan dan Timur. Kesepakatan itu dicapai setelah Suhardjo bertemu dengan pemimpin gerilya Republik Hasan Basri’. Het vrije volk : democratisch-socialistisch dagblad, 31-08-1949: ‘Kelompok-kelompok gerilya seminggu yang lalu di sekitar kota Bandjarmasin, Kalimantan Selatan, melakukan lima serangan terhadap tentara Belanda, dimana setidaknya empat tentara terluka dan delapan dari penyerang tewas’. Nieuwe Haarlemsche courant, 02-09-1949: ‘Belanda telah mengalami banyak masalah selama sembilan bulan terakhir di daerah ini dari armada ini. Menurut laporan dari militer Belanda, Kandangan diserang oleh gerilyawan pada hari Rabu. Para penyerang dipukul mundur. Kamis pagi, Mayjen TNI Suhardjo, berangkat ke Kandangan untuk bertemu dengan. Komandan Divisi Keempat Angkatan Laut Republik, Hassan Basri. Di Kandangan, Suhardjo harus melaksanakan perintah alih komando dan menghentikan permusuhan. Dilaporkan dari Kabupaten, Hulu Sungai bahwa pada malam tanggal 30-31 Agustus, sebuah markas militer disana diserang oleh sekelompok sekitar 300 orang, bersenjatakan senapan dan senjata otomatis. Serangan berlanjut pada Rabu pagi. Dua rumah dibakar dan seorang perawat Indonesia diculik. Serangan itu ditahan tanpa kerugian.

Jabatan sebagai Gubernur Militer yang diklaim Hasan Basri memang tidak resmi dan pemerintah/TNI juga terhalang untuk meresmikan karena dibatasi Perjanjian Roem-Roeyen, tetapi kehadiran Mayor Jenderal Suhardjo ke Kalimantan Selatan tentu saja tidak ada yang menghalangi untuk meresmikan/mengakui Hasan Basri dan pasukannya sebagai bagian dari TNI. Mayor Jenderal Suhadjo memberitahukan Hasan Basri dengan pangkat Overste (Letnan Kolonel).

De Volkskrant, 05-09-1949: ‘Permusuhan di Kalimantan Selatan harus berakhir paling lambat 14 hari, Mayor Jenderal Republik Suhardjo Jumat memerintahkan Hassan Basri, gubernur militer tidak resmi dari Partai Republik di Kalimantan Selatan. Hassan Basri telah menjawab bahwa dia akan melaksanakan perintah itu. Dia telah menunjuk Mayor P Arya sebagai wakilnya untuk berunding dengan otoritas lokal Belanda mengenai pelaksanaan perintah gencatan senjata. Perwakilan UNCL, Nichols dari Australia, menyatakan bahwa situasi ‘dalam kendali penuh’. Belum diketahui apakah pemogokan umum di Bandjarmasin akan berakhir sekarang. Namun, ada tanda-tanda bahwa menurut beberapa laporan, pemogokan akan dicabut. pada hari Senin. Dalam pertemuan mereka pada hari Jumat, Suhardjo memberitahu Hassan Basri atas nama panglima tentara republik bahwa dia secara resmi diakui sebagai Letnan Kolonel, komandan divisi empat AlRI (Angkatan Laut RI) dimana dia juga bertanggung jawab atas penghentian permusuhan oleh semua organisasi dan kelompok bersenjata. Namun, sekembalinya ke Batavia, Suhardjo mengumumkan bahwa Republik hanya bertanggung jawab atas pasukan republik reguler. Yang dikeluarkan oleh penguasa republik dan Belanda di Kalimantan Selatan tentang penghentian senjata tidak membuat peryataan bahwa Hassan Basri telah diakui sebagai Gubernur [Militer] Republik’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Hasan Basri: Karir Militer

Revolusi Kalimantan Selatan yang dipimpin Hasan Basri sudah lama berlalu. Yang jelas Hasan Basri sebagai komandan telah memperoleh haknya sebagai Letnan Kolonel TNI dan wakilnya Pangeran Arya dengan pangkat Mayor. Tentu saja bawahan mereka juga mendapat pangkat TNI secara resmi. Lalu bagaimana karir selanjutnya Overste Hasan Basri? Tidak teronformasikan, nama yang kerap muncul hanyalah Major Jenderal Soehardjo.

Boleh jadi tidak semua anggota pasukan atau yang berafiliasi dengan gerakan Hasan Basri dalam revolusi Kalimantan Selatan dapat di-TNI-kan, lalu sebagian diantaranya melakukan protes semacam pemberontakan (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 03-01-1951). Disebutkan anggota parlemen. Jusuf diculik dari Kalimantan Timur dari rumahnya di Samarinda oleh kelompok bersenjata, tetapi dibebaskan setelah berdebat dengan para pemimpin kelompok. Mengenai penculikan ini, Pak Jusuf menginformasikan bahwa kelompok yang menculiknya adalah kelompok Pantja Sila, yang telah melarikan diri dari daerah sekitar Hoeloe Soengai ke utara. Setelah Pak Jusuf yang juga anggota dari komisi Pertahanan di parlemen menjelaskan kepada kelompok itu, bahwa dirinya sebagai anggota parlemen juga mengurus kepentingan mereka, lalu dia dibebaskan lagi. Kelompok tersebut menyatakan keinginannya untuk diikutsertakan dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), asalkan pemerintah atau Hassan Basri menghormati seruan yang relevan untuk reformasi. Catatan: KASAP adalah Jenderal TB Simatoepang dan KASAD adalah Major Jenderal Abdoel Haris Nasoetion yang mana sebagai Menteri Pertahanan adalah Letnan Jenderal Hamengkoeboewono IX. Kasus eks pasukan Hasan Basri ini mirip kasus Kapten Andi Azis di Makassar pada era RIS yang awalnya menuntut pasukannya mendapat hak khusus di APRIS. Memang sulit mengakomodir semua pejuang perang kemerdekaan masuk TNI karena keterbatasan anggaran pemerintah. Kasus ini ini tidak hanya di Makassar dan Kalimantan tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Jawa dan Sumatra.

Yang jelas bahwa Overste Hasan Basri tetap di Kalimantan Selatan, sementara Major P Arya sejak 1949 sudah diposisikan di Jawa (Djogjakarta) sebagai militer penghubung antara Mabes TNI dan kesatuan militer (TNI) di Kalimantan Selatan. Besar dugaan bahwa Letnan Kolonel Hasan Basri menjadi salah satu dari dua yang mendampingi Major Jenderal Soahrdjo (yang satu lagi adalah Overste Soekanda).

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia (sejak 27 Desember 1949) dalam bentuk negara serikat RIS, berbagai kesatuan yang ada di Indonesia disatukan menjadi APRIS (termasuk kesatuan yang berasal dari KNIL-Belanda). Di Kalimantan posisi Ir Mohamad Noor sebagai Gubernur RI Borneo sejak 1945 yang sempat ditenggelangkamkan Belanda/NICA dipulihkan kembaali sebagai Gubernur Kalimantan. Sementara itu, sebagian tentara KNIL yang pribumi telah di-TNI-kan termasuk pasukan Letnan-KNIL Andi Azis di Makassar yang mana Andi Azis sendiri mendapat kenaikan pangkat menjadi Kapten-TNI (bebera waktu kemudian melakukan pemberontakan). Lalu pada tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno membubarkan RIS dan kembali ke negara kesatuan (NKRI). Pada saat fase awal NKRI ini tentara Belanda atau tentara KNIL (termasuk yang pribumi) dievakuasi ke Belanda. TNI menjadi tuan rumah di negara sendiri. Saat inilah sebagian eks pasukan Hasan Basri tidak mendapat tempat di sebagai TNI di APRI (lalu melakukan semacam pemberontakan di Kalimantan Timur)..

Pada saat menjelang dibubarkannya RIS, provinsi Kalimantan yang dilikuidasi dengan sendirinya posisi Gubenur Ir Mohamad Noor berakhir (14 Agustus 1950). Pasca Proklamasi NKRI (18 Agustus 1950) gubernur baru di (provinsi( Kalimantan diangkat yakni Moerdjani (sejak 18 Agustus 1950).

Moerjani pada masa perang kemerdekaan adalah residen ketiga Bogor (setelah Residen Gaos). Residen Gaos dituntut Belanda/NICA karena pada masanya seorang perwakilan Belanda/NICA Dr Tumbelaka terbunuh di wilayah Bogor. Sejak Gaos dirumahkan pimpinan RI lalu digantikan oleh Moerdjani. Gubernur Jawa Barat dipromosikan menjadi pejabat di pusat, maka Moerdjani dipromosikan menadi Gubernur Jawa Barat. Pada saat wilayah Jawa Barat diduduki Belanda/NICA pemerintahan menghilang dan sebagian pindah/mengungsi ke ibu kota RI yang baru di Djogjakarta. Oleh karena itu Moerdjani, seorang Republiken sejati memiliki kapabilitas untuk menjadi Gubernur Kalimantan yang sangat plural (awal NKRI).

Dalam perkembangannya (era NKRI) Overste Hasan Basri diangkat menjadi anggota parlemen, salah satu yang mewakili dari wilayah Kalimantan Selatan (dalam hal ini termasuk Mr Boerhanoeddin yang pernah ditahan Belanda/NICA di Bandjarmasin dan Idham Chalid). Namun persoalan baru muncul diantara para pemimpin Kalimantan. Posisi Gubernur Moerdjani tampaknya mulai ‘digoyang’.

De nieuwsgier, 16-10-1953: ‘Sebanyak 14 anggota parlemen, yang berasal dari Kalimantan. menyerahkan surat kepada pemerintah pusat, mengusulkan untuk menunjuk seseorang dari (orang) Kalimantan sendiri untuk posisi gubernur Kalimantan. Anggota parlemen menulis, antara lain: ‘Usulan ini kami ajukan dengan perasaan yang tulus, tanpa memandang kepentingan. Kami hanya didorong oleh kepentingan negara pada umumnya dan kepentingan Kalimantan (khususnya) di masa transisi ini. Kami takut orang akan mencurigai kami dengan perasaan provinsial, tetapi mengingat situasi di daerah itu, kami tetap merasa berkewajiban untuk membuat proposal ini. Untuk kepentingan pemecahan berbagai kesulitan di daerah itu’. Surat tersebut ditandatangani oleh: Mr Boerhanoeddin, GA Moeis, Helmuth Kunum. Ibrahim Sedar. Hassan Basri (Overste?), Djeilani, Maizir Ahmaddyn, Muhran, M. Yamani, Idham Chalid, AA Rivai. Ade Moh. Johan. Mr Andi Zainal Abidin dan ABM Jusuf.

Moerdjani tampaknya tahu diri, tidak ingin dirinya menjadi sumber kegaduhan di Kalimantan. Moerdjani mengundurkan diri dan pulang kampong ke Bogor (pensiun?). Namu usulan anggota parlemen asal Kalimantan boleh jadi diperhatikan pemerintah pusat tetapi sulit direalisasikan saat itu. Penduduk Kalimantan sejatinya, seperti Sumatra sangat beragam (plural). Memilih satu orang dari Kalimantan untuk Gubernur Kalimantan itu berarti memilih satu orang dari tiga wilayah Kalimantan (Selatan, Barat atau Timur?). Akhirnya kandidat gubernur Kalimantan yang dipilih dan ditetapkan sebagai gubernur untuk menggantikan Moerdjani adalah Mas Soebardjo. Tentulah hal itu dapat dimaklumi oleh anggota parlemen pengusul dan para pemimpin daerah di seluruh Kalimantan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar