Laman

Selasa, 11 Januari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (348): Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Orang Anti Jepang; Era Pendudukan Militer Jepang di Indonesia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Anti Jepang secara masif hanya terdapat di Tiongkok dan Korea. Negara-negara Asia Tenggara tidak dihubungkan dalam konteks politik soal anti Jepang. Diantara negara-negara Asia Tenggara dalam Perang Pasifik hanya di Indonesia yang terbilang penerimaannya lebih nyaman bagi orang Jepang. Mengapa? Namun demikian, bukan berarti tidak ada yang anti Jepang di Indoensia. Anti Jepang di Indonesia (baca: Hindia Belanda) adalah golongan Belanda dan golongan Cina. Diantara pribumi juga ada golongan anti Jepang yang umumnya para pendukung Belanda (termasuk di Eropa/Belanda). Diantara orang Indonesia yang anti Jepang terdapat sejumlah individu yang dihubungkan dengan politik imperilaisme. Dua yang terkenal adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mr Ali Sastroamidjojo.

Sentimen anti-Jepang berkisar dari antipati terhadap aksi-aksi pemerintah Jepang dan penghinaan terhadap budaya Jepang hingga rasisme terhadap bangsa Jepang. Sentimen dehumanisasi telah didorong melalui propaganda anti-Jepang dari pemerintah Sekutu dalam Perang Dunia II; propaganda ini sering bersifat penghinaan secara ras. Sentimen anti-Jepang mungkin paling kuat di Tiongkok, Korea Utara, dan Korea Selatan, karena kekejaman yang dilakukan oleh militer Jepang. Sentimen anti-Jepang di Tiongkok mengerucut sejak Kekaisaran Jepang merebut konsesi di wilayah Tiongkok menjelang akhir Dinasti Qing. Ketidakpuasan terhadap penyelesaian ini dan Dua Puluh Satu Tuntutan oleh pemerintah Kekaisaran Jepang menyebabkan boikot produk Jepang yang parah di Tiongkok pada tahun 1915. Kegetiran di Tiongkok berlanjut selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan aksi-aksi pasca perang oleh Jepang. Sentimen ini mungkin juga setidaknya sampai batas tertentu dipengaruhi oleh isu-isu yang terkait dengan orang-orang Tionghoa di Jepang. Sementara itu sentimen anti-Jepang di Korea merujuk kepada sentimen anti-Jepang dalam masyarakat Korea, yang bermula dari sentimen sejarah, budaya dan nasionalistik. Cikal bakal sikap anti-Jepang di Korea bermula dari dampak penyerbuan pembajak Jepang dan kemudian invasi Korea oleh Jepang 1592−98. Sentimen dalam masyarakat kontemporer kebanyakan diatributkan kepada zaman kekuasaan Jepang di Korea dari 1910–45. (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah Anti Jepang di Indonesia? Seperti disebut di atas, anti Jepang di Indonesia mencapai puncaknya pada era Pendudukan Militer Jepang di Indonesia. Mereka itu adalah orang-orang Belanda dan orang-orang Cina dan sebagian kecil orang Indonesia. Dua orang yang paling radikal anti Jepang adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mr Ali Sastroamidjojo. Lalu bagaimana sejarah Anti Jepang di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Orang Anti Jepang

Sejak kapan sikap anti Jepang? Sudah sejak lama sekali. Namun itu hanya ditemukan di Korea, Formosa (kini Taiwan) dan Tiongkok. Ibarat di Indonesia, anti Belanda sudah sejak lama sekali, seperti era Soeltan Mataram, Soeltan Agoeng. Ketika anti Belanda sudah berpanak pinak di Indonesia (baca: Hindia Belanda), bahkan tidak ada orang Indonesia (baca: pribumi) yang berbicara tentang Jepang, hingga satu rombongan para revolusioner Indonesia berkunjung ke Jepang pada tahun 1933.

Rombongan para revolusioner Indonesia berangkat ke Jepang pada bulan Maret 1933. Ketika rombongan ini telah berangkat dengan kapal Panama Matu dari pelabuhan Tandjoeng Priok, pers Belanda (di Hindia dan di Belanda) menjadi heboh dan beritanya viral selama dua minggu. Orang-orang Belanda tidak menduga senaif itu. Sebaliknya orang-orang Indonesia memakluminya. Mengapa tidak? Saat itu situasi dan kondisi di Indonesia sangat genting. Para revolusioner yang berani menentang otoritas Pemerintah Hindia Belanda ditangkap dan dipenjara. Pers pribumi yang banyak mengkritik ketidakadilan yang ada dan kezaliman para pejabat pemerintah dibreidel seperti surat kabar milik Parada Harahap, Bintang Timoer. Juga surat kabar di Medan (Pewarta Deli yang dipimpin Abdoellah Lubis), di Bandoeng (Fikiran Rakyat yang dipimpin Ir Soekarno) dan di Soerabaja (Soeara Oemoem yang dipimpin Dr Soetomo). Rombongan yang terdiri tujuah revolusioner Indonesia ini dipimpin oleh Parada Harahap yang juga pernah memimpin surat Kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean dan telah dibereidel (1919-1922). Dalam rombongan ini termasuk Abdoellah Lubis, Samsi Sastrawidagda, Ph.D guru Taman Siswa di Bandoeng dan Drs Moehamad Hatta yang belum lama pulang studi dari Belanda. Pada bulan Januari rombongan itu kembali ke tanah air dan merapat di pelabuhan Tandjoeng Perak Soerabaja tanggal 14 Januari 1934 yang disambut oleh Dr Soetomo ddk. Pada tanggal tersebut di Batavia dari pelabuhan Tandjoeng Priok diberangkatkan It. Soekarno ke tempat pengasingan di Flores.

Pada saat rombongan tujuh revolusioner Indonesia berkunjung ke Jepang 1933/1934 tidak ada orang Indonesia anti Jepang, tetapi sebaliknya, anti Belanda dan indikasi orang Indonesoa mulai bersahabat dengan orang-orang Jepang. Pada saat itu, di Hindia Belanda, tentu saja orang-orang Belanda terbilang anti Jepang karena modal para pengusaha Jepang sudah terdapat dimana-nama di Hindia Belanda.

Demikian juga orang-orang Cina di Hindia Belanda bersikap anti Jepang karena solidaritas sesama Cina dimana Tiongkok sudah sejak lama di bawah bayang-bayang Jepang (seperti halnya orang-orang Indonesia sudah lama di bawah bayang-bayang orang Belanda). Dalam hal ini orang-orang Cina di Indonesia (Hindia Belanda) sangat diuntungkan oleh orang-orang Belanda. Lantas dengaan demikian, apakah orang-orang Cina di Indonesia akan anti Indonesia sehubungan dengan tujuh revolusiner Indonesia ke Jepang?  

Lalu apakah ada orang Indonesia yang anti Jepang? Sejauh data yang ada tidak ada orang Indonesia yang anti Jepang, karena orang Jepang relatif tidak bersinggungan dengan orang-orang Indonesia dimanapun. Jadi hubungannya bersifat independen. Sebaliknya, dari data yang ada, justru orang Jepang respek terhadap orang-orang Indonesia. Ini dimulai di Medan pada tahun 1918.

Seperti halnya migran Cina dari Tiongkok semakin deras pada era Pemrerintah Hindia Belanda, migran orang Jepang juga mengalir ke  Hindia Belanda semakin banyak dari waktu ke waktu. Ini ditunjukkan, paling tidak pada tahun 1918 sudah ada konsulat Jepang di Medan (sudah barang tentu ada konsulat Jepang di Batavia. Soerabaja, dan mungkin di Manado). Parada Harahap yang saat itu di Medan sebagai salah satu editor surat kabar Pewarta Deli membongkar kasus prostitusi kelas atas di hotel-hotel di Medan yang melibatkan para wanita Jepang. Mucikari yang berpusat di Singapoera yang memasok para korban wanita Jepang itu ke Medan. Laporan Parada Harahp di Pewarta Deli menjadi heboh di Medan, para pejabat Belanda di Medan dan Batavia kebakarang jenggot. Saat itulah diketahui konsulat Jepang berterimakasih kepada Pewarta Deli dan Parada Harahap di Medan. Bagi orang Jepang warganya diperlakukan sebagai kelas rendahan tentu menjadi harga diri. Bad news good news dari Medan itu tentu saja akan dicatat di Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Lantas, apakah hutang budi Jepang ini yang menyebabkan Parada Harahap berinisiatif dan berani berkunjung ke Jepang tahun 1933?  .

Orang Indonesia anti Jepang di Indoensia baru diketahui (sejauh data yang ada) dilaporkan oleh surat kabar yang terbit di Soerabaja, De Indische courant, 09-02-1942 yang mengutip dari surat kabar pribumi Pelopor Gerindo. Tulisan pada surat kabar yang terbit di Batavia itu ditulis oleh ketua Partai Gerindo sendiri, Mr Amir Sjarifoeddin Harahap. Untuk yang terkait urusan Jepang, Haraha[ lagi.

De Indische courant, 09-02-1942: ‘Suara pers pribumi. Sikap kita sebagai bangsa Indonesia. Amir Sajarifoeddin menulis di Pelopor Gerindo, sebagai berikut: “Apa yang dimaksud dengan serangan Jepang ke Indonesia? Bahwa negara kita sekarang terlibat dalam perang totaliter, perang seperti yang dilancarkan kaum fasis, yang berarti bahwa perang itu tidak hanya terjadi diantara tentara, tetapi seluruh rakyat terlibat di dalamnya. Selain itu, perang sedang dilancarkan untuk memperbaiki situasi ekonomi Jepang. Ini bukan tentang kekuasaan politik, atau tentang kehormatan atau tentang ketenaran. Untuk itu dibutuhkan karet kita, timah kita yang lama; apa yang dicarinya adalah area dimana ia dapat menyebarkan modalnya dimana para dokter, dokter gigi, insinyurnya dapat mencari nafkah. Singkatnya: orang Jepang datang kesini untuk merebut semua milik kita. Tidak untuk berteman dengan kita; tetapi menggunakan tenaga kita sendiri untuk keuntungan mereka sendiri. Bukan untuk membebaskan Indonesia, tapi untuk mengeksplorasinya. Jika apa yang diklaim Jepang tentang kemakmuran bersama itu seandainya benar, lalu dimana kemakmuran di Korea, di Formosa, di China di tengah milik Wang Ching Wei? kemerdekaan negara-negara tersebut? Kampanye bisik-bisik tidak dapat mempengaruhi suara rakyat Indonesia, karena ada barang bukti yang tertinggal: Tarempa, Pontianak, Medan dll. Dimana Zegenbrenge datang, Kita tetap mempertahankan diri melawan musuh, karena kita tahu bahwa negara kita terancam olehnya; karena kita tahu niatnya. Kita memiliki dua tugas: menjaga semangat rakyat tetap baik, Tidak dapat diakses oleh propaganda musuh, Tidak dapat diakses oleh terornya; bahwa roh itu tetap tak tergoyahkan, bahkan ketika serangan datang dari langit atau dari laut. Yang kita bela adalah demokrasi dan hak kita untuk mempertahankannya, dan itu adalah negara kita yang ingin membuat musuh tunduk pada dirinya sendiri’.

 unggu deskripsi lengkapnya

Era Pendudukan Militer Jepang di Indonesia: Mr Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mr Ali Sastroamidjojo

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar