Laman

Senin, 17 Januari 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (360): Pahlawan-Pahlawan Indonesia - Nusantara Nama Baru Ibu Kota RI; Djakarta, Jogjakarta, Nusantara

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Akhirnya hari ini, Menteri PPN (Perencanaan Pembangunan Nasional) yang sebagai Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengumumkan nama Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur adalah Nusantara (sesuai yang dipilih oleh Presiden Joko Widodo). Dipilih Nusantara karena telah dikenal oleh masyarakat luas sejak dahulu, baik domestik maupun global. Kini, tinggal Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) ditunggu pengesahannya pada bulan Januari 2022 ini. Sambil menunggu, menarik untuk mengingat kembali nama-nama ibu kota RI sebelumnya..

Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964. Jakarta telah menjadi pusat pemerintahan sejak masih bernama Batavia pada masa Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengirimkan surat mempersilakan pemerintah RI memindahkan ibu kota RI ke Yogyakarta. Tawaran ini pun segera disambut baik oleh Bung Karno dan kawan-kawan yang segera membahas persiapannya keesokan harinya dalam sidang kabinet tertutup. Setiba di Stasiun Tugu, rombongan dijemput langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Pakualam VIII, Panglima TKR Jenderal Soedirman, para pejabat tinggi negara yang sudah lebih dahulu berada di Yogyakarta dan segenap rakyat kawula Yogyakarta. Mereka berarak-arakan menuju Gedung Agung melewati Jalan Malioboro. Kegiatan roda pemerintahan harus segera berjalan. Hal ini akan lebih mudah dilakukan di Yogyakarta karena tata pemerintahan di Yogyakarta saat itu telah terkoordinasi dan tertata dengan rapi. Dan selanjutnya roda pemerintahan RI pun kembali normal hingga datangnya serbuan pasukan Belanda pada Agresi Militer II 19 Desember 1948, dimana seluruh pemimpin Republik ditangkap Belanda dan diasingkan ke berbagai tempat. Sehingga pemerintah Republik terpaksa membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dipimpin Mr. Sjafroedin Prawiranegara di Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Ibu kota RI baru kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949 dan kemudian ke Jakarta pada 17 Agustus 1950 setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah ibu kota negara Republik Indonesia? Seperti disebut di atas, Jakarta dengan nama Batavia sudah menjadi ibu kota pada era Pemerintah Hindia Belanda. Setelah proklamasi kemerdekaanm Indonesia, ibu kota RI sempat dipindahkan ke Jogjakrata laalu secara darurat dipindahkan ke Bukit Tinggi. Setelah ibu kota Jogjakarta dipulihkan pada tahun 1949, ibu kota baru pindah kembali ke Djakarta tanggal 18 Agustus 1950 (setelah RIS dibubarkan sehari sebelumnya). Lalu bagaimana sejarah ibu kota RI, yang kini nama ibu kota baru disebut Nusantara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan-Pahlawan Indonesia dan Nusantara Nama Baru

Nama Nusantara adalah nama yang sudah ada sejak lama tetapi baru ditemukan kembali belum lama. Tidak diketahui apakah nama Nusantara dikenal penduduk saat dimana Prof Kern tengah melakukan naskah-naskah kuno aksara Kawi. Yang jelas Prof Kern di dalam naskah-naskah kuno yang diterjemahkannya menemukan nama Nusantara. Naskah tersebut kemudian dikenal sebagai Negarakertagama yang ditulis Prapanca bertarikh 1365. Sejak era Prof Kern inilah nama Nusantara menjadi penting dalam dunia sejarah kuno di Hindia Belanda. Sejak itu pula penelitian-penelitian yang terkait masa lampau mulai intens dilakukan.

Dalam penerjemahan naskah-naskah kuno yang dilakukan, Prof Kern terlebih dahulu menyusun kamus bahasa Kawi. Dr Herman Neubronner van der Tuuk yang belum lama telah menyelesaikan kamu bahasa Batak keberatan dengan metode yang digunakan Prof Kern yang kamusnya hanya disusun berdasarkan kamus-kamus Hindoestan.  Sementara itu bahasa Jawa sendiri sudah sangat jauh berbeda dengan bahasa Kawi dan karenanya orang Jawa yang ahli pun tidak bisa memahami sepenuhnya teks-teks dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) tersebut. Komentar terhadap Prof Kern ini muncul setelah van der Tuuk sendiri sudah beberapa waktu di Bali (Buleleng). HN van der Tuuk meyakin bahwa sisa penggunaan bahasa Kawi masih ditemukan di Bali. HN van der Tuuk berhasil menyusun kamus bahasa Kawi yang dalam prosesnya kedua ahli bahasa ini secara kolegial saling bertukar pemahaman.  Dengan begitu maka Prof Kern baru berhasil sepenuhnya membuka isi sesungguhnya dari teks bahasa Kawi dan menerjemahkan secara baik naskah Negarakertagama yang dipublikasikan pada tahun 1919 dengan judul: Het Oud-Javaansche Lofdicl NAGARAKRTAGAMA van Prapanca (136S AD.): Tekst, vertaling en bespreking, overgedrukt uit de Verspreide Geschriften, DL. VII—VIII van Prof. Dr. H. Kern, Met Aanteekeninger van Dr.NJ Krom. Dari penelitian-penelitian naskah Prof Kern terdahulu sudah ada yang mengutip nama Noesantara (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1850). Dalam hal ini nama Nusantara sudah dicatat pada tahun 1365 dan baru mulai diapungkan (kembali) pada tahun 1850an. Ada perbedaan waktu selama 500 tahun.  

Pada masa kini, nama Nusantara kita hanya bisa menemukan dalam karya-karya Prof Kern. Dalam teks Negarakertagama yang ditulis oleh (Mpoe) Prapantja  nama Nusantara ditemukan dalam teks yang mana Patih Gajah Mada bersumpah. Gajah Mada  sendiri sudah meninggal (1364) saat teks itu selesai ditulis (1365). Penemuan dan penerjemahan teks Negarakertagama (oleh Prof Kern) menjadi awal yang penting dalam penelitian lebih lanjut tentang sejarah kuno Hindia Belanda. Teks jaman kuno (bahasa Kawi) yang dikumpulkan oleh Prof Kern dapat dikatakan satu-satunya sumber tertulis yang sangat kaya dan masih tersisa yang berasal  dari jaman lampau.

Satu yang penting dari naskah ini dalam hubungannya dengan geopolitik masa lampau adalah interpretasi nama Nusantara (dari sumpah Gajah Mada) dengan nama-nama geografi yang disebutkan seperti Bali, Dompo, Gurun, Tumasek dan sebagainya. Nama-nama geografi ini diinterpretasi dengan navigasi pelayaran perdagangan kerajaan Madjapahit pada era Radja Hayam Wuruk. Seperti disebut di atas teks Negarakertagama ini menjadi terhubung dengan penelitian-penelitian Dr Krom di bidang arkeologi dan kepubakalaan seperti prasasti, candi dan bentu-bentuk lainnya yang berasal dari jaman lampau. Pemahaman masa lampau pelan tetapi pasti mulai sedikit-semi sedikit terkuak (dapat dipelajari lebih konprehensif).

Namun dalam hal ini perlu disadari bahwa nama Nusantara sudah dicatat pada era (kerajaan) Madjapahit pada tahun 1365. Itu satu hal. Hal lain yang juga penting adalah bagaimana dengan jaman kuno (jaman yang lebih tua) dimana telah ditemukan prasasti-prasasti dan candi-candi kuno (jauh sebelum candi-candi era Majaphit dibangin). Prasasti-prasasti yang memiliki teks tertulis pada batu juga menjadi sumber yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam memahami jaman yang lebih tua.

Prasasti-prasasti jaman kuno yang dapat dianggap tertua di Nuasantara antara lain adalah prasasti Vocahn pada abad ke-3, prasasti Koetai abad ke-4, prasasti Jawa Barat abad ke-6. Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan menggunaka aksara Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Lalu kemudian prasasti-prasasti berikutnya yang masih menggunakan aksara Pallawa tetapi (sudah) menggunakan bahasa Melayu (suksesi bahasa Sanskerta). Prasasti terpenting pada era bahasa Melayu ini antara lain prasasti Kedukan Bukit (682 M), prasasti Talangtuo (684 M), prasasti Kotakapur (686 M) dan prasasti Sojomerti (akhir abad ke-7). Empat prasasti ini sangat jelas isi berkaitan satu sama lain. Ada tiga nama raja yang disebut dalam empat prasasti ini yakni radja Dapunta Hyang Nayk (Kerajaan Aroe di bagian utara Sumatra daerah aliran sungai Baroemoen, Tapanoeli), radja Dapunta Hyang Srinagajaya (Kerajaan Sriwijaya di bagian selatan Sumatra daerah aliran sungai Musi, Palembang) dan Dapunta Seilendra (Kerajaan Mataram Kuno di pantai utara Jawa bagian tengah hingga pedalaman). Kerajaan Majapahit, Kerajaan Singhasari dan Kerajaan Kediri adalah kelanjutan dari Kerajaan Jawa Kuno. Dalam hal ini Kerajaan Aroe melakukan ekspedisi ke bagian selatan Sumatra dan Kerajaan Sriwijaya melakukan ekspedisi ke Jawa bagian tengah. Sumber-sumber jaman yang lebih kuno masih dapat ditambahkan berupa sumber tertulis dari Eropa pada era Ptolomeus dan dari Tiongkok era Dinasti Han pada abad ke-2. Ini mengindikasikan sejarah kuno Nusantara sudah tercatat pada awal abad pertama tetapi kapan nama Nusantara muncul tidak diketahui secara jelas tetapi yang pasti sudah dicatat pada tahun 1365.

Lantas bagaimana asal-usul nama Nusantara. Mungkin berasal dari gabungan kata nusa dan antara. Nusa adalah pulau atau daratan, sedangkan antara adalah jarak ruang. Dua kata ini diduga berasal dari bahasa Melayu (suksesi bahasa Sanskerta). Dalam nama-nama geografi dalam Negarakertagama tidak ada yang menggunakan nama nusa (pulau). Akan tetapi nama-nama yang dicatat tersebut adalah nama-nama yang diduga kuat nama lampau, nama yang sudah eksis jauh sebelum era Madjapahit. Nama-nama lama ini antara lain dapat diperbandingkan dengan nama-nama yang dicatat pada prasasti Tanjore (1030 M) seperti Malaya, Lamuri dan Panai. Minanga sendiri sudah dicatat pada prasasti Kedukan Bukit (682 M) dimana Minanga ini kini bernama Binanga (dekat Panai) di daerah aliran sungai B-aroe-moen. Nama Minanga ini juga ditemukan pada prasasti Laguna (900 M) dengan nama Binwangan. Nama-nama geografi inilah kemudian yang diduga kuat yang dimaksud sebagai wilayah Nusantara (sebagai nama kawasan).

Hal yang sama juga terjadi pada nama Indonesia. Nama yang diduga dari dua gabungan kata Indo dan Nesia yang dalam hal Indo merujuk pada nama India dan dan nesia merujuk pada nama Nusa. Orang Eropa mencatat Indo ini sebagai Indisch (yang dibedakan dengan India) dan dalam penguapan penduduk lokal sebagai Hindia. Jadi Indonesia ini nama kawasan, seperti halnya nama kawasan pulau-pulau Melanesia dan Polinesia.

Kini nama Indonesia dan Nusantara tetap eksis. Nama Indonesia (eks Hindia Belanda) telah menjadi nama resmi negara Republik Indonesia dan nama Nusantara juga nama wilayah (kawasan) tetapi dalam hubungannya dengan ibu kota negara baru Republik Indonesia telah ditetapkan Nusantara sebagai nama ibu kota baru. Memang dalam sejarahnya, tidak lazim nama kawasan dijadikan sebagai nama tempat, teapi sebaliknya nama tempat menjadi nama kawasan (atau pulau/daratan).

Di Indonesia nama kawasan (pulau/daratan) umumnya merujuk pada nama tempat. Sebagai contoh Malaya/Malaka menjadi nama semenanjung, Borneo merujuk pada nama tempat Broenai, wilayah Banten merujuk pada nama tempat Banten, Muluku dan Sulawesi merujuk pada nama tempat, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Tangerang dan Karawang merujuk pada nama tempat, Batavia merujuk pada nama benteng atau stad dan sebagainya, Tapi dalam perkembangannya tentulah nama wilayah ada yang dijadikan sebagai nama tempat yang baru. Contoh nama York di Inggris dimana York pada awalnya adalah nama tempat lalu menjadi nama wilayah yang lalu kemudian di Amerika nama tempat dan nama wilayah York ditetapkan sebagai nama tempat dengan penambahan kata baru (new) sehingga New York. Tentu juga banyak tempat dipilih berdasarkan nama orang seperti Washington, Jackson dan Sydney dan sebagai. Jangan lupa pada era Hindia Belanda Buitenzorg adalah nama kawasan yang lalu dijadikan sebagai nama kota juga. Lalu bagaimana dengan nama wilayah Nusantara dijadikan sebagai nama tempat yang baru (sebagai ibukota negara Indonesia)? Boleh-boleh saja, karena memang tidak ada aturan yang kaku.

Pemberian nama Nusantara pada nama ibu kota baru Republik Indonesia bukan tanpa masalah, Berbeda dengan York di Inggris dan New York di Amerika antara dua lokasi ini justru saling memperkuat hubungan antara dua nama tempat, yang lama dan yang baru. Hal ini karena berbeda geografis (kawasan/wilayah). Lalu bagaimana dengan nama tempat Nusantara di wilayah Nusantara. Hal ini dapat mengalami sentripetal atau sentrifugal. Sentripetal dapat menyebabkan kehilangan perhatian terhadap nama kawasan (kawasan Indonesia). Lambat laut orang hanya mengenal nama Nusantara nama ibu kota saja. Sebaliknya sentipugal orang hanya membayang nama wilayah untuk Nusantara, lupa nama tempat yang baru (ibu kota). Lalu yang ketiga ketika orang menyebut nama Nusantara akan cebderung durespon dan diikuti probing; ‘Maksud Anda, Nusantara kawasan Indonesia atau Nusantara ibu kota RI?.

Bandingkan dengan nama Bali dan nama Denpasar. Jika orang mengatakan mau ke Bali, kita bisa pahami dia mau ke pulau Bali dimanapun itu tempatnya. Demikian juga jika orang mengatakan mau ke Denpasar, orang memahami nama tempat yang berada di pulau Bali. Bagimana dengan Bandung? Saya mau ke Bandung. Orang menanggapi dia mau ke kota Bandung, padahal Bandung juga nama wilayah. Dalam hal Bandung ini, Bandung sebagai nama kawasan nyaris tidak dikenal (terjadi proses sentripugal). Hal itulah mengapa dulu di Amerika disebut New York atau Nieuw Amsterdan adalah untuk mengHindari kerancuan dan penggunaan kata new menjadi lebih jelas (sentripetal).

Bagaimana nama wilayah Nusantara dan nama tempat Nusantara tentu saja akan mengalamo proses adaptasi sendiri, Pada akhirnya nanti orang akan terbiasa penempatan nama Nusantara, apakah sebagai nama kawasan atau nama tempat. Dalam hal ini tentusa saja nama Nusantara sebagai nama tempat akan mendapat tambahan nama di depan nama Nusantara yang dapat merujuk pada nama Jakarta sendiri yang kita kenal selama ini sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Demikian juga dengan nama Nusantara sebagai nama tempat akan muncul sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI) Nusantara. Dalam hal ini, setelah melembaganya penerapaa nama DKI Nusantara, maka nama yang dikenal sebelumnya DKI Jakarta akan mengalami reduksi (korting) menjadi DK Jakarta (Daerah Khusus Jakarta (kata Ibukota dihilangkan karena telah diberikan kepada nama Nusantara (DKI Nusantara).

Apa arti penting tambahan nama DKI pada nama tempat Nusantara? Itu kira-kira mirip dengan nama tempat New York dan Nieuw Amsterdan di pantai timur Ameruka tempo dulu. Kini nama Nusantara sebagai nama tempat ditambahkan nama depan DKI yang kiran-kira mirip dengan nama depan New atau Nieuw. Jadi dalam penyebutan nama Nusantara sebagai nama tempat (ibu kota RI) harus dinyatakan lengkap sebagai DKI Nusantara—sehinggan bisa dibedakan Nusantara (saja) sebagai nama kawasan (wilayah Indonesia)..

Penggunaan nama depan DKI pada nama Nusantara (DKI Nusantara), secara geoografis (pada peta satelit) akan diidentifikasi sebagai DKI Nusantara. Sebaliknya identifikasi selama ini pada DKI Jakarta akan berubah menjadi DK Jakarta. Proses algoritma akan terjadi sebagaimana nama Borneo menjadi nama Kalimantan.

Dalam proses pencarian nama geografis di peta satelit seperti googlemap, jika diasumsikan wilayah Nusantara adalah wilayah Indonesia (Nusantara=Indonesia), maka identifikasi yang muncul pada tampilan adalah wilayah administratif Indonesia dari Sabang hingga Merauke dan Miangar hingga Rote. Tetapi jika yang dicari adalah DKI Nusantara akan mengidentifikasi wilayah administarif nama tempat di pantai timur Kalimantan (wilayah ibu kota RI).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Ibu Kota Negara RI; Djakarta, Jogjakarta, Djakarta hingga Nusantara

Nama tempat atau nama tempat utama atau nama ibu kota (hofdplaats) dan ama kawasan atau nama wilayah (region) adalah dua hal yang berbeda tetapi dapat dihubungkan. Ini dapat diperhatikan dan dipahami dari sejarah geopolitik (geografi politik) dari era Nusantara hingga era Indonesia.

Kedatangan pelaut-pelaut Eropa terutama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597) ke Indonesia adalah dalam konteks Nusantara. ini terbentuk ketika pelaut-pelaut Kerajaan Aru sudah mencapai Maori (Selandia Baru) melalui jalur navigasi Borneo, Mindanao/Manado, Amboina, pantai barat Papoea, Selat Torres hingga pantai timur Australia di wilayah Maori. Hal itulah mengapa banyak kosa Batak di dalam bahasa Maori dan juga nama yang muncul pada pulau besar di sisi barat wilayah Papoea yakni Pulau Aroe. Lalu kemudian pelaut-pelaut Kerajaan Majapahit menyilang jalur navigasi Kerajaan Aroe ke wilayah timur nusantara hingga mencapai Maluku dan Onim (di wilayah Papoea). Pelaut-pelaut Kerajaan Aroe diperkuat oleh pedagang-pedagang Moor atau Mores (hal itulah mengapa muncul nama pulau Morotai dan pelabuhan Fort Moresby; nama wilayah Kaimana awalnya adalah wilayah Moresche). Suksesi jalur navigasi Kerajaan Aroe inilah yang kemudian terbentuk kerajaan-kerajan baru seperti Djai-lolo (Halmahera), Sap-aroe-a, Maluku (dari Malaka), Ambo-ina, Ternate, Tidore, Makian (Batjan), Boeroe (B-aroe), Sulabesi dan sebagainya.

Lantas bagaimana sisa Nusantara yang dalam hal ini Indonesia (eks Hindia Belanda)? Itu bermula tahun 1605 pelaut-pelaut Belanda mengusir Portugis dari Amboina (ibu kota pertama pelaut.pedagang Belamda). Dalam perkembangannya pelaut Belanda mengusir Portugis dari Ternate dan kemudian Solor dan Koepang (sehingga Portugis menyingkir ke bagian timur pulau Timor (kini Timor Leste). Pada tahun 1619 pelaut Belanda menduduki muara sungai Tjiliwong (dibangun benteng Batavia). Dari benteng inilah pemerintahan VOC dijalankan yang dengan sendirinya menjadi ibu kota baru Belanda/VOC (menggantikan Amboina).

Dari Batavia dengan nama VOC mengusir Portugis di Malaka (1641) dan Kamboja (1642) sehingga Portugis hanya tersisa di Macao dan Timor bagian timur. Selanjutnya pelaut-pelaut VOC yang telah menguasai perdagangan di Jawa dan Sumatra (minus Atjeh) mencapai Australia dan Maori (Selandia Baroe) di bawah pimpinan Abel Tasman dalam ekspedisi laut selatan pada tahun 1644 (menjadi asal usul nama pulau Tasmania). Selanjutnya VOC mengusir Spanyol (yang berbasis di Zebu Filipina) dari Manado pada tahun 1657. Jalur perdagangan nusantara inilah yang diokpuasi pedagang-pedagang VOC  di pantai utara, barat, timur dan selatan Australia plus pulau Maori dan sekitar (Selandia Baru, Nieuw Zeeland) dan terakhir wilayah Papoea di Moresche (kini wilayah Kaimna) dan wilayah teluk Fakfak (teluk Bintuni) dan yang paling terakhir wilayah Radja Ampat dan teluk Biak. Setelah semua terhubung oleh VOC di wilayah Nusantara, Inggris yang berbasis di Calcutta dan Madras mulai mengokupasi pantai barat Sumatra di Bengkoeloe tahun 1781 setelah pelaut Inggris James Cook merekomendasikan wilayah Australia (terutama pantai timur/Sydney) sebagai koloni baru setelah orang-orang Inggris terusir dari Amerika yang diproklamasikan pada tanggal 4 Juli 1774. Awalnya koloni Australia tersebut ditujukan sebagai pembuangan narapidana tetapi tidak lama kemudian para penduduk Inggris yang miskin yang tidak memiliki tanah ditrasmigrasikan ke Australia (timur di sekitar Syney dan di barat di sekitar Perth). Pendudukan Inggris atas Australia ini baru disadari orang-orang Belanda di Jawa dan di Eropa bahwa Inggrsi telah mengokupasi tanah yang menjadi otoritas VOC/Belanda di Australia. Bersamaan dengan itu, untuk menekan orang-orang Belanda di Hindia Timur (terutama di Jawa) skuadron Inggrsi di Madras dipindahkan ke Bengkoeloe (wilayah Bengkoeloe juga hilang dari Belanda). Pulau Natal dan pulau Kalapa di selatan Jawa yang dihuni penduduk nusantara terutama dari pantai selatan Jawa diduduki Inggris yang mana dua pulau ini selama ini menjadi pelabuhan penghubung navigasi pelayaran Belanda dari Afrika Selatan ke Selat Soenda. Belanda tidak berdaya atas hilangnya Bengkoeloe dan Australia, orang-orang Belanda hanya meratapi kehilangan, terutama tanah Australia (keseluruhan). Sejak saat inilah kapal-kapal perang VOC kerap hilir mudik di sekitar wilayah perairan Papoea untuk menjaga wilayah otoritas Belanda tidak berkurang lagi.

Selanjutnya pada tahun 1824 antara Belanda (Pemerintah Hindia Belanda) dan Inggris tukar guling antara Bengkoeloe dan Malaka yang sejak itu Inggris menguasai sepenuhnya Semenanjung Malaya yang dibatasi perairan antara Singapoera dan Bintan. Tidak lama kemudian seorang pedagang Inggris yang terusir dari Tapanoeli menduduki Serawak yang menyebabkan muncul ketegangan baru antara Belanda dan Inggris yang pada akhirnya pada tahun 1870an  ditarik batas dari pantai barat Tandjoeng Datoe hingga pulau Sebatik di pantai timur yang menyebabkan Borneo Utara lepas dari wilayah Hindia Belanda. Lagi-lagi Belanda kembali kehilangan wilayah otoritas.

Di wilayah Papoea yang mana begitu luas wilayah Papoea dari ujung barat laut hingga tenggara, baik VOC/Pemerintah Hindia Belanda dan Inggris tidak bisa bergerak lebih lanjut. Inggris hanya sampai memenuhi wilayah pantai utara Australia (Darwin dan sekitar) serta pulau-pulau di selat Torres (perbatasan daratan Papoea dan Australia). Frekuensi yang rendah pelayaran Belanda mencapai Papoea bagian timur kemudian diduduki oleh Jerman. Pembagian wilayah Papoea antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Jerman dilakukan pada tahun 1887 dengan menarik garis lurus dari muara sungai di pantau utara Papoea (kini Skow) dan titik tertentu di pantai selatan Papoea di wilayah Moreshead (yang di tengah di pedalaman mengikuti lekuk sungai Moreshead/Bensbach).

Penarikan batas Pemerintah Hindia Belanda di wilayah Papoea menjadi penutup batas-batas wilayah Hindia Belanda. Sisa wilayah Nusantara (Hindia Belanda) kemudian diklaim oleh para revolusioner Indonesia termasuk Ir Soekarno, sejak 1927 sebagai wilayah Indonesia (hingga ini hari). Dalam hal ini wilayah Indonesia masa kini adalah sisa wilayah Nusantara (jaman doeloe). Dengan kata lain wilayah Indonesia adalah batas-batas terakhir otoritas Belanda (wilayah Hindia Belanda). Ibu kota negara (Pemerintah Hindia Belanda) tetap berada di Batavia (sejak era VOC).

Paralel dengan nama Batavia yang awalnya nama Batavia suatu bebntung)  sejak era VOC menjadi nama wilayah pada era Pemerintah Hindia Belanda, juga bagi banyak penduduk asli menyebut nama Djakarta. Djakarta (BelandaL Jacatra) adalah nema tempat di sisi timur sungai Tjiliwoeng (dekat Batavia) yang kemudian dijadikan sebagai nama benteng (Fort Jacatra) yang lokasinya kini di sekitar Manggadua. Namun masyarakatnya, dalam perkembangannya tidak disebut Djakarta tetapi dengan nama Betawi (merjuruk pada nama Batavia, Batawi, Betawi). Dalam hal ini dari sudut pandang longkal Djakarta adalah nama tempat/nama wilayah, sedangkan Bewawi menjadi nama ernik (suku bangsa).

Nama Djakarta ini pada era gerakan kemerdekaan pada era Pemerintah Hindia Belanda dalam banyak kesempatan kerap nama Batavia digantikan dengan nama Djakarta. Promosi nama Djakarta semakin intens pada era pendudukan militer Jepang seiring dengan penghilangan nama Batavia. Pada proklamasik kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 nama Djakarta semakin dipertegas yang juga turut dibacakan yang terdapat dalam teks proklamasi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar