Laman

Jumat, 20 Mei 2022

Sejarah Menjadi Indonesia (601): Pahlawan Indonesia – Penyelidikan Bahasa-Bahasa di Indonesia; Penulisan Sejak Hindia Belanda

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Penyelidikan bahasa-bahasa di Indonesia dimulai penulisan bahasa Melayu. Penyelidikan bahasa Melayu yang telah menjadi lingua franca sejak zaman lampau karena kebutuhan pelaut/pedagang yang berasal dari Eropa sejak era Portugis. Pada era Hindia Belanda, orang-orang Belanda mulai menyadari arti penting penyelidikan dan penulisan bahasa-bahasa lainnya di Indonesia. Tujuan utamanya beragam sesuai kebutuhasn para ahli etnografi, ahli linguistik, juga para misionaris dan sebagainya.

Indonesia memiliki 718 bahasa daerah dan bahasa Indonesia itu sendiri sebagai bahasa resmi nasional. Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 718 bahasa yang ada di Indonesia di bawah ini sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari dan mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa Indonesia. Berdasarkan data BPS di tahun 2015, maka hanya terdapat 14 bahasa daerah yang memiliki penutur di atas 1.000.000 jiwa atau sekitar 69.22% dari sekitar 252.200.000 jiwa total penduduk Indonesia. Adapun ke-14 bahasa daerah dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia tersebut adalah: Bahasa Aceh (3.500.000 jiwa penutur); Bahasa Bali (3.330.000); Bahasa Batak (7.045.000); Bahasa Betawi (5.000.000 ); Bahasa Bugis (5.000.000): Bahasa Gorontalo (1.000.000): Bahasa Jawa (84.300.000): Bahasa Lampung (1.834.000): Bahasa Madura (6.770.000); Bahasa Makassar (2.130.000): Bahasa Melayu (16.140.000): Bahasa Minangkabau (5.530.000): Bahasa Sasak (2.100.000); Bahasa Sunda (42.000.000 jiwa penutur). (Wikipedia)  

Lantas bagaimana sejarah penyelidikan bahasa-bahasa di Indonesia? Seperti disebut di atas, bahasa-bahasa di Indonesia sangat banyak dan tersebar di berbagai pulau. Ada yang jumlah penuturnya sangat banyak dan ada yang yang sangat sedikit bahkan mendekati kepunahan. Lalu bagaimana sejarah penyelidikan bahasa-bahasa di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Pahlawan Indonesia – Penyelidikan Bahasa-Bahasa di Indonesia:  Penulisan Sejak Hindia Belanda

Pada saat mana Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari Belanda tahun 1949, tentu saja sejak lama, sudah banyak orang Belanda yang biasa berbahasa Indonesia (bahasa Melayu) dan juga sudah lama pula banyak pribumi yang bisa berbahasa Belanda dan bahkan bahasa Inggris. Pada saat ini tidak ada masalah bahasa antara dua bangsa (Indonesia dan Belanda). Akan tetapi orang Amerika Serikat masih sangat jarang yang bisa berbahasa Indonesia. Oleh karena itu orang Amerika Serikat mulai belajar bahasa Indonesia.

Selama perang kermerdekaan Amerika Serikat, langsung tidak langsung, sejumlah kelompok dan individu terlibat yang dapat dikatakan mendukung Indonesia. Tentu saja mengambil manfaat dalam hubungan Indonesia-Amerika Serikat manakala orang Indonesia menganggap Belanda dan Inggris sebagai musuh (lawan politik). Namun untuk menjalin hubungan antara orang Amerika dan orang Indonesia tidak terlalu sulit karena sudah banyak orang Indonesia yang bisa berbahasa Inggris, bahkan Presiden Soekarno sangat lancar bahasa Inggris. Namun persoalan muncul bagi militer Amerika Serikat baik yang bekerja di atase militer maupun di lapangan seperti urusan intelijen. Oleh karenanya proses pembelajaran (belajar-mengajar) bahasa Indonenesia diantara orang Amerika Serikat terjadi di bidang militer. Buku tatabahasa dan kamus bahasa Indonesia disaling Amerika Serikat untuk kebutuhan orang Amerika terutama di lingkungan militer.

Lantas bagaimana tempo doeloe orang-orang Belanda belajar bahasa Melayu ketika datang kali pertama ke Hindia Timur? Tentu saja pelaut-pelaut Belanda menyalin (lisan, mungkin tulisan) dari orang-orang Portugis, Akan tetapi itu tidak cukup. Oleh karena itu dalam ekspedisi Belanda pertama (1595) yang dipimpin Cornelis de Houtman menyertakan ahli bahasa, yang kebetulan adiknya, Frederik de Houtman, Sebelum mengarungi lautan yang luas menuju Hindia (lautan India) tiga kapal ekspedisi Belanda ini singgah di (pulau) Madagaskar, bahkan hampir selama enam bulan. Pada saat inilah Frederik de Houtman mengetahui banyak diantra penduduk Madagasakan yang bisa berbahasa Melayu. Frederik de Houtman meningkatkan kemampuan bahasanya dan juga memperkaya kamus bahasa yang telah mereka salin dati Portugis. Hal itulah yang membuat komunikasi Belanda bisa baik ketika tiba di (pelabuhan) Banten dan sedikit nyaman ketika singgah di Bali (sebelum kembali ke Belanda).

Lalu bagaimana satu abad sebelumnya orang-orang Portugis belajat bahasa Melayu ketika kali pertama armada Portugis mencapai Malaka pada tahun 1509? Yang jelas orang-orang Belanda ke Hindia sudah memiliki kamus kecil dan peta-peta yang jauh lebih baik (hasil upfating penulis dan pembuat peta Portugis). Hal itu sulit pada awal era Portugis ke Malaka. Untuk itu, pelaut-pelaut Portugis mengandalkan orang-orang Moor sebagai juru bahasa dan bahkan pelaut-pelaut Moor sebagai navigator yang andal di lautan, menjadi bagian dari ekspedisi Portugis. Orang Moor adalah beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara/laut Mediterania yang pada zaman keemasan Islam membangun peradaban tinggi di Eropa Selatan terutama di wilayah Spanyol khususnya di kota-kota Andalusia, Cordoba dan sebagainya. Perang Salib pada tahun 1000an menyebabkan orang-orang Moor sebagain besar terusir dari Eropa dan banyak yang menyebar ke bagian selatan Afrika, pantai-pantai di India dan hingga mencapai Nusantara (Hindia Timur). Pada tahun 1345 seorang utusan Moor asal Tunisia mengunjungi selata Malaka hingga Tiongkok. Ini mengindikasikan komunitas Moor sudah banyak di pantai timur Sumatra dan pantai barat Semenanjung.   

Kemampuan berbahasa Melayu dari orang-orang Belanda terus meningkat. Seperti disebut di atas Frederik de Houtman cukup berperan dan penulisan bahasa Melayu. Pada ekspedisi kedua Cornelis de Houtman (1599) Fredrik de Houtman kembali disertakan. Namun naas bagi Cornelis de Houtman terbunuh di Atjeh 1601. Frederik de Houtman berhasil ditangkap dan ditahan. Selama ditahan di Atjeh, Frederik de Houtman meningkatkan kemampuan bahasa dan studi bahasa Melayunya. Pada tahun 1603 Frederik de Houtman, dengan negosisiasi diplomatik kerajaan Belanda, berhasil bebas tahun 1603. Pada akhir tahun ini di Belanda kamus bahasa Melayu yang dibuat Frederik de Houtman diterbitkan. Inilah publikasi pertama ke publik tentang bahasa Melayu.

Ekspedisi Belanda dari tahun ke tahun terus semakin intens ke Hindia. Pada tahun 1605 satu skuadro yang dipimpin oleh Admiral van Hagen, dimana jugaa terdapat Frederik de Houtman, setiba di Amboina berhasil mengalahkan Portugis dan mengambil alih benteng Portugis di Ambon. Tahun inilah permulaan Belanda melakukan koloni di Hindia di Amboina yang mana diangkat Frederik de Houtman sebagai Gubernur Amboina (Maluku). Pada tahun 1612 pelaut-pelaut Belanda berhasil mengalahkan Portugis di Solor dan Koepang yang menyebabkan orang-orang Portugis tersingkir ke bagian timur pulau Timor (kini Timor Leste). Dengan modal ini untuk meratakan jalan jalur navigasi pelayaran dari Banten (barat) hingga Amboina (timur) di sisi selatan Hindia, armada Belanda menyerang Soeda Kalapa dan berhasil menaklukkannnya yang kemudian mendirikan (benteng) Batavia pada tahun 1610 (di bawah bendera VOC). Singkat kata pedagang-pedagang VOC/Belanda semakin banyak yang bisa berbahasa Melayu, hingga pada akhirnya seorang Inggris dari India (pusat Inggris di Calcutta dan Madras) bernama William Marsden memperlajari bahasa Melayi dan berhasil menyusun tatabahasa dan kamus bahasa Melayu yang menyertai laporannya yang dibukukan dan diterbitkan tahun 1781 dengan judul The History of Sumatra. Karya William Marsden inilah yang dapat dikatakan penulisan bahasa Melayu yang terbaik saat itu. Lalu bagaimana selanjutnya? Itu yang akan kita selidiki lebih jauh hingga bahasa-bahasa lain menjadi perhatian para ahli dan peneliti Belanda.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Penyelidikan Bahasa-Bahasa di Indonesia: Penulisan Bahasa-Bahasa di Indonesia Era Hindia Belanda Menjadi Rujukan Penyelidikan Bahasa-Bahasa Masa Kini

Persaingan antara Belanda dan Inggris di Nusantara (Hindia Timur) juga mengiringi perhatian para penulis-penulis kedua bangsa dalam mendokumentasikan bahasa Melayu. Hasilnya buku-buku bahasa Melayu (kamus dan tata bahasa) yang meningkat kualitasnya. Seiring dengan Ttaktat London 1824 (tukar guling Bengkoeloe dan Malaka), wilayah yurisdiksi antara Belanda dan Inggris dipisahkan secara ketat dengan menarik batas. Wilayah yurisdiksi Inggris dipisahkan dari Hindia di Semenanjung, termasuk Penang dan Singapora dan bagian utara pulau Borneo. Sejak fase inilah perhatian terhadap bahasa-bahasa di Hindia Belanda mulai mendapat perhatian, tidak hanya bahasa Melayu.

Bagi Pemerintah Hindia Belanda, teruitama untuk kebutuhan para pejabatnya di berbagai wilayah, pengetahuan bahasa Melayu yang ada sudah cukup, karena bahasa Melayu adalah lingua franca di seluruh pulau-pulau di Hindia Belanda. Dalam penerjemahan terutama yang terkait proses politik seperti perjanjian dan aturan hukum, dapat dilakukan para penerjemah pribumi dari bahasa lokal (daerah) ke bahasa Melayu di satu siisi, dan para penerjemah Belanda, dari bahasa Melayu ke bahasa Belanda. Orang-orang Cina, meski masih berbahasa ibu, tetapi sebagian besar mereka di Hindia bisa berbahasa Melayu. Kebutuhan bahasa Cina diperlukan, tetapi kebutuhan bahasa lokal semakin diperlukan, bukan untuk tujuan penyelengaraan cabang-cabang pemerintahan, tetapi kebutuhan para misionaris dan para ahli dan studi linguistik, studi geografi, studi budaya dan sebagainya.

Penyelidikan bahasa-bahasa lokal (bahasa daerah) terjadi secara random di wilayah Hindia dan sejumlah penyelidikan yang ada dilakukan pada waktu yang telatif sama (kurun yang sama). Sehubungan dengan terbitnya jurnal pertama di Hindia Belanda sejak tahun 1838 semakin banyak pejabat-pejabat Belanda di daerah yang menyumbang tulisan termasuk yang memilih topik budaya dan linguistik. Dalam konteks inilah dapat dikatakan penulisan bahasa daerah mulai dilakukan.

Salah satu penyelidikan bahasa daerah yang terbilang seius adalah penyelidikan bahasa Batak. Mengapa? Penyelidikan bahasa Batak ini dengan mendatangkan seorang ahli bahasa dari Belanda (kelahiran Hindia) yang bergelar doktor yakni NH van der Tuuk. Projek penyelidikan bahasa Batak ini dibiayai oleh lembaga zending Belanda. Tuga utama NH van der Tuuk, seorang yang sekuler, freemason, adalah menyusun tata bahasa Batak dan kamus bahasa Batak. Sebagai ahli bahasa tentulah hasilnya baik, lebuh-lebih van der Tuuk mempelajarinya langsung dari orang Batak yang dimulai di Barus dan di Angkola/Mandailing. Tuga berikutnya projek van der Tuuk ini adalah menerjemahkan kita suci Injil daalam bahasa Batak. Dr van der Tuuk yang memulai kunjungannya ke Tanah Batak tahun 1850 telah berhasil menulis tata bahasa dan kamus bahasa Batak. Tata bahasa Batak karya van der Tuuk ini adalah tata bahasa terbaik pertama yang ditulis (di Hindia Belanda), bahkan melampau tata bahasa Melayu yang sudah ada. Di tangan ahlinya, hasil karya terbaik muncul. Prestadi van der Tuuk ini menarik perhatian (pemerintah?) untuk meminta keahlian van Tuuk untuk menyusun kamus Lampoeng. Lalu setelah dari Lampoeng, lembaga misionaris Belanda kembali mengirim van der Tuuk ke Bali. Dalam kerja van der Tuuk di Bali, banyak memberi kontribusi kepada dunia akademik, khususnya Prof Kern dalam penerjemahan teks-teks Jawa Kuno (bahasa Kawi), termasik teks Negarakertagama (yang ditulis pada tahun 1365).  

Monsieur von de Wall. Menulis hasil studinya tentang bahasa Melayu yang diterbitkan pada jurnal Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde, yang kemudian Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen tahun 1852 mengusulkan agar karya itu bisa dipublikasikan karena sesuai degan studi bahasa Melayu (lihat Javasche courant, 24-06-1864). Disebutkan untuk mempromosikan praktek bahasa Melayu sebanyak mungkin dengan cara lain, manajemen (Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen) mengarahkan permintaan kepada Monsieur von de Wall, baik untuk kepentingan masyarakat dan dalam publikasi yang cepat dari pekerjaan, ketika kamus Melayu dipresentasikan kepada pemerintah, yang sedang disusun olehnya, sekaligus mengusulkan agar penerbitannya dilakukan melalui perantara Perhimpunan (Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen).

Kamus bahasa Melayu karya William Marsden terus diperbaiki dan ditingkatkan yang kembali diterbitkan tahun 1812. Langsung tidak langsung karya Marsden inilah yang kemudian terus ditingkatkan. Elisa Netsher sebelum menjadi Residen Riaou (1862), sudah terlebih mengunjungi wilayah Riaow dan memiliki kesempatan mempelajari bahasa Melayu (Riaouw) dan sastra Riaouw. Ini mengindikasikan bahwa bahasa (tata bahasa dan kamus) Melayu terus diperkaya dan dikembangkan hingga Monsieur von de Wall, melakukan studi terbaru.  

Penyelidikan bahasa Melayu dalam arti akademik, para ahli (Eropa/Belanda) di Hindia Belanda terus bekerja, orang-orang pribumi juga ada yang turut aktif memberi kontribusi.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar