Laman

Rabu, 04 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (569): Pahlawan Indonesia–Mudik Tradisi Mudik Kampung Halaman; Hindia Belanda hingga Hari Ini

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Saat ini banyak yang mudik, saya sendiri tidak mudik, sudah lama tidak pulang kampung. Lalu apa itu mudik? Tampaknya itu adalah sinonim pulang kampung. Namun kini, kata mudik kerap diasosiasikan pada pulang kampong sehubungan dengan lebaran (hari raya) di kampong halaman. Oleh karena kegiatan mudik itu berulang (seteiap tahun), dalam hal ini mudik menjadi tradisi (habit, budaya),

Ada yang menyebut moedik berasal dari oedik, wilayah di hulu sungai (lihat De locomotief, 27-03-1919). Di pantai barat Sumatra, terdapat nama tempat (pasar) yang berbeda yang berada di pinggir kota yang disebut Pasar Moedik. Pasar Moedik ada di Padang (lihat Sumatra-bode, 20-03-1919); di Tapanoeli di Padang Sidempoean dan di Baroes. Pasar Moedik (sekali sepekean) lawan dari pasar besar (gadang) yang berada di tengah kota (tiap hari). Masih di wilayah daerah aliran sungai padanannya adalah hulu dan hilir seperti di Sumatra Selatan dan Kalimantan. Padanannya di wilayah Soenda/Betawi adalah oedik, seperti Soekaboemi Oedik dan Tjikeas Oedik. Padanannya dalam bahasa Belanda soal oedik ini adalah Benelanden (hilir) dan Bovenlanden (hulu).

Lantas bagaimana sejarah mudik di Indonesia? Nah, itu dia. Seperti disebut di atas, mudik pada tempo doeloe dihubungkan dengan oedik, kampong-kampong yang berada di arah hulu sungai. Dari hilir-mudik di daerah aliran sungai inilah yang diduga menjadi rujukan dari kegiatan mudik selanjutnya (hingga ini hari) yang terus berulang (tradisi). Lalu bagaimana sejarah mudik di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia–Mudik dan Tradisi Mudik Kampung Halaman: Kata Mudik di Daeeah Aliran Sungai Sejak era Zaman Kuno

Sejak kapan mudik dikenal? Sulit diketahui secara pasti. Yang jelas bahwa dalam KBBI, kata mudik diartikan sebagai pulang kampung, tetapi tidak disebutkan diserap dari bahasa apa.

Dalam KBBI (1) mudik (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman): (2) sinonim pulang ke kampung halaman: memudik v berlayar mudik; memudikkan v menjalankan (perahu dan sebagainya) ke arah hulu: pemudik n orang yang pulang ke kampung halaman (udik): semudik n satu arah ke udik. Lantas dari mana asal kata mudik? Di dalam bahasa Jawa, mudik berarti ‘mulih dilik’ yang berarti pulang sebentar saja; mudik dihubungkan dari bahasa Betawi yaitu 'menuju udik' atau berarti 'pulang kampung'. Kata udik sendiri sudah sejak lama (era VOC) dikenal nama keterangan kampong di Batavia seperti Soekaboemi Oedik. Besar dugaan kata oedik dalam hal ini adalah wilayah yang letaknya di hulu (asal). Di Jawa tidak ditemukan nama keterangan untuk nama tempat. Selain di Batavia, seperti disebut di atas, yang umum ditemukan nama keterangan tempat (moedik) terdapat di West Sumatra dan Tapanoeli.  

Ada yang mengatakan tradisi mudik sudah ada sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam. Akan tetapi itu tidak dapat diverifikasi. Dalam hal ini mudik sebagai asal-usul kata, dan fenomena mudik harus dibedakan. Mudik atau pulang kampung tentu saja terdapat dimana-mana, karena pulang kampung (mudik) adalah fenomena umum. Oleh karena itu sangat naif jika kegiatan mudik hanya merujuk pada era Majapahit, lagi pula tidak ditemukan kata mudik dalam teks Negarakertagama (1365 M).

Dalam sumber sejarah (surat kabar, majalah, buku) sejaman tidak ditemukan kata mudik. Yang tercatat hanya nama tempat atau keterangan nama tempat seperti di Batavia, West Sumatra dan Tapanoeli. Di wilayah West Sumatra mudik dilafalkan sebagai mudiak. Namun kata mudiak di West Sumatra tidak diartikan pulang (kampung) tetapi diartika ke arah atas (hulu). Pulang kampung di West Sumatra adalah pulang kampu[a]ng. Di Tapanoeli (khususnya wilayah budaya Angkola Mandailing) mudik tetap disebut mudik. Berbeda dengan di Jawa dan West Sumatra, di Tapanoeli khususnya wilayah Angkola, mudik diartikan sinonim dengan djoeloe (atas) dan kata mudik juga diartikan pulang. Sedangkan di wilayah Melayu, seperti di pantai timur Sumatra dan Kalimantan mudik atau udik di daerah aliran sungai disebut oeloe atau hoeloe (bandingkan dengan bahasa Tapanoeli sebagai djoeloe).   

Catatan kata mudik tertua ditemukan dalam teks prasasti Kedukan Bukit (682 M). Kata mudik dalam prasasti ini diduga kuat berasal dari bahasa Batak (Angkola Mandailing). Kata mudik tidak ditemukan dalam bahasa Sanskerta. Yang ditemukan adalah kata pulang. Kata mudik yang dekat dengan bahasa Sanskerta adalah pulih (normal kembali). Lantas bagaimana bisa menduga kata mudik berasal dari bahasa Batak (Angkola Mandailing)?

Dalam prasasti Kedoekan Boekit (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1934). Dalam prasasti baris ke-9 dicatat ‘laghu mudita datam marvuat vanua ....’ yang diinterpretasi sebagai ‘laghu mudik datang marwuat wanua…’. Frase mudik datang ini dapat diartikan ‘pulang pergi’. Lalu bagaimana teks itu dikaitkan dengan wilayah Angkola Mandailing? Dalam teks tidak hanya kata mudita/mudik dihubungkan dengan Angkola Mandailing tetapi juga dengan: (1) Kata Minana (Minanga) adalah menunjukkan nama tempat yang dalam teks menceritakan suatu ekspedisi yang berangkat dari Minana/Minanga. Pada masa ini di Angkola Mandailing terdapat kota Binanga (dimana terdapat candi-candi kuno).(2) kata mangalap masih eksis dalam bahasa Angkola Mandailing yang diartikan menjemput dan kata marlapas yang diartikan berangkat. (3) kata awalan (prefiks) mar atau ma mungkin hanya ditemukan dalam bahasa Batak Angkola Mandailing yang diartikan sebagai ber dan me. (4) kata bilangan ‘sapulu dua’(juga sapulu sada, sapulu tolu, dst) yang hanya ditemukan dalam sistem bilangan Batak Angkola Mandailing yang diartikan dua belas. (5) Nama raja dengan gelar Dapunta Hyang Nayik diduga adalah nama Radja di Angkola Mandailing. Hal ini dapat dihubungkan dengan asal ekspedisi (prasasti Kedoekan Boekit) dengan prasasti Talang Tuwo (684 M) tujuan ekspedisi dimana radjanya di Sriwijaya dengan gelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Lalu dengan memperhatikan isi teks prasasti Kota Kapur (686 M) dan prasasti Sodjomerto di Jawa yang mengindikasikan nama raja dengan gelar Dapunta Seilendra (tidak ada Hyang). Dalam teks prasasti Kedoekan Boekit (682 M) diduga kuat bahasa yang digunakan adalah campuran bahasa Sanskerta dan bahasa Batak yang kemudian bertransformasi menjadi bahasa Melayu(-kuno).

Kata mudik sendiri dalam bahasa Batak Angkola Mandailing hingga ini hari masih eksis yang diartikan sebagai wilayah hulu (keterangan tempat) dan diartikan pulang (kata kerja). Dalam hubungan ini jika dihubungkan dengan catatan tertua kata mudik yang ditemukan dalam prasasti Kedoekan Boekit (682 M) sangat logis (masuk akal) kata mudik berasal dari bahasa Batak Angkola Mandailing. Dalam konteks transformasi bahasa Melayu (suksesi bahasa Sanskerta) maka kata mudik kemudian dikenal di West Sumatra (mudiak) dan di Batavia (udik).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mudik dan Tradisi Mudik Kampung Halaman: Era Hindia Belanda Hingga Ini Hari Menjadi Tradisi

Kata mudik dan tradisi mudik dalam arti masa kini, tidak ditemukan dalam sumber sejarah pada era Hindia Belanda. Yang ditemukan adalah sinonimnya kata mudik yakni frase pulang kampung. Kata kampung sendiri tidak berasal dari bahasa Nusantara (Sanskerta, Melayu dan bahasa daerah), tetapi berasal dari bahasa Belanda: kamp—kampement (perkampongan) yang menjadi kampong.

Mudik yang juga disebut pulang kampong juga tidak ditemukan pada era Hindia Belanda. Namun maksud mudik atau pulang kampong itu tentu saja ada. Keterangan itu dapat ditemukan di Serang yang dimuat pada surat kabar Soerabaijasch handelsblad, 03-06-1884. Disebutkan, dalam bentuk puisi:/Di Serang tinggal sepinya/…/Masing-masing poelang karoemanya/…/Tinggal djongos pikiran tjapenya/…/Sebab masi banyak kerdjaannja/. Dalam puisi itu dapat diinterpretasi kota Serang begitu sepi (seperti Jakarta sekarang ini) karena banyak yang pulang kampung (para majikan), yang tinggal adalah pembantu rumah tangga yang menjaga rumah. Oleh karena pembantu bekerja meski tidak ada majikan, pekerjaan yang dapat dilakukan tentu masih ada selain menjaga rumah, seperti merapihkan, menyapu dan sebagainya. Dalam hal ini dari puisi itu terkesan di Serang terjadi pulang kampung/mudik. Kota Serang saat itu adalah kota perantauan dimana warga Serang banyak yang harus pulang kampung saat lebaran di kampong seperti pulang ke Rangkas Bitung, Pandeglang dan sebagainya. Tentu saja kejadian di Serang tidak unik, tetapi terdapat dimana-mana terutama warga kota besar (perantauan).

Tradisi mudik atau pulang kampung sudah lama adanya (kampong halaman – perantauan). Akan tetapi tidak disebut mudik maupun pulang kampong. Kata pulang kampong diduga adalah kata/frase yang muncul belakangan, dan kata mudik itu sendiri mungkin masih terbilang baru, Besar dugaan istilah mudik muncul di Jakarta, sebutan orang Jakarta/orang Betawi kepada para tetangga yang pulang kampong menjelang lebaran. Hal itu karena dalam bahasa Betawi kata mudik (udik) memang eksis.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar